ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 28 Maret 2012

Syi'ir Tanpo Wathon

Syi'ir Tanpo Wathon
============================
Syiir Tanpo Wathon, sebuah syair dalam bahasa jawa yang berarti Syair tanpa aturan. Syair ini cukup populer di daerah Jawa Timur sebagai syair dari Gusdur. ada beberapa keterangan tentang pencipta syair ini yaitu oleh Gusdur sendiri dan oleh KH. Muhammad Nizam As-Shofa Pengasuh Pengajian Kitab Tasawuf Jami’ul Ushul Fil Awliya’Ponpes Ahlus Shofa wal Wafa’ – Krian, Jawa Timur.
Syair ini merupakan salah satu bentuk karya sufistik, dengan penyajian bahasa sederhana tapi penuh dengan makna-makna tersirat dan hikmah yang dalam. ini menunjukkan kedalaman keilmuan sang pencipta syiir ini. Semoga Allah memberikan keberkahan bagi yang melantunkan dan yang menciptakan syiir ini.. amien



أَسْتَغْفِرُ اللهْ رَبَّ الْبَرَايَا * أَسْتَغْفِرُ اللهْ مِنَ الْخَطَايَا

رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا نَافِعَا * وَوَفِّقْنِي عَمَلاً صَالِحَا


ياَ رَسُولَ اللهْ سَلاَمٌ عَلَيْكْ * يَا رَفِيْعَ الشَّانِ وَ الدَّرَجِ

عَطْفَةً يَّاجِيْرَةَ الْعَالَمِ * يَا أُهَيْلَ الْجُودِ وَالْكَرَمِ


Ngawiti ingsun nglaras syi’iran = (aku memulai menembangkan syi’ir)
Kelawan muji maring Pengeran = (dengan memuji kepada Tuhan)
Kang paring rohmat lan kenikmatan = (yang memberi rahmat dan kenikmatan)
Rino wengine tanpo pitungan 2X = (siang dan malam nya tanpa terhitung)

Duh bolo konco priyo wanito = (wahai para teman laki laki dan perempuan)
Ojo mung ngaji syareat bloko = (jangan hanya belajar syari’at saja)
Gur pinter ndongeng nulis lan moco = (hanya pandai bicara, menulis dan membaca)
Tembe mburine bakal sengsoro 2X = (esok hari bakal sengsara)

Akeh kang apal Qur’an Haditse = (banyak yang hapal Al Qur’an dan Hadits nya)
Seneng ngafirke marang liyane = (senang mengkafirkan kepada orang lain)
Kafire dewe dak digatekke = (kafirnya sendiri tak dihiraukan)
Yen isih kotor ati akale 2X = (jika masih kotor hati dan akal nya)

Gampang kabujuk nafsu angkoro = (gampang terbujuk nafsu angkara)
Ing pepaese gebyare ndunyo = (dalam hiasan gemerlapnya dunia)
Iri lan meri sugihe tonggo = (iri dan dengki dengan kekayaan tetangga)
Mulo atine peteng lan nisto 2X = (maka hatinya gelap dan nista)

Ayo sedulur jo nglaleake = (ayo saudara jangan sampai melupakan)
Wajibe ngaji sak pranatane = (kewajiban mengaji serta aturannya)
Nggo ngandelake iman tauhide = (untuk mempertebal iman tauhid nya)
Baguse sangu mulyo matine 2X = (bagusnya bekal mulia matinya)

Kang aran sholeh bagus atine = (Yang disebut sholeh adalah bagus hatinya)
Kerono mapan seri ngelmune = (karena mapan lengkap ilmunya)
Laku thoriqot lan ma’rifate = (menjalankan tarekat dan ma’rifatnya)
Ugo haqiqot manjing rasane 2 X = (juga hakikat meresap rasanya)

Al Qur’an qodim wahyu minulyo = (Al Qur’an qodim wahyu mulia)
Tanpo tinulis biso diwoco = (tanpa ditulis bisa dibaca)
Iku wejangan guru waskito = (itulah petuah guru mumpuni)
Den tancepake ing jero dodo 2X = (ditancapkan di dalam dada)

Kumantil ati lan pikiran = (menempel di hati dan pikiran)
Mrasuk ing badan kabeh jeroan = (merasuk dalam badan dan seluruh hati)
Mu’jizat Rosul dadi pedoman = (mukjizat Rosul (Al-Qur’an) jadi pedoman)
Minongko dalan manjinge iman 2 X = (sebagai sarana jalan masuknya iman)

Kelawan Alloh Kang Moho Suci = (Kepada Allah Yang Maha Suci)
Kudu rangkulan rino lan wengi = (harus mendekatkan diri siang dan malam)
Di tirakati diriyadohi = (diusahakan dengan sungguh-sungguh secara ihlas)
Dzikir lan suluk jo nganti lali 2X = (dzikir (mengingat Allah) dan suluk jangan sampai lupa)

Uripe ayem rumongso aman = (hidupnya tentram merasa aman)
Dununge roso tondo yen iman = (mantabnya rasa tandanya beriman)
Sabar narimo najan pas-pasan = (sabar menerima meski hidupnya pas-pasan)
Kabeh tinakdir saking Pengeran 2X = (semua itu adalah takdir dari Tuhan)

Kelawan konco dulur lan tonggo = (terhadap teman, saudara dan tetangga)
Kang podho rukun ojo dursilo = (yang rukunlah jangan bertengkar)
Iku sunahe Rosul kang mulyo = (itu sunnahnya Rosul yang mulia)
Nabi Muhammad panutan kito 2x = (Nabi Muhammad tauladan kita)

Ayo nglakoni sakabehane = (ayo jalani semuanya)
Allah kang bakal ngangkat drajate = (Allah yang akan mengangkat derajatnya)
Senajan asor toto dhohire = (Walaupun rendah tampilan dhohir nya)
Ananging mulyo maqom drajate 2X = (namun mulia maqam derajat nya di sisi Allah)

Lamun Palastro ing pungkasane = (ketika ajal telah datang di akhir hayatnya)
Ora kesasar roh lan sukmane = (tidak tersesat roh dan sukma nya)
Den gadang Alloh swargo manggone = (dirindukan Allah surga tempatnya)
Utuh mayite ugo Ulese 2X = (utuh jasadnya juga kain kafannya)

ياَ رَسُولَ اللهْ سَلاَمٌ عَلَيْكْ * يَا رَفِيْعَ الشَّانِ وَ الدَّرَجِ

عَطْفَةً يَّاجِيْرَةَ الْعَالَمِ * يَا أُهَيْلَ الْجُودِ وَالْكَرَمِ

Sholawat Al Mughniyah



Sufi Road: Sholawat Al Mughniyah

===============================

Sholawat Al Mughniyah ini adalah sholawat yang dimintakan dan diberikan oleh As Syeikh Al Qutb Ibnu 'Atha' Allah Al Iskandari. Menurut beliau As syeikh Ibnu Athai-Allah Sholawat ini berfadhilah untuk segala keperluan dan segala hajat. Untuk hal itu maka mintakanlah dan ebrikanlah sholawat ini untuk Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam 100x sampai 1000x
Selain itu fadhilahnya dapat memimpikan Rasulullah, baka berikanlah sholawat ini kepada beliau sebanyak 1000x, dan jika seseorang telah diberi Allah taufiq untuk memberikan sholawat ini setiap harinya 1000x, maka sudah pasti dia akan diperkayakan Allah selama masa hidupnya dan untuk selama-lamanya di dunia dan akherat dia akan dicintai oleh semua makhluk. banyak fahilah lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Dinukil dari Kitab Sa’adatud-darain Fis Shalati ’ala Sayyidil Kaunai – As-Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani , oleh Al Habib Muhammad bin Ali Al-Syihab

Hati yang Malu

Sufi Road: Hati yang Malu

======================
Suatu hari, demikian dikisahkan, seorang lelaki mendatangi Imam Hambali (780-855). Ia lelaki yang banyak bergelimang maksiat. Tiba-tiba ia datang ke majelis pengajian Imam Hambali untuk menceritakan mimpinya.

Dalam mimpi itu, kata lelaki itu, ia merasa tengah berada dalam kerumunan manusia yang ada di hadapan Rasulullah SAW. Rasul tampak berada di tempat yang agak tinggi. Satu per satu, orang-orang mendatangi Rasul dan berkata, "Doakan saya ya Rasulullah." Rasul pun mendoakan orang-orang itu. "Akhirnya tinggal aku sendiri," kata lelaki yang menceritakan mimpinya itu. "Aku pun sangat ingin
mendatangi beliau, tapi aku malu atas berbagai maksiat yang telah kulakukan. Rasul lalu berkata,"Mengapa kau tidak datang kepadaku dan minta kudoakan?" "Wahai Rasulullah," kata lelaki itu, "Aku terhalang oleh rasa malu akibat perbuatan-perbuatan burukku di masa lalu." "Kalau engkau merasa terhalang oleh rasa malu, berdirilah dan mintalah agar aku mendoakanmu. Bukankah engkau tak pernah menghina para sahabatku," jawab Rasul dalam mimpi tersebut.

Itu hanya sebuah kisah kecil dari pergulatan panjang umat manusia meninggalkan kemaksiatan untuk hijrah ke bumi kebaikan. Perjumpaan serta dialog dengan Rasul pun hanya ada dalam mimpi, bukan dalam kenyataan. Mimpi bukanlah dasar yang kukuh untuk dijadikan pegangan, walau para pecinta sejati Rasulullah meyakini bahwa mimpi bertemu Rasulullah adalah sama dengan pertemuan yang sebenarnya, dan mimpi seperti itu hanya mungkin dialami oleh mereka yang mendapat syafaat.

Tapi Imam Hambali menghargai keterangan lelaki pendosa tersebut. Laki-laki itu punya rasa malu atas perbuatan-perbuatan buruknya. Rasa malu itu yang mencegahnya terperosok semakin dalam ke jurang kemaksiatan, dan malah mengangkatnya ke dataran kebaikan. Mimpi itu adalah jalan yang mengantarkannya menuju pertobatan dengan menemui Imam Hambali. Maka, Imam Hambali pun berkata pada lelaki itu untuk menyebarkan kisah tersebut agar memberi kemanfaatan pada orang-orang lain.

Di dalam perjalanan manusia sebagai hamba untuk mendekat pada Sang Kekasih, Allah Azza Wajalla, rasa malu baru merupakan tangga yang pertama. Masih sangat jauh dari perwujudan rasa cinta yang semestinya. Tapi, apa yang membuat kita dapat mencapai tangga ke-99 bila tangga pertama pun kita tak sanggup menapakinya? Bukankah kita tak melupakan petunjuk Rasulullah bahwa "Malu adalah sebagian dari iman."

Rasul sekalipun menggenggam rasa malu di hadapan Allah Sang Maha Penyayang. Setidaknya itu tercetus dalam kisah Mi'raj, saat Muhammad SAW menerima perintah secara langsung agar umatnya menegakkan salat. Konon, mula-mula Allah memerintahkan salat 50 kali dalam sehari. Rasulullah sempat menyanggupi, namun Rasul lain yang ditemui dalam perjalanan gaib tersebut mengingatkannya bahwa tugas itu terlalu berat bagi umat Muhammad.

Rasul pun meminta keringanan sehingga tugas diturunkan lima kali. Masih terlalu berat, Rasul meminta keringanan lagi. Demikian terus-menerus hingga kewajiban salat hanya lima kali sehari. Saat itu, Muhammad SAW diingatkan bahwa lima kali sehari masih terlampau berat. Namun, Rasul telah malu hati untuk kembali mengajukan keringanan pada Allah SWT.

Hanya Allah yang Mahatahu seberapa benar kisah tersebut, tapi kisah itu telah menunjukkan peran malu dalam kehidupan ruhaniah Rasul. Punyakah kita rasa malu karena mengabaikan salat? Malukah kita karena hanya punya sedikit tabungan kebaikan dalam kehidupan ini.

Allah menyaksikan setiap langkah kita. Maka semestinya kita malu berbuat hal yang mubazir, apalagi maksiat, di hadapan-Nya. Semestinya kita malu tak cukup beribadah kepada-Nya. Semestinya kita malu bila tidak berkerja keras menyelesaikan amanat-masing-masing.

Semestinya kita malu tidak mensyukuri nikmat, menuntut kenaikan gaji dengan mengumpat-umpat bukan dengan meningkatkan kualitas kerja sendiri. Semestinya kita malu bila menjadi atasan tak mampu mengangkat nasib bawahan, dan sebagai pemimpin gagal menyejahterakan rakyat yang kita pimpin. Lazimnya, kita hanya malu untuk urusan duniawi di hadapan manusia lain, bukan urusan kebaikan di hadapan Tuhan.

Tokoh sufi Rabi'ah Al-Adawiyah juga mengungkapkan rasa malunya. Suatu saat, ia ditanya mengapa tidak minta pertolongan materi dari sahabat-sahabatnya. Rabi'ah menjawab tenang. "Aku malu kalau harus minta materi pada Allah, padahal Dialah pemilik segala materi. Apakah aku harus minta materi pada orang yang jelas bukan pemilik materi itu."

Suatu doa acap dikumandangkan sebagai pujian di lingkungan pesantren. "Tuhanku, aku merasa tak pantas untuk mendapat surga-Mu. Tapi akupun tak sanggup menanggung azab neraka-Mu. Maka terimalah tobatku, maafkan segala dosaku. Sungguh Engkau adalah Pengampun Yang Maha Besar."

Rasa malu telah membuat seorang wali Allah memanjatkan doa itu. Tidakkah kita malu bila tak mengikuti jalan yang telah ditempuh Rasulullah dan para wali Allah untuk menuju ke haribaan-Nya.

Keutamaan SHolat Malam

Riyadlus Shalihin : Keutamaan SHolat Malam

==========================
1. Dari ‘Aisyah ra., ia berkata : “Nabi saw, berdiri salat malam, hingga pecah-pecah kedua telapak kaki beliau. Saya bertanya kepada beliau : “Untuk apakah engkau berbuat ini, wahai Rasulullah, sedangkan engkau telah benar-benar diampunidosa-dosamu yang telah lewat dan yang akan datang?” Rasulullah saw, bersabda : “tak bolehkan aku menjadi hamba yang banyak bersyukur.”(H.R Bukhari dan Muslim)

2. Dari Al Mughirah, seperti hadis tersebut di atas, yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
3. Dari Ali ra, bahwasanya pada suatu malam ketika ia tidur bersama Fatimah, tiba-tiba Nabi saw, mengetuk pintu serta bersabda : “Kenapa kalian tidak mengerjakan salat?”(H.R Bukhari dan Muslim)

4. Dari Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab ra, dari ayahnya dari Nabi saw, bersabda : “Sebai-baik orang adalah Abdullah, seandainya ia suka mengerjakan salat malam.” Salim berkata : “Maka sesudah itu Abdullah hanya tidur sebentar pada waktu malam.”(H.R Bukhari dan Muslim)
5. Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, ia berkata Rasulullah saw, bersabda : “Wahai Abdullah, janganlah kamu seperti si Fulan di mana dia bangun pada waktu malam, tetapi tidak mau mengerjakan salat sunnat pada waktu malam.”(H.R Bukhari dan Muslim)

6. Dari Ibnu Mas`ud ra, ia berkata : “Pernah di hadapan Nabi saw. Diceritakan tentang seseorang yang tidur pada waktu malam sampai pagi (tidak bangun pada waktu malam), kemudian beliau bersabda : “Itu adalah orang yang kedua di telinganya dikencingi oleh setan.” Atau beliau bersabda : “Di telinganya.”(H.R Bukhari dan Muslim)
7. Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda :
“Setan mengikat tengkuk kepala salah seorang di antara kalian sewaktu tidur dengan tiga ikatan. Pada masing-masing ikatan itu setan berkata : “Tidurlah lagi, malam masih panjang.” Apa bila orang itu bangun kemudian zikir kepada Allah Ta`ala maka lepaslah satu ikatan. Apabila ia berwudhu, maka lepaslah satu ikatan lagi. Dan apabila ia salat, maka lepaslah semua ikatan itu, sehingga pada waktu pagi ia akan
tangkas dan tenang jiwanya, sedang kalau tidak, maka ia akan lesu dan malas.”(H.R Bukhari dan Muslim)

8. Dari Abdullah bin Salam ra, bahwasanya Nabi saw, bersabda :
“Wahai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam, berikanlah makanan, dan salatlah kalian pada waktu mala sewaktu manusia sedang tidur, niscaya kamu sekalian akan masuk
surga dengan selamat.” (H.R Turmudzi)

9. Dari Abu Jurairah ra, ia berkata : Rasulullah saw, bersabda :
“Puasa yang paling utama selain puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram dan salat yang paling utama sesudah salat fardhu adalah salat malam (Tahajjud)(H.R
Muslim)

10. Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Nabi saw. bersabda :
“Salat malam itu dua rakaat. Apabila kamu khawatir kedahuluan Subuh ,maka witirlah dengan satu rakaat.”(H.R Bukhari dan Muslim)
11. Dari Ibnu Umar ra, ia berkata : “Adalah Nabi saw. melakukan salat malam dua rakaat dan salat witir dengan satu rakaat.”(H.R Bukhari dan Muslim)
12. Dari Anas ra, ia berkata : “Rasulullah saw, sering berbuka (tidak puasa) dalam suatu bulan, sehinggga kami menyangka beliau tidak pernah puasa dalam bulan itu, dan
beliau sering berpuasa, sehingga kami menyangka beliautidak pernah berbuka sedikitpun dalam bulan itu. Demikian pula apabila kamu melihat beliau salat pada waktu malam, niscaya kamu dapat melihatnya, dan apabila kamu ingin melihat beliau tidur niscaya kamu dapat melihatnya.”(H.R Bukhari)

13. Dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw, biasa salat sebelas rakaat pada waktu malam, di mana dalam setiap beliau sujud, lamanya kira-kira sama dengan seorang membaca lima puluh ayat, dan itu beliau belum mengangkat kepala. Beliau salat dua rakaat sebelum salat Subuh, kemudian beliau berbaring pada pinggang kanannya, sehingga muazin mengumandangkan iqamat untuk salat Subuh.”(H.R Bukhari)

14. Dari ‘Aisyah ra, ia berkata : “Rasulullah saw, tidak pernah salat malam lebih dari sebelas rakaat baik itu pada bulan Ramadhan maupun pada bulan lainnya, di mana beliau salat empat rakaat yang cukup lama dan sempurna, kemudian beliau salat empat rakaat yang sama lama dan sempurna khusuknya, kemudia beliau salat tiga rakaat. Saya
bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak tidur sebelum salat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai ‘Aisyah sesungguhnya kedua mataku terpejam, tetapi hatiku tidak
tidur.”(H.R Bukhari dan Muslim)

15. Dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw, biasa tidur pada permulaan malam dan bangun pada akhir malam, kemudian mengerjakan salat.”(H.R Bukhari dan Muslim)
16. Dari Ibnu Mas`ud ra, ia berkata : “pada suatu malam saya salat bersama-sama dengan Nabi saw, dan beliau lama sekali berdiri sehingga timbul niat yang tidak baik dalam diri saya.” Ada seorang yang menanyakan : “Niat apakah itu?” ia menjawab : “Saya bermaksud ingin duduk dan meninggalkan salat bersama beliau.”(H.R Bukhari dan Muslim)
17. Dari Hudzaifah ra, ia berkata : “Pada suatu malam saya salat dengan Nabi saw, setelah membaca Al Fatihah, beliau membaca surat Al Baqarah , dalam hati saya berkata : “mungkin beliau akan rukuk setelah mendapat seratus ayat.”
Setelah beliau mendapat seratus ayat, beliau melanjutkan bacaannya, maka dalam hati saya berkata: “Mungkin beliau akan mengkhatamkan (menghabiskan) surat Al Baqarah
dalam satu rakaat.” Selesai membaca surat Al Baqarah, dalam hati saya berkata : “Sekarang mungkin beliau akan melakukan rukuk.” Tetapi beliau mulai membaca surat An
Nisa’ dan dibacanya samapi selesai, kemudian beliau membaca surat Ali Imran dengan sangat hati-hati dan jelas.Apabila beliau membaca ayat yang di dalamnya ada perintah
tasbih, maka beliau membaca tasbih. Apabila beliau membaca ayat yang di dalamnya ada perintah untuk memohon, maka beliau memohon. Apabila beliau membaca ayat yang di
dalamnya ada perintah untuk berlindung diri, maka beliau berlindung diri. Kemudian beliau ruku dengan membaca: SUBHAANA RABBIYAL ‘AZHIIM, lamanya rukuk hampir sama
dengan lamanya berdiri. Kemudian beliau membaca :SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANAA LAKAL HAMDU. Kemudian beliau berdiri yang lamanya hampir sama dengan lamanya rukuk, kemudian sujud dan membaca : SUBHAANA RABBIYAL A’LAA. Lamanya sujud hampir sama dengan lamanya berdiri.”(H.R Muslim)

18. Dari Jabir ra, ia berkata : Rasulullah saw, pernah ditanya: “manakah yang paling utama di dalam salat?” Beliau menjawab : “Lamanya berdiri.”(H.R Muslim)
19. Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash ra, bahwasanya Rasulullah saw, bersabda : “Salat yang paling disenangi oleh Allah adalah cara salatnya Nabi Dawud, dan puasa yang paling disenangi oleh Allah adalah cara puasanya Nabi Dawud, dimana beliau tidur setengah malam dan bangun pada sepertiganya serta tidur seperenam malam, beliau puasa sehari dan berbuka sehari.” (H.R Bukhari dan Muslim)
20. Dari Jabir ra, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda : “Sesungguhnya pada waktu malam terdapat satu saat, apabila seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah Ta’ala baik berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat, niscaya Allah mengabulkan permohonannya. Dan saat yang demikian itu ada pada setiap malam.” (H.R Muslim)

21. Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw., bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan salat pada waktu malam hendaklah ia memulainya dengan dua
rakaat yang ringan. ”(H.RMuslim)
22. Dari ‘Aisyah ra, ia berkata : “Apabila Rasulullah saw, mengerjakan salat pada waktu malam, beliau memulainya dengan dua rakaat yang ringan.”( H.R Muslim)
23. Dari ‘Aisyah ra, ia berkata : “Apabila Rasulullah saw, tidak dapat mengerjakan salat pada waktu malam karena sakit atau karena sesuatu yang lain, maka beliau
mengerjakan salat sebelas rakaat pada waktu siang.”(H.R Muslim)

24. Dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : “Barangsiapa tertidur tidak mengerjakan kebiasanya atau melaksanakannya antara salat Subuh dan
Dhuhur, maka dicatatkan baginya seolah-olah ia membaca atau melaksanakannya pada waktu malam.”(H.R Muslim)
25. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : “Allah sangat mengasihani orang laki-laki yang bangun pada waktu malam, kemudian mengerjakan salat dan mau membangunkan istrinya.. Apabila istrinya enggan bangun, maka ia menyiramkan air pada muka istrinya itu.Allah sangat mengasihani seorang perempuan yang bangun
pada waktu malam, kemudian mengerjakan salat dan mau membangunkan suaminya. Apabila suaminya enggan bangun, maka ia menyiramkan air pada muka suaminya itu.”(H.R Abu
Dawud)
26. Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id ra, mereka berkata :
Rasululllah saw, bersabda : “Apabila seorang laki-laki membangunkan istrinya pada waktu malam, kemudian keduanya salat dua rakaat, maka masing-masing dicatat dalam glongan orang-orang yang selalu zikir kepada Allah
Ta’ala .”
27. Dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw, bersabda :
“Apabila salah seorang di antara kalian mengantuk dalam mengerjakan salat, maka hendaklah ia tidur sehingga rasa kantuknya hilang. Sebab, jika salat sambil mengantuk, bisa jadi ia bermaksud memohon ampun tetapi malah mengutuk

Tujuan Tasawuf adalah Mengenal Allah

Sufi Road: Tujuan Tasawuf adalah Mengenal Allah

==============
Abdur Rauf Al Singkil
Sebagai seorang Salik, ia tidak menjauh dari kehidupan sosial-masyarakat dan menyepi di bukit-bukit. gunung-gunung, dan di hutan-hutan tapi meleburkan dlri dalam aktivitas sehari-hari bersama masyarakat.

Masih banyak masyarakat yang salah dan keliru dalam melihat tasawuf. Sehingga dalam benak mereka tasawuf itu lebih identik dengan keterbelakangan, kumuh. lusuh, miskin dan semacamnya. Itu karena tasawuf hanya dipahaminya sebatas dzikir, wiridan. puasa, 'uzlah, mistis, dan irrasional. Berbeda dengan pandangan tasawuf yang dikembangkan oleh Abd Rauf al-Sinkili, yang tidak hanya berupa dan berhubungan dengan hal-hal yang kumuh tersebut. Justru tasawuf yang benar adalah yang rasional, tidak kumuh, dan penuh optimisme dalam kehidupan.
Seorang sufi, kata Abd Rauf al-Sinkili, tidak harus menjauh dari kehidupan sosial-masyarakat dan menyepi di bukit-bukit gunung-gunung, dan di hutan-hutan, tapi seharusnya meleburkan diri dalam aktivitas sehari-hari bersama masyarakat. Mengatasi problema-problema yang dihadapi masyarakat baik yang bersifat sosial, politik, budaya, ekonomi maupun agama. Seorang sufi juga tidak hams lepas dari syari'at, tapi setiap gerak gerik dan perbuatan seorang salik harus sesuai dengan syari'at yang telah ditentukan dalam al-Qur'an dan hadis.

Nama lengkapnya adalah Abd Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili. la adalah seorang ulama besar Indonesia pada abad ke-17. Syaikh Abdul Rauf dilahirkan di Kabupaten Singkel, di wilayah pantai barat-laut Aceh. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, tapi menurut Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, yang mengutip dari Ringkes, setelah mengadakan kalkulasi ke masa lalu saat kembalinya Abd Rauf dari tanah Arab, Madinah, bahwa Abd Rauf al-Sinkili dilahirkan sekitar 1024 H/1615 M., lebih 100 tahun setelah kejatuhan Malaka dari tangan Portugis.

Al-Sinkili mendapatkan pendidikan pertama-nya langsung dari ayahnya, Syaikh Ali (al-Fansuri), seorang ulama yang mempunyai madrasah di Aceh. Di Serambi Makkah ini ia juga berguru kepada beberapa ulama besarseperti Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1040 H./1630 M.).
Sementara untuk memperluas wawasan keilmuan dan pengetahuannya, al-Sinkili meninggalkan Aceh menuju Arabia seperti Yaman, Jeddah, Mekkah dan Madinah, pada 1052 H./ 1642 M. Selama 19 tahun di Arabia, ia belajar berbagai disiplin ilmu seperti syari'at fiqih. hadis, ilmu kalam dan tasawuf, tidak kurang dari 19 guru dan 27 ulama lainnya ia berguru kepada mereka yang mempunyai kontak dan hubungan pribadi. Di antara gurunya yang paling penting adalah Ibrahim ibn Abd Allah ibn Jam'an (w. 1083 H./1672 M). Kepadanya al-Sinkili mempelajari apa yang dinamakan ilmu ai-zhahir ( pengetahuan eksoteris), seperti hadis dan fiqih dan subyek-subyek lain yang terkait di Yaman.

Setelah menyelesaikan belajar di Yaman, al-Sinkili melanjutkan perjalanannya ke Jeddah, yartu ke Makkah dan terakhir ke Madinah. Di Madinah-lah al-Sinkili mendapatkan ilmu-ilmu bathin (pengetahuan esoteris). Dan, guru utamanya yang sangat mempengaruhi perjalanan spiritualnya adalah Syaikh Ahmad al-Qusyasyi. Diakuinya. bahwa karena berkat gurunya itulah dia kemudian boleh berbuat khidmat kepada tapak wali Allah yang kamil (sempuma) lagi mukamal (menyem-purnakan) (Azra.1999). Bahkan al-Qusyasyi kemudian mempercayai al-Sinkili sebagai pimpinan {khalifah) Tarekat Syathariyyah dan Qadiriyyah.

Setelah 19 tahun berada di Arabia, ia lalu memutuskan kembali ke Aceh sekitar 1661 M., yaitu setahun setelah al-Qusyasyi meninggal, dan mengajar di madrasahnya di Aceh. Banyak orang dari seluruh nusantara yang datang untuk berguru kepadanya. Di antara murid-muridnya yang menjadi ulama terkenal ialah Syaikh Burhanuddin Wafan dari Minangkabau, Abd al-Muhyi dari jawa Barat, Dawud al-Jawi al-Fansuri dan Ismail Agha Mushthafa Agha 'Ali al-Rumi dari Turki.
Sebagai ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu keagamaan, Abd Rauf telah menghasilkan berbagai karyatulis (kitab) yang cukup besar di bidang agama, antara lain: fiqih, hadis, tasawuf, dan tafsir. Sedangkan di antara karya yang dihubungkan dengan al-Sinkili dalam bidang fiqih adalah Mir 'ah at-Tullab fi TashilMa 'rifah al-Ahkam asy-Syar 'iyyah Hal-Malikal-Wahhab (Cermin para Penuntut Ilmu, untuk Memudahkan Mengetahui Hukum-hukum Syari'at Tuhan) dalam bahasa Melayu. Karya ini ditulis atas permintaan Sultan Safiyyat al-Din, yang diselesaikan pada 1074 H./ 1663 M. Isi karya ini mengungkapkan tentang aspek muamalat, fiqih, termasuk sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan umat Islam.

Prestasi lain dari al-Sinkili sebagai ulama besar, ternyata bukan hanya menulis untuk kaum Muslim awam mengenai ilmu-ilmu zahir (ibadah sehari-hari), tetapi juga untuk kalangan elit (al-khawwash) mengenai topik-topik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu batin seperti kalam dan tasawuf. Dalam bidang terakhir inilah al-Sinkili lebih dikenal luas di kawasan Melayu.
Karya-karya al-Sinkili dalam bidang tasawuf adalah lebih banyak dibandingkan dengan karya-karya yang lain. Oman Fathurrahman mencatat sebanyak23 karya khusus dalam bidang tasawuf. Di antaranya adalah Umdah al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufarridin (Pijakan bagi Orang-orang yang Menempuh Jalan Tasawuf) dalam bahasa Melayu, Tanbih al-Masi afMansub ila Tariq al-Qusyasyiyy (Pedoman bagi Orang yang Menem¬puh Tarekat al-Qusyasyiyy) dalam bahasa Arab, dan Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwah-hidin al-Qa ilin bi Wahdat al-Wujud (Bekal bagi Orang-orang yang Membutuhkan Minuman Ahli Tauhid Penganut Wahdatuf Wujud), juga dalam bahasa Melayu.

Dalam kitab Kifayat al-Muhtajib ini, af-Sinkil banyak berkomentar dan menjelaskan mengenai konsep wahdat al wujud telah diperdebatkan oleh ulama-ulama sebelumnya. Dalam konteks ini al-Sinkili mempertahankan transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya dan menolak pendapat Wujudiyyah yang menekankan imanensi Tuhan dalam ciptaan-Nya.
la berargumen, sebelum Tuhan menciptakan alam raya, Dia selalu memikirkan tentang diri-Nya sendiri, yang mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad. Dan dari Nur Muhammad itulah Tuhan menciptakan pola-pofa dasar permanen (al-a'yun al-tsabitah), potensi alam raya. yang menjadi sumber pola-pola dasar (al-a’yubn-al-kharijiyyah), ciptaan dalam bentuk konkretnya. Al-Sinkili menyimpulkan, meskipun a'yun al-kharijiyyah merupakan pancaran-bayangan dari Wujud Mutlak, untuk masalah ini mereka berbeda dari Tuhan itu sendiri.


Wujud Yang Esa
Ajaran dan wajah tasawuf al-Sinkili berpijak pada konsep ke-Esa-an Tuhan atau Wahdat al-Wujud. Dalam pandangannyabahwasatu-satunya wujud adalah Allah {la ilaha ilia Allah), tidak ada wujud selain wujud Allah. Dengan kata lain, wujud dalam pengertian hakiki hanya al-Haq, segala sesuatu selain a/-Haqt\6ak memiliki wujud. Wujud selain al-Haq, yaitu alam raya dan isinya ini misalnya, hanyalah bayangan dari al-Haq, atau bayangan dari bayangan-Nya, bukan wujud-Nya.
Dengan demikian al-Sinkili menegaskan transendensi Tuhan atas makhluk-Nya. Transen-densi di sini menurutnya, bahwa alam -termasuk manusia di dalamnya - tidak memiliki wujud tersendiri, karena ia hanya merupakan bayangan Tuhan. Kehadiran bayangan itu tergantung pada ada dan tidak adanya bayangan. Oleh sebab itu, wujud hakiki yang sebenarnya adalah sumber bayangan tersebut berikut segala sifat yang melekat padanya. Menurut al-Sinkili yang juga mengutip perkataan Ibnu 'Arabi bahwa hakikat manusia adalah bayangan Allah, tidak lain dari itu (waa'yunina finafsial¬am ri dzilluhu la ghairuhu).

Dengan pandangannya bahwa alam adalah bayangan Allah, al-Sinkili menegas¬kan jika alam ini bukan benar-benar Dzat al-Haq, karena anggapan tersebut akan mem-batalkan status al-Haq sebagai Pencipta Alam Raya. Oleh sebab itu, al-Sinkili menyatakan sangat tidak mungkin jika Sang Pencipta menciptakan Dzat-Nya sendiri secara utuh.
Pandangan al-Sinkili bahwa alam merupakan bayangan Tuhan, secara implisit merupakan jawaban atas panda¬ngan kontroversial Hamzah Fansuri yang menganut konsep wujudiyyah. dan menekankan sisi persamaan dan penyatuan antara bayangan dengan benda aslinya. Menurut Hamzah Fansuri bahwa dirinya Itu, sungguh pun mendapatkan nama dan rupa, hakikat rupa dan namanya tidak ada. Seperti bayang-bayang dalam cermin, rupanya dan namanya ada, tapi hakikatnya tidak ada. Oleh karena itu, dirinya bersama-sama dengan Tuhannya, karena dirinya tidak terpisah dengan Tuhannya, dan Tuhan pun tidak terpisah dengan hamba-Nya.

Alasan al-Sinkili atas ketidaksetujuannya terhadap pandangan Hamzah Fansuri tersebut adalah berdasarkan ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan bahwa tidak sekali pun Allah menciptakan Dzat-Nya sendiri. Melalui Nabi Muhammad SAW, Allah berkata: Qui Allahu khaliqukullisya'in (Katakanlah Hai Muhammad! Allah itu Pencipta segala sesuatu). Allah tidak mengatakan, misalnya, Qui Allahu khaliqu 'ainihi (Katakanlah! Allah adalah Pencipta Dzat-Nya sendiri).
Kalaupun ada, menurut al-Sinkili, orangyang mengatakan bahwa alam dan segala sesuatu itu adalah Dzat al-Haq, hal itu hanya berlaku pada zaman azali. Pada zaman azali itu segala sesuatu dihubungkan dengan wujud Allah, sehingga ia dapat dikatakan sebagai wujud, tapi bukan wujud
hakiki. karenayang hakiki di zaman azali pun hanya wujud Allah, yang lain hanya berada pada tingkat imkan al-wujud. yaitu kemungkinan wujud. Dengan demikian jika manusia. yang notabene bagian dari alam, benar-benar merupakan sama dan menyatu dengan Dzat Allah, seharusnya ia dapat mewujudkan apa saja yang dikehendaki dan dapat dilakukan dalam sekejap. seperti yang Allah tegaskan dalam al-Qur'an, Idza arada sya'an an yaqula lahukun fayakun (Apabila Allah menghen daki sesuatu. hanya berkata kepadanya. jadilah! Maka jadilah itu). Tapi kenyataannya manusia tidak mampu melaksanakan hal tersebut, karena kehendaknya tidak selalu seiring dengan kehendak Allah. Hal ini menjadi bukti bahwaalam, manusia, atau makhluk tidak identik dengan Allah atau al-Haq secara mutlak.

Meski begitu sebagai wujud yang tidak berdiri sendiri dan diciptakan melalui proses pemancaran (emanasi) dari Dzat Allah, maka keberadaan alam tidak berbeda secara mutlak juga dengan-Nya, karena alam bukan wujud keduayang benar-benar terpisah dari-Nya.
Al-hasil, menurutal-Sinkil, bahwa wujud alam ini tidak benar-benar berdiri sendiri, melainkah terjadi melalui pancaran, dan yang dimaksud dengan memancar adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar Dzat al-Haq - karena ia merupakan wujud baru, alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Manusia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah. Alam juga bukan Dzat al-Haq secara mutlak, melainkan sekadar bayangan-Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah Dzat Yang Esa, tidak sesuatu yang menyertai-Nya, meskipun la menyertai segala sesuatu Menuju Yang Esa.

Cara untuk menuju kepada Sang Wujud sebagai satu-satunya Wujud, menurut al-Sinkili, adalah melalui jalan tarekat. Dalam konteks tasawuf, tarekat adalah jalan bagi orang yang melakukan jalan mistis (tasawuf), jalan yang ditempuh para sufi sebagai jalan yang berpangkal dari syari'at Karena antara syari'at dan hakikat ada keterkaitan yang sangat kuat. Syari'at adalah aturan atau hukum, sedangkan tarekat merupakan cara untuk melaksanakan aturan dan hukum Allah, tempat berpijak bagi setiap Muslim.

Sedangkan tujuan akhir bagi seorang sufi atau orang yang melakukan jalan mistis adalah mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya, memperoleh cita makrifat pada alam ghaib dan mendapatkan penghayatan langsung pada Dzat Allah. Jadi, makrifat merupakan tahap akhir bagi seorang salik setelah syari'at, tarekat, dan hakikat.
Tarekat yang dipraktikkan al-Sinkili dapat dikelompokkan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah penyucian hati. Penyucian hati, sebagai tahap pertama, menurutal-Sinkili, harus ditempuh melalui sepuluh martabat, yang dalam setiap martabatnya terdiri atas sepuluh martabat, sehingga seluruhnya berjumlah seratus martabat. Seluruh martabat dimaksud pada dasarnya mengandungajaran untuk mawasdiri, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu, membersihkan hati dari ikatan dan pengaruh duniawi, serta penyera-han diri secara total kepada Allah SWT.
Dalam tahap pertama ini, al-Sinkili menekankan agar mereka yang menempuh jalan mistis menjalankan seluruh martabat tersebut, mulai dari martabat pertama, al-yaqzan (bangun atau sadar) hingga martabat terakhir, yakni martabat tawhid (mengesakan Allah). Dalam pelaksanaannya, para pelaku mistis dianjurkan untuk selalu memohon kepada Allah agar mampu melewati jalan yang sangat berat tersebut. Dan yang paling penting adalah agar mereka tidak berpaling kepada selain Allah selama menjalaninya, karena hal tersebut akan menjadi penghalang (hijab) untuk mencapai tujuan akhir yaitu makrifat.

Tahap kedua jenjang tarekat adalah konsentrasi dalam dzikir, yaitu memusatkan seluruh kesadaran dan pikiran dalam merenungkan keindahan wajah Tuhan dengan penuh kerinduan. Menurut al-Sinkili, dzikir merupakan cara paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah, paling mudah dilakukan, dan paling baik di hadapan Allah. Dzikir dianggap sebagai pintu gerbang utama untuk mencapai penghayatan makrifat pada al-Haq. Untuk itu dalam ajaran tasawuf. terutama setelah munculnya berbagai tarekat. tata cara dzikir beserta aturan-aturan wiridnya memegang peranan sentral dan menjadi ciri pembeda antara satu tarekat dengan tarekat-tarekat yang lain.
Bacaan dzikiryangdianjurkan al-Sinkili selama menjalankan jalan mistis adalah bacaan tahlil, la ilaha ilia Allah, Tidak ada Tuhan selain Allah. Bacaan ini agar diamalkan secara kontinyu dan menenggelamkan hati di dalamnya hingga merasakan manfaat dan buahnya yang tak terbatas.
Salah satu manfaat dari mengamalkan dzikir secara kontinyu, menurut al-Sinkili, adalah dapat membentuk akhlak atau moral yang baik dan menimbulkan kemuliaan. Dari manfaat yang pertama, akan lahir sifat zuhud, yakni hilangnya kecenderungan hati terhadap materi sebagai sesuatu yang bersifat nisbi, dan lenyapnya ketergantungan kepada selain Allah. Sedangkan manfaat yang kedua, akan diberkatinya berbagai kebutuhan, seperti makanan, pakaian dan lain sebagainya, sehingga yang sedikit dan sederhana pun akan selalu menjadi cukup dan penuh keberkahan dalam hidup ini.
Sedangkan tujuan tertinggi dari dzikir, menurut al-Sinkili, adalah dapat diperoleh keyakinan mutlak akan ke-Esaan Allah dan tenggelam dalam diri-Nya, sehingga wujud hamba menjadi hilang dan kembali menjadi tiada. Maka tibalah saatnya penghalang (hi/'ab) yang terbentang antara hamba dengan-Nya menjadi hilang.

Jika seorang hamba telah mampu mencapai tingkat ini, berarti ia telah sampai kepada akhir perjalanannya kepada Allah, karena berarti ia telah sampai kepada tawhid, Dzat yang merupakan tawhidtertlngg\ di antara em pat tingkatan tawhid, yaitu tawhid uluhiyyah (mengesakan ketuhanan Allah), tawhid af'aliyah (mengesakan perbuatan Allah), tawhidsifaX (mengesakan sifat-sifat Allah), dan tawhid Dzatiyah (mengesakan Dzat Allah).
Tahap yangterakhir dan merupakan tingkatan tarekat peleburan diri {fana) ke dalam Allah, yaitu proses terbentuknya tabir penyekat alam ghaib, atau proses mendapat penerangan dari yang ghaib sebagai hasil meditasi atau dzikir. Peleburan diri tersebut, menurut al-Sinkili, adalah terdiri atas beberapa tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi adalah ketika dzikir yang diucapkan telah menetap dalam hati, telah hilang dan samar, serta hamba yang mengucapkan dzikir pun tidak ingat lagi akan dzikirnya bahkan tidak ingat akan hatinya sendiri, maka itulah yang dinamakan fana'dalam arti sesungguhnya. Dalam tingkatan ini, seseorang telah benar-benar fana'dari dirinya, ia tidak merasakan lagi seluruh lahiriyah dan batiniyah panca inderanya, serta tidak merasakan segala sesuatu di sekelilingnya. la pergi menuju Tuhannya, dan kemudian berada di dalam-Nya.
Lebih jauh, al-Sinkili mengatakan bahwa fana' dalam arti sesungguhnya adalah kemampuan seorang hamba memandang bahwa Allah berada pada segala sesuatu. Fana' adalah martabat penggabungan yang tertinggi, di dalamnya tidak ada nama, tulisan, ungkapan maupun isyarat. Fana' adalah martabat orang yang mampu mendengardan memandang melalui al-Haq. Dan, fana 'tertinggi sekalipun hanya merupakan sarana dan langkah pertama menuju Allah SWT, karena setelah itu ada yang lebih diharapkan, yakni petunjuk-Nya.
Al-Sinkili meninggal dunia pada tahun 1693 di usia 73 tahun. Beliau dimakamkan di samping makam Teungku Ajong yang dianggap paling karamat di Aceh, dekat Kuala Sungai Aceh. Di Aceh ia dikenal dengan sebutan Teungku di Kuala. Berkat kemasyhurannya itu nama Abd Rauf al-Sinkili kemu-dian diabadikan menjadi sebuah nama perguruan tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala. Wallahu a'lam bi al-shawab

Q Humaidi AS: Cahaya Sufi

Aliran Kejawen dan Tarekat



Sufi Road : Aliran Kejawen dan Tarekat

===============================
Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Di Indonesia banyak sekali aliran yang bercorak kebatinan. Di antaranya tarekat dan aliran kebatinan Kejawen. Keduanya memang memiliki kesamaan, tapi di sisi lain juga berseberangan dalam banyak hal. Aliran Kejawen mengajarkan, salah satunya, tapa pendhem. Pelakunya ditanam layaknya orang meninggal. Mereka yang berhasil, konon bisa menjadi sakti, mengetahui peristiwa di tempat yang jauh, bisa menebak isi hati orang, dan Iain-Iain. Sebaliknya, aliran tarekat tidak mengajarkan kesaktian. Tarekat mengarahkan pengikutnya agar hatinya bersih, sabar, dan mencari kerelaan Tuhan semata. Jadi, meng¬ajarkan dan mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan benar, sehingga orang itu menjadi beriman dan bertaqwa kepada Allah SWI
Pertanyaan saya, pertama, seandainya ke-dua aliran tersebut dipersandingkan, apakah Kejawen yang lebih unggul daripada tarekat, atau sebaliknya? Kedua, seandainya ada pengikut aliran ta¬rekat minta agar bisa sakti, bagaimana solusi-nya? Apakah harus bergabung dengan aliran Kejawen? Apakah Kejawen itu bisa dianggap ilmu hitam? Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Bagi pengikut tarekat, karamah (yang bagi orang lain bisa saja dianggap kesaktian - Red.) bukanlah tujuan. Karamah itu, bagi para kekasih Allah, tanpa diminta pun, Allah Taala akan memberinya. Itu bukan merupakan kebanggaan. Sekali lagi, itu bukan tuju¬an bagi para waliyullah. Kalau mereka diberi kelebihan yang luar biasa sebagainana di-anugerahkan kepada Syaikh Abdul Oadir Jailani, misalnya, itu semata-mata karena kekuasaan Allah. Bahkan mereka sebenarnya malu kepada Allah SWT apabila diberi ke¬lebihan yang luar biasa.

Kalau seseorang sudah dekat dan semakin dekat dengan Allah SWT, mungkin-kah ada ilmu yang bisa mengalahkan orang yang dekat kepada Sang Pencipta? Kami tidak bermak-sud mengatakan bahwa ilmu yang dipelajari dan di-amalkan dalam aliran Kejawen itu lebih rendah, tidak sama sekali. Tapi, sekali lagi, apakah orang yang sudah dekat benar kepada Allah SWT bisa dikalahkan?
Namun, ingat, orang yang tidak mempan ditembak atau dibacok itu belum tentu orang yang selalu melakukan pendekatan kepada Allah. Sebab, itu terkadang bisa menimbulkan kesombongan dan berakibat menjauhkan dirinya dari Allah SWT. Terkecuali orang-orang yang makrifatnya tinggi. Dia akan lebih memahami makna dan rahasia kebesaran ayat-ayat Allah. Jadi semua itu tergantung pada manusianya.
Tidak semua ilmu Kejawen itu beraliran hitam. Perlu diketahui, ilmu Kejawen dirintis oleh tokoh-tokoh ulama pada zaman Wall Sembilan dulu dan para ulama sesudahnya. Mereka itu mencari jalan untuk menerjemah-kan kitab-kitab fiqih dan kitab-kitab tasawuf, khususnya ke dalam bahasa Jawa. Maka kitab itu disebut kitab Kejawen, karena per alihan bahasa dari bahasa Arab ke dalam bahasa Jawa, baik yang Kawi maupun krama inggil. Misalnya,, kitab karya Kial Saleh Darat Semarang. Kitab Majmu' dan kitab Munjiyat, misalnya, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, sehingga sering disa-ahsangkai, disebut kitab Kejawen.
Penerjemahan kitab-kitab itu bermaksud memberi jembatan (pada waktu itu) bagi penganut agama pada waktu itu (zaman Wali Sembilan atau sesu¬dahnya) untuk memudah-kan memahami agama yang baru, yaitu Islam, dari agama sebelumnya. Para au/iya itu memberikan warna tersendiri dalam dunia ta¬sawuf, dan dari situlah muncul Kejawen. Misalkan orang bertapa, dalam Islam bertapa ini kemudian diganti de¬ngan khalwat, menyendiri. Dalam khalwatnya mereka selalu menjaga wudhu, dan tidak boleh melepaskan dzikir kepada Allah SWT.
Memang ada ilmu Keja¬wen yang bertujuan semata-mata mencari kesaktian,termasuk untuk pengobatan dan sebagainya. Ada pula ilmu Kejawen yang tumbuh terlepas dari ajaran Islam. Nah, dari sinilah kita harus pandai-pandai memilah da¬lam masalah ini.
Seperti contoh tapa pendhem, itu tidak ada di dalam Islam. Begitu juga dalam tarekat. Dalam Islam sudah ada aturan untuk puasa atau shiyam, yaitu puasa tidak makan dan minum serta tidak berhubungan suami-istri dari subuh hingga maghrib. Karena itu, kalau ada yang berkata bahwa tapa pen¬dhem dipercayai akan memberikan kesak¬tian, kita sebagai kaum muslim patut berhati-hati. Bisa-bisa itu adalah ulah setan. Jika kita percaya kepada kepercayaan semacam itu, dikhawatirkan kita akan jatuh pada kesyirikan.

Hati Sumber Cahaya

Al Hikam : Hati Sumber Cahaya

==============================

Dalam tulisannya mengenai hati, Syaikh Ahmad Ibn'Athaillah mengatakan bahwa "Tempat terbitnya berbagai cahaya itu adalah hati dan rahasia-rahasianya".

Cahaya ilmu, cahaya ma'rifat dan cahaya tauhid tempat terbit dan memancarnya ada di dalam hati orang-orang yang ma'rifat dan di dalam rahasia-rahasia mereka (di dalam jiwa mereka). Cahaya-cahaya ini merupakan cahaya yang hakiki karena lebih kuat daya pancarnya daripada cahaya yang terpancar dari berbagai macam bintang.

Rasulullah saw. telah bersabda di dalam menceritakan firman Allah :
"Tidak akan memuat Aku bumi-Ku dan langit-Ku, dan bisa memuat Aku hati hamba-Ku yang beriman".

Sebagian orang-orang ma'rifat berkata : "Seandainya Allah menyingkap tempat terbit cahaya hati orang-orang yang menjadi kekasih-Nya, niscaya terlipatlah cahaya matahari dan bulan karena kuatnya cahaya hati mereka".

Asy Syadzili berkata : "Seandainya disingkap cahaya orang mukmin yang maksiat, pasti akan memenuhi seluruh langit dan bumi. Maka bagaimanakah perkiraanmu mengenai cahaya orang mukmin yang ta'at ?". Ketahuilah bahwa cahaya bulan dan matahari masih bisa terkena gerhana dan bisa terbenam. Akan tetapi cahaya hati kekasih Allah tidak mengenal adanya gerhana dan terbenam.Oleh sebab itu Syaikh Ahmad bin 'Athaillah selanjutnya berkata :
"Cahaya yang tersimpan di dalam hati sumbernya dari cahaya yang dating langsung dari berbagai gudang kegaiban".

Cahaya keyakinan yang tersimpan di dalam hati terus bertambah-tambah sinarnya yang bersumber dari cahaya yang datang dari perbendaharaan gaib.
Yaitu berupa cahaya sifat=sifat azali. Apabila Allah telah membuka sifat-sifatNya, maka bertambah-tambahlah cahaya itu yang dihasilkan dari hati para kekasih Allah. Yang demikian itu merupakan suatu petunjuk bahwa Allah telah memberi pertolongan kepada mereka.

Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata:

"Cahaya yang diperoleh dengan panca indera bisa membuka kepadamu akan semua keadaan yang terjadi (benda-benda di alam ini), sedang cahaya yang tersimpan di dalam hati bisa membuka kepadamu akan sifat-sifat Allah yang azali".

Cahaya itu ada dua macam, yaitu :

1. Cahaya yang diperoleh dengan panca indera dengan adanya sinar matahari. Maka cahaya ini bisa memperlihatkan barang-barang yang ada di alam raya dan bermacam-macam kedaan manusia. Cahaya ini bukan yang menjadi perhatian orang-orang ahli hakekat, melainkan hanya sebagai petunjuk adanya Allah Yang Maha Pencipta.

2. Cahaya yang tersimpan dalam hati yang disebut sebagai cahaya keyakinan. Cahaya inilah yang bisa membuka sifat-sifat Allah yang azali sehingga menjadi nyata dan terang. Dengan cahaya hati ini
benar-benar oarng menjadi ma'rifat kepada Allah.
Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :
"Terkadang hati terhenti bersama-sama dengan cahaya, sebagaimana terhalangnya nafsu sebab tebalnya benda-benda (syahwat)".

Penghalang hati untuk menuju kepada Allah itu ada dua macam, yaitu :

1. Nurani, yang berupa bermacam-macam ilmu dan ma'rifat. Apabila hati berhenti padanya dan cenderung kepadanya sehingga ilmu dan ma'rifat itu dijadikan pokok tujuannya, maka dia akan terhalang untuk menuju kepada Allah.

2. Zhulmani (kegelapan), yang berupa bermacam-macam keinginan nafsu dan kebiasaan-kebiasaanya. Karena hati masih terpengaruh oleh keinginan-keinginan nafsu inilah maka dia menjadi terhalang untuk
menuju kepada Allah.

Maka hati bisa terhalang oleh berbagai macam cahaya sebagaimana nafsu bias terhalang oleh berbagai kegelapan. Sedang Allah berda di belakang itu semua.

Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata :

"Allah menutupi cahaya hati dengan bermacam-macam keadaan lahiriyah karena memuliakannya untuk (tidak) diberikan secara terang atau (khawatir) untuk dipanggil atasannya dengan lisan kemasyhuran".

Allah menutup hati para kekasih-Nya (para wali) sebagai rahmat-Nya kepada sekalian orang-orang yang beriman. Sebab jikalau rahasia kewalian itu terbuka kepada seseorang, pasti akan mewajibkan orang yang sudah terlahir kewaliannya.

---------------------------------------------------------------------
Syaikh Ahmad Ibn' Atahaillah dalam "Al-Hikam" Al -Ustadz Mahfudli Shaly

Aqidah Kaum Sufi Oleh Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

Aqidah Kaum Sufi

=====================
Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani
===================
Perlu anda ketahui, wahai saudaraku, kaum sufi telah sepakat bahwa Allah Swt. adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tiada duanya, bersih dari teman (istri) dan anak, Mahadiraja yang tiada sekutu, Sang Pencipta yang tidak ada pengatur lain bersamanya, ada (wujud) dengan Dzat-Nya tanpa membutuhkan Pencipta yang mewujudkan-Nya, akan tetapi justru segala yang diwujudkan ini butuh kepada-Nya. Maka seluruh alam ini wujud karena-Nya, sedangkan Allah Swt. wujud dengan Dzat-Nya sendiri, tidak ada permulaan bagi wujud-Nya dan tidak ada akhir dalam kekekalan-Nya, akan tetapi wujud-Nya secara mutlak yang terus-menerus berbuat dengan sendiri-Nya. Dia bukanlah jauhar yang bisa diukur dengan tempat, dan juga bukan ‘aradh yang mustahil untuk bisa tinggal, bukan pula jisim yang memerlukan arah. Dia Mahasuci dari segala arah dan wilayah, hanya bisa dilihat oleh mata kalbu, istiwa’ di ‘arasy-Nya sebagaimana yang difirmankan dan sesuai dengan apa yang dimaksudkan, sebagaimana juga ‘arasy-Nya dan apa yang dimuatnya mencakup dunia dan akhirat, tidak memiliki persamaan yang bisa dirasionalkan dan ditunjukkan oleh akal, tidak terbatas oleh waktu dan tidak termuat oleh tempat. Dia sekarang sebagaimana semula. Dialah yang menciptakan apa yang bisa bertempat dan juga tempatnya. Dialah yang menciptakan masa dan yang berfirman: “Akulah Dzat Yang Mahatunggal.

Yang Mahahidup, Yang tidak merasa berat untuk menjaga dan memelihara makhlukNya. Tidak memiliki sifat yang sebelumnya tidak ada, sebagaimana sifat makhluk. Dia Mahasuci untuk ditempati oleh barang baru (makhluk) atau bertempat pada barang baru, atau makhluk ada sebelum-Nya atau Dia ada sebelum makhluk. Akan tetapi hanya bisa dikatakan bahwa Dia ada, dan tidak ada sesuatu pun bersama-Nya. Sebab sebelum dan sesudah adalah suatu ungkapan yang menunjukkan waktu yang juga merupakan makhluk yang Dia ciptakan. Maka kita tidak boleh mengatakan kepada-Nya sesuatu yang Dia sendiri tidak mengatakan untuk Diri-Nya. Sebab Dia telah mengatakan untuk Diri-Nya sendiri, “Mahaawal dan Mahaakhir,” dan bukan “sebelum dan sesudah.”

Dialah Yang Maha menjaga dan melakukan segala-galanya, yang tidak pernah tidur dan kantuk, Maha memaksa yang tidak bisa ditandingi. “Tidak ada sesuatu pun seperti Dia, dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat.” (Q.S. asy-Syura:11).

Dialah yang menciptakan ‘arasy dan dijadikan sebagai batas istiwa’ (sebagaimana yang Dia kehendaki), Dialah yang menciptakan Kursi yang luasnya cukup untuk bumi dan langit, menciptakan Lauh Mahfuzh dan al-Qalam (pena) yang tinggi, Dia lakukan sebagai pencatat pada makhluk sampai Hari Kiamat dan keputusan dilaksanakan. Dia menciptakan seluruh alam tanpa ada contoh sebelumnya, menciptakan makhluk dari apa yang diciptakan mereka. Dia memberi ruh pada jasad sebagai pengaman, Dia menjadikan jasad yang diberi ruh ini sebagai khalifah di bumi, lalu Dia menundukkan seluruh apa yang ada di langit dan di bumi untuknya. Maka tidak ada yang bisa bergerak sekalipun hanya seberat atom kecuali karena-Nya dan dengan-Nya. Dia menciptakan semua itu tanpa pamrih dan tak ada yang mengharuskanNya untuk menciptakan. Akan tetapi Ilmu-Nya tentang hal itu lebih dahulu, sehingga Dia menciptakan apa yang hendak Dia ciptakan.

Dia Mahaawal dan Mahaakhir, Dia Mahalahir dan Mahabatin, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia sangat memahami dan mengetahui segala sesuatu, Dia sanggup menghitung segala sesuatu dengan jumlah yang benar. Dia Mahatahu apa yang rahasia dan yang lebih rahasia, Dia mengetahui apa yang tidak sanggup dilihat oleh mata secara benar dan apa yang dirahasiakan oleh kalbu. Bagaimana mungkin Dia tidak tahu apa yang Dia ciptakan sendiri, “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui [apa yang kamu lahirkan dan rahasiakan]; dan Dia Maha Halus lagi Maha mengetahui?” (Q.S. al-Mulk: 14).


Dia telah tahu segala sesuatu sebelum terwujud, kemudian Dia mewujudkannya sesuai dengan apa yang Dia ketahui. Dia senantiasa tahu tentang segala sesuatu, sementara Ilmu-Nya tidak akan bertambah (baru) ketika terjadi sesuatu yang baru dalam lingkup Ilmu-Nya. Dia menciptakan segala sesuatu secara cermat dan kokoh, Dia Mahatahu secara global dan terinci dengan mutlak. Dialah Yang Maha mengetahui hal yang gaib dan yang bisa disaksikan oleh mata, maka Mahasuci Allah dan segala apa yang disekutukan oleh orang-orang musyrik. Dia Maha melakukan terhadap apa yang Dia kehendaki. Dialah yang berkehendak untuk menciptakan apa yang terwujud di alam bumi dan langit, dimana Kekuasaan-Nya tidak bergantung dengan mewujudkan sesuatu sehingga Dia menghendakinya, sebagaimana Dia tidak akan menghendaki sesuatu sehingga Dia mengetahui. Sebab sangat mustahil Allah Swt. menghendaki sesuatu yang Dia tidak mengetahuinya, atau melakukan perbuatan yang tidak Dia kehendaki, sedangkan Dia berbuat secara bebas dan atas pilihan-Nya sendiri. Juga sangat mustahil semua kenyataan ini terwujud bukan dan Dzat Yang Mahahidup. Demikian pula akan mustahil sifat-sifat ini ada tanpa Dzat yang diberi sifat.

Maka tidak ada apa pun dalam wujud ini baik taat maupun durhaka, untung maupun rugi, merdeka maupun hamba, dingin maupun panas, hidup maupun mati, berhasil maupun gagal, siang maupun malam, lurus maupun bengkok, daratan maupun lautan, genap maupun ganjil, jauhar maupun ‘aradh, sehat maupun sakit, senang maupun susah, jasad maupun ruh, gelap maupun terang, bumi maupun langit, banyak maupun sedikit, pagi maupun sore, putih maupun hitam, sadar maupun tidur, lahir maupun batin, bergerak maupun berhenti, kering maupun basah, kulit maupun isi, baik yang berlawanan maupun yang sepadan dan mirip kecuali semuanya dikehendaki oleh Allah Swt. Lalu bagaimana tidak dikehendaki-Nya sedangkan Dia yang menciptakan? Lalu bagaimana Dia yang punya kebebasan dalam mewujudkan segala sesuatu akan menciptakan sesuatu yang bukan atas Kehendak-Nya, dimana tidak ada yang bisa menolak apa yang menjadi amarNya, tidak ada yang menuntut dan menilai kebijakan hukumNya. Dia akan memberi kekuasaan kepada orang yang Dia kehendaki dan akan mencabutnya kembali dari orang yang Dia kehendaki pula, Dia akan mengangkat derajat orang yang Dia kehendaki dan akan rnerendahkan orang yang Dia kehendaki, Dia akan menyesatkan dan memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki. Apa yang Allah kehendaki akan terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki maka tidak akan terwujud.

Yang Mahahidup, Yang tidak merasa berat untuk menjaga dan memelihara makhlukNya. Tidak memiliki sifat yang sebelumnya tidak ada, sebagaimana sifat makhluk. Dia Mahasuci untuk ditempati oleh barang baru (makhluk) atau bertempat pada barang baru, atau makhluk ada sebelum-Nya atau Dia ada sebelum makhluk. Akan tetapi hanya bisa dikatakan bahwa Dia ada, dan tidak ada sesuatu pun bersama-Nya. Sebab sebelum dan sesudah adalah suatu ungkapan yang menunjukkan waktu yang juga merupakan makhluk yang Dia ciptakan. Maka kita tidak boleh mengatakan kepada-Nya sesuatu yang Dia sendiri tidak mengatakan untuk Diri-Nya. Sebab Dia telah mengatakan untuk Diri-Nya sendiri, “Mahaawal dan Mahaakhir,” dan bukan “sebelum dan sesudah.”

Dialah Yang Maha menjaga dan melakukan segala-galanya, yang tidak pernah tidur dan kantuk, Maha memaksa yang tidak bisa ditandingi. “Tidak ada sesuatu pun seperti Dia, dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat.” (Q.S. asy-Syura:11).

Dialah yang menciptakan ‘arasy dan dijadikan sebagai batas istiwa’ (sebagaimana yang Dia kehendaki), Dialah yang menciptakan Kursi yang luasnya cukup untuk bumi dan langit, menciptakan Lauh Mahfuzh dan al-Qalam (pena) yang tinggi, Dia lakukan sebagai pencatat pada makhluk sampai Hari Kiamat dan keputusan dilaksanakan. Dia menciptakan seluruh alam tanpa ada contoh sebelumnya, menciptakan makhluk dari apa yang diciptakan mereka. Dia memberi ruh pada jasad sebagai pengaman, Dia menjadikan jasad yang diberi ruh ini sebagai khalifah di bumi, lalu Dia menundukkan seluruh apa yang ada di langit dan di bumi untuknya. Maka tidak ada yang bisa bergerak sekalipun hanya seberat atom kecuali karena-Nya dan dengan-Nya. Dia menciptakan semua itu tanpa pamrih dan tak ada yang mengharuskanNya untuk menciptakan. Akan tetapi Ilmu-Nya tentang hal itu lebih dahulu, sehingga Dia menciptakan apa yang hendak Dia ciptakan.

Dia Mahaawal dan Mahaakhir, Dia Mahalahir dan Mahabatin, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia sangat memahami dan mengetahui segala sesuatu, Dia sanggup menghitung segala sesuatu dengan jumlah yang benar. Dia Mahatahu apa yang rahasia dan yang lebih rahasia, Dia mengetahui apa yang tidak sanggup dilihat oleh mata secara benar dan apa yang dirahasiakan oleh kalbu. Bagaimana mungkin Dia tidak tahu apa yang Dia ciptakan sendiri, “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui [apa yang kamu lahirkan dan rahasiakan]; dan Dia Maha Halus lagi Maha mengetahui?” (Q.S. al-Mulk: 14).

Dia telah tahu segala sesuatu sebelum terwujud, kemudian Dia mewujudkannya sesuai dengan apa yang Dia ketahui. Dia senantiasa tahu tentang segala sesuatu, sementara Ilmu-Nya tidak akan bertambah (baru) ketika terjadi sesuatu yang baru dalam lingkup Ilmu-Nya. Dia menciptakan segala sesuatu secara cermat dan kokoh, Dia Mahatahu secara global dan terinci dengan mutlak. Dialah Yang Maha mengetahui hal yang gaib dan yang bisa disaksikan oleh mata, maka Mahasuci Allah dan segala apa yang disekutukan oleh orang-orang musyrik. Dia Maha melakukan terhadap apa yang Dia kehendaki. Dialah yang berkehendak untuk menciptakan apa yang terwujud di alam bumi dan langit, dimana Kekuasaan-Nya tidak bergantung dengan mewujudkan sesuatu sehingga Dia menghendakinya, sebagaimana Dia tidak akan menghendaki sesuatu sehingga Dia mengetahui. Sebab sangat mustahil Allah Swt. menghendaki sesuatu yang Dia tidak mengetahuinya, atau melakukan perbuatan yang tidak Dia kehendaki, sedangkan Dia berbuat secara bebas dan atas pilihan-Nya sendiri. Juga sangat mustahil semua kenyataan ini terwujud bukan dan Dzat Yang Mahahidup. Demikian pula akan mustahil sifat-sifat ini ada tanpa Dzat yang diberi sifat.

Maka tidak ada apa pun dalam wujud ini baik taat maupun durhaka, untung maupun rugi, merdeka maupun hamba, dingin maupun panas, hidup maupun mati, berhasil maupun gagal, siang maupun malam, lurus maupun bengkok, daratan maupun lautan, genap maupun ganjil, jauhar maupun ‘aradh, sehat maupun sakit, senang maupun susah, jasad maupun ruh, gelap maupun terang, bumi maupun langit, banyak maupun sedikit, pagi maupun sore, putih maupun hitam, sadar maupun tidur, lahir maupun batin, bergerak maupun berhenti, kering maupun basah, kulit maupun isi, baik yang berlawanan maupun yang sepadan dan mirip kecuali semuanya dikehendaki oleh Allah Swt. Lalu bagaimana tidak dikehendaki-Nya sedangkan Dia yang menciptakan? Lalu bagaimana Dia yang punya kebebasan dalam mewujudkan segala sesuatu akan menciptakan sesuatu yang bukan atas Kehendak-Nya, dimana tidak ada yang bisa menolak apa yang menjadi amarNya, tidak ada yang menuntut dan menilai kebijakan hukumNya. Dia akan memberi kekuasaan kepada orang yang Dia kehendaki dan akan mencabutnya kembali dari orang yang Dia kehendaki pula, Dia akan mengangkat derajat orang yang Dia kehendaki dan akan rnerendahkan orang yang Dia kehendaki, Dia akan menyesatkan dan memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki. Apa yang Allah kehendaki akan terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki maka tidak akan terwujud.

www.sufinews.com

Mengirim Pahala dan Bacaan Kepada Mayyit



Habib Mundir Al Musawa
Mengirim Pahala dan Bacaan Kepada Mayyit
===============================

1.Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan

نيملسملا نيب فلخ لب اهب عفتنيو تيملا ىلا لصت ةقدصلا ناف امهنع قدصتيلف هيدلاو رب دارأ نمهيقفلا ىرصبلا ىدرواملا نسحلا وبأ ةاضقلا ىضقأ هاكح ام امأو باوصلا وه اذهوبهذم وهف باوث هتوم دعب هقحلي ل تيملا نأ نم ملكلا باحصأ ضعب نع ىواحلا هباتك ىف ىعفاشلاهيلع جيرعت لو هيلا تافتلا لف ةملا عامجاو ةنسلاو باتكلا صوصنل فلاخم نيب أطخو ايعطق لطابناك اذا لا تيملا ىلا اهباوث لصي ل هنأ ءاملعلا ريهامجو ىعفاشلا بهذمف موصلاولصلا امأو
هنع امهرهشأ ىعفاشلل نيلوق هيف ناف يلولا هل نذأ نم وأ هيلو هنع هاضقف تيملىلع ابجاو موصلانا مايصلا باتك ىف ةلأسملا ىتأتسو حصي هنأ هباحصأ ىرخأتم ىققحم مث امهحصأوحلصي ل هنألاقو تيملا ىلا اهباوث لصي ل هنأ ىعفاشلا بهذم نم روهشملاف نآرقلا ةءارق امأوىلاعت للا ءاشعيمج باوث تيملا ىلا لصي هنأ ىلا ءاملعلا نم تاعامج بهذو تيملا ىلا اهباوث لصيهباحصأ ضعبرذن هيلعو تام نم باب ىف ىراخبلا حيحص ىفو كلذ ريغو ةءارقلاو موصلاو ةلصلا نم تادابعلانب ءاطع نع ىواحلا بحاص ىكحو اهنع ىلصت نأ ةلص اهيلعو اهمأ تتام نم رمأ رمع نبا نأنب للا دبع دعس وبأ خيشلا لاقو تيملا نع ةلصلا زاوجب لاق امهنأ هيوهار نب قاحساو حابر ىبألاقو اذه رايتخا ىلا راصتنلا هباتك ىف نيرخأتملا انباحصأ نم نورصع ىبأ نب للا ةبه نب دمحمماعط نم دم ةلص لك نع معطي نأ دعبي ل بيذهتلا هباتك ىف انباحصأ نم ىوغبلا دمحم وبأ ماملا
لصت اهناف جحلاو ةقدصلاو ءاعدلا ىلع سايقلا مهليلدو لامك هنذإ هذه لك

Berkata Imam Nawawi : “Barangsiapa yang ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada
ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa – apa yang diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yang hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yang mengingkari nash – nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.

Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yang wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yang diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yang lebih masyhur hal ini tak sampai, namun pendapat kedua yang lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari sahabat sahabat Syafii yang mengatakannya sampai, dan sebagian besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yang lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yang wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yang wafat ibunya yang masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar (meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit, Telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yang muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yang tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist - hadits shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yang sepakat para ulama. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal90)
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat,dan yang lebih masyhur adalah yang mengatakan tak sampai, namun yang lebih shahih mengatakannya sampai, tentunya kita mesti memilih yang lebih shahih, bukan yang lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yang shahih adalah yang mengatakan sampai, walaupun yang masyhur mengatakan tak sampai, berarti yang masyhur itu dhoif,dan yang shahih adalah yang mengatakan sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa sebagian besar ulama mengatakan semua amal apahal sampai.
Inilah liciknya orang – orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambal”, merekamenggunting – gunting ucapan para Imam lalu ditampilkan di web – web, inilah bukti kelicikan mereka, Saya akan buktikan kelicikan mereka:

Lalu berkata pula Imam Nawawi
:لوصو ىلع اوعمجأ اذكو ءاملعلا عامجاب كلذك وهو اهباوث هلصيو تيملا عفنت تيملا نع ةقدصلا نأاذكو ملسلا جح ناك اذا تيملا نع جحلا حصيو عيمجلا يف ةدراولا صوصنلاب نيدلا ءاضقو ءاعدلاحجارلاف موص هيلعو تام اذا موصل يف ءاملعلا فلتخاو اندنع حصلأا ىلع عوطتلا جحب ىصو اذالاقو اهباوث هلصي ل نآرقلا ةءارق نأ انبهذم يف روهشملاو ،هيف ةحيحصلا ثيداحلأل هنع هزاوجبنح نب دمحأ لاق هبو اهباوث هلصي انباحصأ نم ةعامج

“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit
dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para
ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa – doa, dan pembayaran
hutang (untuk mayyit) dengan nash – nash yang teriwayatkan masing masing, dan sah
pula haji untuk mayyit bila haji muslim,

Demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yang sunnah, demikianpendapat yang lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat paraulama mengenai puasa, dan yang lebih benar adalah yang membolehkannya sebagaimana hadits – hadits shahih yang menjelaskannya, dan yang masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yang membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 7 hal 90).

Dan dijelaskan pula dalam Almughniy

:ثلثو يسركلا ةيآ اوؤرقا رباقملا متلخد اذإ لاق هنأدمحأ نع يور دقو ربقلا مث ةءارقلاب سأب لومث ةءارقلا لاق هنأ هنع يورو ،رباقملا لهلأ هلضف نإ مهللا لاق مث صلخلا دحأ للا وه لق رارمنع هب نابأ اعوجر عجر مث ةعامج دمحأ نع كلذ لقن ركب وبأ لاق ميشه نع كلذ يورو ةعدب ربقلاهل لاقف ةعدب ربقلا مث ةءارقلا نإ هل لاقو ربقلا مث أرقي نأ اريرض ىهن دمحأ نأ ةعامج ىورف هسفنهيبأ نع رشبم ينربخأف لاق ةقث لاق اذهلف رشبم يف لوقت ام للا دبع ابأ اي يرهوجلا ةمادق نب دمحمدمحأ لاق كلذب يصوي رمع نبا تعمس لاقو اهتمتاخو ةرقبلا ةحتافب هدنع أرقي نفد اذإ ىصوأ هنأرقي لجرلل لقف عجراف لبنح نب
“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari
Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat Alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalukatakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.

Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai AbuAbdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya),
maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku
dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan
bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakan pada
orang yang tadi ku larang membaca Alqur’an dikuburan agar ia terus membacanya
lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225)

Dan dikatakan dalam Syarh Al Kanz :
وأ ةقدص وأ اجح وأ اموص وأ ناك ةلص هريغل هلمع باوث لعجي نأ ناسنلإل نإ زنكلا حرش يف لاقوروهشملاو ىهتنا ةنسلا لهأ مث هعفنيو ،تيملا ىلإ كلذ لصيو ربلا عاونأ عيمج نم كلذ نآرق ةءارقنب دمحأ بهذو نآرقلا ةءارق باوث تيملا ىلإ لصي ل هنأ هباحصأ نم ةعامجو يعفاشلا بهذم نمراكذلأا يف يوونلا هركذ اذك لصي هنأ ىلإ يعفاشلا باحصأ نم ةعامجو ءاملعلا نم ةعامجو لبنحراتخملاو روهشملا ىلع ةءارقلا باوث اندنع تيملا ىلإ لصي ل يوحنلا نبل جاهنملا حرش يفوامب تيملل ءاعدلا زاج اذإف ءاعد هنلأ هب مزجلا يغبنيو هتءارق باوث لاصيإ للا لأس اذإ لوصولاىنعملا اذهو ءاعدلا ةباجتسا ىلع افوقوم هيف رملأا ىقبيو ىلوأ هل وه امب زوجي نلأف يعادلل سيليحلاو تيملا عفني هنأ هيلع قفتم ءاعدلا نأ رهاظلاو لامعلأا رئاس يف يرجي لب ةءارقلاب صتخي لريثك ثيداحأ كلذ ىلعو اهريغو ةيصوب ديعبلاو بيرقلا

“dijelaskan pada syarah Al Kanz, Sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala
amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan
Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah
disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.

Namun hal yang terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala
pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin Hanbal, dan kelompok
besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya
sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
Dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan
Alqur’an dalam pendapat kami yang masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
Dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa
tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal
yang lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal, dan doa itu sudah Muttafaq alaih (takada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yang hidup,keluarga dekat atau yang jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini denganhadits yang sangat banyak”.(Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil ImamNawawiy Juz 15 hal 522).

Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yang mengatakan pengiriman
amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yang mengatakan bahwa pengiriman
bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah
untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.

Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maaqaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa – apa
yang kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan
seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yang mengingkarinya dan tak adapula yang
mengatakannya tak sampai.

Kita ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari, saya
mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari. Bila saya berbicara fatwa Imam Nawawi,
saya mempunyai sanad guru kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara fatwa Imam Syafii,
maka saya mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii.

Demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita tidak bersanad kepada buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja dibantu oleh buku – buku, namun acuan utama adalah pada guru yang mempunyai sanad.Kasihan mereka mereka yang keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku, agama mereka sebatas buku – buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah pada buku – buku.

Jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam Nawawi, Imam Nawawi
bertawassul pada Nabi saw, Imam Nawawi mengagungkan Rasul saw, beliau membuat shalawat yg dipenuhi salam pada Nabi Muhammad saw, ia memperbolehkan tabarruk dan
ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah waljamaah.

Sabda Rasulullah saw : “Sungguh sebesar - besar kejahatan muslimin pada muslimin
lainnya, adalah yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas mereka karena pertanyaannya” (Shahih Muslim hadits No.2358, dan juga teriwayatkan pada Shahih Bukhari).

Hikmah Kesengsaraan


Rumi : Hikmah Kesengsaraan

===========================
Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat- loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan :
merintih terus-menerus tiada henti.

"Mengapa engkau letakkan api di bawahku ?
Engkau membeliku: Mengapa kini kausiksa aku seperti ini ?"
Sang isteri memukulnya dengan penyendok
"Sekarang," katanya "jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.

Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencianku ;
sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup; kesengsaraan bukanlah penghinaan
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air
minum itu demi api ini.

Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada kemurkaan-Nya, tujuannya bahwa dengan
kasih-Nya engkau dapat menderita kesengsaraan.

Kasih-Nya yang mendahului kemurkaan-Nya itu
supaya sumber penghidupan, yang ada, dapat dihasilkan;
Bahkan kemudian Tuhan Yang Maha Agung membenarkannya, berfirman, "Sekarang
engkau telah tercuci bersih dan keluarlah dari sungai."
Teruslah, wahai buncis, terebus dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun diri
tak tersisa padamu lagi.

Jika engkau telah terputus dari taman bumi, engkau akan menjadi makanan
dalam mulut dan masuk ke kehidupan.

Jadilah gizi, energi, dan pikiran ! Engkau menjadi air bersusu : Kini
jadilah singa hutan !
Awalnya engkau tumbuh dari Sifat-sifat Tuhan;
kembalilah kepada Sifat-sifat-Nya !
Engkau menjadi bagian dari awan, matahari dan bintang-bintang ; Engkau 'kan
menjadi jiwa, perbuatan, perkataan, dan pikiran.
Kehidupan binatang muncul dari kematian tetumbuhan: maka perintah, 'bunuhlah
aku, wahai para teman setia', adalah benar.

Lantaran kemenangan menanti setelah mati, kata- kata, 'Lihatlah, karena
dibunuh aku hidup,' adalah benar."

Syafaat, Tawasul, dan Tabaruk

Sufi Road : Tabaruk
========================


Syafaat, Tawasul, dan Tabaruk Syeikh Muhammad Hisyam Kabbani

Melanjutkan kisah-kisah dari sahabat dan Rasulullah yang mengajarkan dan membolehkan tabaruk dengan benda-benda peninggalan Rasulullah. ini adalah dasar bagi kita untuk juga mengambil berkah dengan para wali-wali Allah dan orang-orang soleh.
Berikut adalah tabaruk dengan Tempat Salat Nabi saw, tabaruk dengan Makam Nabi, tabaruk dengan Jubah Nabi , Benda-Benda, Tempat, dan Orang-Orang yang Pernah Disentuh Nabi saw, Tangan dan Kaki Nabi, Tempat-Tempat yang Dikunjungi Nabi,Makanan Nabi saw, terompah nabi.

1. Tabaruk dengan Tempat Salat Nabi saw.
Selanjutnya, ada beberapa riwayat tentang bertabaruk meialui tempat salat (mushalla) Nabi saw. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Utbah ibn Mali, scorang sahabat yang ikut Perang Badr, keitika matanya tak bisa melihat, berkata kepada Nabi saw., "Aku berharap kiranya engkau salat di rumahku agar aku dapat salat di tempat engkau salat." Nabi saw. datang ke rumahnya dan bertanya di mana beliau harus salat. Utbah menunjukkan tempat kepada Nabi saw. dan beliau salat di tempat itu. Dalam riwayat Muslim disebutkan, "Aku (Utbah) mengirim pesan kepada Nabi saw.: 'Datanglah dan berikan kepadaku tempat untuk beribadah, Imam al-Nawawi berkata, "Artinya, buatlah tanda bagiku yang dapat kujadikan sebagai tempat beribadah untuk mendapatkan keberkahan karena engkau pernah berada di tempat itu. Dalam hadis ini terdapat dalil untuk mencari keberkahan melalui benda-benda peninggalan para wali (al-tabarruk bi atsar al-shalihin)"

Karena takut akan menumbuhkan kemusyrikan, Umar menebang pohon baya'h yang sering dipergunakan sebagai tempat salat. Tetapi, diketahui bahwa Ibn Umar mencari keberkahan bahkan dengan berjalan menyusuri tempat yang pernah dilewati Nabi saw. serta mendirikan salat persis di tempat Nabi saw. salat di Ka'bah dan di tengah perjalanan beliau. Bahkan, dikisahkan bahwa ia pun menyirami bebcrapa pohon yang di bawahnya Nabi saw. pernah mendirikan salat agar pohon itu lidak mati.

2. Tabaruk dengan Makam Nabi saw.
Dawud ibn Shalih berkata, "(Khalifah} Marwan (ibn al-Hakam) suatu hari melihat seorang pria meletakkan wajahnya di atas makam Nabi saw. Ia berkata, "Tahukah kau, apa yang tengah kaulakukan?" Ketika didekali, ternyata orang itu adalah Abu Ayub al-Anshari, yang kemudian menjawab, "Ya, aku datang kepada Nabi saw., bukan kepada sebuah batu."'
Dan diriwayatkan bahwa Mu'adz ibn Jaba! dan Bilal juga pernah mendatangi makam Nabi saw., lalu menangis di sana. Bahkan Bilal membenamkan wajahnya di atas makam mulia itu.
Hafiz al-Dzahabi menulis dalam catatannya tentang guru-guru nya:
Ahmad ibn al-Mun'im meriwayatkan kepada kami ... dari Umar bahwa Umar tidak suka menyentuh makam Nabi saw. Aku berkata, "la tidak menyukainya karena ia menganggapnya sebagai sikap yang tidak sopan." Ketika Ahmad ibn Hanbal ditanya tentang (hukum) menyentuh dan mencium makam Nabi saw., ia menja¬wab bahwa tak ada salahnya dengan hal itu. Putranya Abdullah meriwatkan ini darinya.

Al-Dzahabi melanjutkan,
Jika dikatakan, "Mengapa para sahabat tidak melakukan ini?" Jawablah, "Karena mereka meiihat Nabi saw. langsung pada masa hidupnya, merasakan keberadaannya, mencium tangannya, sering berebut sisa air wudunya, berbagi rambutnya yang suci ketika be-
liau melaksanakan ibadah haji besar. Dan ketika beliau membasuh wajahnya, tak ada air yang jatuh ke tanah karena orang-orang berebut menadahnya dan membasuhkannya ke wajah mereka. Karena kami tidak mengalami kesempatan mulia seperti itu, kami
menyandarkan diri kami ke makamnya, bahkan menciumnya sebbagai tanda keteguhan, kecintaan, dan penerimaan. Tak tahukah engkau apa yang dilakukan Tsabit al-Bunani ketika ia mencium tangan Anas ibn Malik dan meletakkannya di atas wajahnya seraya
berkata, 'Inilah tangan yang pernah menyentuh tangan Rasulullah saw.'? Kaum muslim tidak meiakukan ini kecuali karena rasa cinta mereka yang luar biasa kepada Nabi saw. Sebab, mereka diwajibkan mencintai Allah dan Nabi saw. melebihi cinta mereka kepada nyawa mereka sendiri, anak-anak mereka, semua manusia, kekayaan mereka, juga kepada surga dan bidadari-bidadarinya. Bahkan, ada beberapa kaum beriman yang mencintai Abu Bakar dan Umar melebihi kecintaan mereka kepada diri mereka sendiri ...."
Tak tahukah engkau bahwa para sahabat, karena cinta mereka yang luar biasa kepada Nabi saw., bertanya kepada beliau, "Haruskah kami bersujud kepadamu?" dan beliau menjawab tidak. Ketahuilah, seandainya beliau mengizinkan, niscaya mereka akan bersujud sebagai tanda penghormatan dan penghargaan, bukan sebagai tanda penyembahan, seperti halnya saudara-saudara Nabi Yusuf a.s., bersujud kepada Yusuf a.s. Sama halnya, kaum musli-min bersujud di hadapan makam Nabi saw. dengan niat untuk menghormati dan menghargainya. Tak layak seseorang disebut kafir (Id yukaffaru ashla) lantaran meiakukan tindakan seperti itu. Namun, ia dapat dianggap telah menyimpang (dari perintah Nabi saw. kepada para sahabat). Karena itu, sampaikanlah kepadanya bahwa tindakan seperti itu terlarang sama seperti orang yang salat dengan menghadap ke makam Nabi saw.

Putra Imam Ahmad, Abdullah, mengatakan bahwa ia per-nah bertanya kepada ayahnya tentang orang yang menyentuh dan mencium mimbar Nabi saw. atau makam beliau untuk mencari keberkahan. Imam Ahmad menjawab, "Tak ada yang salah mengenai hal itu." Abdullah juga bertanya kepada Imam Ahmad tentang orang yang menyentuh dan mencium mimbar Nabi saw. untuk mendapatkan keberkahan, dan yang berbuat serupa terhadap makam Nabi saw., atau sesuatu yang seperti itu, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Imam Ahmad menjawab, "Tak ada yang salah mengenai hal itu."
Sebagaimana telah disebutkan, ada sebuah riwayat autentik yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Umar, terjadi kekeringan yang membuat Bilal ibn al-Harits mendatangi makam Nabi saw. dan berkata, "Ya Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah demi umatmu."
Kami pun telah mengutip sebuah riwayat bahwa Aisyah pernah memerintahkan agar atap di atas makam Nabi SAW dibuka pada musim kekeringan, dan hujan pun turun.
Umar pernah bertanya kepada Aisyah, "Apakah engkau mengizinkan jika aku dimakamkan di dekat dua orang sahabat-ku (Nabi saw. dan Abu Bakar)?" Ia menjawab, "Ya, demi Allah," padahal untuk para sahabat yang lain, dengan tegas ia menolak permintaan seperti itu.

3. Tabaruk dengan Jubah Nabi saw.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abdullah, budak yang telah dimerdekakan oleh Asma (putri Abu Bakar), paman dari Pihak ibu Ibn Atha', berkata, "Asma mengutusku kepada Abdullah ibn Umar dengan pesan: 'Telah sampai kabar kepadaku bahwa engkau melarang tiga hal: mengenakan pakaian tipis, memakai Penutup pelana yang terbuat dari sutra merah, dan berpuasa sebulan penuh di bulan Rajab. Abdullah menjawab, 'Adapun
tentang berpuasa di bulan Rajab, bagaimana pendapatmu tentang orang yang berpuasa terus-menerus? l-alu mengenai pakaian tipis, aku pernah mendengar Umar ibn al-Khaththab berkata bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa mengenakan sutra, ia tak akan mendapatkan bagiannya (di Hari KiamaT)." Aku khawatir bahwa pakaian tipis ilu tErmasuk sulra. Adapun mengenai penutup pelana berwarna merah, inilah penutup pelana Abdullah, dan warnanya merah.' Aku kembali kepada Asma dan memb3ritahukan jawaban Abdullah. Asma kemudian berkata, 'Di sini ada jubah Rasulullah saw.,' dan ia mengeluarkan jubah yang terbuat dari kain Persia dengan keliman brokat (suTra), dan lengan baju dirajut dengan brokat (sutra). Ia berkata, 'Inilah jubah Rasulullah saw. yang disimpan Aisyah hingga ia wafat, kemudian aku mewarisinya. Rasulullah saw. pernah mengenakan-nya, dan kami mencucinya untuk orang-orang yang sakit agar mereka sembuh."'
Muslim meriwayatkan ini pada bab pertama kitab tentang pakaian. Al-Nawawi menjelaskan, "Hadis ini mengandung dalil dianjurkannya mencari keberkahan melalui benda-benda dan pakaian peninggalan orang saleh".

4. Benda-Benda, Tempat, dan Orang-Orang yang Pernah Disentuh Nabi saw.
Suwaid ibn Ghafalah meriwayatkan: "Aku melihat Umar mencium Hajar Aswad dan memegangnya erat-erat, seraya berkata, 'Aku melihat Rasulullah saw sangat mencintaimu."' Hadis ini diriwayatkan dari Sufyan dengan sanad yang sama (begitu pun matannya), "Ia (Umar) berkata, 'Aku tahu, engkau hanyalah sebongkah batu, aku sama sEkali tidak menaruh rasa hormat kepadamu seandainya tidak melihat Abu al-Qasim yang begitu mencintaimu."' Dan ia tidak menyebutkan bahwa Umar memegangnya erat-erat.

Al-Tabrani dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Handzalah Ibn Hudzaim yang pernah dibawa kakeknya, Hudzaim, menghadap Nabi saw. Hudzaim berkata kepada Rasulullah saw., "Aku punya anak laki-laki dan cucu laki-laki, sebagian mereka tetah beranjak remaja dan sebagian lainnya masih kecil." Seraya mengehampiri anak kecil yang berada di dekatnya, ia berkata, "Inilah si bungsu." Nabi saw. mendekatkan anak kecil yang bernama Handzalah kepadanya, mengusap kepalanya, dan berkata, "barakallahu fik semoga Allah memberkatimu."
Setelah peristiwa itu, orang-orang mendatangi Handzalah sambil membawa orang yang bengkak wajahnya atau kambing yang sakit. Handzalah akan meletakkan tangannya di bagian kepalanya yang pernah diusap Nabi saw. lalu menyentuh bagian yang sakit itu sambil mengucapkan bismill&h. Dan serta-merta bagian yang sakit itu pun sembuh."

Dari Ibn Abi Syaibah bahwa Yazid ibn Abdul Malik ibn Qu-syat dan al-Utbi meriwayatkan kebiasaan para sahabat di masjid Nabi saw meletakkan tangan mereka di atas pegangan (rumma-nah) mimbar Nabi saw., tempat Nabi saw. pernah meletakkan tangannya. Mereka melakukan itu sambil menghadap kiblat dan berdoa kepada Allah agar Dia mengabulkan doa mereka karena mereka meletakkan tangan mereka di tempat Nabi saw. pernah meletakkan tangannya saat berdoa. Abu Maududah berkata, "Aku melihat Yazid ibn Abdul Malik melakukan hal serupa."

Kebiasaan para sahabat ini menjelaskan dua hal. Pertama, di-bolehkannya memohon segala sesuatu kepada Allah dengan ber-tawasul kepada Nabi saw. setelah beliau waf`t, dan para sahabat benar-benar mempraktikkannya. Demikian pula, boleh hukumnya memohon segala sesuatu kepada Allah dengan bertawasul kepada orang-orang saleh. Kedua, boleh hukumnya mencari keberkahan (barakah) dari benda-benda yang pernah disentuh Nabi saw."

Seorang tabiin, Tsabit al-Bunani mengatakan bahwa ia pcr-nah mengunjungi Anas Ibn Malik, mencium tangannya seraya berkata, "Inilah tangan yang pernah menyentuh Nabi saw." Ia mencium matanya dan berkata, "Inilah mata yang pernah melihat Nabi saw."

Menurut al-Bukhari, Abdurrahman ibn Razin meriwayat-kan bahwa salah seorang sahabat Nabi saw., Salamah ibn al-Aku, mengangkat tangannya di hadapan sekelompok orang dan berkata, "Dengan tangan ini aku telah bersumpah setia (baiat) kepada Rasulullah saw." Mendengar ucapannya itu, semua yang hadir bangkit dan mencium tangannya. Versi lain hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad.
Abu Malik al-Asyja'i mengatakan bahwa suatu ketika ia ber-kata kepada sahabat Nabi saw. yang pernah bersumpah setia di bawah pohon, yaitu Ibn Abi Aufa, "Ulurkan kepadaku tanganmu yang pernah bersumpah setia kepada Rasulullah saw. agar aku dapat menciumnya.,' Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn al-Muqri.
Al-Bukhari juga meriwayatkan bahwa Suhaib melihat Sayidina Ali mencium tangan dan kaki paman Nabi saw., al-Abbas, dan bahwa Tsabit mencium tangan Anas karena tangan itu pernah menyentuh tangan Nabi saw.
Al-Syurunbali al-Hanafi, dalam karyanya tentang Fiqh yang berjudul Nur al-'Iddah, berkata:
Disunahkan masuk ke Ka'bah. Orang yang memasukinya harus mencari tempat Nabi saw. mendirikan salat. Tempat itu berada di depannya ketika ia membelakangi pintu sampai antara dirinya dan pintu berjarak kira-kira tiga depa. Dirikantah salat di sana dan berdoalah kepada Allah untuk memohon ampunan dan memuji-Nya."

5. Tangan dan Kaki Nabi saw.
Hadis pertama Imam Ahmad yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik dalam karyanya, Musnad Anas adalah, "Seluruh warga Madinah pernah memegang tangan Nabi saw. dan mereka segera mendapatkan apa yang mereka butuhkan.
Aisyah, Ummul Mukminin, meriwayatkan: "Ketika menderita sakit, Rasulullah saw. akan membaca tiga surah terakhir Alquran dan meniupkannya kepada dirinya sendiri." Aisyah melanjut-kan, "Jika sakiinya parah, aku akan membacakan tiga surah itu kepadanya dan mengusapnya dengan tangan kanannya seraya mengharapkan keberkahan."
Usamah meriwayatkan, "Aku menghadap Nabi saw. yang tengah bersama para sahabat, dan mereka terlihat setenang burung-burung yang merundukkan kepalanya. Aku ucapkan salam kepada Nabi saw. dan kemudian duduk. Lalu orang-orang Arab badui datang dan mengajukan beberapa pertanyaan yang dijawab Nabi saw. .... Setelah itu, Nabi saw. berdiri dan orang-orang pun berdiri. Mereka mulai mencium tangannya. Aku pun mencium tangannya dan meletakkannya di wajahku. Aku merasakannya lebih harum dari minyak kesturi dan lebih sejuk dari air manisan."

Abdullah ibn Umar meriwayatkan:
Ibn Umar diutus bersama sekelompok pasukan oleh Rasulullah saw. Orang-orang berbalik melarikan diri. la berkata, "Aku termasuk orang yang berbalik melarikan diri. Ketika berhenti, kami berkata, 'Apa yang harus kita lakukan? Kita telah melarikan diri dari pertempuran dan akan mendapalkan murka Allah.' Lalu kami berkata, 'Mari kita masuk ke Madinah, diam di sana, dan pergi ke sana tanpa diketahui siapa pun.' Maka kami memasuki kota itu dan berpikir, 'Jika kami datang kehadapan Rasuiullah saw., dan jika ada kesempalan bertobat bagi kami, kami akan tinggal; jika yang terjadi sebaliknya, kami akan pergi.' Maka kami duduk menunggu Rasulullah saw. sebelum salat Subuh. Ketika beliau keluar, kami berdiri dan berkata, 'Kami termasuk orang yang melarikan diri.' Beliau menoleh ke arah kami dan berkata, Tidak, kamu sekalian adalah orang yang kembali unluk berperang setelah melarikan diri.' Kami kemudian menghampirinya dan mencium tangannya. Beliau bersabda, 'Akulah pemimpin kaum muslim.'""
Ibn Umar bercerita dan berkata, "Kami kemudian mendekati Nabi saw dan mencium tangannya." Diriwayatkan dalam karya Ibn Majah, Sunan, dalam Suuan Abu Dawud, dan dalam Mushatinaf karya Ibn Abu Syaibah dari dua sanad yang berbeda.
Ummu Aban, anak perempuan al-Wazi ibn Zari, meriwayat-kan bahwa kakeknya, Zari al-Abdi, salah seorang utusan Abdul Qais, berkata, "Ketika kami tiba di Madinah, kami berlomba menjadi yang pertama turun dari kuda dan mencium tangan serta kaki Rasuiullah saw. ... (hingga akhir hadis)."*
Al-Bukhari meriwayatkan darinya hadis serupa dalam kar-yanya, Adb al-Mufrad: Kami tengah berjalan, ketika seseorang berkata, "Ada Rasuiullah saw." maka kami segera meraih tangan dan kakinya, lalu menciumnya.
Buraidah meriwayatkan bahwa seorang Arab badui datang kepada Nabi saw. dan berkata, "Ya Rasuiullah saw., izinkan aku mencium kepala dan tanganmu" dan beliau mengizinkannya. Dalam versi yang lain, ia meminta izin untuk mencium tangan dan kaki.
Shafwan ibn Ashal al-Muradi meriwayatkan: "Salah seorang dari dua orang Yahudi berkata kepada sahabat Nabi saw., 'Antarkan kami kepada Nabi saw. agar kami dapat menanyakannya tentang sepuluh tanda tanda musa... (nabi menjawab semuanya dan kemudian) mereka mencium tangan dan kakunya lalu ebrkata, " Kami bersaksi, engkau adalah seorang nabi...

6. Kulit Nabi SAW
Usaid ibn Hudzair meriwayatkan:
Abdurahman ibn Abi Laila, mengutip Usaid ibn Hudzair seorang anshar, berkata bahwa ketika ia tengah bercanda dan membuat para sahabat lain tertawa, Nabi SAW memikulnya dengan ranting kayu sambil bergurau. Usaid berkata Izinkahlah aku membalas," Beliau menjawab, "balaslah". Ia berkata,"Namun engkau menegnakan baju sedangkan aku tidak. " Nabi sAW melepas bajunya dan orang itu memeluknya serta mencium pinggang beliau. lalu ebrkata "inilah yang kuinginkan ya RAsulullah.."

Abi Abdil Barr meriwayatkan bahwa Nabi SAW telah mengharamkan dua atau tiga kali penggunaan khaluq (sejenis minyak wangi yang dicampur kunyit), melihat sawad ibn Amr al Qari memakainya NAbi SAW memukul perutnya dengan batang daun kurma (jaridah) sehingga menimbulkan goresan luka kecil. Sawad meminia izin untuk membalas, dan ketika Nabi saw. memperlihatkan bagian perut beliau, liba-tiba ia lompat dan mencium perut Nabi saw.
Sementara versi Ibn Ishaq dalam Sirah menyebutkan bahwa Sawad termasuk sahabat yang ikut Perang Badar. Nabi saw. tengah menyusun strategi mempergunakan ranting {miqran), dan beliau memukulkan ranting itu ke perut Sawad sehingga menimbulkan luka gores kecil. Nabi saw. berkata, "Jauhkan dirimu dari yang lain." Sawad berkata, "Ya Rasulullah saw., engkau telah melukaiku, izinkan aku membalas." Nabi saw. menyerahkan kepadanya ranting kayu itu dan berkata, "Balaslah." Sawad mendekati beliau dan mencium perut beliau. Nabi saw. bersabda, "Apa yang membuatmu melakukan itu, wahai Sawad?" Ia menjawab, "Ya Rasulullah saw., saatnya telah tiba bagi apa yang engkau lihat, dan aku ingin agar perbuatan terakhirku di dunia ini adalah menyentuhmu."
Buhaisa al-Fazariyah meriwayatkan, "Ayahku meminta izin kepada Nabi saw. Lalu ia mendekati dan membuka baju beliau, mulai menciumnya, dan memeluknya karena cintanya kepada beliau.""

7. Tempat-Tempat yang Dikunjungi Nabi saw.
Abu Burdah meriwayatkan: Ketika tiba di Madinah, aku bertemu dengan Abdullah ibn Salam. Ia berkata, "Maukah kau berkunjung kepadaku agar aku dapat menyediakan sawiq (tepung barley) dan kurma untukmu, serta mengajakmu memasuki rumah (diberkati) yang pernah dimasuki Nabi saw.?"

8. Makanan Nabi saw.
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. tinggal di rumah Abu Ayub hingga masjid dan tempat tinggalnya dibangun. Kemudian beliau pindah ke rumahnya sendiri. Yazid ibn Abu Habib dari Martsad ibn Abdullah al-Yazani dari Abu Ruhm al-Sama'i berkata kepadaku bahwa Abu Ayub bercerita kepadanya, "Ketika Rasulullah saw. tinggal di rumahku, beliau tidur di atas lantai tanah, sedangkan aku dan Ummu Ayub di atas tempat lidur. Aku berkata kepada beliau, "Ya Rasulullah saw., aku telah menganggapmu sebagai orangtuaku sendiri, dan aku sedih ka-rena aku tidur di atas sedangkan engkau di bawahku. Marilah bertukar tempat." Beliau menjawab, "Hai Abu Ayub, lebih menye-nangkan bagiku dan tamu-tamuku berada di atas lantai tanah." Akhirnya kami menyerah. Suatu ketika kami memecahkan sebuah kendi air. Aku dan Ummu Ayub mengambil salah satu pakaian kami untuk mengeringkan air ilu karena takut akan membasahi Nabi saw. Kami tak lagi punya pakaian yang bisa kami kenakan. Kami biasa menyediakan makan malam beliau dan mengantar-kannya kepada beliau. Ketika beliau mengembalikan sisanya, aku dan Ummu Ayub biasa menyentuh tempat yang pernah disentuh oleh tangan beliau dan makan darinya berharap mendapatkan berkah.

9. Panah Nabi saw.
Ibn Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi saw. memerintahkan pasukan untuk berpindah ke sebelah kanan melewati belukar jalan al-Murar ke lereng al-Hudaibiyah di bawah Mekah. Mereka melakukan perintahnya, dan ketika pasukan berkuda Quraisy melihat kepulan debu pasukan yang menjauhi jalan mereka, tergesa-gesa mereka kembali ke pasukan inti Quraisy. Nabi saw. pergi menempuh jalan al-Murar dan ketika untanya berlutut, orang-orang berkata, "Unta itu tidak akan bangkit lagi." Beliau berkata, "Biasanya ia tidak membandel dan itu bukanlah sifatnya, tetapi Yang Maha Esa, yang mengusir pasukan bergajah dari Mekah, menahan unta ini. Hari ini, apa pun syarat yang diminta kaum Quraisy kepadaku akan kukabulkan untuk menunjukkan itikad baikku kepada keluarga." Kemudian beliau memerintahkan orang-orang untuk turun dari kuda. Mereka keberatan karena di tempat itu tidak ada sumber air. Kemudian Nabi saw. mengambil anak panah dari sarung anak panahnya dan memberikannya kepada seorang sahabat. Sahabat itu menusukkan anak panah tadi ke tengah sebuah lubang air, dan serta-merta air memancar hingga unta-unta pasukan minum sepuasnya dan mereka dapat beristirahat di sana.

10. Terompah Nabi saw.
Al-Bukhari dan al-Tirmidzi meriwayatkan dari Qatadah: "Aku meminta Anas untuk bercerita tentang terompah Rasu-lullah saw. dan ia menjawab, 'Ada dua tali pengikat pada setiap terompahnya.'" Dan Isa ibn Tahman berkata, "Anas mengambil sepasang sepatu dan memperlihatkannya kepada kami. Sepatu itu tidak berbulu.""

Al-Bukhari, Malik, dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa Ubaid ibn Jarih berkata kepada Abdullah ibn Umar, "Kulihat engkau memakai terompah dari kulit yang disamak." Ia menjawab, "Aku pernah melihat Nabi saw. mengenakan terompah tak berbulu dan berwudu tanpa melepaskannya. Karena itulah aku suka memakainya."
Al-Qasthallani berkata bahwa Ibn Mas'ud, salah seorang pelayan Nabi saw., terbiasa membawakan kepada Nabi saw. bantal (wisAdah), sikat gigi (siwak), terompah {na'layn), dan air untuk berwudu. Ketika Nabi saw. bangun dari tidur, ia akan meletak-kan terompah itu dekat beliau. Ketika beliau duduk, ia akan memegang terompah beliau dengan tangannya hingga beliau berdiri.

Semoga Allah terus memberikan kita keberkahan dengan mencontohkan tabaruk dengan benda2 orang solihin.. Amien

Adab Bagi Yang Tersingkapkan Alam Ghaib

Adab Bagi Yang Tersingkapkan Alam Ghaib

=====================
www.sufinews.com

"Kadang-kadang Allah Swt memperlihatkan padamu alam Malakutnya yang ghaib, dan (namun) Allah Swt menutup dirimu dari melihat rahasia-rahasia hambaNya."

Diantara kasih sayang Allah Swt pada hamba-hambaNya, terkadang, Allah Swt membuka rahasia-rahasia alam malakut pada si hamba itu, berupa rahasia ilmu pengetahuan dan detail kema’rifatan, sampai nyata betul, bahkan anda pun meraih apa yang tak bisa dibayangkan oleh mata, tak pernah terdengar telinga dan tak pernah muncul dalam intuisi sekali pun. Namun pada saat yang sama, Allah Swt, justru menutup rahasia-rahasia yang ada pada hamba-hambaNya, karena rahmat dan cintaNya kepadaMu agar kalian tidak terpedaya oleh pandangan meneliti rahasia para makhlukNya dan hamba-hambaNya. Allah Swt sedang memberikan pelajaran mulia kepadamu dengan cara menghindarkan dirimu memandang rahasia makhluk lain.
“Barang siapa yang dibukakan Allah Swt rahasia-rahasia hambaNya, namun orang itu tidak berakhlak dengan Rahmat Ilahiyah, maka wujud penglihatan rahasia itu justru akan menjadi fitnah (cobaan) bagi dirinya sendiri, dan menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya cobaan bencana baginya.”

Banyak orang yang dibukakan oleh Allah Swt, tentang rahasia-rahasia hambaNya, namun betapa orang itu malah mendapat cobaan yang serius, hanya karena ia sendiri tidak menerapkan Akhlaq Rahmat Ilahiyah. Diantara cobaan yang muncul adalah tragedi ruhaninya sendiri berupa kesombongan, kekaguman pada diri sendiri, dan memanfaatkan nya untuk kepentingan duniawinya.

Padahal rahasia Allah itu ditampakkan padanya, agar ia menjalankan fungsi Rahmatan Lil’alamin melalui akhlak Rahmat Ilahiyahnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary.

Orang yang berakhlak dengan Rahmat Ilahiyah adalah orang yang memiliki keluasan kasih sayang terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala, dan manusia merasakan hamparan kasih sayangnya dan perilaku akhlaknya. Ia telah menjadi bapak bagi mereka. Inilah yang diteladankan Nabi Saw, dalam Al-Qur’an, “Dan ia penuh kasih sayang kepada kaum beriman.” (Q.s. Al-Ahzaab:43)

Sang Nabi Saw, memaafkan orang-orang yang berbuat salah dan dosa, menyayangi dan mengasihi orang miskin, dan menjabat tangan orang-orang yang bodoh serta berbuat baik pada orang-orang yang berbuat buruk.

Sebab sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mu’minin, ra, “Akhlaknya adalah Al-Qur’an”, dan beliau membaca ayat, “Ambillah maaf, dan perintahlah dengan baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Q.s. Al-A’raaf:7).

Orang yang berakhlak demikian, berarti ketersingkapannnya merupakan kemuliaan baginya dan rahmat bagi hamba-hambaNya.

Jika tidak, maka ia akan teruji oleh fitnah dalam dirinya seketika dan di akhirat kelak:
Pertama, ia merasa lebih hebat dan lebih bersih dibanding yang lain dengan kelebihan-kelebihannya.
Kedua, ia telah mempersempit rahmat dan kasih sayang Allah pada hamba-hambaNya.
Ketiga, ia telah menyakiti hamba-hamba Allah dengan membuka rahasia-rahasia kelemahannya, dan inilah awal bencana.
Maka penyair Sufi mengatakan:
Tebarlah kasih sayang, wahai anakku
Pada semuanya, dan lihatlah
Pada mereka dengan mata kinasih yang lembut
Hormati yang tua, kasihi yang muda
Jagalah hak akhlak pada setiap makhluk.