ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Minggu, 29 April 2012

Thoriqoh Bani Alawi

Sufi Road : Tariqah Bani Alawi
Oleh : Naufal (Novel) bin Muhammad Alaydrus Secara bahasa tharîqah (tarekat) dapat berarti jalan, metode, sistem, cara, perjalanan, aturan hidup, lintasan, garis, pemimpin sebuah suku dan sarana. Menurut 'Abdurrazzâq Al-Kâsyânî, tharîqah adalah jalan khusus yang ditempuh oleh para Sâlik dalam perjalanan mereka menuju Allâh, yaitu dengan melewati jenjang-jenjang tertentu dan meningkat dari satu maqâm ke maqâm yang lain. Dalam bukunya yang berjudul Al-Kibrîtul Ahmar wal Iksîrul Akbar Habîb ‘Abdullâh bin Abû Bakar Al-‘Aidarûs radhiyallâhu 'anhu menyebutkan: “Menurut para sufi, syariat adalah ibarat sebuah kapal, tarekat (tharîqah) adalah lautnya dan hakikat (haqîqah) adalah permata yang berada di dalamnya. Barang siapa menginginkan permata, maka dia harus naik kapal kemudian menyelam lautan, hingga memperoleh permata tersebut.” Tharîqah 'Alawiyyah Dalam Pandangan Habîb ‘Abdurrahmân Bilfaqîh Dalam buku ‘Iqdul Yawâqît Al-Jauhariyyah, Habîb Edrus bin ‘Umar Al-Habsyî, menyebutkan bahwa ketika Habîb ‘Abdurrahmân bin ‘Abdullâh Bilfaqîh ditanya, “Apa dan bagaimana tharîqah Sâdah Âl Abî ‘Alawî itu? Apakah cukup didefinisikan dengan ittibâ’ (mengikuti) Qurân dan sunah? Apakah di antara pengikut tharîqah ini terdapat perbedaan? Apakah tharîqah mereka bertentangan dengan tharîqah-tharîqah lain?” Beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan indah. Berikut beberapa hal penting yang kami ringkaskan dari jawaban beliau itu: •“Ketahuilah, sesungguhnya tharîqah anak cucu Nabi (Sâdah) dari keluarga Abî ‘Alawî (banî 'alawî) merupakan salah satu tharîqah kaum sufi yang dasarnya adalah ittibâ’ (mengikuti) Al-Qurân dan sunah sedangkan bagian utamanya (ra’suhâ) adalah sidqul iftiqâr dan syuhûdul minnah . •Tharîqah ini mengikuti berbagai ketetapan hukum yang ada (manshûsh) dengan metode khusus serta menyempurnakan semua dasar (ushûl) guna mempercepat wushûl. Hal ini menunjukkan bahwa tharîqah banî 'alawî lebih dari sekedar mengikuti Al-Qurân dan Sunah sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. •Tharîqah ini membimbing seseorang untuk menyandang semua akhlak luhur dan mulia serta menjauhi semua sifat hina dan tercela. Tujuan tharîqah ini tiada lain adalah untuk mencapai kedekatan dengan Allâh dan memperoleh fath . •Tharîqah banî 'alawî merupakan sebuah tharîqah yang membimbing seseorang untuk mampu memahami, mengamalkan dan meraih asrâr, maqâmât dan ahwâl. Ia diwariskan dari generasi sholihin ke generasi sholihin berikutnya dengan mempraktekkan, merasakan dan mengamalkannya secara langsung, sesuai dengan fath, anugerah dan karunia Allâh. • Karena tharîqah banî 'alawî mengutamakan praktek, cita rasa dan rahasia, maka mereka memilih untuk bersikap khumûl (menghindari ketenaran), menyembunyikan diri, dan tidak menyusun karya tentang tharîqah-nya. Periode awal hingga zaman Habîb ‘Abdullâh Al-‘Aidarûs dan adik beliau, syeikh Alî memilih sikap ini. •Ilmu yang dipelajari oleh Banî ‘Alawî adalah ilmu yang dimiliki para sufi. Ciri khasnya, mereka suka menghapuskan segala tanda yang dapat menunjukkan siapa diri mereka. Mereka berusaha mendekatkan diri kepada Allâh dengan semua amal. •Adab tharîqah ini adalah menjaga semua rahasia (asrâr) dan cemburu (ghairah) jika rahasia tadi disebarluaskan. •Dhâhir tharîqah Banî ‘Alawî adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ghazâlî, yaitu menuntut ilmu dan mengamalkannya sesuai dengan metode yang benar. Sedangkan batinnya adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh tharîqah Syâdziliyyah, yaitu tahqîqul haqîqah dan tajrîdut tauhîd. •Tharîqah-tharîqah sufi lain yang benar, suci dan dapat dipercaya, tidak bertentangan dengan tharîqah Banî ‘Alawî, baik dalam ushûl (dasar-dasar), hakikat sulûk maupun wushûl. Terjadinya perbedaan bentuk dan keadaan di antara mereka tiada lain adalah demi memberikan jalan yang mudah dan dekat kepada setiap orang yang ingin menempuhnya. Perbedaan ini seperti perbedaan madzhab dalam masalah furû’. Karena perbedaan tersebut hanya berlaku pada cabang (furû’), maka sejatinya perbedaan-perbedaan itu tidak ada Sumber : Pustaka Muhibbun

Manaqib Habib Idrus bin Salim Al Jufri - Palu

Sufi road:Habib Idrus bin Salim Al Jufri - Palu
Beliau adalah Ulama Hadamaut yang hijrah ke Indonesia untuk menjaga benteng pertahanan akidah Islam di Sulawesi dari rongrongan ancaman Missionaris Kristen. Beliaulah pendiri Yayasan Alkhairaat, yang kini terdiri dari TK, SD, SMP,SMA, SMK,MI, MTS, MA hingga Universitas. Lembaga-lembaga pendidikan Islam Al-Khairaat berpusat di Kota Palu dan menyebar ke daerah sekitar, menjadikannya sebagai pintu gerbang dakwah Islam di Kawasan Timur Nusantara. Nasab Beliau adalah : Habib Idrus bin Salim bin Alwi bin Segaf bin Alwi bin Abdullah bin Husein bin Salim bin Idrus bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Abu Bakar Aljufri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ali bin Muhammad Faqqqih Al-Muqaddam bin Alwi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Ali AL-‘Uraidhi bin Jakfar As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Azzahrah binti Rasulullah shallahu alaihi wa sallam. Habib Idrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, pada 14 sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 Maret 1881 M. Beliau mendapat pendidikan agama langsung dari ayah dan lingkungan keluarganya. Ayah beliau, Habib Salim adalah seorang qadhi (hakim) dan mufti (Ulama yang memiliki otoritas mutlak untuk memberi fatwa) di Kota Taris, Hadramaut. Sedangkan kakek Beliau, Al Habib Alwi bin Segaf Aljufri, adalah seorang ulama di masa itu. Beliau adalah salah satu dari lima orang ahli hukum di Hadramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul dalam kitab Bulughul Musytarsyidin, karya Al-Imam Al-habib Abdurrahman Al-Masyhur. Tatkala Habib Idrus menginjak usia remedial, ayah Beliau Al-Habib Salim melihat bahwa kelak anak nya ini bisa menggantikannya. Beliaupun mendidik anaknya tersebut secara khusus. Habib Salim membuatkan kamar khusus bagi anaknya agar dapat berkonsentrasi dalam belajar. Habib Idrus kemudian mendalami berbagai Ilmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, Tauhid, Mantiq, ma’ani, bayan, badi’, nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra. Selain pada ayahnya, Habib Idrus juga belajar kepada Para Ulama dan Auliya’ di Hadramaut, diantaranya adalah : Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih, Al-Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar, Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi. Dan Al-Habib Abdullah bin Umar As-Syathiri di Rubath Tarim. Kemudian pada tahun 1327 H. atau sekitar tahun 1909 M bersama sang ayah, Habib Idrus berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah salallahu alaihi wasallam di Madinah. Di sana mereka menetap selama enam bulan. Selama itu Habib Salim memanfaatkan waktunya untuk mengajak putranya ini berziarah kepada para ulama dan Auliya’ yang berada di Hijaz pada masa itu, untuk memminta berkah, do’a serta ijazah dari mereka. Salah satunya kepada Sayyid Abbas Al-Maliki Al-Hasani di Makkah. Habib Salim kemudian membawa putranya kembali ke Hadramaut. Setelah itu beliau membawa Habib Idrus berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya Syarifah Nur Al-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandung Habib Idrus yang telah terlebih dahulu hijrah ke Indonesia. Setelah beberapa waktu di Indonesia, Habib Idrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut. Sebtibanya di Hadramaut, Habib Idrus mengajar di Madrasah yang dipimpin oleh ayah beliau. Setelah itu Habib Idrus menikah dengan Syarifah Bahiyah, yang kemudian dikaruniai tiga orang anak: Habib Salim, Habib Muhammad dan Syarifah Raguan. Pada bulan Syawwal 1334 H bertepatan dengan 1906 M ayah beliau wafat. Dan pada tahun itu pula Habib Idrus diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut, padahal usianya saat itu baru 25 Tahun. Semenjak tahun 1839 M Hadramaut berada dalam penjajahan Inggris. Pada masa penjajahan Inggris itulah Habib Idrus bersama seorang sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah (keduanya dikenal sebgai ulama yang moderat) bermaksud ke Mesir untuk mempublikasikan kekjaman Inggris dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Inggris di Hadramaut. Setelah sesuatunya dipersiapkan dengan matang dan rapi, keduanya berangkat melalui Pelabuhan Aden. Namun di Pelabuhan Laut Merah itu rencana mereka diketahui oleh pasukan Inggris. Keduanya ditangkap, dokumennya disita dan dimusnahkan. Setelah ditanah beberapa waktu kemudian mereka dibebaskan dengan syarat, mereka tidak diperbolehkan bepergian ke negeri Arab manapun. Setelah kejadian itu Habib Abdurrahman memilih tinggal di Hadramaut, sedangkan Habib Idrus memilih hijrah ke Indonesia. Pada tahun 1925 M Habib Idrus kembali untuk kedua kalinya ke Indonesia. Pada mulanya beliau tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana beliau menika dengan Syarifah Aminah Al-Jufri. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua anak perempuan, Syarifah Lulu’ dan Syarifah Nikmah. Syarifah Lulu’ kemudian menikah dengan Sayyid Segaf bin Syekh Al-Jufri, yang salah seorang anaknya adalah Dr.Salim Segaf Al-Jufri, Duta besar Indonesia untuk Arab Saudi periode sekarang. Pada tahun 1926 M beliau pindah ke kota Jombang, disana beliau mengajar dan berdagang. Namun di penghujung tahun 1928 M karena seringkali mengalami kerugian dalam berdagang, Habib Idrus berhenti Berdagang dan memulai mengajar. Di tahun itu pula beliau pindah ke kota Solo. Pada tanggal 27 Desember 1928 bersama beberapa Habaib beliau mendirikan Madrasah Rabithah Alawiyah di kota Solo. Namun, pada akhir tahun 1929 M Habib Idrus meninggalkan kota Solo dan hijrah ke Sulawesi. Beliau kemudian berlayar menuju Manado. Ketika kapalnya singgah di Donggala, Habib Idrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri, di situ beliau mengutarakan tentang rencananya untuk mendirikan madrasah di kota Palu. Setibanya di Manado, Habib Idrus mendapatkan telegram tentang hasil musyawarah masyarakat arab yang ada di Kota Palu mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib Idrus yang akan mengusahakannya. Pada awal 1930 M Habib Idrus menuju kota Palu. Dan pada tanggal 30 Juni 1930 M setelah mengurus prizinan pendirian dan surat-surat lainnya ke pemerintah Hindia Belanda, maka, diresmikanlah Madrasah Al-Khairaat di Kota Palu.
Dalam perkembangannya, pengelolaan Madrasah sepenuhnya ditangani oleh Habib Idrus. Para murid yang belajar di sana tidak dipungut biaya sama sekali. Hal ini karena Habib Idrus mengadaptasi sistem pendidikan arab yang pada umumnya tidak memungut biaya kepada para muridnya. Sehingga para murid lebih fokus dalam belajar. Habib Idrus membrikan gaji kepada para guru dan staf sekolah dari hasilnya berdagang. Habib Idrus mengajar para santrinya dengan penuh dedikasi dan profesionalitas yang tinggi. Keikhlasan dan keuletan beliau telah membuahkan hasil. Perguruan Al-Khairaat waktu itu telah menghasilkan guru-guru Islam yang handal yang kemudian disebarkan ke seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Keberadaan perguruan Al-Khairaat dan para santrinya telah berhasil membentengi kawasan Timur Indonesia dari para penginjil, yang waktu itu pada masa Hindia Belanda ada tiga organisasi yang bertugas mengkristenkan suku-suku terasing di Sulawesi Tengah. Mereka adalah Indische Kerk (IK) berpusat di Luwu, Nederlands Zending Genootschap (NZG) berpusat di Tentena, dan Leger Dois Hest (LDH) berpusat di Kalawara. Pada tanggal 11 Januari 1942 M Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan kota Manado sebagai pusat pangkalan di Kawasan Timur Indonesia. Tidak berselang lama stelah itu, Jepang memerintahkan penutupan perguruan Al-Khairaat. Selama tiga setengah tahun kependudukan Jepang, Habib Idrus tidak menyerah sedikitpun untuk mengajar para muridnya. Proses belajar mengajar tetap berlangsung meskipun secara sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajarandialihkan ke desa Bayoge, yang berjarak satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Pengajarannya dilaksanakan pada malam hari dan hanya menggunakan penerangan seadanya, para muridnya datang satu persatu secara sembunyi- sembunyi. Tepat saat kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 Habib Idrus kembali membuka perguruan Al-Khairaat secara resmi. Beliau berjuang kembali untuk mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam. Hingga selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) lembaga yang telah dirintisnya ini telah menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur. Perguruan Alkhairaat kemudian mengembangkan sayapnya dengan membuka perguruan tinggi pada tahun 1964 M dengan nama Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga fakultas di dalamnya, yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah. Dan Habib Idrus sebagai Rektor pertamanya. Ketika terjadi peristiwa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, perguruan tinggi Al-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Para Mahasiswanya diberikan tugas untuk berdakwah di daerah-daerah terpencil kawasan Sulawesi. Hal ini sebagai upaya untuk membendung paham komunis sekaligus melebarkan dakwah Islam. Setelah keadaan kondusif, pada tahun 1969 perguruan Tinggi Al-Khairaat dibuka kembali. Masih dalam suasana Idul Fitri, sakit parah yang telah lama diderita Habib Idrus kembali kambuh. Bertambah hari sakitnya semakin berat. Maka, guru, Ulama dan Sastrawan itu wafat, pada hari senin 12 Syawwal 1389 H betepatan dengan 22 Desember 1969 M. sebelum menjelang detik-detik kewafatannya, Habib Idrus sudah mewasiatkan tentang siapa saja yang memandikan jenazah, imam shalat jenazah, tempat pelaksanaan shalat jenazah, siapa yang menerima jenazah di Liang lahat, muadzin di liang lahad, sampai yang membaca talqin di kubur. Habib Idrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah Al-Khairaat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid Al-Khairaat meneybar di seluruh kawasna Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Salah satu murid belia yang melanjutkan dakwahnya adalah Ustad Abdullah Awadh Abdun, yang hijarh dari kota Palu ke Kota Malang untuk berdakwah dan mendidik para muridnya dengan mendirikan pesantren Daarut Tauhid di Kota Malang. Ketika wafat, Habib Idrus telah mewariskan 25 cabang Alkhairaat dan ratusan sekolah, serta beberapa madrasah yang beliau dirikan kala hidupnya. Kini perguruan Besar Alkahiraat danYayasan Al-khairaat, dibentuk pula Wanita Islam Al-Khairaat dan Himpunan Pemuda Al-Khairaat. Sumber: Ahlulkisa

Hikam Al Haddad : Mencintai Ahlul-Bait dan Menasihati Sebagian Mereka yang Menyimpang

Sufi Road:Hikam Al Haddad : Mencintai Ahlul-Bait dan Menasihati Sebagian Mereka yang Menyimpang [Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] Ada sebagian orang yang apabila dikatakan kepada mereka bahwa si fulan-yang termasuk anggota ahlul-bait (keluarga dan keturunan Rasulullah Saw)-melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama atau mencampurbaurkan antara yang halal dan haram, mereka lantas berkata, "Biarlah, ia adalah seorang dari ahlul-bait. Rasulullah Saw. pasti akan ber-syafa'at1 untuk anak-cucunya, dan mungkin pula dosa-dosa yang bagai¬manapun tak akan menjadi mudarat atas mereka." Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi orang lain yang tergolong kaum jahil. Betapa seseorang akan berkata seperti itu, sedangkan dalam Al-Quran, Kitab Allah yang mulia, terdapat petunjuk bahwa anggota keluarga Rasulullah Saw. dilipatgandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya, yaitu dalam firman Allah: Hai istri-istri Nabi, barang siapa di antara kamu melakukan per¬buatan keji yang nyata, dilipatgandakan baginya siksaan dua kali lipat dan itu adalah mudah bagi Allah. Barang siapa di antara kamu tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal saleh, kepadanya Kami beri pahalanya dua kali dan Kami sediakan baginya rezeki yang melimpah. (QS Al-Ahzab [33] 30-31) Istri-istri Rasulullah Saw. adalah bagian dari keluarga rumah tangga beliau. Oleh sebab itu, siapa saja yang mengatakan atau mengira bahwa meninggalkan perbuatan ketaatan atau mengerja¬kan kemaksiatan tak mendatangkan mudarat bagi seseorang disebabkan kemuliaan nasabnya atau karena kebaikan amal serta pekerti leluhumya, orang itu sesungguhnya telah membuat dusta keji tentang Allah Swt. serta menyalahi ijmaa' (kesepakatan) seluruh kaum Muslim. Namun, ahlul-bait Rasulullah Saw. memang memiliki kemuliaan khusus, dan beliau pun telah menunjukkan perhatiannya yang amat besar kepada mereka. Pada masa hidupnya, beliau berulang-¬ulang mengimbau agar umatnya mencintai dan menyayangi mereka. Dengan itu pula, Allah Swt. telah memerintahkan dalam firman-Nya: Katakanlah wahai Muhammad, "Tiada aku minta suatu balasan melainkan kecintaanmu kepada kerabatku." (QS Al-Syura [42]: 23) Oleh karena itu, sudah sepatutnya seluruh kaum Muslim me¬menuhi hati mereka dengan kecintaan dan kasih sayang kepada ahlul-bait serta menghormati dan memuliakan mereka, demi kekerabatan mereka dengan Rasulullah Saw, tanpa berlebih-¬lebihan dan sikap keterlaluan. Selain itu, siapa saja dari kalangan ahlul-bait yang perilakunya menyamai atau hampir seperti perilaku salaf (leluhur) mereka yang saleh dan menempuh jalan mereka yang diridhai, maka ia adalah imam yang cahayanya dijadikan pelita penerang dan teladannya diikuti, seperti halnya para leluhur mereka yang berjalan di atas jalan hidayah. Sebab, dan merekalah imam-imam besar pada masa-¬masa lalu, seperti Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan dan Al-Husain (kedua cucu Rasulullah Saw). Juga, seperti Ja`far bin Abi Thalib (Al-Thayyar)2, Hamzah (Sayyid Al-Syuhada)3, demikian pula Abdullah bin 'Abbas dan ayahandanya, Al- Abbas(paman Nabi Saw), Imam Ali Zain Al-Abidin bin Husain4, Imam Muhammad Al-Baqir5 dan putranya, Imam Ja'far Al-Shadiq6 'alaihimus-salam, dan imam-imam lainnya dari ahlul-bait yang disucikan, dari yang terdahulu hingga keturunan mereka yang datang kemudian. Adapun mereka yang berasal dari keluarga rumah tangga ahlul-bait ini, tetapi tidak menempuh jalan leluhur mereka yang disucikan, lalu mencampuradukkan antara yang baik dan buruk disebabkan kejahilannya, seyogianyalah mereka pun tetap dihormati sewajarnya, semata-mata disebabkan kekerabatan mereka dengan Nabi Saw. Namun, siapa saja yang memiliki ke¬ahlian atau kedudukan untuk memberi nasihat, hendaknya tidak segan-segan menasihati mereka dan mendesak agar mereka kembali menempuh jalan hidup para pendahulu mereka yang baik-baik, yang berilmu, beramal saleh, berakhlak mulia, dan ber¬perilaku luhur. Juga, menegaskan bahwa mereka sebenarnya lebih utama dan lebih patut berbuat seperti itu, dan bahwa ke¬muliaan nasab saja tak akan bermanfaat dan tak akan meninggikan derajat, selama mengabaikan ketakwaan, mencurahkan sepenuh perhatian pada dunia, meninggalkan amalan-amalan ketaatan, serta menistai diri dengan berbagai maksiat. Para ahli syair pun, apalagi para imam dan ulama, sering kali menandaskan makna ini seperti yang diucapkan seorang dari mereka: Demi Allah, manusia hanyalah "putra" agamanya, karenanya jangan meninggalkan takwa demi mengandalkan nasab. Islam memuliakan Salman si orang Parsi, sementara kemusyrikan menghempas Abu Lahab sang bangsawan. Al-Mutanabbi berkata: 'Apabila jiwa sang bangsawan menyimpang dari leluhurnya, dada manfaat diperoleh walau tinggi kedudukannya." Seorang penyair lain mengatakan: Tiada berguna asal usul dari Hasyim, Bila jiwa dan semangatnya dari Bahilah.7 Pembicaraan tentang putra-putra para shalihin (di luar kalang¬an ahlul-bait) sama seperti pembicaraan tentang ahlui-bait juga. Maksudnya, siapa saja dari mereka yang menempuh jalan leluhur¬nya, maka ia pun seorang saleh seperti mereka, patut dimuliakan dan diharapkan barakah8-nya. Dan, siapa saja dari mereka yang menempuh jalan kejahilan dan kelengahan, hendaknya dinasihati dan dibimbing ke jalan kebenaran, juga dihormati sewajarnya, semata-mata demi mengingat para salafnya yang shalihin. Betapa tidak, sedangkan Allah Swt. telah berfirman tentang kedua orang anak kecil dan kebun peninggalan ayah mereka: "Adapun tembok itu adalah kepunyaan dua anak muda yatim piatu di dalam kota; di bawah tembok itu ada harta kepunyaan keduanya dan ayah mereka seorang yang saleh. Maka, Tuhanmu ingin supaya mereka mencapai usia dewasa dan mengeluarkan hartanya sebagai rahmat dari Tuhanmu." (QS Al-Kahfi [18]:82) Menurut sebagian ahli tafsir, ayah yang dimaksud dalam ayat ini ialah ayah mereka ketujuh dari silsilah ibu mereka. Kedua anak tersebut (berkat kesalehan ayah mereka) telah memperoleh penjagaan Allah dalam urusan duniawi mereka, apalagi-tentu¬nya-dalam urusan akhiramya. Ketahuilah dan pahamilah. Letakkan segala sesuatu di tempatnya yang tepat dan berikan hak setiap orang kepadanya. Mintalah pertolongan Allah selalu, Anda akan beroleh kebaha¬giaan dan bimbingan. Sungguh, segala-galanya adalah milik Allah semata.

Hikam Al Hadad : Empat Kategori Orang Saleh dan Empat Kategori Kebalikannya

Sufi Road:Hikam Al Hadad : Empat Kategori Orang Saleh dan Empat Kategori Kebalikannya Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra Manusia di dunia ini dapat dibagi atas empat kategori. Kebaikan dan kelurusan dunia bergantung pada kebaikan dan kelurusan sikap mereka pula. Pertama, seorang ‘abid (ahli ibadah) yang mustaqim1, zahid2, menunjukkan perhatian sepenuhnya kepada Allah, ‘arif billah3 secara sempuma, dan memiliki kesadaran yang tajam dalam keberagamaan. Kedua, seorang ulama yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama, berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah, menerapkan serta mengamalkan ilmunya, mengajari dan menasihati manusia, meme­rintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar, tidak ber­sifat plin-plan dalam urusan agama, dan tidak peduli pada kecaman siapa pun dalam membela ketetapan-ketetapan Allah Swt. Ketiga, seorang penguasa yang adil, jujur, baik perilakunya, bersih jiwanya, dan lurus politiknya. Keempat, seorang hartawan yang saleh, memiliki kekayaan yang besar dan bersih, membelanjakannya dalam amal-amal kebajikan, menggunakannya untuk menyantuni kaum lemah dan fakir miskin, dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang dalam keadaan kesulitan. Ia tidak menyimpan dan mengumpulkan hartanya itu kecuali untuk tujuan-tujuan tersebut serta berbagai kebajikan dan santunan yang sejalan dengan itu. Selain itu, di samping kategori manusia di atas, ada pula orang­-orang yang tampaknya serupa dengan mereka dalam keadaan lahiriahnya, tetapi tidak sesuai dengan hakikat sebenarnya. Maka, di samping si 'abid yang mustaqim, ada orang yang berlagak seperti seorang shufi4 yang mencampuradukkan dan mencurigakan. Di samping ulama yang mengamalkan ilmunya dengan jujur, ada ulama yang durjana dan munafik. Di samping penguasa yang adil dan bijak, ada penguasa tiran yang selalu menyimpang dan ke­benaran dan tak becus memimpin dan memerintah. Di samping hartawan yang saleh, ada hartawan zalim, yang mengumpulkan kekayaan dengan cara yang tidak halal, mengelak dan kewajiban­nya, serta membelanjakannya dalam hal-hal yang tidak sepatutnya. Orang-orang jahat seperti itu menyebabkan kerusakan dan keguncangan kehidupan dunia, kekacauan ihwal manusia, dan penyimpangan mereka dan arah yang benar. Namun, semuanya kembali kepada Allah SWT jua. Di tangan-Nyalah segala kerajaan. Mahasuci Dia, Yang Maha Esa lagi Berkuasa, Raja Yang Maha Pemberi, Yang mewujudkan segala sebab atas perkenan-Nya. Demi kehendak-Nya, tiada tuhan kecuali Dia, dan kepada-Nyalah segala sesuatu akan kembali. Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!! Keterangan: 1. Mustaqim; lurus dan lapang. Orang yang ber-istiqomah, yakni senantiasa bersikap lurus sesuai dalam agama. 2. Zahid; orang yang berzuhud, yang meninggalkan kecenderungan kesenangan duniawi yang bersifat sementara (fana’-semu). 3. ‘arifbillah; orang bijak yang memperoleh makrifat , yakni pengetahuan mendalam tentang Allah SWT dan alam semesta, atas perkenan Allah Swt dan sebagai anugerah khusus dari-Nya. 4. Shufi; ahli tasawuf, yakni ilmu yang mencari kebenaran hakiki dan pendekatan diri kepada Allah Swt dengan berbagai amalan, iabdah, zikir, renungan dsb.

Hikam Al Hadad: Masalah Thariqat

Sufi Road:Hikam Al Hadad: Masalah Thariqat Risalatul Murid, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra Dorongan bathin untuk menuju ke jalan Allah, ketahuilah bahwa jalan yang pertama-tama harus ditempuh adalah mengeluarkan dorongan yang kuat dihati untuk berminat dan mengajak untuk menuju Allah Ta'ala dan menuju jalan ke Akherat, serta menomor duakan dunia, dari segala yang biasanya dikejar manusia kebanyakan. Seperti mengumpulkan menumpuk kekayaan, bersenang-senang menurut hawa nafsunya, serta bermegah-megahan, dalam tindakan dan kemewahannya. Dorongan ini merupakan rahasia-rahasia Tuhan yang dilimpahkan ke dalam hati hamba-Nya, itulah yang dikatakan inayah Tu han dan tanda-tanda petunjuk-Nya, sering inayah serupa di limpahkan ke dalam hati hambanya dikala dalam ketakutan atau menggembirakan atau timbulnya kerinduan terhadap Zat-Nya, ataupun ingin mengadakan pertemuan dengan para wali Allah, atau sewaktu mendapatkan nasehat atau pandangan dari mereka. Adakalanya dorongan tersebut tanpa ada sesuatu sebab tertentu Adapun cita-cita untuk-mendapatkan dorongan serupa itu, memang diharuskan dan digalakkan. Akan tetapi bercita-cita saja tanpa berusaha untuk meningkatkan dan mendapatkannya, itu satu keputusan yang bodoh, yang menunjukkan orang yang berharap atau bercita-cita saja tanpa amal, sangat bodoh sekali, bukanlah Rasul pernah bersabda ; Sesungguhnya Tuhan telah menyediakan berbagai kelimpahan pada setiap manusia, maka hendaklah kamu menuntutnya. Siapa yang telah mendapatkan penghargaan dari Allah Rabbul Alamin dengan dorongan yang Mulia ini, hendaklah ia menyediakan dirinya pada tempat yang sesuai. dan hendaklah ia tahu bahwa karunia Allah Ta'ala ini, adalah nilai yang paling tinggi di antara nikmat-nikmat yang lain. Dan tak dapat dinilai derajatnya, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Kesyukuran atas nikmat-Nya, maka hendaklah melipatgandakan kesyukuran-mu terhadap Allah Ta'ala atas nikmat yang besar yang telah diberikan kepadamu. Dipilih dan diutamakan diantara orang-orang yang setaraf dengan rekan-rekan yang berjuang yang telah mendapatkan nikmat. Sangat banyak orang-orang Islam yang sadar mencapai usia delapan puluh tahun atau lebih akan tetapi ia masih belum dikaruniakan dorongan serupa dan hatinya tidak pernah terketuk oleh rahasia bathinnya Setiap murid harus rajin berusaha untuk meperkokoh, memelihara dan menuruti ajakan dorongan bathin tersebut. Cara untuk memperkokohnya ialah dengan memperbanyak mengingat Allah Ta'ala (dzikir), merenung dan memperhatikan segala kekuasaan Allah Ta'ala, dan senantiasa dekat dan berdampingan dengan wali Allah. Cara lain memeliharanya dengan menjauhkan diri dari berkumpul bersama-sama orang-orang yang tidak bermanfaat dalam agama, dan menjauhkan segala was-was dan tipu daya syaitan. Yang terakhir dengan cara menuruti ajakannya ialah berlomba-lomba kembali kejalan Allah, berlaku benar dalam menghadapi segala perintah-Nya, tidak bermalas-malasan dan tidak menunda-nunda serta tidak pula melambat-lambatkannya. Bahkan apabila sampai pada masanya hendaklah ia menunaikan, dan apabila terbuka pintu kebajikan hendak­lah ia masuk tanpa banyak berpikir, dan apabila diseru untuk berbakti hendaklah bergegas, dan tidak tanggung-tanggung, hendaklah ia berhati-hati atas ucapan besok atau lusa, sebab yang demikian itu adalah hasutan syaitan. Malah hendaklah ia terus-menerus mengerjakan segala amal baik itu dengan segera, tidak ditangguh-tangguhkan atau mencari-cari alasan karena tidak ada waktu, atau belum masa­nya untuk beramal dan sebagainya. Berkata Abur Robi' Rahimahullah, tujukan dirimu ke jalan Allah dalam keadaan tampan atau cacat diri, jangan sekali-kali menunggu waktu sehat saja, karena menunggu waktu sehat itu adalah merugikan. Berkata Ibnu Atha' dalam kitabnya Al-Hikam menangguh-nangguhkan sesuatu pekerjaan sehingga ada peluang, menandakan kebodohan jiwa

Hikam Al Hadad: Mukasyafah (penyingkapan rahasia)

Sufi Road:Hikam Al Hadad: Mukasyafah (penyingkapan rahasia) Diantara perkara-perkara yang boleh membahayakan seorang murid ialah mencita-citakan (menginginkan) Mukasyafah (penyingkapan rahasia-rahasia Tuhan) dan berharap keramat serta perkara-perkara diluar kebiasaan adat berlaku atas dirinya. Ingatlah wahai murid, bahwa perkara-perkara serupa ini tidak akan muncul selagi kamu dituntut atau diminta-minta dengan berdasarkan hawa dan nafsu kerana pada kebiasaanya ia tidak akan muncul melainkan pada orang-orang yang membencinya dan tidak menduganya sama sekali. Keterangan: “Kebanyakkan murid dan salik bercita-cita untuk memperolehi ‘mukasyafah’ iaitu terbukanya rahasia-rahasia Tuhan dan bila terbukanya rahasia ketuhanan maka beralihlah ia untuk mencapai kedudukkan keramat yang mempunyai perkara-perkara diluar kebiasaan adat resam sebagai manusia biasa kerana tercapainya kedudukkan keramat akan membawanya kepada kedudukkan luar biasa, macam ‘superman’. Ingatlah wahai murid dan salik, perkara ini tidak akan datang selagi kamu mencarinya atau meminta-minta dengan berlandaskan hawa nafsu. Kerana pada kebiasaanya keramat ini tidak akan datang melainkan pada orang-orang yang sangat membencinya dan tidak sangka sama sekali bila ia datang. Orang yang benci pada kedudukkan keramat ini adalah semata-mata tidak mahu diganggu oleh manusia lain kerana tumpuan yang selama ini diberikan untuk Allah akan beralih kepada manusia dengan terpaksa melayani fi’il tabiat manusia yang hanya ingin kesenangan dan menolak kesusuhan kerana kebanyakkan manusia sebegini adalah manusia yang buta mata hatinya”. Adakalanya perkara-perkara seumpama keramat dan sebagainya itu berlaku juga pada golongan orang yang tertipu dengan cita-cita untuk mencelakakan dirinya dan sebagai suatu 69 Petunjuk Jalan Thariqat pengujian terhadap kamu Mu’minin yang lemah I’tikadnya. Semua itu tidak boleh dikira sebagai keramat yang benar, malah ia merupakan sebagai suatu penghinaan kepada orangorang yang mendakwa keramat itu. Sebab keramat hanya lahir (ada) pada orang-orang ahli istiqamah, yakni orang-orang yang sudah terkenal lurus dalam perjalanannya. Keterangan: “Kadang-kadang perkara seperti keramat berlaku juga pada orang yang tertipu dengan angan-angannya. Ini adalah sebagai hukuman dari Allah untuk mencelakakan dirinya dan sebagai pelajaran bagi kaum mu’minin yang lemah keyakinannya terhadap Allah Taala. Sekiranya berlaku juga sesuatu diluar dugaan manusia itu adalah ‘ketetapan hukum yang berlaku pada masa itu’ bukan pada keramat seperti yang didakwa oleh orang yang tertipu dan orang yang ditipu. Keramat hanya akan datang pada orang-orang yang ahli didalam istiqamah sahaja. Lain cara jangan haraplah! Istiqamah didalam menjalankan ketaatan perintah Allah Taala dan RasulNya. Sangatlah mudah untuk mengetahui seseorang itu menerima anugerah keramat ataupun tidak, lihatlah akan ketaatannya pada perintah Allah dan RasulNya. Mudah bukan! Maka dengan itu janganlah lekas terperdaya dengan dakwaan seseorang itu keramat atau tidak, lihatlah pada istiqamahnya”. Wahai kamu murid! Sekiranya Allah Taala telah memberikan penghormatan keramat kepada kamu, maka hendaklah kamu mensyukuriNya. Awas, janganlah pula kamu berhenti dari meneruskan amalan kamu lantaran keramat itu telah muncul atas diri kamu. Juga hendaklah kamu tidak bermegah sangat dengan keramat itu, lalu kamu mengantungkan semua harapan ke atasnya. Hendaklah kamu merahsiakan keramat itu dari orang ramai dan jangan membicarakannya dengan mereka. Keterangan: “Sekiranya ditakdirkan oleh Allah Taala memberikan penghormatan keramat kepada kamu, maka hendaklah kamu mensyukuriNya atas pemberianNya. Tapi ingat! Selagi kamu tidak tahu mensyukuriNya bagaimana mungkin penghormatan keramat akan diberikan? Dan janganlah pula kamu ‘pencen’ pulak dari meneruskan amalan ketaatan kerana keramat sudah dapat dan kerana telah sebok melayani manusia . . . Janganlah kamu bertepuk dada lantaran keramat itu dan mengantungkan semua harapan kamu keatasnya. Kalau perbuatan itu tidak dibuat macam mana orang nak tahu kamu keramat? Rugilah . . . Duit tak masuk . . . Rahasiakan keramat itu dari orang ramai dan jangan membicarakannya kalau kamu tidak mahu disebokkan oleh mereka . . .”. Akan tetapi, jika semua itu tidak pernah muncul atau lahir atas diri kamu, meskipun kamu telah banyak beramal dan beribadat, maka janganlah sampai kamu mencita-citakannya dan jangan juga merasa kesal dan dukacita, apabila dengan tiba-tiba ia hilang tidak menjelma lagi. Keterangan: “Sekiranya keramat

Hikam Al Hadad:Memperturutkan Hawa Nafsu dan Kesenangan Duniawi

Sufi Road:Hikam Al Hadad:Memperturutkan Hawa Nafsu dan Kesenangan Duniawi [Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] Orang yang paling besar ke-rohah-annya di dunia, terlampau gemar akan kesenangan dan kelezatannya, dan paling giat mengejar kemewahannya adalah juga (orang) yang paling besar kepayahannya dan kesulitannya, paling banyak menghadapi ancaman bahaya dan paling sering diliputi kerisauan, kegundahan, dan kesedihan. Sebagai contohnya, para raja dan hartawan. Adapun seseorang yang paling sedikit merasakan ke-rohahan serta kelezatan duniawi dan paling sedikit kegemaran dalam mencari kemewahan adalah juga yang paling ringan kepayahan dan kesulitan yang dihadapinya, paling sedikit bahaya yang mengancamnya, dan paling sedikit kerisauan dan kegundahan yang dialaminya. Contohnya, kaum fakir miskin (yang sabar). Hal itu disebabkan kelezatan kesenangannya, serta gejolak syahwatnya pada hakikatnya lebih banyak mengakibatkan kekeruhan hati, kesusahan, dan kegelisahan. Dan, bahwa orang yang bersaing, berebut, dan cemburu untuk mendapatkan kelezatan dunia sungguh amat banyak jumlahnya. Itu pulalah penyebab makin besarya kesulitan, bahaya, serta kegundahan yang dialami dalam upaya memperolehnya, menikmatinya, menjaganya, serta mengembangkannya. Dan, makin berlipat gandalah-bersamaan dengan itu-segala kesulitan, bahaya, kegelisahan, dan kegundahan hati dengan bertambah gencarnya pencarian dan memuncaknya kegemaran padanya. Sebaliknya, makin lemah keinginan meraih kelezatan dunia dan makin redup kegemaran memperolehnya, makin sedikit pula kepayahan, bahaya, kegelisahan, dan kegundahan yang dialami. Itulah sebabnya Anda melihat para raja dan hartawan adalah orang-orang yang paling lelah hidupnya, paling banyak mengalami kegundahan dan keresahan, serta paling besar ancaman yang dihadapinya. Sehingga, mereka bersedia berjudi dengan nyawanya dan mengorbankan hidupnya demi meraih idaman hatinya dan memenuhi syahwat nafsunya atau demi menjaga miliknya dan mengembangkannya. Keadaan seperti itu dapat disaksikan dengan jelas oleh setiap orang yang menggunakan akalnya. Adapun kaum fakir miskin, mereka itu adalah manusia yang paling sedikit kegundahan dan kegelisahannya disebabkan oleh sedikitnya tuntutan akan kelezatan dunia dan kemewahan hidup. Hal itu juga disebabkan oleh lemahnya keinginan mereka untuk meraih hal-hal tersebut, baik dengan cara sukarela, seperti keadaan para ahli zuhud, atau karena terpaksa seperti dalam keadaan kaum yang lemah. Yakni, orang-orang yang tidak membiarkan hati mereka membicarakan kehidupan duniawi yang berlebih-lebihan, dan karena itu tidak berkeinginan untuk meraihnya atau bersusah payah mempertahankannya. Sebagai akibatnya, sedikit pula kepayahan dan kegundahan yang mereka alami. Ketahuilah bahwa orang yang hanya mencari kehidupan untuk hidupnya sehari, lebih sedikit kepayahan dan kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk hidupnya serninggu. Orang yang mencari kecukupan untuk seminggu lebih sedikit kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk sebulan. Dan, yang mencari kecukupan sebulan lebih sedikit kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk setahun. Selanjutnya, orang yang mencari kecukupan untuk dirinya sendiri lebih sedikit kepayahan dan kegundahannya daripada yang mencari kecukupan untuk dirinya sendiri ditambah untuk orang lain. Makin banyak tuntutan hidup, makin besar pula kepayahan dan kesulitan serta kegundahan dan kegelisahan. Dengan demikian, kesenangan dan ke-rohah-an duniawi yang diperoleh seorang manusia, semuanya itu berada di atas sebuah lengan neraca, sedangkan kepayahan, bahaya, serta kegundahan yang dialami dan dideritanya berada di sebuah lengan neraca lainnya. Persis sama banyaknya, kendati ada kemungkinan salah satu dan keduanya sedikit lebih banyak atau lebih ringan. Manusia dalam hal ini memang agak berbeda antara yang satu dan lainnya. Inilah yang diperoleh oleh kedua kelompok dalam kehidupan dunia. Adapun di akhirat kelak, masing-masing masih akan mengalami balasannya sendiri-sendiri. Para pencari kelezatan duniawi dan pengumbar syahwat hawa nafsu akan mengalami balasan yang berupa perhitungan, hukuman, dan malapetaka. Demikian pula kaum tak berpunya yang ikhlas, yang-di dunia ini-terhalang atau menahan diri dari kelezatan duniawi dan syahwat hawa nafsu. Mereka itu akan menerima balasan berupa kehormatan, kenikmatan, kejayaan, dan kesenangan. Semua itu telah dikenal dan masyhur dalam berbagai berita, dalam AlQuran dan hadis-hadis yang amat panjang sebutannya dan sangat sulit dicakup bilangannya. Oleh sebab itu, jika Anda benar-benar menginginkan "kerohah-an sejati" dalam kehidupan dunia, Anda dapat memperolehnya dengan meninggalkan ke-rohah-an1 di dalamnya. Kepada seorang bijak bestari pernah diajukan pertanyaan, "Untuk siapakah akhirat itu?" Jawabnya, "Untuk siapa yang mencarinya." Ketika ditanyakan pula, "Untuk siapakah dunia itu?" Jawabnya ialah, "Untuk siapa yang meninggalkannya." Ibrahim bin Adham2 rahimahullah, pernah berkata kepada seorang miskin yang dilihatnya sedang murung, "Jangan risau dan jangan bersedih hati, kawan. Sekiranya para raja mengetahui ke-rohah-an yang sedang kita alami, niscaya mereka akan memerangi kita dengan pedang untuk merebutnya." Adapun sebab Ibrahim bin Adham.rhm mengeluarkan dirinya dan kemewahan kehidupannya dan melepaskan kerajaannya yang fana ialah ketika pada suatu siang ia melongok dari istananya, dilihatnya seorang pengemis sedang berteduh di bawah dinding istana itu. Sang pengemis mengeluarkan sekerat roti dan buntelannya, lalu minum air dan selesai itu tidur dengan sangat lelapnya dalam bayang-bayang istana. Ibrahim bin Adham.rhm sangat terkesan dan kagum akan keadaan orang itu dan merasa iri atas ke-rohahannya. Ia memerintahkan seorang pengawal istana agar menghadapkan orang itu apabila ia telah terjaga. Ketika orang itu datang, Ibrahim berkata kepadanya, "Telah Anda makan roti itu dalam keadaan lapar, lalu merasa kenyang dengannya?" "Ya," jawab orang itu. "Dan, Anda telah tidur dan puas beristirahat?" "Ya," jawabnya lagi. Mendengar itu, Ibrahim berkata kepada dirinya sendiri, "Jika nafsu manusia dapat merasakan kepuasan dengan sesuatu seperti ini, apa artinya kemewahan dunia ini bagiku?!" Pada malam harinya, Ibrahim bin Adham keluar dan istananya, meninggalkan kebiasaan hidupnya sebelum itu, dan mencurahkan semua waktunya menuju Allah Swt. Maka, jadilah ia seorang tokoh sufi yang besar, yang kedudukannya dekat dengan Sang Pencipta SWT. Dengan uraian di atas, Anda mengetahui bahwa kesenangan-kesenangan duniawi, kelezatan-kelezatannya, serta pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, semua itu mengundang kepayahan, bahaya, kegundahan, kerisauan, dan kesedihan. Makin besar yang "itu" makin besar pula yang "ini", dan makin patut seorang manusia menderita karenanya. Sebaliknya, makin sedikit kelezatan, ke-rohah-an, dan pengumbaran syahwat nafsu di dalamnya, makin sedikit pula kepayahan, bahaya, kegundahan dan kerisauannya, makin damai pula hati manusia karenanya. Di samping itu semua, masih ada lagi risiko dan konsekuensi di akhirat bagi mereka yang berfoya-foya di dunia. Dan, masih ada pula kemuliaan yang disediakan bagi siapa yang meninggalkan tuntutan hawa nafsu duniawi dan yangberpaling darinya, baik secara sukarela maupun karena terpaksa. Demikianlah, semuanya itu terang dan jelas bagi siapa raja yang memerhatikannya dan bersikap tulus terhadap dirinya sendiri. Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!! Keterangan: 1. Ke-rohah-an, disini berarti bersantai bersenang-senang tak memikirkan akhirat. Adapun ke-rohaha-an sejati ialah kepuasaan hidup yang dirasakan oleh kaum 'Arifin.. 2. Sayyid Syekh Ibrahim bin 'Adham (Abu Ishaq) dari Balakh, asalnya seorang pangeran lalu keluar meninggalkan istananya demi mencari kepuasaan batin dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Hikam Al Hadad: Tanda Penyakit Hati dan Cara Mengobatinya

Sufi road:Hikam Al Hadad: Tanda Penyakit Hati dan Cara Mengobatinya [Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] Sesungguhnya penyakit-penyakit hati dapat diketahui melalui tanda-tandanya secara lahiriah yang mengisyaratkan tentang kehadirannya. Tanda-tanda tersebut banyak sekali, yang paling nyata di antaranya ialah sikap bermalas-malasan dalam mengerjakan berbagai macam ketaatan, merasa berat berbuat kebajikan, sangat terikat pada syahwat hawa nafsu, sangat cenderung pada kelezatan dunia, sangat ingin memperluas kesejahteraan di dalamnya serta lebih lama berdiam di sana, dan lainnya lagi sebagaimana yang dapat disaksikan dalam kebiasaan orang-orang yang lalai akan akhirat dan berpaling dan Allah Swt. Bilamana timbul tanda-tanda seperti itu pada agama seseorang, yang menunjukkan adanya penyakit dalam hatinya, wajiblah ia berusaha sungguh-sungguh untuk mengobati dan menanganinya dengan saksama. Cara terbaik dan paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut ialah dengan mencari seorang syaikh (guru, pembimbing, mursyid) yang 'Alim dan 'Arif dari kalangan yang bersih dan sadar kalbunya. Jika tidak berhasil memperolehnya, hendaknya ia memilih seorang kawan yang saleh yang dapat dimintai pendapatnya dan diajak bermusyawarah dalam menyelidiki dan mengenali penyakit-penyakit hati serta mengobatinya. Tetapi, kalau orang seperti ini pun tidak dapat dijumpainya seperti lazimnya pada zaman ini yang jarang sekali ditemukan orang yang bersedia menolong dalam kebenaran dan kebaikan, hendaknya ia membaca buku-buku yang ditulis oleh para imam dan tokoh besar dalam bidang ini, yang sengaja mereka susun tentang penyakit-penyakit hati dan cara-cara penanganan dan pengobatannya. Di antara buku-buku yang paling lengkap dan paling bermanfaat mengenai hal itu ialah Kitab Ihya' Ullumuddin karya Imam Al Ghazali, terutama perempat bagiannya tentang Al-Muhlikat (sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan pembinasa hidup manusia). Sebab, buku itu memang sengaja ditulis untukmengenali penyakit-penyakit hati serta cara-cara pengobatannya, tanda-tanda yang menunjukkan adanya, kuat ataupun lemahnya, dan sebagainya. Namun, buku-buku apa pun tidak mungkin dapat disejajarkan dengan kedudukan seorang syaikh yang 'Arif atau kawan karib yang saleh dalam perjalanan mencapai tujuan. Itu hanyalah sejauh upaya orang yang tidak berhasil menjumpai mereka atau tidak dimungkinkan oleh keadaan. Sungguh Allah Swt. akan memberikan pertolongan-Nya sesuai dengan kadar himmah, ketulusan, serta kebersihan niat seseorang. Dialah sebaik-baik pelindung dan penolong. Bahaya Penyakit Hati Dibandingkan Penyakit Tubuh Penyakit-penyakit hati lebih mengganggu dan lebih berbahaya, lebih parah dan lebih buruk daripada penyakit-penyakit tubuh ditinjau dan berbagai segi dan arah. Yang paling merugikan dan paling besar bahayanya ialah karena penyakit hati mendatangkan mudarat atas seseorang dalam agamanya, yaitu modal kebahagia­ annya di dunia dan di akhirat; dan bermudarat bagi akhiratnya, yaitu tempat kediaman yang baqa, kekal, dan abadi. Adapun penyakit tubuh tidaklah mendatangkan mudarat atas seseorang kecuali di dunianya yang fana yang segera sima, serta tubuhnya yang menjadi sasaran penyakit akan hancur luluh dalam waktu yang cepat. Apalagi penyakit tubuh itu sebenarnya amat berfaedah bagi seseorang dalam agama dan akhiratnya. Sebab, Allah Swt. menyediakan pahala yang sangat besar bagi si penderita sakit, di samping banyak faedah dan manfaat lainnya yang segera ataupun pada waktu mendatang, sesuai dengan yang disebutkan dalam berbagai ayat dan hadis tentang pahala yang disediakan pada penyakit dan bencana yang menimpa tubuh. Kemudian, karena penyakit hati tidak terjangkau secara indriawi dan tidak menimbulkan rasa sakit, sulitlah ia diketahui dan ditemukan. Perhatian padanya amat sedikit dan daya upaya untuk mengobatinya pun lemah sekali, seperti yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali.rhm, "Penyakit hati itu laksana penyakit sopak (belang) di wajah seseorang yang tak memiliki cermin. Jika ia diberi tahu orang lain pun, mungkin ia tak memercayainya. " Selain itu, berbagai azab dan hukuman yang diancamkan atas diri seseorang sebagai akibat penyakit-penyakit hati, kelak di akhirat, adalah sesuatu yang sulit diterima oleh kaum yang lalai. Atau, mereka melihatnya sebagai sesuatu yang masih lama sekali datangnya. Adakalanya mereka bahkan meragukannya. (Semoga Allah Swt. melindungi kita darinya.) Atau, berangan-angan akan diselamatkan darinya dengan berbagai harapan yang menipu, semata-mata karena terlalu "berani" kepada Allah. Sehingga, timbul khayalan kosong dengan mengira pasti akan memperoleh ampunan dan keselamatan meski tanpa berusaha untuk mem­perolehnya. Disebabkan hal-hal seperti itu, banyak penyakit hati yang terus tersembunyi, bahkan makin kuat mencengkeram, sementara orang-orang yang lalai selalu teledor untuk mengobatinya se­hingga makin lama makin sulit diobati. Bahkan, adakalanya se­seorang dari mereka mengetahui bersemayamnya sesuatu penyakit di hatinya, tetapi ia tak peduli dan tak menghiraukannya. Padahal, sekiranya ia mengetahui adanya suatu penyakit di tubuhnya ataupun seorang lain memberi tahunya tentang hal itu, pasti besar sekali perhatian yang ditujukan padanya. Ia akan menjadi sangat takut, lalu bersungguh-sungguh berdaya upaya untuk mengobatinya dengan mengerahkan apa Baja yang &pat dilakukannya. Sebab, seperti yang telah kami sebutkan, penyakit hati itu tak terjangkau secara indriawi dan tidak ada rasa sakit yang menyertainya segera. Juga, hukuman-hukuman yang diancamkan terhadap itu tak tampak, dan kalaupun ada, ia baru akan terwujud kelak setelah mati dan berada di akhirat. Sedang­kan, orang yang lalai menganggap maut dan segala yang datang sesudahnya sebagai sesuatu yang amat jauh. Padahal, sekiranya menggunakan akalnya dan keyakinannya, niscaya ia akan mengetahui bahwa maut adalah suatu perkara gaib yang paling cepat datangnya, seperti disabdakan oleh Rasulullah Saw. Dan, sebagaimana juga beliau pemah bersabda, "Surga itu lebih dekat kepada seorang di antara kalian daripada tali sandalnya." Demikian pula neraka. Penyakit hati sungguh banyak ragamnya. Yang paling ber­bahaya dan paling mudarat ialah kebimbangan dalam agama. (Semoga Allah Swt. melindungi kita darinya.) Selain itu, lemahnya keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, serta kediaman di akhirat. Juga, sifat riya' (ingin dipuji oleh manusia) dalam per­buatan kebajikan. Angkuh terhadap hamba-hamba Allah, bakhil, iri hati, dengki, curang, cinta akan dunia dan sangat ingin mem­pertahankan nya, panjang angan-angan (yang menyebabkan selalu menunda tobat), lupa akan maut, lalai akan akhirat, mengabaikan persiapan untuknya, serta berbagai macam penyakit hati lainnya. Mengingat bahwa hati manusia tertutup dari perasaan indriawi, sedangkan penyakit-penyakit hati tidak disertai rasa sakit yang dapat dijangkau dengan alat-alat lahiriah, wajiblah atas manusia berakal, yang prihatin akan agamanya serta keselamatan akhiratnya, untuk sungguh-sungguh berusaha menyelidikinya sehingga ia dapat segera menangani dan mengobatinya sebelum maut datang mendadak dan ia pun menuju Tuhannya, laluberhadapan dengan-Nya dengan hati yang tidak sehat—yang karena itu ia akan merugi, binasa bersama dengan orang-orang yang binasa lainnya. @sufiroad

Hikam Al Hadad:Melepaskan Kebimbangan dalam Memilih Jalan (Thariqah)

Sufi Road:Hikam Al Hadad:Melepaskan Kebimbangan dalam Memilih Jalan (Thariqah) [Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] Sebagian orang yang mencari kebenaran dan ber-suluk1 di jalan Allah adakalanya melihat banyaknya ragam ilmu, amal, dan jalan (thariqah) menuju Allah Swt. la menjadi bingung, mana yang harus dipilih dan jalan mana yang harus ditempuh. Hal ini mungkin menyebabkannya tetap berhenti di tempatnya karena dilanda kebingungan. Oleh sebab itu, bagi siapa yang mengalami hal atau keadaan seperti itu atau yang serupa dengan itu, hendaknya ia berpikir dengan tenang. Apabila ia berada di bawah pengawasan seorang syaikh2 (guru) yang 'Alim, 'arif3, dan muhaqqiq4, wajiblah ia memilih dan mengandalkan apa yang diisyaratkan atau ditentukan oleh syaikhnya itu, baik dalam hal ilmu, amal, sikap, jalan, kepercayaan, ataupun urusan kehidupan. Demikian itu sudah cukup baginya. Namun, apabila orang yang bersuluk tidak berada di bawah pengawasan seorang syaikh sama sekali, atau seorang syaikh yang tidak memiliki sifat-sifat seperti yang telah kami sebutkan, hendaknya ia mengetahui, pertama-tama, bahwa di antara berbagai ilmu dan amal, ada yang difardukan atas setiap individu, tidak bagi setiap orang. Yaitu, seperti ilmu tentang keimanan yang dapat membentengi akidah, atau ilmu keislaman, termasuk di dalamnya yang bersangkutan dengan thaharah5, shalat, puasa, dan sebagainya. Hal-hal ini tidak boleh tidak harus diketahui dan diamalkan, apa pun yang terjadi. Jika telah selesai mencakup (mengetahui dan mengamalkan) itu semua, hendaknya ia memilih amal-amal, ilmu-ilmu, cara-cara, dan aturan-aturan yang dianggapnya lebih sesuai untuk dirinya, lebih berkesan di hatinya, dan lebih dekat pada ridha Tuhannya. Yang demikian ini tidak akan tersembunyi baginya selama ia benar-benar tulus dalam tujuan, keinginan, serta pencariannya akan Tuhannya serta jalan keridhaan-Nya. Di sini mereka yang bersuluk dan mencari kebenaran akan menjumpai perbedaan yang amat besar. Sebagian dari mereka cocok baginya ilmu yang ini dan sebagian lainnya cocok baginya ilmu yang lain pula. Demikian juga di bidang amalan; ada dari para pencari ini yang cocok dan sesuai baginya bersikap 'uzlah6 (menyendiri) agar dapat mencapai hasil, tetapi bagi yang lain justru tidak cocok baginya kecuali bergaul dengan khalayak. Ada yang tidak sesuai baginya kecuali mencegah diri dari segala usaha memperoleh kebutuhan hidupnya, sedangkan yang lain tidak sesuai baginya kecuali terjun dalam usaha tersebut. Begitu pula dalam persoalan perlunya bepergian jauh dan mengembara untuk memperoleh yang dicari atau tetap berdiam di tempatnya. Demikian itu berlaju seterusnya dalam berbagai ihwal dan persoalan yang berbeda-beda. Apabila orang yang bersuluk itu telah memilih cara yang menurut pendapatnya paling sesuai, paling cocok, dan paling dekat pada keridhaan Tuhannya serta mendatangkan anugerah dari-Nya, tidak sepatutnya ia mengecam atau memusuhi cara yang berlainan dengan caranya sendiri atau jalan (thariqah8) yang berbeda dengan yang ia tempuh semata-mata karena itu bukan cara dan jalannya sendiri. Padahal, ia termasuk di antara cara dan jalan yang direstui dalam syariat dan dipersaksikan kebenarannya dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. Sedangkan, Allah Swt. (bagi-Nya segala puji) telah menetapkan bagi tiap ilmu, orang-orang 'alim tertentu yang mengamalkannya ; bagi tiap jalan, orang-orang yang menempuhnya; dan bagi tiap kedudukan dan cara, orang-orang yang mendudukinya dan menjalaninya. Tidak akan cocok bagi mereka kecuali itu, dan tak akan mendapatkan ridhaNya kecuali dengan cara itu. Dalam hal itu terkandung suatu rahasia, bahkan banyak rahasia, dan banyak pula hikmah yang membutuhkan renungan yang panjang dan amat sulit dicapai kecuali oleh para ahli yang telah tercerahkan nuraninya dan tersucikan batinnya, yaitu orang-orang yang memandang dengan nur Allah Swt., yang mendalam ilmunya, yang di-kasyfkan7 baginya soal-soal ghaib dari hadirat Allah Swt. Selain itu, seseorang yang bersuluk hendaknya memperhitungkan sekiranya ia setiap kali mempelajari dan mengkaji suatu ilmu, amal, jalan, dan keadaan yang bukan menjadi pegangannya, selalu merasakan kericuhan dalam hatinya serta kekalutan dalam suluknya itu, sebaiknya ia menghentikan pengkajiannya itu dan tak usah ia "menyinggahinya" sama sekali. Tetapi, sekiranya tidak merasakan kericuhan dan kekalutan dalam hal itu, tak apalah ia mengkajinya juga. Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!! Keterangan: 1. Suluk ; metode untuk menempuh jalan Illahiyyah, taqarrub(pendekatan) kepada Sang Khaliq SWT. 2. Syaikh ; menurut bahasa orang yang telah lanjut usianya, kemudian digunakan untuk menyebut seorang guru pembimbing ruhani, mursyid,yang telah mumpuni ilmunya dalam agama. 3. Muhaqqiq ; orang yang telah mencapai dan meyakini kebenaran (al-Haqq) hakiki. 4. 'Arif ; orang bijak yang memperoleh makrifat , yakni pengetahuan mendalam tentang Allah SWT dan alam semesta, atas perkenan Allah Swt dan sebagai anugerah khusus dari-Nya. 5. Thaharah ; Kesucian-kebersihan. Dalam istilah ilmu Fiqih berarti hal bersuci seperti wudhu, mandi janabat dsb. 6. 'Uzlah ; menyendiri, mengasingkan diri. Salah satu cara yang ditempuh dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt. 7. Kasy ; penyingkapan hal-hal ghaib secara spiritual oleh Allah Swt bagi hamba yang dikehendakiNya. 8. Thariqah ; jalan. Kaum para ahli tasawuf memiliki metode cara-cara tersendiri dalam mencari kebenaran dan pendekatan kepada Allah Swt sesuai dengan pedoman Al-Qur'an dan Hadist, cara yang dipilih masing-masing jalan tersebut disebut Thariqah (Tarekat).

Hikam Al Hadad : Hikmat llahi pada Penciptaan Hal-Hal yang Berlawanan

Sufi Road:Hikam Al Hadad : Hikmat llahi pada Penciptaan Hal-Hal yang Berlawanan [Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] Adakalanya seseorang yang lemah bashirah1-nya memandang kepada alam ini lalu melihat berbagai hal yang saling berlawanan. Seperti adanya cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kejahatan, perbaikan dan perusakan, manfaat dan mudarat, dan lain sebagainya. Mungkin ia membisikkan dalam hatinya atau menggambarkan dalam angan-angannya bahwa seandainya dalam alam ini hanya ada cahaya, kebaikan, perbaikan, dan manfaat saja, niscaya akan lebih utama dan lebih baik. Mungkin pula akan timbul protes atau sanggahan dari orang itu terhadap Allah Swt. karena telah menciptakan sifat-sifat dan keadaan yang berlawanan dengan itu semua. Ia mengira bahwa ke-wujud2-an hal-hal itu semuanya tak ada artinya dan penciptaannya pun tidak ada hikmahnya. Itu hanya menunjukkan kejahilan, kebodohan, dan kelengahan dari orang yang berangan-angan tersebut. Sebab, Allah Swt. (bagi-Nya segala puji) adalah yang paling bijak di antara para bijak bestari. Dialah Tuhan yang memiliki ilmu yang mutlak, tak terbatas, yang melingkungi segala sesuatu dari segenap arahnya. Dialah yang paling kuasa di antara semua yang kuasa, paling pengasih di antara semua pengasih. Dalam suatu atsar3 disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Akulah Allah, tiada tuhan melainkan Aku. Telah Kuciptakan kebaikan dan kejahatan dan Kuciptakan masing-masing ahlinya bagi keduanya. Berbahagialah ia yang Kuciptakan untuk menjadi ahli kebaikan dan Kumunculkan kebaikan dari sisinya. Celakalah ia yang Kuciptakan untuk menjadi ahli kejahatan dan Kumunculkan kejahatan dari dalam dirinya. Kemudian, celakalah bagi siapa yang berkata, "mengapa, bagaimana". (Atsar ini dikutip dengan maknanya.) Oleh sebab itu, orang yang mengatakan, "mengapa, bagaimana, dan seandainya", pada saat ia melihat hal-hal yang tidak ia ketahui alasannya dan tidak ia capai makna hikmahnya yang terkandung di dalamnya, dapat dinyatakan sebagai seorang yang menyanggah kebijaksanaan Allah dan melawan-Nya dalam tadbir4-Nya. Ketahuilah bahwa kewujudan alam ini yang disertai dengan adanya berbagai hal di dalamnya, yang saling berlawanan dan berlainan, adalah kewujudan yang paling sempuma dan paling baik. Tiada sesuatu yang mencerminkan kebijakan dan mendatangkan kebaikan lebih besar daripadanya apabila dikaitkan dengan tujuan penciptaan alam dan sasaran yang hendak dicapai dengannya. Camkanlah hal ini. Tak dapat dimungkiri bahwa alam ini dalam kewujudannya berada pada salah satu di antara empat keadaan: 1. Tetap seperti keadaannya sekarang, yakni dengan segala keberlawanan atau kontradiksi yang maujud kini. 2. Yang ada di dalamnya hanyalah kebaikan murni dan kemanfaatan semata-mata. 3. Yang ada di dalamnya hanyalah kejahatan dan kemudaratan semata-mata. 4. Tidak terwujudnya alam ini sama sekali. Hanya empat keadaan ini saja, tidak ada kelimanya yang dapat dibayangkan dalam pikiran. Adapun seandainya alam ini dalam keadaan 'adam (tidak ada sama sekali, non existence), maka tidak akan dapat disebut sebagai sesuatu, tidak ada hakikat pada dirinya, dan oleh sebab itu tidak ada artinya sama sekali. Adapun seandainya yang ada di alam ini hanya kebaikan murni semata-mata, niscaya ia akan lumpuh disebabkan hikmah-hikmah dan maslahat segala sesuatunya akan menjadi batal dengan sendirinya. Alam seperti itu hanya berupa setengah kewujudan, dan dengan demikian takkan tercapai tujuannya yang memang dikehendaki dan diciptakan untuknya. Adapun seandainya yang ada dalam alam ini hanyalah kejahatan dan kemudaratan semata-mata, niscaya ia tak ada gunanya dan tidak perlu ada. Dari hasil pembahasan di atas dapat diketahui bahwa kondisi yang dapat disaksikan di alam sekarang adalah yang paling baik, paling sempuma, paling utama, dan paling patut. Dari uraian kami itu pula dapat dipahami makna persoalan yang disebutkan oleh Hujjatul-Islam Imam Al-Ghazali.rhm pada bagian tentang Tauhid dalam kitab Ulum Al-Din yang disimpulkannya dengan ungkapan: "Tidak mungkin terwujud yang lebih indah (atau lebih sempurna) daripada yang telah terwujud." Ucapan Imam Al-Ghazali.rhm itu mengandung kebenaran, dapat diterima baik, dan tak ada keberatan padanya. Meskipun demikian, tampaknya beliau (rahimahullah) agak berlebih-lebihan dalam penganalisisan dan penyimpulan masalah tersebut, sedangkan ruang untuk bahasannya terlalu sempit, sehingga susunan kalimatnya kurang mampu menjangkau makna sebenamya yang hendak dituju. Sebagai akibatnya, timbul kemusykilan dan ketidakjelasan. Adapun yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali memang benar, begitu pula maksud yang dikehendakinya amat mulia, meski juga pelik. Seperti itu pula yang dapat dikatakan mengenai masalah-masalah pelik lainnya. Jika seorang 'alim yang 'arif hendak menyampaikan pemahamannya kepada siapa yang bukan ahlinya, masalah tersebut akan bertambah tidak jelas dan musykil, dan jadilah si 'alim sasaran kecaman orang-orang yang tidak termasuk ahli dalam ilmu tersebut atau kurang mantap pijakan keilmuannya. Ketahuilah pula bahwa dalam kewujudan alam ini, seperti apa adanya, terkandung berbagai petunjuk mengenai nama-nama Allah (al-asma' al-husna) dan sifat-sifat-Nya yang pengetahuan tentang itu semua tidak akan sempuma kecuali dengan keberadaan alam seperti keadaannya kini. Cahaya, sebagai contoh, tidak mungkin dikenali dengan selayaknya kecuali dengan sesuatu yang berlawanan dengannya, yakni kegelapan. Kebaikan, tidak mungkin dikenali kecuali dengan lawannya, yakni kejahatan. Demikian pula tentang perbaikan dan perusakan, manfaat dan mudarat, sehat dan sakit, dan segala sesuatu lainnya yang saling berlawanan dan berlainan. Perhatikan baik-baik uraian kami dalam pasal ini. Sebab, ia termasuk di antara hikmah yang tinggi dan hakikat nan lembut, yang untuk menjelaskannya secara sempurna membutuhkan ucapan yang banyak dan uraian yang panjang. Sungguh Allah mengetahui yang benar dan menunjuki jalan yang lurus. Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!! Keterangan: 1. Bashirah ; akal, mata hati, kesadaran batin . 2. Wujud ; adanya sesuatu, sesuatu yang berupa, eksistensi. 3. 'Atsar ; peninggalan, bekas. Yang dimaksudkan disini, ucapan dari Nabi Saw, para sahabat atau ulama dan hukama pada masa lalu. 4. Tadbir ; pengaturan. 5. Maujud ; benar-bener ada, sesuatu yang nyata.

Hikam Al Hadad :Bahaya Penyakit Hati Dibandingkan Penyakit Tubuh

Sufi Road:Hikam Al Hadad :Bahaya Penyakit Hati Dibandingkan Penyakit Tubuh [Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] Penyakit-penyakit hati lebih mengganggu dan lebih berbahaya, lebih parah dan lebih buruk daripada penyakit-penyakit tubuh ditinjau dan berbagai segi dan arah. Yang paling merugikan dan paling besar bahayanya ialah karena penyakit hati mendatangkan mudarat atas seseorang dalam agamanya, yaitu modal kebahagia di dunia dan di akhirat; dan bermudarat bagi akhiratnya, yaitu tempat kediaman yang baqa, kekal, dan abadi. Adapun penyakit tubuh tidaklah mendatangkan mudarat atas seseorang kecuali di dunianya yang fana yang segera sima, serta tubuhnya yang menjadi sasaran penyakit akan hancur luluh dalam waktu yang cepat. Apalagi penyakit tubuh itu sebenarnya amat berfaedah bagi seseorang dalam agama dan akhiratnya. Sebab, Allah Swt. menyediakan pahala yang sangat besar bagi si penderita sakit, di samping banyak faedah dan manfaat lainnya yang segera ataupun pada waktu mendatang, sesuai dengan yang disebutkan dalam berbagai ayat dan hadis tentang pahala yang disediakan pada penyakit dan bencana yang menimpa tubuh. Kemudian, karena penyakit hati tidak terjangkau secara indriawi dan tidak menimbulkan rasa sakit, sulitlah ia diketahui dan ditemukan. Perhatian padanya amat sedikit dan daya upaya untuk mengobatinya pun lemah sekali, seperti yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali.rhm, "Penyakit hati itu laksana penyakit sopak (belang) di wajah seseorang yang tak memiliki cermin. Jika ia diberi tahu orang lain pun, mungkin ia tak memercayainya. " Selain itu, berbagai azab dan hukuman yang diancamkan atas diri seseorang sebagai akibat penyakit-penyakit hati, kelak di akhirat, adalah sesuatu yang sulit diterima oleh kaum yang lalai. Atau, mereka melihatnya sebagai sesuatu yang masih lama sekali datangnya. Adakalanya mereka bahkan meragukannya. (Semoga Allah Swt. melindungi kita darinya.) Atau, berangan-angan akan diselamatkan darinya dengan berbagai harapan yang menipu, semata-mata karena terlalu "berani" kepada Allah. Sehingga, timbul khayalan kosong dengan mengira pasti akan memperoleh ampunan dan keselamatan meski tanpa berusaha untuk mem­perolehnya. Disebabkan hal-hal seperti itu, banyak penyakit hati yang terus tersembunyi, bahkan makin kuat mencengkeram, sementara orang-orang yang lalai selalu teledor untuk mengobatinya se­hingga makin lama makin sulit diobati. Bahkan, adakalanya se­seorang dari mereka mengetahui bersemayamnya sesuatu penyakit di hatinya, tetapi ia tak peduli dan tak menghiraukannya. Padahal, sekiranya ia mengetahui adanya suatu penyakit di tubuhnya ataupun seorang lain memberi tahunya tentang hal itu, pasti besar sekali perhatian yang ditujukan padanya. Ia akan menjadi sangat takut, lalu bersungguh-sungguh berdaya upaya untuk mengobatinya dengan mengerahkan apa Baja yang &pat dilakukannya. Sebab, seperti yang telah kami sebutkan, penyakit hati itu tak terjangkau secara indriawi dan tidak ada rasa sakit yang menyertainya segera. Juga, hukuman-hukuman yang diancamkan terhadap itu tak tampak, dan kalaupun ada, ia baru akan terwujud kelak setelah mati dan berada di akhirat. Sedang­kan, orang yang lalai menganggap maut dan segala yang datang sesudahnya sebagai sesuatu yang amat jauh. Padahal, sekiranya menggunakan akalnya dan keyakinannya, niscaya ia akan mengetahui bahwa maut adalah suatu perkara gaib yang paling cepat datangnya, seperti disabdakan oleh Rasulullah Saw. Dan, sebagaimana juga beliau pemah bersabda, "Surga itu lebih dekat kepada seorang di antara kalian daripada tali sandalnya." Demikian pula neraka. Penyakit hati sungguh banyak ragamnya. Yang paling ber­bahaya dan paling mudarat ialah kebimbangan dalam agama. (Semoga Allah Swt. melindungi kita darinya.) Selain itu, lemahnya keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, serta kediaman di akhirat. Juga, sifat riya' (ingin dipuji oleh manusia) dalam per­buatan kebajikan. Angkuh terhadap hamba-hamba Allah, bakhil, iri hati, dengki, curang, cinta akan dunia dan sangat ingin mem­pertahankan nya, panjang angan-angan (yang menyebabkan selalu menunda tobat), lupa akan maut, lalai akan akhirat, mengabaikan persiapan untuknya, serta berbagai macam penyakit hati lainnya. Mengingat bahwa hati manusia tertutup dari perasaan indriawi, sedangkan penyakit-penyakit hati tidak disertai rasa sakit yang dapat dijangkau dengan alat-alat lahiriah, wajiblah atas manusia berakal, yang prihatin akan agamanya serta keselamatan akhiratnya, untuk sungguh-sungguh berusaha menyelidikinya sehingga ia dapat segera menangani dan mengobatinya sebelum maut datang mendadak dan ia pun menuju Tuhannya, laluberhadapan dengan-Nya dengan hati yang tidak sehat—yang karena itu ia akan merugi, binasa bersama dengan orang-orang yang binasa lainnya. Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!

Hikam Al Hadad : Di Antara Penyakit Hati: Keangkuhan dan Kelengahan

Sufi Road:Hikam Al Hadad : Di Antara Penyakit Hati: Keangkuhan dan Kelengahan [Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] Orang-orang yang angkuh ataupun yang lengah (ghaflah) dipalingkan dari ayat-ayat kekuasaan dan kebesaran Allah, pemahaman rahasia-Nya, serta penyaksian cahaya-cahaya-Nya sebagaimana dalam firman-Nya: “Akan Kupalingkan dari ayat-ayat-Ku (tanda-tanda kekuasaanKu) orang yang menyombongkan diri tanpa alasan haqq (yang dibenarkan) di muka bumi, dan sekalipun mereka melihat semua ayat itu, mereka tiada juga percaya. Dan, sekalipun mereka melihat jalan kebenaran, mereka tiada juga menempuhnya. Tetapi, jika mereka melihat jalan kesesatan, akan mereka tempuh dengan menganggapnya sebagai jalan kebenaran. Sebabnya adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan lalai terhadapnya.” (QS Al-A’raf [7]: 146) Demikianlah Allah Swt. melukiskan orang-orang yang angkuh dengan berbagai sifat tercela, antara lain kelalaian akan ayat-ayatNya yang membuat mereka dipalingkan dari kebenaran karena keangkuhan dan kelalaian mereka sendiri. Keangkuhan dan kelalaian termasuk di antara penyakit yang mengakibatkan ketidakmampuan memahami ayat-ayat Allah selama si penderita belum bangkit dari kelalaiannya dan sembuh dari penyakitnya. Bagaimana mungkin orang yang selalu takabur dapat memahami ayat-ayat Allah, sedangkan kecongkakannya melangit, tak bersedia merendah bagi kebenaran dan ahlinya, dan karena itu hatinya dikunci mati oleh Allah sebagaimana dalam firman-Nya: “Demikianlah Allah mengunci mata hati setiap hati orang yang takabur lagi menyalahgunakan kekuasaan.” (QS Al-Mu'min [40]:35) Demikian pula orang yang lalai. Sebab, kelalaiannya telah memalingkan hatinya dari pemahaman akan ayat-ayat Tuhannya dan menjadikan dirinya membelakangi kebenaran serta berpaling menjauhkan diri dari Allah Swt. Oleh sebab itu, Allah Swt. memerintahkan Nabi-Nya agar menjauhi orang yang berpaling seperti dalam firman-Nya: “Karena itu, jauhilah orang yang berpaling dari peringatan Kami dan hanya menginginkan kehidupan duniawi.” (QS Al-Najm [53]: 29) dan juga firman-Nya: “Janganlah turuti orang yang hatinya Kami biarkan lalai mengingat Kami. (QS Al-Kahfi [18]: 28) Maka, waspadalah dan jauhkanlah dirimu sejauh-jauhnya dari sifat takabur. Sebab, ia adalah penyakit yang menimpa iblis sehingga mencegahnya dari menaati Allah ketika diperintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s. Bahkan, ia berani membangkang dan bertakabur. Dan, dengan ketakaburan dan pembangkangannya itu, patutlah ia terhinakan, terkutuk, dan terusir dari rahmat Allah serta terjerumus dalam nestapa abadi. (Semoga Allah mengaruniai kita keselamatan dari segala bala’ dan penyakit.) Waspadalah pula agar kita tidak berlalai-lalai, lupa akan Allah, sebutan nama-Nya, dan kehidupan akhirat. Sebab, kelalaian termasuk di antara penyebab terbesar kehancuran yang mendatangkan berbagai ragam kejahatan dan penderitaan di dunia dan akhirat. “Sungguh orang yang tiada mengharapkan pertemuan dengan Kami tetapi senang dan puas dengan kehidupan di dunia dan tiada memerhatikan ayat-ayat kami, merekalah yang tempat tinggalnya api neraka disebabkan apa yang mereka lakukan.” (QS Yunus [10]: 7-8) “Mereka mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia dan tentang akhirat mereka dada peduli.” (QS Al-Rum [30]: 7) Perhatikan, betapa Allah Swt. meniadakan ilmu pengetahuan pada diri mereka. Padahal, sesudah itu Dia menyatakan bahwa mereka "memiliki ilmu tentang kehidupan duniawi". Kemudian, Dia menutup keterangan-Nya itu dengan melukiskan mereka sebagai orang-orang yang melalaikan akhirat. Ketahuilah ini dan camkanlah baik-baik. Hanya Allah yang memberi taufik, tiada tuhan selain Dia. Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!

Mengenang Kisah Turunnya Simtud Durar

Sufi Road : Mengenang Kisah Turunnya Simtud Durar ================================================= Allahumma sholli alaa sayyidina muhammad wa aalihi washohbihi wassalim Mawlid Simtud Duror merupakan kitab maulid yang cukup agung yang dibaca oleh umat muslim di seluruh dunia khususnya yang dibawa dari bani alawy yaitu para habaib yang berdakwah menyebar keseluruh dunia. Banyak keistimewaan dan keberkahand alam Mawlid ini. Berikut dikisahkan dari buku biografi Habib Ali Al Habsy tentang penulisan kitab mulia ini. -------------------------------------------------------------------- Ketika usia Habib 'All menginjak 68 tahun, ia menulis kitab maulid yang diberinya nama Simtud Durar. Pada hari Kamis 26 Shafar 1327 H, Habib 'All mendiktekan paragraf awal dari Maulid Simtud Durar setelah memulainya dengan bacaan basmalah:
sampai dengan ucapan beliau:
Ia kemudian memerintahkan agar tulisan itu dibacakan kepada beliau. Setelah pendahuluan yang berupa khutbah itu dibacakan, beliau berkata, "Insya Allah aku akan segera menyempurnakannya. Sudah sejak lama aku berkeinginan untuk menyusun kisah maulid. Sampai suatu hari anakku Muhammad datang menemuiku dengan membawa pena dan kertas, kemudian berkata kepadaku, 'mulailah sekarang.' Aku pun lalu memulai-nya." Kemudian dalam majelis lain beliau mendiktekan maulidnya
Pada hari Selasa, awal Rabi'ul Awwal 1327 H, ia memerintahkan agar maulid yang telah beliau tulis dibaca. Beliau membukanya dengan Fatihah yang agung. Kemudian pada malam Rabu, 9 Rabi'ul Awwal, beliau mulai membaca maulidnya di rumah beliau setelah maulid itu disempurnakan. Beliau berkata, "Maulid ini sangat menyentuh hati, karena baru saja selesai diciptakan." Pada hari Kamis, 10 Rabi'ul Awwal beliau menyempurnakan-nya lagi. Pada malam Sabtu, 12 Rabi'ul Awwal 1327 H, ia membaca maulid tersebut di rumah muridnya, Sayyid 'Umar bin Hamid as-Saggaf. Sejak hari itu Habib 'Ali kemudian membaca maulidnya sendiri: Simtud Durar. Sebelumnya ia selalu membaca maulid al-Haftdz ad-Diba'i. Maulid Simtud Durar yang agung ini kemudian mulai tersebar luas di Seiwun, juga di seluruh Hadhramaut dan tempat-tempat lain yang jauh. Maulid ini juga sampai ke Haramain yang mulia, Indonesia, Afrika, Dhafar dan Yaman. Disebutkan bahwa maulid Simtud Durar pertama kali dibaca di rumah Habib 'Ali, kemudian di rumah muridnya, Habib 'Umar bin Hamid. Para sahabat beliau kemudian meminta agar Habib 'All membaca maulid itu di rumah-rumah mereka. Ia berkata kepada mereka, "Selama bulan ini, setiap hari aku akan membaca Maulid Simtud Durar di rumah kalian secara bergantian. Tanggal 27 Sya'ban 1327 H, Sayyid Hamid bin 'Alwi al-Bar akan pergi ke Madinah al-Munawwarah membawa satu naskah maulid Simtud Durar yang akan dibacanya di hadapan Nabi shallalldhu 'alaihi wa sallam. Nabi shallalldhu (alaihi wa sallam akan merasa sangat senang. Habib 'All radhialdhu 'anhu berkata: Dakwahku akan tersebar ke seluruh wujud. Maulidku ini akan tersebar ke tengah-tengah masyarakat, akan mengumpul-kan mereka kepada Allah dan akan membuat mereka dicintai Nabi shallalldhu 'alaihi wa sallam. Jika seseorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka rahasia (sir) al-Habib shallalldhu 'alaihi wa sallam akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubung-an dengan Nabi shallalldhu 'alaihi wa sallam. Pujianku kepada Nabi shallalldhu 'alaihi wa sallam dapat diterima oleh masyarakat. 1ni karena besarnya cintaku kepada Nabi shalldlahu alaihiwa sallam. Bahkan dalam surat-suratku, ketika aku menyifatkan Nabi shallaltdhu 'alaihi wa sallam, Allah membukakan kepadaku susunan bahasa yang tidak ada sebelumnya. Ini adalah ilham yang diberikan Allah kepadaku. Dalam surat menyuratku ada beberapa sifat agung Nabi shallaahu 'alaihi wa sallam andaikan Nabhani membacanya, tentu ia akan memenuhi kitab-kitabnya dengan sifat-sifat agung itu. Munculnya Maulid Simtud Durar di zaman ini akan menyempurnakan kekurangan orang-orang yang hidup di zaman akhir. Sebab, tidak sedikit pemberian Allah kepada orang-orang terdahulu yang tidak dapat diraih oleh orang-orang zaman akhir, tapi setelah maulid ini datang, ia akan menyempurnakan apa yang telah terlewatkan. Dan Nabi shallaltdhu 'alaihi wa sallam sangat menyukai maulid ini. Maulid Hari Kamis Akhir Bulan Rabi'ul Awwal Suatu hari Habib 'Abdul Qadir bin Muhammad bin 'Ali al-Habsyi, cucu penulis Simtud Durar berpidato: "Wahai saudara-saudaraku. Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang agung dan karunia yang besar ini. Allah Jalla wa 'Ala bermurah kepada kita sehingga kita dapat mengadakan acara agung yang dahulu diselenggarakan sendiri oleh penulis kitab Maulid ini, pendiri acara yang agung ini sejak 90 tahun yang lalu. Acara itu dihadiri oleh masyarakat dari berbagai daerah. Ada yang datang dari Hijaz, Dhafar, Sawahil dan negara-negara lainnya. Ada yang memperkirakan, jumlah orang yang menghadiri maulid tersebut sekitar 30.000 orang. Habib 'Ali membiayai keperluan mereka semua. Dan beliau juga mengurus jamuan dan kendaraan mereka. Sebab, saat itu tidak ada mobil atau pesawat. Semua orang datang dengan mengendarai onta dan kendaraan lain. Beberapa orang dan pegawai pemerintah mengkhawatirkan hal ini, "Wahai Habib 'Ali, manusia berdatangan dari segenap penjuru, bagaimana pembiayaannya" Habib 'Ali menjawab, "Kalian sambut saja mereka, bukalah rumah kalian untuk mereka, Allah nanti yang akan memberi mereka rezeki, bukan aku atau kalian. Bukalah rumah kalian untuk mereka, aku akan menyediakan segala sesuatunya kepada kalian. Jika ada yang kekurangan, pergilah ke tempat fulan dan fulan." Beliau menyebutkan beberapa nama sehingga mereka dapat mendatangi orang-orang itu untuk mengambil semua yang diperlukan. Maulid yang agung ini dihadiri oleh para munshib, dai dan ulama yang berasal dari berbagai daerah. Mereka semua berkumpul sehingga turunlah madad, kebaikan, keberkahan dan nafahat yang agung. Para munshib datang dengan rombongan hadhrah mereka: ada yang dari Syihr, Ghail dan dari berbagai tempat lain. Kota Seiwun dipadati oleh manusia sebagaimana dikatakan oleh Habib 'Ali: Seiwun memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain. Menjelang hari Kamis terakhir bulan Rabi'ul Awwal, para buruh meminta ijin dari majikan mereka untuk tidak masuk kerja. Pernah seorang buruh ditanya mengapa harus libur, ia menjawab: Wahai Habib, ketahuilah, waktuku setahun berlalu begitu saja; sia-sia. Sekarang yang kumiliki tinggal dua hari ini saja, yaitu hari-hari pembacaan maulid. Nanti, ketika manusia telah berkumpul di lembah itu, Habib 'Ali akan berdiri dan menyeru orang-orang ke jalan Allah, mengajak mereka bertobat dan mendoakan mereka, maka semua dosa dari orang-orang yang berkumpul di situ pasti diampuni. 'Ammi 'Umar bin Hasan al-Haddad berkata, "Perhatikanlah, bagaimana kaum awam dapat menemukan sir." Sumber: Buku biografi Habib Ali Al Habsy

Hb. Lutfi : Pengertian Berzikir Sampai Gila

Hb. Lutfi : Pengertian Berzikir Sampai Gila ================================== Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Seorang guru tarekat memberi keterangan bahwa membaca zlkir La ilaha illallah dalam sehari semalam tidak boleh lebih dari 12.000 kali. Kalau melebihi, bisa berakibat gila. Benarkah hal itu? Lalu bagaimana bila dikaitkan dengan Hadist,wPerbanyaklah zikir sampai kamu gila?" Demikian pertanyaan inl, atas jawabannya saya ucapkan terima kasih. Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. jawaban: Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Bambang, ada bacaan tertentu yang harus Anda perhatikan. Misalnya, bacaan kalimat La Ilaha illallah, bacaan Allah, Allah, kalimat yang mengandung Asma al-Husna, atau wirid yang mengandung ayat Al-Qur'an. Semua itu harus diperhatikan, karena mengandung asrar atau rahasia karena di dalamnya mengandung magnet yang tinggi, tergantung besar-kecilnya, sesuai pemberian Allah (Swt). Hal itu tidak diketahui oleh semua ulama. Yang mengerti hanya sebagalan besar kalangan para wall. Saya ambilkan contoh yang mudah dipahami, misalnya obat-obatan. Dari tablet sampal kapsul, yang mengerti dosis-dosisnya adalah dokter. Bila si peminum obat mengalami overdosis, pasti akibatnya kurang baik. Kekuatan zikir lebih dari itu. Bila tubuh dan batinnya kurang kuat menerima asrar-nya, maka akan timbul perbuatan ganjil atau tidak pada tempatnya. Terkadang yang mengamalkan tidak merasa. Untuk itu perlu batasan dalam dosisnya. Adapun terkait Hadist yang Anda tanyakan, yang dimaksud sampai gila adalah cinta yang luar biasa. Sebab, bila zikir dibaca dengan baik, ia mampu menumbuhkan cinta yang amat kuat kepada Allah, juga tumbuh rasa khawf (takut) bila imannya meluntur atau tipis, yang berakibat dirinya jauh dari Allah dan Rasul-Nya. Maka gandengan kalimat khawf adalah raja' (peng-harapan) yang penuh. Tiada yang bisa diharapkan terkecuali Allah, baik untuk bersandar, berteduh, berlindung maupun memohon. Yang ditakutkan adalah matl dalam keadaan su'ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek), dan yang diharapkan yaitu mati dalam keadaan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik). Selain dan khawf, raja', ada juga haya', yang artinya malu kepada Allah. Dia malu bila berbuat maksiat, malu bila akhlaknya dan budi pekertinya tidak terpuji kepada Allah, Rasul-Nya, para sahabat, para wali, dan para ulama. Itulah yang terkandung dalam Hadist tersebut. Jadi bukan gila dalam pengertian penyakit dan bukan pula gila dalam pengertian meninggalkan syariat atau sunnah, akhlak dan adab Nabi (saw). Orang yang gila (tergila-gila) atau gandrung kepada Allah jauh berbeda dibanding gila karena maksiat. Biasanya orang yang gandrung dengan pacarnya, akan berpakaian rapi, menggunakan parfum, berbuat apa saja untuk mendapat simpati dan cintanya. Padahal bila sudah tercapai, orang yang dicintai dan dinikaihnya itu, tidak bisa menjamin akan selamatdari api neraka, atau menjadi jaminan masuk surga-Tetapi, kalau kita gandrung dengan Yang Menciptakan surga, Pastilah kita akan didekatkan dengannya, masuk surga. Sumber : Al Kisah

Shidq

Shidq ============== Berikut penjelasan dari kitab "Idharu Asrari Ulumil Muqarrabin" oleh Habib Muhammad bin Abdullah Al Aidarus" Wahai Saudaraku, jadikanlah shidq sebagai pusat dan awal semua urusanmu. Dikatakan bahwa shidq adalah pedang Allah di bumi. Apa pun yang disentuhnya pasti terpotong. Ketahuilah, shidq memiliki dua arti: shidqul lisan dan shidaul qolb. Shidqul qolb adalah sumber shidqul lisan, dan selalu menjadi pegangan dan tujuan kaum sholihin. Shidqul lisan adalah perbuatan yang baik, tapi shidqul qolb merupakan sumber dan asal dari shidqul lisan. Shidqul lisan dikatakan baik karena ia menunjukkan kemakmuran batin ('imaratul bathin) dan kesucian jiwa. Kebohongan lisan sangat jelek dan buruk, tapi kebohongan hati lebih buruk dan berbahaya karena menunjukkan kerusakan batin dan kehinaan jiwa. Kebohongan hati dapat melahirkan berbagai perbuatan yang lebih buruk daripada kebohongan lisan. Orang yang mudah berbohong dan tidak mempedulikan kehinaan dan kekurangan jiwanya, adalah orang yang rendah. Keadaan ini akan membuatnya jauh dari Allah SWT. Seorang manusia yang sempurna tidak rela melihat dirinya penuh kekurangan, meski tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Orang yang suka berbohong akan meremehkan aib dan kekurangannya sendiri, meskipun ia mengetahui aib dan kekurangan tersebut. Sebagaimana dikatakan bahwa seorang pendusta tidaklah berdusta kecuali karena ia memandang remeh dirinya. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa shidqul bathin tidak akan membelokkan hati dari jalan kebenaran, bahkan kejujuran akan menjadi syiarnya. Jika seseorang telah membiasakan batinnya dengan kebenaran dan shidq, maka lisannya akan sulit untuk diajak berdusta, karena: Lisan adalah penerjemah hati. Lisan hanya akan mengutarakan apa yang terdapat dalam hati. Jika hati shidq, mustahil lisan akan berdusta. Kini jelaslah bagimu, bahwa jika batin telah dibiasakan dengan kebenaran, maka kebenaran akan menjadi sifat dan karakteristik batin. Sehingga andaikan ia ingin berbohong, ia tidak mampu melakukannya, sebab yang demikian itu bukan sifat batinnya. Semua ucapan dan perbuatan buruk seseorang ditimbulkan oleh keburukan batin. Hal ini terjadi karena akal yang lemah, atau hawa yang menguasai dirinya dan menodai nuraninya (sir). Orang yang dikuasai oleh hawa, setelah sadar akan menyesali semua kelalaiannya. Sedangkan orang yang berakal lemah, tidak akan pernah sadar, tidak akan pernah mengetahui cacat batinnya, dan tidak akan pernah bisa diharapkan kesembuhan batinnya. Pahamilah hal ini dan berusahalah (untuk bersikap shidq), semoga dengan pertolongan dan kehendak Allah kamu akan memperoleh kebenaran. Sumber: "Rahasia Ilmu Para Wali" Penerjemah : Ustadz NAuval bin Muhammad Al Aidarus

Tentang Wali dan Kewalian

Tentang Wali dan Kewalian Nuruddin Abdurrahman bin Ahmad bin Muhammad Al-Jami Seorang wali haruslah terjaga dari kemaksiatan. Maka barang siapa diakui atau mengaku sebagai wali tetapi tidak menjalankan syara', berarti telah terpedaya Dalam kitabnya, Nafahatal-Uns min Hadhrat al-Quds (Embusan-embusan Kemesraan dari Hadhirat Yang Mahasuci), Nuruddin Abdurrahman bin Ahmad bin Muhammad Al-Jami mdmulai analisisnya dengan wali dan kewalian. Bab ini merupakan kupasan yang singkat dan padat tentang wali dan ke¬walian pada zamannya, dan tetap menjadi rujukan ulama hingga kini. la mengartikan bahwa kewalian berasal dari kata wala', yang berarti "kedekatan". Kewalian ada dua jenis: ke¬walian umum dan kewalian khusus. Kewalian umum dimiliki bersama-sama oleh seluruh kaum beriman, sebagai-mana firman Allah اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ "Allah Pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)." QS Al-Baqarah (2): 257. Sementara itu, kewalian khusus hanya dimiliki oleh kaum khash, yaltu kalangan budi Iaku yang telah mampu menggapai Tuhan. Di antaranya, para pelaku tarekat atau syaikh sufi. Dalam kitab yang aslinya dituilis dalam bahasa Persia ini, Jami mengutip perkataan sufi besar, Ibrahim bin Adham, kepada seorang lelaki, "Apakah engkau ingin menjadi seorang wali Allah?" "Ya," jawab orang itu. Ibrahim pun berkata, "Jangan sukai apa pun di dunia dan akhirat. Kosongkan dirimu, hanya untuk Allah. Hadapkan dirimu hanya kepadaNya. Jika sudah bisa berlaku demikian, engkau sudah menjadi seorang wali." Dalam menelaah ihwal wali dan kewalian, Jami menggunakan referensi kitab ar-Risalah, karya Imam Al-Qusyairi, yang menjelaskan dua pengertian wali: Pertama, sebagai obyek pasif (maf'ul). Artinya, wali adalah orang yang segala urusannya diatur oleh Allah. Allah berfirman, "Dan Dia melindungi orang-orang yang shalih."QS Al-A'raf (7): 196. Dia sama sekali tidak bergantung pada diri-nya dalam menempuh suatu rencana, melainkan Allah-lah, Yang Mahabenar, yang mengendalikan segala urusannya. Kedua, sebagai subyek aktif (fall). Maknanya, wali adalah orang yang urusannya hanya beribadah menyembah Allah dan menaati-Nya. Dia terus ber¬ibadah tanpa disusupi sedikit pun Iaku kemaksiatan. Kedua pengertian di atas sama-sama menjadi persyaratan wajib untuk menjadi seorang wali sejati. Seorang wali wajib memenuhi hak-hak Allah dengan sepenuh jiwa dan raga, dan Allah pun senantiasa menjaganya dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan. Seorang wali harusiah mahfudz, terjaga dari kemaksiatan. Maka barang siapa diakui atau mengaku sebagai wali tetapi tidak menjalankan syara', berarti telah terpedaya atau keblinger. Wali Palsu Ini telah dibuktikan oleh Abu Yazid AJ-Busthami, seorang sufi besar, yang bermaksud menemui beberapa orang yang mengklaim diri sebagai wali. Tatkala telah tiba di masjid milik orang yang dimaksud, dia duduk sambil menunggu pemiliknya keluar. Akhirnya keluarlah juga laki-laki yang ditunggu itu dari masjid. Tapi Al-Busthami melihat, lelaki itu spontan meludah ke arah kiblat dan langsung ngeloyor pergi tanpa mengucapkan salam kepada orang lain. Sufi dari Al-Busthami ini langsung berkomentar, "Orang ini tidak amanah menepati sopan-santun syari'at. Lalu bagaimana dia bisa amanah menepati rahasia-rahasia Yang Mahabenar?" Kisah lain menyebutkan, ada seorang laki-laki yang juga mengaku wali datang menghadap Abu Sa'ld ibn Abu Al-Khayr, seorang sufi besar lainnya. Orang itu mendahulukan kaki kiri saat masuk ke masjid. Syaikh Abu Al-Khayr pun mengusirnya, "Balik! Orang yang tidak mengenal sopan-santun masuk Rumah Ali. tidak seyogianya dijadikan teman!" Dua kisah itu menunjukkan, kewalian seseorang tidak bisa mengalahkan aturan syara'. Jami juga mengutip kitab Kasyf a Mahjub, karya Al-Hujwiri, yang menye butkan bahwa Allah mengekalkan burhan an-nubuwwah (tonggak kenabian hingga akhir zaman. Dia menjadikan para wali-Nya sebagal pengemban amanah-Nya, sehingga ayat-ayat al-haqq dai hujjah kebenaran Nabi Muhammad SAW senantlasa terbukti. Dengan demikian, Allah menjadikan para wali sebagal wulah al-awalim (pengampun sepala kosmos). Mereka tulus berbakti kepada-Nya dalam menempuh jalan perang melawan hawa nafsu. Hujan turun berkat barakah kaki mereka. Turnbuh-tumbuhan tumbuh karena kesucian ahwal mereka. Dan kemenangan kaum beriman atas kaum pengingkar juga ber¬kat berakah cita-cita mereka. Setiap wali memilikl karamah sendiri-sendiri. Dalam kitab Dala'il Nubuwwah, karya Imam Al-Mustghfiri (350-432 H), disebutkan, karamah para wali adalah sebuah kebenaran, merujuk kitab Allah, hadits-hadits shahih, dan ijmak kalangan Ahlussunah wal Jama'ah. Kewalian kadang memang memperlihatkan keanehan, tetapi tidak boleh sedikit pun melanggar syareat. Sumber: Alkisah

Mestikah Manusia Bertasawuf?

Mestikah Manusia Bertasawuf? Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar Barang siapa bertasawuf tanpa berfikih maka dia zindiq Barang siapa berfikih tanpa bertasawuf maka dia fasik Barang siapa menggabung keduanya maka dia akan sampai pada hakikat (Imam Malik) Fenomena kajian dan pengamalan tasawuf semakin menjadi tren di sejumlah kota besar. Hal ini juga bukan hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Tak heran jiwa ilmuwan dan praktisi tasawuf semakin mobile. Jaringan berbagai tarekat semakin mengglobal. Pertanyaannya adalah mestikah manusia bertasawuf? Kalau itu mesti, mengapa kehidupan tasawuf dalam era permulaan Islam tidak begitu populer? Mengapa kajian tasawuf menjadi fenomena kelas menengah? Apakah fenomena ini hanya tren sesaat? Apa itu tasawuf? Tasawuf merupakan bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Imam Al-Junaidi mengartikannya berakhlak mulia dan meninggalkan semua akhlak tercela. Zakaria Al-Anshari berpendapat, tasawuf merupakan ilmu tentang kebersihan jiwa, perbaikan budi pekerti, serta pembangunan lahir dan batin guna memperoleh kebahagiaan abadi. Jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan syar’i, dan menampakkan hikmah dari setiap hukum, maka tasawuf bertujuan memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya kepada Allah SWT. Orang yang ahli fikih disebut faqih, jamaknya fiqha'. Sedangkan ahli atau praktisi tasawuf biasa diartikan dengan sufi. Tasawuf terkadang sulit dijelaskan kepada orang-orang yang selalu mengedepankan logika dan pragmatisme. Tasawuf lebih merupakan ilmu personal. Dalam arti, tasawuf sulit dikenal dan dipahami bagi orang yang tidak mengalaminya. Dengan kata lain, ilmu ini harus dialami sendiri jika ingin memahaminya. Ibarat mengajarkan manisnya gula, tidak mungkin memberikan penjelasan tanpa mencicipinya. Mengapa tasawuf tidak populer di masa awal Islam? Pertanyaan ini dijawab oleh Dr Ahmad Al-Wasy. Menurut dia, tak populernya tasawuf pada masa awal Islam yakni di masa sahabat dan tabi'in karena pada kurun waktu itu hampir semua umat Islam ahli takwa, wara, dan ahli ibadah. Jaraknya dengan Rasulullah yang menjalani kehidupan asketis dan sufistik masih relatif dekat. Sehingga, tidak diperlukan pembahasan secara khusus. Tidak perlu diragukan juga nilai-nilai asketisme di masa Nabi Muhammad SAW dan sahabat sampai tabi'in. Banyak ilmu keislaman dikembangkan justru ketika sudah jauh dari masa kehidupan Rasulullah. Tradisi penulisan Alquran, misalnya, populer setelah Rasulullah wafat. Pada abad ketiga dan keempat Hijriah, saat Islam mengalami globalisasi dan perluasan wilayah serta mengalami puncak kejayaan, termasuk puncak kekuasaan politik dan kebebasan ekspresi intelektual, tasawuf menjadi alternatif dalam kehidupan kosmologi Islam. Terutama pula setelah umat Islam mengalami kemunduran sebagai akibat penaklukan pusat-pusat kekuasaan dan peradaban Islam di pengujung abad ketiga dan keempat Hijriah. Pada saat itu, tasawuf mengalami perkembangan pesat. Ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh tasawuf. Sebut saja Abu Sulaiman Ad-Darimi (w. 215 H), Ahmad ibn Al-Hawari Al-Damisqi (w. 230 H), Dzun Nun Al-Mishri (w. 261 H), Junaid Al-Bagdadi (w. 298 H), Husain ibn Mansur Al-Khallaj (w. 309 H), Abu Bakar Asy-Syibli (w. 334 H), dan Abu Nasr Sarraj At-Tusi (w. 378 H). Pada abad kelima dan keenam, tasawuf kian berkembang. Pada periode ini, lahir Imam Gazali (w. 505 H/1111 M) yang ajarannya paling banyak berpengaruh di India dan termasuk di kepulauan nusantara. Lalu muncul pertanyaan, apakah ada kaitan antara kemerosotan peradaban dan intelektualitas dunia Islam dengan berkembangnya tasawuf? Masih perlu kajian mendalam. Hal yang sudah jelas, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mengalami degradasi politik dan intelektual. Akan tetapi, ini mungkin ada hikmahnya. Islam sufistis yang masuk ke Indonesia lebih mudah beradaptasi dan berpenetrasi, sehingga tak menimbulkan resistensi. Seperti masuknya Islam ke Spanyol dan daratan Eropa lainnya. Mengapa Tasawuf banyak digemari kelas menengah? Fenomena kelas menengah baru Indonesia sesungguhnya adalah fenomena kelas menengah santri. Mereka berlatar belakang keagamaan Islam yang relatif taat meskipun sebatas formal. Kelas menengah di sini meliputi kelas menengah dalam dunia bisnis dan perekonomian, akademisi, militer, dan dunia LSM. Secara ekonomi mereka sudah berada pada post basic-needs. Mereka sudah mempunyai kecukupan untuk melengkapi kehidupannya dengan aksesoris kebutuhan sekunder. Mereka ini kebanyakan berdiam di kota-kota besar. Karena, mereka kebanyakan dari latar belakang santri, maka mereka tahu peta jalan keagamaan. Mereka sadar, kebahagiaan mempunyai banyak sisi, termasuk kebahagiaan melalui jalur agama. Mereka ini lebih tertarik untuk memahami agama lebih dari sekadar hal formalistis, yang memang sudah tertanam dari dalam lingkungan keluarganya. Mereka ingin memahami sisi-sisi lain dari agama. Di antara sisi yang mengasyikkan itu adalah kajian spiritual atau tasawuf. Kajian tasawuf menjadi sesuatu yang dibutuhkan mereka yang setiap hari bergelimang dunia materi yang lebih dari cukup. Mereka sangat percaya dunia eskatologis, kehidupan setelah mati. Namun, mereka tidak lagi cukup memahami agama dari sudut fikih yang dinilainya terlalu dogmatis, normatif, rutin, deduktif, dan terkesan kering. Mereka menginginkan sesuatu yang bersifat mencerahkan, menyejukkan, dan menyentuh aspek paling dalam di dalam batin mereka. Ternyata, kajian yang seperti ini mereka temukan dalam kajian tasawuf. Maka itu, wajar kalau kajian-kajian spiritual-tasawuf semakin ramai dikunjungi orang. Lihatlah, misalnya, lembaga ESQ yang mempunyai members jutaan orang dari kelas menengah. Lihat pula pengajian rutin tasawuf setiap Senin dan Rabu di Masjid Agung Sunda Kelapa yang menyedot jamaah kelas menengah. Fenomena yang sama juga terjadi di sejumlah kota besar di Indonesia seperti di Surabaya, Bandung, Makassar, dan Medan. Kajian tasawuf menarik karena dalam substansi dan ajaran tasawuf mereka menemukan sesuatu yang klop dengan kegelisahan dan kegersangan hati mereka. Mereka juga merasakan rasionalitas dunia tasawuf, yang menekankan aspek humanity seperti mengedepankan persamaan, bukannya perbedaan. Selain itu, tasawuf mengedepankan kesatuan bukannya perpecahan, serta mengedepankan kelembutan dan femininity bukannya kekerasan dan masculinity. Melalui tasawuf, mereka mendapatkan penjelasan bahwa Tuhan itu imanen bukannya transenden seperti banyak dikesankan dunia fikih. Haruskan bertasawuf? Tasawuf dalam arti jalan hidup spiritual secara perorangan, tidak mesti. Namun, tasawuf sebagai ajaran yang mengajarkan kesalehan individual dan sosial, itu mesti karena hal itu merupakan substansi ajaran Islam. Dunia fikih dan tasawuf tidak mesti dipetentangkan. Kedua hal tersebut ibarat dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam pernyataan di atas. Tidaklah substansial jika seseorang menjelek-jelekkan tasawuf apalagi menganggap tasawuf itu bid'ah. Sebaliknya, tidak tepat mengatakan tasawuf itu wajib. Seolah-olah mereka yang tidak menjalani praktik tasawuf , kelasnya masih awam atau di bawah. Yang ideal, pengamalan syariat sebaiknya dikukuhkan dengan nilai spiritual yang menukik ke dalam perasaan. Mungkin yang perlu dicermati adalah tasawuf yang menafikan kehidupan duniawi, rasionalitas intelektual, dan menghindari dunia peradaban modern. Hal yang tak kalah penting, jangan sampai jatuh di dalam praktik tasawuf yang menyimpang dari pokok ajaran Islam, sebagaimana tertera di dalam Alquran dan hadits. Sumber: Republika

Kisah Karomah Habib Sholeh bin Mukhsin Al Hamid Tanggul

Kisah Karomah Habib Sholeh bin Mukhsin Al Hamid Tanggul =================================================== Habib Soleh Bin Muhsin Al Hamid, Beliau adalah Seorang wali qhutub yang lebih dikenal Dengan nama habib Sholeh Tanggul, Berasal dari Hadramaut dan pertama kali melakukan da’wahnya ke Indonesia sekitar tahun 1921 M dan menetap di daerah tanggul Jember Jawa timur. Mengisahkan tentang Habib Sholeh Tanggul tidak bisa lepas dari peristiwa yang mempertemukan dirinya dengan Nabi Khidir AS. Kala itu, layaknya pemuda keturunan Arab lainnya, orang masih memanggilnya Yik, kependekan dari kata Sayyid, yang artinya Tuan, sebuah gelar untuk keturunan Rasulullah. Suatu ketika Yik Sholeh sedang menuju stasiun Kereta Api Tanggul yang letaknya memang dekat dengan rumahnya. Tiba-tiba datang seorang pengemis meminta uang. Yik Sholeh yang sebenarnya membawa sepuluh rupiah menjawab tidak ada, karena hanya itu yang dimiliki. Pengemis itupun pergi, tetapi kemudian datang dan minta uang lagi. Karena dijawab tidak ada, ia pergi lagi, tetapi lalu datang untuk ketiga kalinya. Ketika didapati jawaban yang sama, orang itu berkata, “Yang sepuluh rupiah di saku kamu?” seketika Yik Sholeh meresakan ada yang aneh. Lalu ia menjabat tangan pengemis itu. Ketika berjabat tangan, jempol si pengemis terasa lembut seperti tak bertulang. Keadaan seperti itu, menurut beberapa kitab klasik, adalah ciri fisik nabi Khidir. Tangannyapun dipegang erat-erat oleh Yik Sholeh, sambil berkata, “Anda pasti Nabi Khidir, maka mohon doakan saya.” Sang pengemispun berdoa, lalu pergi sambil berpesan bahwa sebentar lagi akan datang seorang tamu. Tak lama kemudian, turun dari kereta api seorang yang berpakaian serba hitam dan meminta Yik Sholeh untuk menunjukkan rumah Habib Sholeh. Karena di sekitar sana tidak ada yang nama Habib Sholeh, dijawab tidak ada. Karena orang itu menekankan ada, Yik Sholeh menjawab, “Di daerah sini tidak ada yang nama Habib Sholeh, yang ada Sholeh, ya saya sendiri ini, “Kalau begitu andalah yang saya cari,” jawab orang itu lalu pergi, membuat Yik Sholeh tercengang. Sejak itu, rumah Habib Sholeh selalu ramai dikunjungi orang, mujlai sekedar silaturrahmi, sampai minta berkah doa. Tidak hanya dari tanggul, tetapi juga luar Jawa bahkan luar negeri, seperti Belanda, Afrika, Cina, Malaysia, Singapura dan lain-lain. Mantan wakil Presiden Adam malik adalah satu dari sekian pejabat yang sering sowan kerumahnya. Satu bukti kemasyhuran beliau, jika Habib Sholeh ke Jakarta, penjemputnya sangat banyak, melebihi penjemputan Presiden,” ujar KH. Abdillah yang mengenal dengan baik Habib Sholeh ---------------------------------------------------------------------------------
KH.Ahmad Qusyairi bin Shiddiq, mertua Kyai Abdul Hamid Pasuruan adalah sahabat karib Habib Sholeh. Dulunya Habib Sholeh sering mengikuti pengajian KH. Ahmad Qusyairi di Tanggul, tetapi setelah tanda-tanda kewalian Habib Sholeh mulai menampak, KH. Qusyairilah yang mengaji kepada Habib Sholeh. Suatu saat, KH. Qusyairi sowan kepada rumah Habib Sholeh. Tidak seperti biasa, sambutan Habib Sholeh begitu hangat, sampai dipeluknya erat-erat sang Kyai. Habib pun menyembelih seekor kambing khusus untuk menjamu sang teman karib. Disela-sela bercengkrama, Habib mengatakan bahwa itu terakhir kali yang ia lakukan. Ternyata beberapa hari kemudian KH. Qusyairi wafat di kediamannya di Pasuruan. Tersebutlah seorang jenderal yang konon pernah mendapat hadiah pulpen dari Presiden AS D. Esenhower. Suatu ketika pulpen itu raib saat dibawa ajudannya kepasar (kecopetan). Karuan saja sang ajudan kalang kabut kehilangan barang yang sangat dicintai oleh sang Jenderal dan takut mendapat hukuman, sehingga disarankan oleh seorang kenalannya agar minta tolong ke Habib Sholeh. Sampai di sana, Habib menyuruhnya mencari ke pasar Tanggul. Sekalipun aneh, dituruti saja, dan ternyata pulpen itu tidak ditemukan. Habib menyuruh lagi, lagi-lagi tidak ditemukan. Karena memaksa, Habib masuk kedalam kamarnya, dan tak lama kemudian keluar dengan menjulurkan sebuah Pulpen. “Apa seperti ini pulpen itu? Sang ajudan tertegun, karena ternyata itulah pulpen sang jenderal yang sudah pindah ke genggaman pencopet. Nama Habib Sholeh kian terkenal dan harum. Kisah-kisah yang menuturkan karamah beliau tak terhitung. Tetapi perlu dicatat, karamah hanyalah suatu indikasi kewalian seseorang. Kelebihan itu dapat dicapai setelah melalui proses panjang yaitu pelaksanaan ajaran Islam secara Kaffah. Dan itu dilakukan secara konsekwen dan terus menerus (istiqamah), sampai dikatakan bahwa Istiqamah itu lebih mulia dari seribu karamah. Tengok saja komitmen Habib terhadap nilai-nilai keislaman, termasuk kepeduliannya terhadap fakir miskin, janda dan anak yatim, menjadi juru damai ketika ada perselisihan. Beliau dikenal karena akhlak mulianya, tidak pernah menyakiti hati orang lain, bahkan berusaha menyenangkan hati mereka, sampai-sampai dikenal tidak pernah menolak permintaan orang. Siapapun yang bertamu akan dijamu sebaik mungkin. Habib Sholeh sering menimba sendiri air sumur untuk mandi dan wudu para tamunya. Maka buah yang didapat, seperti ketika Habib Ahmad Al-Hamid pernah berkata kepada baliau, kenapa Allah selalu mengabulkan doanya. Habib Sholeh menjawab, “Bagaimana tidak? Sedangkan aku belum pernah melakukan hal yang membuat-Nya Murka.” -----------------------------------------------------------------------------
Suatu hari datanglah seorang wanita dari Swiss kepada Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid. Wanita Swiss tersebut sebelumnya bermimpi aneh. Di dalam mimpinya ia ketemu dengan seorang yang memperkenalkan dirinya sebagai Habib Sholeh dari Tanggul Jember Indonesia. Tanpa banyak berpikir, si wanita pun menurut dan langsung terbang dari Swiss menuju Indonesia, ke Tanggul, sebuah tempat yang namanya asing baginya. Ternyata ia mempunyai persoalan rumit. Empat hari lagi ia akan menikah dengan seorang pria yang ia cintai. Tetapi malang, pria tersebut ternyata digaet oleh seorang perempuan jalang. Maka rencana pernikahan pun terancam batal. Di tengah-tengah kegalauannya itulah, di suatu malam, ia bermimpi didatangi seseorang yang kemudianmemperkenalkan dirinya sebagai Habib Sholeh yang katanya beralamat di Tanggul, Jember, Indonesia. Kepadanya dikatakan, Habib Sholeh itu dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Itulah yang membuatnya penasaran dan ingin segera mencari tahu dan menemui seorang Habib seperti dimaksud dalam mimpinya. Tak disangka, setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, ia pun tak mendapatkan kesulitan yang berarti. Setelah bertanya ke petugas bandara tentang siapa gerangan Habib Sholeh Tanggul, ternyata salah seorang di antara petugas ada yang tahu dan bersedia mengantarnya. Di sana ia terkejut. Ternyata ia betul-betul melihat orang yang sama persis dengan yang dilihatnya dalam mimpi. Tak lain tak bukan, dialah Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid. Pada saat itu kebetulan sedang banyak tamu. Setelah memperkenalkan diri, tak lama kemudian, ia dipersilahkan masuk dan berganti pakaian. Sebab ia orang Eropa yang biasa dengan pakaian bebas. Setelah itu, ia pun dipersilahkan mengutarakan maksud kedatangannya. Tidak lama ia bertamu di kediaman Habib Sholeh. Sebab setelah itu, sang Habib menyuruhnya segera bertolak ke Swiss. Kepadanya dikatakan “Segeralah pulang ke Swiss. Nanti setibanya kamu disana, calon suamimu akan menangis di depan pintu rumahmu sambil mengakui kesalahannya dan memohon maaf kepadamu.” Tanpa banyak tanya lagi, wanita itu pun segera bertolak menuju Swiss. Lama tak terdengar kabar, beberapa bulan kemudian, wanita tersebut datang kembali. Namun dengan keadaan yang berbeda. Ternyata apa yang dikatakan oleh Habib Sholeh kepadanya pada kunjungannya yang pertama menjadi kenyataan. Kini ia telah hidup bahagia sebagai sepasang suami istri. Kepada Habib Sholeh ia berucap terima kasih. Dan ia pun menawarkan apa saja yang Habib Sholeh minta, semuanya akan ia penuhi. Tetapi sebagai seorang waliyullah, Habib Sholeh tak mengharapkan imbalan apapun, melainkan ikhlas karena Allah semata. ‘Hanya saja, kalau boleh saya meminta.” Ujar sang Habib, “dan tidak ada sama sekali paksaan……kalau kamu berkenan, saya meminta kamu memeluk islam.” Alhamdulillah, dengan penuh kesadaran serta keikhlasan, wanita tersebut beserta suaminya memeluk agama Islam. --------------------------------------------------------------------------
Pada saat Adam Malik ( mantan Menteri Luar Negeri ) menjabat sebagai Kepala Kantor Berita Antara; suatu saat lewat Lembaga yang dipimpinnya, beliau mengungkap keterlibatan Menlu Soebandrio, yang saat itu dikenal sebagai tokoh berfaham ajaran komunis. Karuan saja, berita-berita yang dimuat itu membuat Soebandrio dan jajarannya kalang kabut karena merasa terpojokkan. Ia marah besar dan mengancam Adam Malik. Mendapat ancaman tersebut, Adam Malik pun berusaha mencari perlindungan. Maka datanglah ia kepada Habib Sholeh Al-Hamid di Tanggul, Jember. Adam Malik menceritakan latar belakang persoalannya. Mendengar pengaduan itu, Habib Sholeh Tanggul hanya tersenyum. Beliau berkata : “Jangan takut terhadap ancamannya. Nanti kamu yang akan menggantikan kedudukannya.” Alhamdulillah, waktu pun berjalan dan Adam Malik selamat dari ancaman Soebandrio dan gerombongan komunis lainnya. Dan sesuai dengan ramalan Habib Sholeh, setelah Soeharto menjabat Presiden, giliran Adam Malik yang menjabat menteri luar negeri. Kisah serupa terjadi sekitar 30 tahun yang lalu. Alwi Shihab mantan menteri luar negeri di era presiden K.H. Abdurrahman Wahid, pernah datang ke kediaman Habib Sholeh Tanggul. Pada masa itu, ia datang diantar oleh ayahandanya. Keperluannya mohon doa restu untuk belajar ke luar negeri. Tujuannya belajar ke Amerika di Harvard University. Pada kesempatan itu, Alwi Shihab mengutarakan apa yang menjadi problemnya. Antara lain, ia tidak punya biaya yang cukup untuk mengurus visa dan paspor. Mendengar keluhan Alwi Shihab, Habib Sholeh Tanggul menyarankan agar Alwi Shihab mandi di ke dua sumur yang terdapat di sekitar kediamannya. Alwi Shihab pun mandi mandi di ke dua sumur tersebut. Setelah itu, kepada Alwi Shihab, Habib Sholeh Tanggul menasehati agar ia datang ke Adam Malik yang saat itu menjabat Menlu. Kontan, Alwi Shihab mengatakan kekhatirannya karena Ia hanya rakyat biasa, bagaimana bisa bertemu dengan seorang menteri? Mendengar kekhawatiran Alwi Shihab, akhirnya Habib Sholeh menasehatinya agar tidak takut, seraya menyuruhnya supaya menemui Adam Malik dengan membawa surat darinya, “Bawa surat saya ini. Jangan takut pada Adam Malik, kelak kamu akan menjadi seperti Adam Malik.” Kata Habib Sholeh Tanggul. Ternyata di kemudian hari, ucapan Habib Sholeh menjadi sebuah kenyataan, Alwi Shihab menjadi Menteri di Era Presiden Gus Dur. Sumber :habaib.net