ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 31 Juli 2013

Hukum Bom Bunuh Diri

==========
Syariah 
Hukum Bom Bunuh Diri
====================
Lagi-lagi bom bunuh diri terjadi di Indonesia, tepatnya di Poso. Tidak terbayang di benak bangsa ini ada tindak kekerasan dan teror semacam bom bunuh diri. Mengingat posisi negara ini dalam keadaan damai dan bukan di tengah peperangan. Apalagi jika menilik umur bangsa Indonesia ini yang memiliki sejarah panjang semenjak Nusantara. Tentunya bangsa ini telah menginjak masa dewasa dan bukan bangsa yang masih muda.
Akan tetapi itulah yang terjadi. bom bunuh diri meledak lagi. Hal ini menunjukkan kurangnya kedewasaan bangsa kita dalam menyikapi berbagai masalah yang ada. Seolah sudah tidak ada jendela kompromi dan solusi.
Kejadian semacam ini (kekerasan dan teror) sangat merugikan bangsa dan Negara, apalagi jika mempertimbangkan sektor ekonomi dan investasi yang sedang mencari format dan merayu kepercayaan dunia luar. Apapun alasannya hal ini tidak dapat dibenarkan begitu juga kaca mata fiqih memandangnya.
Seperti yang pernah dibahas oleh Bahtsul Masail NU dalam Munas Alim Ulama di Pondok Gede tahun tahun 2002 tentang hukum intihar (mengorbankan diri). Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa bom bunuh diri (intihar) yang dilakukan oleh para teroris tidak akan mengantarkan mereka kepada level syuhada. Karena sejatinya motiv mereka adalah adalah frustasi (putus asa) dalam menghadapi hidup. Artinya putus asa dalam mencari jalan solusi kehidupan yang benar.
Dalam keputusan itu dengan jelas diterangkan bahwa “Bunuh diri dalam Islam adalah diharamkan oleh agama dan termasuk dosa besar, akan tetapi tindakan pengorbanan jiwa sampai mati dalam melawan kezaliman, maka dapat dibenarkan bahkan bisa merupakan syahadah, jika 1) Diniatkan benar-benar hanya untuk melindungi atau memperjuangkan hak-hak dasar (al-dharuriyyat al-khams) yang sah, bukan untuk maksud mencelakakan diri (ahlak al-nafs). 2) Diyakini tidak tersedia cara lain yang lebih efektif dan lebih ringan resikonya. 3) Mengambil sasaran pihak-pihak yang diyakini menjadi otak dan pelaku kezaliman itu sendiri.”
Jika demikian adanya, sungguh bom bunuh di Poso dan berbagai macam teror yang lain sangatlah jauh dari syarat syahadah. Karena bom itu bisa dianggap mencelakkan diri dan menerjang hak asasi manusia. Dan sesungguhnya masih banyak jalan keluar untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada.
Keputusan ini berdasar pada berbagai referansi yang semua menerangkan dibolehkannya bunuh dri dalam peperangan bukan dalam keadaan damai. Demkian seperti yang termaktub dalam  Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
 اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي اقْتِحَامِ الرَّجُلِ فِي الْحَرْبِ وَحَمْلِهِ عَلَى الْعَدُوِّ وَحْدَهُ. فَقَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُخَيْمَرَةَ وَالْقَاسِمُ ابْنُ مُحَمَّدٍ وَعَبْدُ الْمَلِكِ مِنْ عُلَمَائِنَا: لاَ بَأْسَ أَنْ يَحْمِلَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ عَلَى الْجَيْشِ الْعَظِيْمِ إِذَا كَانَ فِيْهِ قُوَّةٌ، وَكَانَ لِلهِ بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِيْهِ قُوَّةٌ فَذَلِكَ مِنَ التَّهْلُكَةِ، وَقِيْلَ: إِذَا طَلَبَ الشَّهَادَةَ وَخَلَصَتْ النِّيَّةُ فَلْيَحْمِلْ، لِأَنَّ مَقْصُوْدَهُ وَاحِدٌ مِنْهُمْ، وَذَلِكَ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى وَمِنَ النَّاسِ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللهِ [الْبَقَرَةُ 207]
 وَقَالَ ابْنُ خُوَيْزٍ مِنْدَادٍ: فَأَمَّا أَنْ يَحْمِلَ الرَّجُلُ عَلَى مِائَةٍ أَوْ عَلَى جُمْلَةِ الْعَسْكَرِ أَوْ جَمَاعَةِ اللُّصُوْصِ وَالْمُحَارِبِيْنِ وَالْخَوَارِجِ فَلِذَلِكَ حَالَتَانِ: إِنْ عَلِمَ وَغَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ سَيَقْتُلُ مَنْ حَمَلَ عَلَيْهِ وَيَنْجُو فَحَسَنٌ وَكَذَلِكَ لَوْ عَلِمَ وَغَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ سَيُقْتَلُ وَلَكِنْ سَيَنْكِي نِكَايَةً أَوَ سَيُبْلِي أَوْ يُؤَثِّرُ أَثَرًا يَنْتَفِعُ بِهِ الْمُسْلِمُوْنَ فَجَائِزٌ أَيْضًا. وَقَدْ بَلَغَنِيْ أَنَّ عَسْكَرَ الْمُسْلِمِيْنَ لَمَّا لَقِيَ الْفُرْسَ نَفَرَتْ خَيْلُ الْمُسْلِمِيْنَ مِنَ الْفِيْلَةِ، فَعَمِدَ رَجَلٌ مِنْهُمْ فَصَنَعَ فِيْلاً مِنْ طِيْنٍ وَأَنِسَ بِهِ فَرَسُهُ حَتَّى أَلِفَهُ، فَلَمَّا أَصْبَحَ لَمْ يَنْفِرْ فَرَسُهُ مِنَ الْفِيْلِ فَحَمِلَ عَلَى الْفِيْلِ الَّذِيْ كَانَ يُقَدِّمُهَا فَقِيْلَ لَهُ: إِنَّهُ قَاتَلَكَ. فَقَالَ: لاَ ضَيْرَ أَنْ أُقْتَلَ وَيُفْتَحُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَكَذَلِكَ يَوْمَ الْيَمَامَةِ لَمَّا تَحَصَّنَتْ بَنُو حَنِيْفَةَ بِالْحَدِيْقَةِ، قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ: ضَعُوْنِي فِي الْحَجَفَةِ وَأَلْقُوْنِى إِلَيْهِمْ، فَفَعَلُوْا وَقَاتَلَهُمْ وَحْدَهُ وَفَتَحَ الْبَابَ.
قُلْتُ: وَمِنْ هَذَا رُوِيَ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ r أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا؟ قَالَ r : فَلَكَ الْجَنَّةُ فَانْغَمَسَ فِي الْعَدُوِّ حَتَّى قُتِلَ. وَفِيْ صَحِيْحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r أُفْرِدَ يَوْمَ أُحُدٍ فِيْ سَبْعَةٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ وَرَجُلَيْنِ مِنْ قُرَيْشٍ، فَلَمَّا رَهِقُوْهُ قَالَ: مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ أَوْ هُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ فَقَدِمَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى قُتِلَ السَّبْعَةُ، فَقَالَ r: مَا أَنْصَفْنَا أَصْحَابَنَا هَكَذَا الرِّوَايَةُ، أَنْصَفْنَا بِسُكُوْنِ الْفَاءِ أَصْحَابَنَا بِفَتْحِ الْبَاءِ، أَيْ لَمْ نَدُلُّهُمْ لِلْقِتَالِ حَتَّى قُتِلُوا. وَرُوِيَ بِفَتْحِ الْفَاءِ وَرَفْعِ الْبَاءِ، وَوَجْهُهَا أَنَّهَا تَرْجِعُ لِمَنْ فَرَّ عَنْهُ مِنْ أَصْحَابِنَا، وَاللهُ أَعْلَمُ.
وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ: لَوْ حَمِلَ رَجُلٌ وَاحِدٌ عَلَى أَلْفِ رَجُلٍ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَهُوَ وَحْدَهُ، لَمْ يَكُنْ بِذَلِكَ بَأْسٌ إِذَا كَانَ يَطْمَعُ فِيْ نَجَاةٍ أَوْ نِكَايَةٍ فِي الْعَدُوِّ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ، لِأَنَّهُ عَرَضَ لِنَفْسِهِ لِلتَّلَفِ فِيْ غَيْرِ مَنْفَعَةٍ لِلْمُسْلِمِيْنَ، فَإِنْ كَانَ قَصْدُهُ تَجْرِئَةً لِلْمُسْلِمِيْنَ عَلَيْهِمْ حَتَّى يَصْنَعُوْا مِثْلَ صَنِيْعِهِ فَلاَ يَبْعُدُ جَوَازُهُ، وَلِأَنَّ فِيْهِ مَنْفَعَةً لِلْمُسْلِمِيْنَ عَلَى بَعْضِ الْوُجُوْهِ. وَإِنْ كَانَ قَصْدُهُ إِرْهَابَ الْعَدُوِّ وَلِيَعْلَمَ صَلاَبَةَ الْمُسْلِمِيْنَ فِي الدِّيْنِ فَلاَ يَبْعُدُ جَوَازُهُ. وَإِذَا كَانَ فِيْهِ نَفْعٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ فَتَلِفَتْ نَفْسُهُ لِإِعْزَازِ دِيْنِ اللهِ وَتَوْهِيْنِ الْكُفْرِ فَهُوَ الْمَقَامُ الشَّرِيْفِ الَّذِيْ مَدَحَ اللهُ بِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ قَوْلِهِ إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ الآيَةَ [التَّوْبَةُ 111] إِلَى غَيْرِهَا مِنَ آيَةِ الْمَدْحِ الَّتِيْ مَدَحَ اللهُ بِهَا مَنْ بَذَّلَ نَفْسَهُ
وَعَلَى ذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ حُكْمُ اْلأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ أَنَّهُ مَتَى رَجَا نَفْعًا فِي الدِّيْنِ فَبَذَّلَ نَفْسَهُ فِيْهِ حَتَّى قُتِلَ كَانَ فِي أَعْلَى دَرَجَاتِ الشُّهَدَاءِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ [لُقْمَانُ 17] وَقَدْ رَوَى عِكْرِمَةُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ r أَنَّهُ قَالَ: أَفْضَلُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ تَكَلَّمَ بِكَلِمَةِ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ فَقَتَلَهُ.
Ulama berbeda pendapat tentang kenekatan seseorang di medan perang dan menyerang musuh sendirian. Al-Qasim bin Mukhaimarah, al-Qasim bin Muhammad dan Abdul Malik dari kalangan ulama kita  (madzhab Malikiyah) berkata: “Tidak mengapa seseorang sendirian menghadapi pasukan musuh yang cukup banyak jika ia memiliki kekuatan dan niatnya ikhlas karena Allah semata. Jika ia tidak memiliki kekuatan maka termasuk bunuh diri. Dan suatu pendapat menyatakan: “(Meski ia tidak memiliki kemampuan) namun jika ia mencari kesyahidan dan niatnya ikhlas, maka silahkan melakukannya, karena yang diincar cuma salah satu dari musuh. Demikian itu ada dalam firman Allah Swt.: ”Di antara manusia ada yang menjual jiwanya demi untuk mendapatkan keridhaan Allah.” (QS. Al-Baqarah: 207).”
Ibn Khuwaizin Mindad berkata: “Adapun jika seseorang berani menyerang musuh yang berjumlah seratus, sejumlah tentara musuh, sekelompok pencuri, penyerang dan pemberontak, maka untuk hal ini ada dua kondisi: Jika ia mengetahui dan menduga kuat dirinya akan menewaskan musuh yang diserangnya dan ia selamat, maka hal itu bagus. Demikian pula jika ia mengetahui dan menduga kuat ia akan mati, namun akan bisa membuat mereka kalah, kacau atau menimbulkan akibat yang menguntungkan kaum muslimin, maka hukumnya juga boleh. Telah sampai kepadaku kisah pasukan kaum saat melawan pasukan Persia (Iran), kuda-kuda kaum muslimin lari ketakutan dikarenakan gajah. Maka salah seoarang anggota pasukan bertekat membuat patung gajah dari tanah liat sehingga kudanya menjadi tenang dan terbiasa melihat gajah. Maka ketika berperang kudanya tidak takut lagi pada gajah sehingga berani menghadapi pasukan gajah menyerangnya. Lalu ia diingatkan: “Sungguh hal itu akan membuatmu terbunuh.” Lalu ia menjawab; “Tidak mengapa saya terbunuh tapi kaum muslimin mendapat kemenangan.” Begitu pula dalam perang Yamamah ketika Bani Hanifah bertahan di suatu kebun. Salah seorang pasukan muslimin berkata: “Letakkan aku dalam perisai, lalu lemparkan aku kepada mereka.” Kemudian para pasukan lain melakukannya dan ia melawan musuh sendirian serta berhasil membuka pintu kebun tersebut.”
Saya (al-Qurthubi) berkata: “Termasuk kasus serupa, diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw.: “Bagaimana pendapat anda jika saya terbunuh dalam peperangan di jalan Allah dalam keadaan sabar dan mencari pahala?” Beliau menjawab: “Engkau mendapat surga.” Lalu laki-laki itu menceburkan diri di tengah-tengah musuh sehingga terbunuh. Dalam riwayat Shahih Muslim dari Anas bin Malik, sungguh pada hari perang Uhud Rasulullah Saw. terpojok  seorang diri, dalam pasukan tujuh orang dari Anshar dan dua orang dari Quraisy. Ketika musuh mendekatinya, beliau bersabda: “Siapa yang bisa mengenyahkan mereka dariku? Dan ia mendapat surga.”, atau: “ “Dia menjadi sahabatku di surga.” Lalu salah seorang dari sahabat Anshar itu menyerang maju sampai terbunuh. Hal tersebut terus berlangsung sehingga ketujuh orang tersebut mati. Lalu beliau Saw. bersabda: “Kami belum memberi petunjuk teknik berperang kepada para sahabat kami.“ Begitu riwayatnya, kata أَنْصَفْنَا  dengan sukun huruf fa’ dan kata أَصْحَابَنَا dengan dibaca fathah huruf ba’nya, yang berarti: “Kami belum memberi petunjuk teknik berperang kepada para sahabat kami.” Dan diriwayatkan dengan dibaca fathah huruf fa’nya dan dibaca raf’ huruf ba’nya (berarti: “Para sahabat kami tidak membela kami.”) Argumennya, riwayat itu kembali kepada para sahabat yang lari meninggalkan Nabi Saw. Wallahu a’lam.
Muhammad bin al-Hasan berpendapat: “Seandainya satu orang melakukan penyerangan kepada seribu musuh dengan sendirian, maka hal itu tidak mengapa jika ia dapat mengharap keselamatan diri atau mengalahkan musuh. Namun jika tidak demikian, maka hukumnya makruh. Karena berarti ia menjerumuskan diri sendiri dalam kematian yang tidak memberi manfaat pada kaum muslimin. Jika tujuannya adalah membangkitkan keberanian kaum muslimin dalam melawan musuh sehingga mereka mau meniru tindakannya, maka hal itu tidak jauh dari kebenaran diperbolehkannya. Karena ada manfaatnya bagi kaum muslimin dari satu sisi. Adapun jika tujuannya untuk menimbulkan ketakutan pada musuh dan supaya musuh mengetahui militansi muslimin dalam membela agamanya, maka hal itu tidak jauh dari kebenaran diperbolehkannya. Ketika dalam tindakannya itu terdapat keuntungan bagi pasukan muslimin, lalu ia mati demi kemuliaan agama Allah dan menghina kekafiran, maka hal itu merupakan kedudukan mulia yang mendapat pujian dari Allah bagi para mukminin sebagaimana dalam firmanNya: “Sungguh Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, jiwa-jiwa mereka.” (QS. Al-Taubah: 111) Dan ayat-ayat lainnya yang menyebut pujian Allah kepada mereka yang rela mengorbankan jiwanya.
Hukum tersebut seharusnya berlaku pula pada hukum amr ma’ruf nahi munkar. Yaitu  ketika seseorang mengharap keuntungan bagi agama, lalu ia mengorbankan diri untuk hal itu sampai mati, maka ia berada di jajaran tertinggi derajat para syuhada. Allah Swt. berfirman: “Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sungguh demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan.” (QS. Luqman: 17) Ikrimah meriwayatkan dari Ibn Abbas Ra., dari Nabi Saw., sungguh beliau bersabda: “Syuhada’ yang paling utama adalah Hamzah bin Abdul Muttalib dan seseorang yang menyuarakan kebenaran kepada penguasa zalim sehingga ia membunuhnya.”
(sumber: Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta 25-28 Juli 2002/14-17 Rabiul Akhir 1423 Tentang Masail Maudhuiyyah As-Siyasiayh
 
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,44937-lang,id-c,syariah-t,Hukum+Bom+Bunuh+Diri-.phpx

Suatu Hari, Ketika Engkau Pergi : KH Ahmad Warson Munawwir (Penyusun Kamus Al-Munawwir)

===========
Puisi 
AGUK IRAWAN MN
Suatu Hari, Ketika Engkau Pergi : KH Ahmad Warson Munawwir

Pagihari aku menyaksikan daundaun luruh
dicumbui gerimis tiada henti
matahari bangkit pelan dari busur waktu
jalan aspal itu seperti tertutup setapak kabut
dan angin seperti juga ikut menahan perih dan ngilu
langit bagai memandam airmata
bumi dipenuhi beribu-ribu gemerisik tetes air
yang selaksa ikut berdzikir dan sembahyang
sebelum terbang ke langit lagi

o saat jasad direbahkan ke dalam perut bumi
siapa yang tak mengadu kepada-Mu?
ia begitu setia, menyusun bata kata dari Arsy-Mu
menghimpun seribu enamratus tiga puluh empat
halaman bahasa bisu dengan membasuh wudlu
o adakah yang sudah bisa sebelum ini
menyusuri kesunyian dan nyinyir yang panjang?
lima dasawarasa mudawam membasuh debu
diantara saksi kertas yang senyap
lidahlidah yang mengendap
udara yang pengap
diantara rumah dah mushallah
diantara doa dan kalimat jalalah
diantara papan peneduh dan carut marut arti kata
o ia begitu hanyut bersama gelombang waktu
siangmalam meratapi lembar demi lembur
tak henti memegang pena di sisasisa suara parau
intrik politik dan omong kosong kekuasaan
o siapa yang tahu dan mendengar?
kamis menjelang magrib itu, diantara dengung mulut
bertahmid, takbir dan istigfar
ada dua ekor burung di dekat kuburun
seperti lebih tahu dan mencicit sedih dari pada hati peziarah
dan langit di atas sana masih luruh
tiada henti dicumbu hujan, ia seperti hendak berkisah
bahwa hari itu duka tiada jeda
aku bertanya, adakah yang bisa menakar pedihnya hari itu?
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'uun

Bantul, 19 April 2013

Mbah

Mereka bilang kau adalah laut
maka akupun menaruh kapal di tepi rangjangku
ketika ada badai akan aku bentangkan layar
ketika arus menendang, akan aku kuatkan sampan
ketika air pasang, akan aku kukuhkan jangkar
ketika tersesat dan pulau menghilang
akan aku baca peta dan arah angin
kumasuki semenanjung demi semenanjung
meski hari telah remang
karena engkau laut, kata orang
betapa teguh dan tegarnya engkau
karenanya aku ingin berdiri di deru deburmu
seperti engkau meluruh sauh dan menaklukan musim
sampai tak peduli begitu gelombang
sampai tak ada desir, teluk dan ceruk
karena semua itu adalah sahabat di medan juang
di tengah deru ingin dan angin muara
aku merasa lautmu begitu dalam
sehingga susah benar aku menyeberang
meski begitu izinkan aku berlabuh di punggungmu

Bantul, 18 April 2013

Mengingatmu Sekali Lagi

Sebenarnya habis sudah talqin
yasin, jejak fatihah dan air mata tertumpah
tapi entah kenapa aku ingin mengingatmu sekali lagi
lewat ritus hujan dan lukisan langit yang menghadap ke arahku
lewat angin dengan perempuan cantik di pesantrenmu
lewat gema allahuakbar dan subhanallah
yang bertalu tiada henti hingga langit tengah hari
lewat sungai kecil dekat kuburan itu
aku merasa seperti boca yang terjebak
dalam tubuh renta seorang kakek
mataku terapung dalam sorot matamu
dan aku melihat tubuhku sendiri, entah kenapa bergetar
seperti balon udara yang terbang diangkasa
o, langit malam setelah hujan reda
bayangan tentangmu entah tiba-tiba mewujud
pada kamus besar, melengkung biru yang jatuh
di kamarku, dan aku merasa entah kenapa suaramu
tibatiba begitu menggema dalam paru-paruku
begitulah, aku ingin mengingatmu terakhir kali
sebelum malam habis menuju lembah jauh
ketika nafsin terlepas dan daiqatul hempas
Tuhan, hamba yang sahaja itu terima disisi-Mu. Amin

Bantul, 19 April 2013


AGUK IRAWAN MN mantan santri yang bergiat di LESBUMI NU DIY. Tiga buku kumpulan sajaknya sudah terbit, Liku Luka Kau Kaku (Ombak, 2004), Lukisan Waktu (Galah Press, 2004), Jari Manis Rindu (Arti Bumi Intaran, 2007). Selain puisi atau sajak, ia juga menulis novel, cerpen, esai dan menerjemahkan beberapa karya sastra bahasa arab ke bahasa Indonesia, salah satunya adalah Ashabul Kahfi karya sastrawan kesohor Arab, Taufik el-Hakim diterbitkan Arti Bumi Intaran Yogyakarta.


sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,48-id,44570-lang,id-c,puisi-t,Suatu+Hari++Ketika+Engkau+Pergi-.phpx

100 HARI WAFAT KH A. WARSON MUNAWWIR Kiai Bijak Pengarang Kamus itu...

================
100 HARI WAFAT KH A. WARSON MUNAWWIR
Kiai Bijak Pengarang Kamus itu...
=============================

Kiai Haji Munawwir sengaja memberi nama putra-putrinya dengan huruf awal sesuai tahun kelahiran dalam kalender Jawa. Kiai Ahmad Munawwir misalnya, diberi nama dengan awalan huruf ‘A’ sebagai pengingat tahun ‘Alif’ ketika beliau dilahirkan. 

Kiai Dalhar Munawwir, lahir pada tahun ‘Dal’, sementara Kiai Warson Munawwir di tahun ‘Wawu’. Pentingnya mengingat tahun kelahiran adalah untuk memupuk sifat bakti kepada orang tua. Yaitu dengan tidak melupakan jasa orang tua yang telah melahirkan, mendidik dan merawat kita. Begitu penggalan mauidhoh hasanah yang disampaikan Kiai Aly As’ad pada peringatan 100 hari wafatnya Kiai Haji Ahmad Warson Munawwir di Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q Krapyak Yogyakarta, Kamis (25/7)petang.

Begitu pentingnya sikap berbakti, Kiai Aly pun mengutip sebuah hadis “Birrû âbâakum yabirrû abnâakum”, berbaktilah pada orang tuamu, maka keturunanmu akan berbakti pula kepadamu. Perwujudan rasa bakti, bisa dilakukan melalui banyak cara. Pembacaan tahlil sore itu menurut beliau, juga merupakan ejawantah sebuah bakti. Bagi ulama penerjemah kitab Ta’lim Mutaalim itu secara pibadi,  pembacaan tahlil kepada almarhum adalah ekspresi rasa bakti seorang murid kepada gurunya.

Sosok mualim itu wafat di usia 79 tahun, meninggalkan ilmu dan keteladanan bagi orang-orang di sekitarnya. Ribuan petakziah membanjiri Al-Munawwir Komplek Q Krapyak, hari itu,  Kamis (18/4)  hari ketika Kiai Warson dipanggil menghadap Allah. Isak tangis yang menyelingi alunan tahlil menjadi pertanda adanya rasa kehilangan yang mendalam.

“Tiga orang yang telah mampu melejitkan Krapyak adalah, Kiai Munawwir sebagai pendiri pondok Qur’an pertama di Indonesia, Kiai Ali Maksum selaku bagian tim penerjemah Qur’an Departemen Agama serta anggota konstituante dan Kiai Warson sebagai shohibul kamus Arab-Indonesia terlengkap di tanah air,” ucap Kiai Hilmy Muhammad, pada suatu kesempatan.

Kamus berjudul Al-Munawwir yang terdiri dari 1591 halaman tersebut, memang telah digunakan secara luas tidak saja di Indonesia tapi juga merambah mancanegara. Di balik ketenaran kamus yang konon paling lengkap itu, ada sosok Kiai Warson sebagai pengarangnya. Kamus yang disusun dalam masa yang tidak singkat itu menjadi wujud kongkret kristalisasi ilmu dari seorang yang alim.

Alkisah, adalah Kiai Ali Maksum yang meminta Kiai Warson mengarang sebuah kamus. Sepeninggal Kiai Munawwir, Kiai Ali Maksum lah yang kemudian mendidik putra-putri beliau, diantaranya Kiai Warson dan Kiai Zainal. Kiai Warson relatif tidak pernah berguru kepada selain Kiai Ali Maksum. Hal itu membuat Kiai Ali Maksum diistilahkan sebagai murabbi ar- ruh atau pembentuk karakter Kiai Warson.

Di mata Kiai Ali Maksum, Kiai Warson merupakan murid yang cemerlang. Seperti yang dituturkan oleh Nyai Husnul Khotimah, istri Kiai Warson, pada usia 13 tahun Kiai Warson sudah menjadi pengajar kitab Alfiyyah kepada santri-santri yang berusia jauh di atasnya. Sejak itu, transfer ilmunya tidak berhenti hingga akhir hayat.

Dengan hasil penjualan kamus, dan wakaf tanah dari Kiai Ali Maksum, Kiai Warson mulai mendirikan komplek pesantren putri yang kini dikenal dengan Komplek Q. Di periode awal berdirinya, Kiai Warson sendiri yang mengajar santri secara langsung. Beliau juga mengajar santri-santri putra yang kemudian banyak diantaranya menjadi penerus Kiai Warson menjadi bagian dari asatidz.

Beliau banyak melakukan aktivitas di luar pengajaran. Aktif  di organisasi, pernah berkecimpung di partai politik dan masuk ke dalam parlemen, tidak membuat Kiai Warson lantas meninggalkan perannya sebagai seorang guru. Pada ramadhan 1433 H, di usia senjanya Kiai Warson bahkan masih tetap mengajar kitab Hujjah Ahlussunnah wal Jamaah karangan Kiai Ali Maksum kepada para santrinya.

Seperti yang tercantum dalam kitab Jawami’ul Kalim karangan Kiai Ali Maksum, Rasulullah dalam hadisnya menyuruh umatnya mengikuti seorang ulama karena merekalah pelita di bumi dan akhirat. Tidak heran apabila banyak orang merasa kehilangan atas wafatnya Kiai Warson. Karakter ulama sejati dalam dirinya membuat beliau selalu dihormati dan senantiasa dipatuhi.

Selain alim, bijak adalah salah satu sikap yang patut kita teladani dari sosok Kiai kharismatik seperti Kiai Warson. Sebagaimana yang diceritakan Kiai Hilmy, kebijaksanaan beliau terlihat antara lain ketika menghadapi problem dalam organisasi yang digeluti di masa mudanya. Di saat mencekamnya situasi politik organisasinya itu, beliau tidaklah bersikap emosional  ataupun temperamental. Walaupun keadaan itu mengakibatkan pengaruh negatif baginya, beliau tetap bersikap bijak, tanpa marah ataupun resah.

Selain itu,  Nyai Ida Fatimah yang tidak lain adalah kakak iparnya sendiri, istri dari Kiai Zainal, pernah tertegun dengan sikap Kiai Warson yang tidak memaksakan kehendaknya ketika Nyai Ida tidak menyetujui  salah satu rencananya dalam suatu perkara dan beliau hanya berkata, “Ya sudah, terserah Sampean saja mau ikut saya atau tidak,” jawabnya dengan tersenyum.

Bijak, tegas dan konsisten, itulah Kiai Warson.

Meski disibukkan dengan kepengurusan dalam organisasi tidak lantas membuat beliau  melupakan keluarga. Beliau dikenal sebagai sosok sederhana penuh cinta dan  perhatian pada keluarga serta kerabatnya.  Kecintaan itulah yang membuatnya selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Hal itupun diakui Nyai Ida. Semasa hidupnya , Kiai Warson seringkali menawarkan diri untuk mengantarkan Nyai Ida atau putra-putrinya di kala ada keperluan. Ketika Kiai Zainal jatuh sakit, Kiai Warson sering menelepon untuk mengetahui keadaan kakaknya. Beliau juga menyempatkan diri untuk menjenguk serta menyuapinya, walaupun kenyataannya beliau juga dalam keadaan kurang sehat.

Salah satu bentuk perhatian yang hingga kini masih dikenang adalah kebiasaannya menelepon keluarga dan kerabatnya secara rutin.  Tidak banyak yang dibicarakan dalam telepon, beliau sekedar menanyakan kabar saja. Seperti cerita Ustadz Yusuf Toha, santri beliau yang kini menjadi guru di MTs Ali Maksum, di malam hari sebelum kepergian Kiai Warson, telepon rumahnya berdering. Kiai Warson menelepon  hanya untuk menanyakan kabar beliau dan keluarganya. Ustadz  Yusuf  pun bertanya, “Wonten perlu napa, Pak?,”  Kiai Warson hanya menjawab , “Ra ana”, kemudian menutup teleponnya.  Sikap perhatian itulah yang membuat banyak kalangan merasa kehilangan dan kesepian atas kepergiannya yang meninggalkan berbagai kenangan.

Alim, bijak dan penuh kasih sayang adalah tiga nilai yang dimiliki  sosok Kiai Warson. Itulah yang membuatnya masih dianggap ada, meskipun jasadnya telah tiada. Barangkali, sebagian dari kita bukanlah orang  beruntung yang sempat berguru  secara langsung pada almarhum. Meski begitu, sebagai santri kita perlu meneladani sifat – sifat luhur yang kita ketahui melalui kisah – kisah semasa hidup almarhum.  Sebab hal itu merupakan sebuah perwujudan rasa bakti kita sebagai santri kepada sang guru. Nafa’anâ Allahu bi ‘ulûmihifi ad-dâroini.. Aamiin.. Lahu al-Fâtihah..  
Krapyak, 17 Ramadhan 1434 H / 26 Juli 2013

 Oleh: Khalimatu Nisa dan Fahma Amirotulhaq, Santriwati komplek Q)

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,50-id,46199-lang,id-c,esai-t,Kiai+Bijak+Pengarang+Kamus+itu+++-.phpx


5 Kunci Sukses dalam Alfiyah Ibnu Malik

==========
5 Kunci Sukses dalam Alfiyah Ibnu Malik
=====================
Thalabul ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin”.
Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi”.

Dua hadis ini rasanya tidak asing lagi di telinga orang pesantren sebagai penuntut ilmu (thalibul ‘ilmi). Sejak madrasah ibtidaiyah (MI) dulu ustadz/ustadzah sudah mengenalkan dua hadits tersebut. Kalau masa sekarang (mungkin) sejak masa taman kanak-kanak (TK) sudah dikenalkan.

Namun, bagaimana cara kita untuk bisa mencapai derajat yang tinggi dalam mencari ilmu? Dalam hal ini, Ibnu Malik Al-Andalusi dalam kitab Alfiyah-nya mesdiskripsikan cara itu. Ada lima syarat yang bisa mengantarkan seseorang (thalibul ‘ilmi) pada derajat yang tinggi. Lima point tersebut yang nantinya akan membedakan antara thalibul ‘ilmi yang taat dan tidak. Hal itu beliau torehkan dalam bait syair Alfiyah-nya yang berbunyi:
Bil jarri wat tanwini wan nida wa al # wa musnadin lil ismi tamyizun hashal

Artinya, seorang thalibul ‘ilmi harus mempunyai dan bersifat, pertama, jar. Dalam artian tunduk dan tawadduk terhadap semua perintah (baik dari Allah SWT maupun pemerintah). Sesuai dengan apa yang difirmankan Allah swt. yang berbunyi, “athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum”.
Kedua, tanwin. Artinya kemampuan (baca: niat) yang tinggi mencari ridha Allah SWT. Dengan adanya kemauan yang tinggi seorang thalibul ‘ilmi akan mencapai apa yang ia inginkan. Sesuai dengan apa yang di sabdakan nabi Muhammad saw. yang datangnya dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khattab r.a. bahwa nabi Muhammad saw. pernah bersabda yang bunyinya, “innamal a’malu binniyati, wa innama likullimriin ma nawa… (al-Hadits)”.
Ketiga, nida’. Artinya dzikir. Setelah adanya niat yang baik untuk mencapai tempat yang layak di sisi Allah swt., seorang thalibul ‘ilmi diharapkan berdzikir mengingat-Nya. Dengan ini, niat awal tidak akan menjadi ‘ashi (bis safar/fis safar).
Keempat, al, yang berarti berfikir. Karena berfikir manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dari makhluk Allah lainnya. Maka dari itu, setidaknya seseorang yang ingin menggapai sesuatu seyogyanya menggunakan akal pikirannya sebaik mungkin, dengan tidak menggunakannya pada jalan yang salah, tidak berpikiran licik. Tidak seperti apa yang jamak dilakukan para aktivis yang kadang menggunakan akal pikirannya untuk mengkorup uang bawahannya, instansi, dan sejenisnya.
Kelima, musnad ilaih. Beramal nyata (ikhlas). Cara yang kelima ini merupakan puncak dari semuanya. Dengan ikhlas semuanya akan gampang. Sekedar gambaran, dalam film “Kiamat Sudah Dekat”, dengan ikhlas Fandi (Andre) bisa mendapatkan Sarah (Zazkia Adya Mecca) dari Pak Haji (Deddy Mizwar), ayah Sarah.
Sejatinya lima konsep di atas tidak hanya untuk thalibul ‘ilmi semata, akan tetapi lima konsep tersebut juga untuk merka yang ingin menjadi lebih baik dan lebih maju, termasuk para pemimpin kita yang berada dalam angka krisis.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,46073-lang,id-c,hikmah-t,5+Kunci+Sukses+dalam+Alfiyah+Ibnu+Malik-.phpx

Makna Nuzulul Qur'an dan Lailatul Qodar

===========
Makna Nuzulul Qur'an dan Lailatul Qodar
============================
Diantara momentum yang berharga di bulan Ramadhan adalah malam nuzulul qur’an dan lailatul Qadar. Keduanya merupakan ruang bersejarah yang menentukan kehidupan dunia selanjutnya. Karena keduanya berhubungan langsung dengan proses turunnya al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup umat manusia.Akan tetapi seringkali disalah fahami keterangan antara nuzulul qur’an dan lailatul qadar, bahkan saling tumpang tindih antar keduanya, sehingga perlu diuraikan lebih jelas. Istilah nuzulul qur’an yang sering diperingati pada malam tanggal 17 Ramadhan merupakan malam di mana pertama kali al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw di Gua Hira melalui malaikat Jibril. Pada kesempatan pertama kali ini Malaikat Jibril membawa surat iqra’ wa rabbukal akram. Kemudian untuk selanjutnya al-Qur’an diturunkan secara berangsur. 

Sedangkan term lailatul qadar adalah istilah yang digunakan untuk memperingati malam di mana al-Qur’an diturunkan langsung dari Allah swt secara keseluruhan baitul izzah (semacam ruang ilahiyah) yang kemudian dibawa jibril secara berangsur kepada Rasulullah saw. Oleh karena itulah malam laylatul qadar  hanya Allah swt yang mengetahuinya. Sungguh malam itu adalah malam mulia, malam penuh berkah yang tidak boleh diragukan lagi. Karena Allah swt sendiri mengungkapkan dalam surat ad-Dukhan ayat 3:

إن أنزلناه فى ليلة مباركة
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi
Malam yang berkah itu tentunya berbeda dengan malam-malam lain. Allah swt mengistimewakan nilai malam ini lebih dari malam seribu bulan. Karena pada malam itu Malaikat turun ke bumi mengatur segala urusan. Sesuai dengan perintah-Nya mereka, para malaikat akan menetapkan berbagai takdir manusia mulai dari rizki, mati, jodoh dan semuanya. 

Karena itulah di namakan lailatul Qadar , malam penentuan taqdir manusia. Sudah selayaknya kita sebagai hamba yang menginginkan taqdir baik, apabila menekuk lutut bersimpuh di malam-malam itu, karena ini berhubungan dengan nasib kita sebagai hamba. Seperti seorang budak yang memohon kepada majikannya.

Allah mengkhususkan keterangn ini dalam satu surat penuh, surat al-Qadar:

إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ * لَيْلَة الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْر * تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيَها بِإِذْنِ رَبّـِهم مِّن كُلِّ أَمْر * سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر 

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan * Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? * Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan * Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan * Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar 

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,46128-lang,id-c,ubudiyah-t,Makna+Nuzulul+Qur+an+dan+Lailatul+Qadar-.phpx

Pengertian Malam lailatul Qodar

==========
Pengertian Malam lailatul Qodar
===========================
Berdasarkan keterangan al-Qur’an dan al-Sunnah, disebutkan bahwa dalam bulan Ramadhan terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Malam yang indah itu disebut Lailatul Qadar atau malam kemuliaan. Bila seorang muslim mengerjakan kebaikan-kebaikan di malam itu, maka nilainya lebih baik dari mengerjakan kebaikan selama seribu bulan atau sekitar 83 – 84 tahun.
Malam indah yang lebih baik dari seribu bulan itu adalah malam yang penuh berkah, malam yang mulia, dan memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri. Syaikh Muhammad Abduh memaknai kata “al-Qadar” dengan kata “takdir”. Ia berpendapat demikian, karena Allah s.w.t, pada malam itu mentakdirkan agama-Nya dan menetapkan khittah untuk Nabi-Nya, dalam menyeru umat manusia ke jalan yang benar. Khittah yang dijalani itu, sekaligus melepaskan umat manusia dari kerusakan dan kehancuran yang waktu itu sedang membelenggu mereka. (hasbi Ash-Shiddieqy, 1996:247)

Kata “al-Qadar” diartikan juga “al-Syarf” yang artinya mulia (kemuliaan dan kebesaran). Maksudnya Allah s.w.t, telah mengangkat kedudukan Nabi-Nya pada malam Qadar itu dan memuliakannyadengan risalah dan membangkitkannya menjadi Rasul terakhir. Mengenai hal ini diisyaratkan dalam surat al-Qadar. Bahwa malam itu adalah malam yang mulia, malam diturunjannya al-qur’am sebagai kitab suci yang terakhir. Surat al-Qadar itu lengkapnya sebagai berikut:

 اِنَّا اَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا اَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ اَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ اَمْرٍ. سَلَامٌ هِىَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ 

Sesungguhnya aku telah menurunkan al-qur’an pada malam lailatul qadar, tahukah kamu “apa itu lailatul qadar?”, lailatul qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turun para malaikat dan ruh qudus (malaikat jibril) dengan idzin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar’. (QS. Al-Baqarah,97: 1-5)

Dari ayat tersebut, maka jelaslah lailatul qadar adalah malam yang memiliki keistimewaannya sediri disbanding dengan malam-malam yang selainnya. Dan apabila malam itu digunakan untuk ibadah kepada Allah SWT, maka ia akan mendapatkan pahala berlibat ganda satu berbanding seribu amal kebajikan (ibadah) yang dilakukan di selain malam lailatul qadar.

Sedangkan keagungan dan keistimewaan malam Qadar pada dasarnya terletak dalam dua kemuliaan, yaitu turunnya al-qur’an dan turunnya para malaikat dalam jumlah yang besar, termasuk di dalamnya malaikat Jibril. Para malaikat turun di malam itu dengan cahaya yang cemerlang penuh kedamaian dan kesejahteraan. Kedatangan mereka adalah untuk menyampaikam ucapan selamat kepada orang yang yang melaksanakan puasa Ramadhan dan melaksanakan ibadah lainnya. Kemuliaan turunnya al-qur’an, merupakan hari yang agung dan bersejarah, turunnya kitab suci itu merupakan titik awal dimulainya suatu kehidupan “Dunia Baru” yang terlepas dari kesesatan dan kedzaliman, menuju kebenaran yang hakiki.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,46198-lang,id-c,ubudiyah-t,Pengertian+Malam+lailatul+Qadar-.phpx

Ketentuan Malam Lailatul Qodar

============
Ketentuan Malam Lailatul Qodar
========================
Malam lailatul qadar yang memiliki 1000 keistimewaan itu menjadi misteri bagi setiap hamba yang mencari dan menanti kehadirannya, hanya sedikit orang yang dapat menemukannya, seakan malam lailatul qadar menjadi rahasia Allah SWT semata, dan hanya hamba-hambaNya tertentu yang dikehendaki untuk menemukannya.

Mengenai ketentuan waktu kapan malam qadar itu terjadi, tidak ada ketetapan secara pasti dalam tanggal-tanggal Ramadhan. Akan tetapi kalau dianalisa dan difahami dari surat al-qadar tersebut akan dikaitkan dengan surat al-Baqarah, 

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِى اَنْزَلَ فِيْهِ الْقُرْاَنُ هُدًى للِّنَّاسِ وَبَيِنَتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةُ مِنْ اَيَّامٍ اُخَرَ يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوْا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَاهَدَىكُمْ وَلَعَلَكُمْ تَشْكُرُوْنَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. al-Baqarah, 2: 185)

Tetapi malam lailatul qadar menjadi kesepakatan ulama, bahwa malam istiwema itu ada dalam satu diantra malam-malam bulan Ramadlon, dan pendapat ulama yang kuat mengatakan; malam lailatul qadar itu terjadi salah satu diantara malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan ramadlon (21, 23, 25, 27, dan 29).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرُّوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْاَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ 

Dari Aisyah r.a, ia menuturkan, “sesungguhnya Rasulullah s.a.w, bersabda: “carilah malam qadar pada malam-malam ganjil pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari:1878 dan Muslim: 1998)

اِلْتَمِسُوْهَا فِى الْعَشْرِ الْاَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَاِنْ ضَعُفَ اَحَدُكُمْ اَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي 

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan . bila salah seorang diantaramu merasakan lemah atau lelah, maka jangan kamu kalah dalam mencarinya pada tujuh malam terakhir (bukan Ramadhan)”. (Hadits Shahih, riqayat Muslim: 1989)

Dan diantara pendapat-pendapat di atas yang lebih masyhur adalah malam ke-27 bulan ramadlon itulah turunnya lailatul qadar, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan Imam Ahmad dengan sanad shahih:

عَنِ ابْنِ عَمْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيْهَا فَلْيَتَحَرَّهَافىِ لَيْلَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ 

Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW, bersaabda: barang siapa mencari malam lailatul qadar, maka seyogyanya mencari pada malam ke-27 bulan ramadhan (Hadits Hasan, riwayat Ahmad:4577).

Ubay bin Ka’ab r.a, juga meriwayatkan bahwa malam qadar jatuh pada tanggal 27 Ramadhan:

عَنْ اُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ 
Dari Ubay bin Ka’ab r.a, ia berkata: “malam Qadar adalah malam tanggal 27 (ramadhan)”. (Hadits Hasan, riwayat Ahmad:20265)Riwayat ini didukung pula oleh hadits Zar bin Hubaisy yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

قَالَ اُبَيّ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَاللهِ اِنِّي لَا اَعْلَمُهَا قَالَ شُعْبَةُ وَاَكْبَرُ عِلْمِي هِيَ اَللَّيْلَةُ الَّتِي اَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ 

Ubay bin Ka’ab berkata tentang malam Qadar: “demi Allah sungguh aku mengetahuinya, syu’bah r.a, berkata: “pengetahuanku yang paling utama adalah tentang suatu malam yang Rasulullah s.a.w, memerintahkan kepada kami untuk menghidupkannya (malam qadar) adalah malam tanggal 27 (Ramadhan)”. (Hadits Shahih, riwayat Muslim:2000).

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,46216-lang,id-c,ubudiyah-t,Ketentuan+Malam+Lailatul+Qadar-.phpx

Sepuluh Hal yang ‘Terlalu’ Menurut Sofyan Atsaury

=========
Sepuluh Hal yang ‘Terlalu’ Menurut Sofyan Atsaury
===================

Solo, NU Online
Syaikh Sofyan Atsaury adalah seorang ulama salaf yang dikenal sebagai seorang ahli tasawuf. Nama Atsaury yang melekat di belakang namanya, maknanya sejenis sapi. Konon nama itu sebagai wujud ketawadlu’annya.

Pernah ia menasihatkan kepada jamaah untuk masuk masjid mendahulukan kaki kanan. Jika tidak, apa bedanya dengan sapi. Kemudian suatu hari ia masuk masjid mendahulukan kaki kiri, seketika ia mengatakan sapi (Atsaury). Kemudian nama itu menempel di belakang namanya.

“Menurut Syaikh Sofyan Atsaury, ada 10 hal yang ‘terlalu’ jika dilakukan oleh orang,” tutur KH Abdul Karim Ahmad, dalam Sarasehan Ramadhan di Masjid Jami’ As Segaf, belum lama ini (22/7).

Kiai yang akrab disapa Gus Karim tersebut membacakan dalam kitab Tanbihul Ghafilin 10 hal tersebut. “Pertama, yakni orang yang diberi kesempatan berdoa, tetapi ia berdoa hanya untuk dirinya, bukan kedua orang tua atau Umat Islam,” terangnya.

Menurut Gus Karim, padahal pintu kebahagiaan anak adalah birrul walidain, selain itu doa kepada kedua orang tua dapat dijadikan wasilah untuk memecahkan masalah.

Hal kedua yakni orang yang bisa membaca Al-Qur’an tetapi dalam sehari tidak membaca (minimal) 100 ayat. Selanjutnya adalah orang yang masuk masjid tetapi tidak sampai menjalankan shalat 2 rakaat dan orang yang berjalan lewat kubur, tetapi tidak mengucap salam dan mendoakan. “Orang mati itu senang didoakan,” jelasnya.

Golongan kelima, orang bepergian jauh hari Jum’at. Meski diberi dispensasi, tapi sayang karena tidak jumatan padahal punya kesempatan.

Berikutnya orang yang tahu ada ulama tetapi tidak mau datang atau mencari ilmu. Lalu dua orang bertemu tapi tidak saling mengenal dan orang yang mendapat undangan tapi tidak hadir tanpa sebab.

Sembilan, pemuda yang menyia-nyiakan masa mudanya. “Jadilah pemuda yang cita-citamu di bintang meskipun kaki di atas bumi,” kata Pengasuh Pesantren Al Qur’aniy Solo itu.

Terakhir, yaitu orang yang tidak peduli pada tetangganya. Kepedulian itu tidak hanya berbentuk makanan, tapi juga dapat berupa sandang.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,46243-lang,id-c,daerah-t,Sepuluh+Hal+yang+%E2%80%98Terlalu%E2%80%99+Menurut+Sofyan+Atsaury-.phpx


Al-Quran Sunni-Syi’ah Sama

========
Al-Quran Sunni-Syi’ah Sama
=====================

Jakarta, NU Online
Al-Quran yang menjadi pegangan umat Islam baik kalangan Sunni maupun Syi’ah adalah sama. Demikian kesimpulan buku Al-Quran 100% Asli, Sunni-Syi’ah Satu Kitab Suci karya Ketua Umum Jam’iyyatul Qurra’ wal-Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) Dr. KH Muhaimin Zen MA.

Buku tersebut dibedah Pimpinan Pusat JQHNU di gedung PBNU Jakarta, Senin (29/7). Didaulat sebagai pembicara adalah Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F. Mas’udi tokoh Syi’ah Khalid Al-Walid dan penulis buku tersebut. Sementara moderator Sekjen PP JQHNU Ahmad Ari Masyhuri MA.

Menurut Muhaimin, buku tersebut berawal dari disertasi Pascasarjana Jurusan Tafsir Hadits di Universitas Islam Negeri Sayarif Hidayatullah Jakarta. Judul semula adalah Tahrif (Perubahan) Al-Quran dalam Pandangan Suni-Syi’ah; Satu Kajian Perbandingan.

“Pada mulanya disertasi itu mengatakan bahwa Al-Quran Sunni Syi’ah berbeda. Dasar pendapat itu saya temukan dari buku As-Syi’ah; Tahrif Al-Quran karya Malullah,” jelasnya.

Dalam buku tersebut dikatakan bahwa ayat dalam Al-Quran sekitar 17.000. Yang sekarang ada, tinggal sekitar 6000 ayat. Di buku tersebut dikatakan bahwa orang Sunni-lah yang membuang ayat-ayat itu.

“Kemudian, ketika diajukan kepada penguji, saya tidak bisa membuktikan pernyataan itu. Lalu saya melakukan penelitiian hingga tingga kali ke Iran pada tahun 2006.”

Di Iran, Muhaimin diajak Rektor Universitas Al-Musthafa Al-A’rofy. Ia diajak ke lembaga-lembaga Al-Quran, ke museum-museum, yang memperlihatkan cetakan Al-Quran dari tahun ke tahun. “Kesimpulan saya adalah, bahwa kitab Al-Quran orang Suni dan Syi’ah itu sama,” katanya.

Kholid Al-Walid mengatakan, Al-Quran kalangan Syiah, sama dengan Al-Quran kalangan Sunni. Ia kemudian menceritakan, Al-Quran pada masa itu Nabi sudah dihafal para sahabat.

“Para sahabat membacakananya di hadapan Rasulullah dan dibacakan hingga berkali-kali. Abdullah bin Mas’ud, contohnya.”

Seluruh ulama Syi'ah, kata dia, menolak tahrif (perubahan) Al-Quran. Al-Quran yang ada sekarang sama dengan zaman Nabi Muhammad Saw. “Ulama Syi’ah mengutuk sahabat yang berbeda dengan bacaan umum umat Islam,” tambahnya.

Kodifikasi Al-Quran sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad. Kodifikasi ada dua makna, pertama dalam bentuk hafalan sebagaiamana urutan-urutan yang ada. Kedua kodifikasi atau pengumpulan dalam satu mushaf dilakukan pada zaman Sahabat Usman. “Rasm Utsmani itulah Al-Quran bagi kalangan Syi'ah,” tegasnya. 

sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,46202-lang,id-c,nasional-t,Al+Quran+Sunni+Syi%E2%80%99ah+Sama-.phpx

Kamis, 25 Juli 2013

BERTABARRUK DENGAN MAKAM ROSULULLOH SAW Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Hasany RA

=========

BERTABARRUK DENGAN MAKAM ROSULULLOH SAW 



Oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki


MENJAMAH DAN MENCIUM MAKAM RASULULLAH SAW 
Para peziarah sebaiknya tidak perlu mencium, menjamah, mengusap-usap, menggosok-gosokkan perut dn punggungnya pada dinding makam Rasulullah saw atau pada sekat-sekat jeruji makam yang ditutup dengan kain kiswah. Perbuatan semcam itu Makruh hukumnya, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tatakrama atau adab sopan santun di hadapan Rasulullah saw. Kalaupun mereka sengaja mencari suatu keberkahan, seharusnya mereka berusaha menyingkirkan hal-hal yang dimakruhkan oleh syariat, apalagi yang diharamkan. Orang yang melakukan seperti itu menunjukkan kebodohannya terhadap adab sopan santun berziarah kubur dan ia tertipu oleh adat kebiasaan yang dilakukan orang awam. Perilaku ziarah yang benar adalah seperti yang dituntunkan dan dijelaskan oleh para ulama, diantaranya adalah berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama, sebagaimana hal ini dijelaskan secara rinci oleh Imam An-Nawawy didalam kitabnya, Al-Idhah.
Ibnu Hajar Al-Asqalany  didalam kitab Al-Minah wa al-Jauhar menukil pendapat Imam Al-Ghazali didalam kitab Al-Ihya’, bahwa menyentuh, menjamah dan mencium makam merupakan adat kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani.
Al-Fadhil bin ’Iyadh menjelaskan lebih jauh : “Ikutilah jalan petunjuk dan jangan sampai sebagian kecil orang-orang yang sedang berziarah itu membahayakan keimananmu. Hindarilah perbuatan sesat dan jangan tertipu oleh kebanyakan orang awam yang rusak keimanannya. Orang yang berprasangka bahwa menjamah makam dengan tangannya dan melakukan perbuatan yang semisal akan lebih mendatangkan keberkahan, adalah anggapan yang bodoh dan ‘keblinger’, karena keberkahan itu sebenarnya tergantung pada kesesuaiannya dengan syariat, atau tergantung pada ketiadaan pelanggaran terhadap aturan syariat. Bagaimana mungkin keberkahan itu dapat diperoleh dengan sarana dan cara yang melanggar syariat?”. (Al-Majmu’, juz 8, halaman 275)
PANDANGAN IMAM AHMAD BIN HAMBAL 
Imam Ahmad bin Hambal dalam persoalan menjamah dan mencium makam ini terkadang membolehkan, kadang mendiamkan hukumnya, dan pada kesempatan lain ia masih membedakan antara mimbar Masjid Nabawi dan makam Rasulullah saw. Dia membolehkan mencium mimbar beliau saw di Masjid Nabawi. Namun mencium makam beliau saw, dia masih mendiamkan hukumnya dan terkadang menganggapnya mubah. Meskipun terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan ini, namun dia tidak sampai menuduh pelakunya dengan tuduhan kafir, musyrik, bid’ah, murtad atau sesat.
Inti pendapat Imam Ahmad bin Hambal adalah bahwa   bertabarruk dengan cara mencium makam Rasulullah saw merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam. Maksudnya, janganlah perbuatan semacam itu dijadikan sebagai adat kebiasaan, sehingga menyebabkan orang-orang awam tertipu, lalu menyangka bahwa perbuatan itu merupakan keharusan, sesuatu yang disyariatkan, atau bagian dari adab sopan santun dalam berziarah kubur.
Didalam kitab Khulashatul Wafa dan kitab Al-Hilal was-Sualat, Abdullah bin Ahmad bin Hambal menuturkan : “Aku pernah bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad bin Hambal) mengenai hukum menjamah makam Rasulullah saw, bertabarruk dengan cara mengusap dan mencium makam beliau saw, dan tentang menjamah dan mencium mimbar beliau saw di Masjid Nabawi, dengan harapan agar mendapatkan pahala. Jawaban ayahku : ‘Tidak apa-apa dilakukan’”. 
Abu Bakar al-Atsram pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal mengenai hukum menjamah dan mencium makam Rasulullah saw. Jawabannya : “Aku tidak tahu”. Selanjutnya ia bertanya : “Kalau mengenai mimbar?”. Imam Ahmd menjawab : “Itu merupakan sebaik-baik perbuatan. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar bahwa ia pernah menjamah mimbar Masjid Nabawi. Sedangkan riwayat dari Sa’id bin Al-Musayyab menjelaskan bahwa Ibnu Umar mengusap Rumanah (tiang penyanggah) di atas mimbar Rasulullah saw di Masjid Nabawi”.
Orang-orang meriwayatkan kisah dariYahya bin Sa’id, bahwa sewaktu ia pergi ke Irak, ia terlebih dahulu mengusap mimbar Masjid Nabawi, lalu diteruskan berdoa di situ. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar : “Apa yang dilakukan Yahya bin Sa’id itu adalah baik. Dan barangkali dalam keadaan dharurat, tidak apa-apa melakukan semacam itu”.
Dikatakan kepada imam Ahmad bin Hambal, bahwa orang-orang sama menggosok-gosokkan dan menempelkan perutnya para makam Rasulullah saw, sementara para ulama Madinah tidak melakukan seperti itu, mereka hanya berdiri di sudut makam  sambil mengucapkan salam kepada beliau saw. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar : “Memang demikianlah yang dilakukan para ulama Madinah dan itulah yang benar. Demikian pula yang dilakukan oleh Ibnu Umar ra”.
Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwa Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya meriwayatkan hadis dan atsar tentang diperbolehkannya  mengusap mimbar tempat duduk Rasulullah saw dan rumanah tempat berpegangan tangan beliau saw di Masjid Nabawi. Sementara para sahabat dan ulama tidak membolehkan mengusap, menjamah dan mencium makam beliau saw. (Iqtidhaus-Shirathjil Mustaqim pada halaman 367,  dan dinukil oleh Ibnu Muflih dari imam Ahmad didalam kitab Al-Furu’, juz 3, halaman 524).
MAKAM RASULULLAH SAW BEBAS DARI PRAKTEK KESYIRIKAN
Allah swt benar-benar memelihara, melindungi dan membebaskan makam Rasulullah saw dari berbagai praktek kesyirikan, penyembahan berhala dan berbagai bentuk peribadatan yang menyimpang dari aturan syariat. Tidak terlintas didalam pikiran dan angan-angan seorang muslim pun, bahwa makam beliau saw adalah suatu bentuk “Berhala” yang perlu disembah-sembah, atau sebagai kiblat dimana semua peribadatan diarahkan ke sana. Hal ini tidak lepas dari doa beliau saw yang diriwayatkan oleh Imam Malik didalam kitab Al-Muwattha’-nya, dan doa beliau saw tentu akan dikabulkan Allah swt. Beliau saw pernah berdoa :
أللّـهمّ لاَ تـجـعلْ قـبري وثَـنًا يُـعْـبَدُ
Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah-sembah”.
Kemudian beliau saw bersabda : “Allah swt sangat marah kepada orang-orang yang menjadikan makam para Nabi sebagai ‘masjid’ (tempat peribadatan)”.
Allah swt benar-benar telah mengabulkan permohonan beliau saw tersebut dan kenyataannya sampai sekarang kuburan beliau saw tidak dijadikan kaum muslimin sebagai bentuk berhala yang disembah-sembah. Kondisi ini sangat berbeda dengan kuburan para Nabi selain beliau saw yang tidak jarang dijadikan sebagai berhala sesembahan. Jangankan menjadikannya sebagai berhala, masuk kedalam ruangan makam saja tidak seorang pun yang mampu melakukannya, apalagi setelah makam tersebut dibuatkan bilik khusus. Dan sebelumnya juga tidak mungkin seseorang memasuki ruangan makam beliau saw sekedar berdoa dan melakukan shalat di sampingnya, serta melakukan adat kebiasaan yang biasa dilakukan orang awam di makam-makam selainnya. Hanya mereka yang bodoh saja yang melakukan shalat di bilik makam beliau saw, atau bersuara keras, atau berbicara dengan suatu pembicaraan yang tidak dibenarkan syariat. Perbuatan tersebut hanya boleh dilakukan di luar bilik makam, bukannya didalamnya.
 Pada waktu Ummul Mukminin ‘Aisyah ra masih hidup, tidak seorang pun yang berani masuk kedalam ruangan makam, selain karena ingin bertemu atau ada kepentingan dengannya. Dan itu pun mereka tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang dilarang agama di samping makam beliau saw. Setelah Aisyah wafat, bilik makam beliau saw dikunci, sebelum pada akhirnya dimasukkan kedalam bangunan Masjid Nabawi, dengan pintu yang  terkunci rapat. Selanjutnya dibangunlah tembok baru untuk memisahkan antara bangunan bilik makam dan masjid. Semuanya itu dibangun dalam rangka menjaga bilik makam tersebut agar tidak dijadikan sebagai tempat perayaan, dan makamnya sendiri agar tidak dijadikan sebagai berhala yang disembah-sembah. Selain itu, seluruh penduduk Madinah adalah muslim dan tidak seorang pun yang datang ke kota itu kecuali muslim.
Kondisi makam Rasulullah saw sebenarnya biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaannya. Di atas makam hanya berupa batu-batu kerikil kasar, tidak ada kijing batu atau kayu, dan tidak dipelester ataupun dicor, apalagi dikeramik. Selain karena hal ini dilarang agama, juga agar jangan dijadikan sebagai alasan pembenaran terhadap pengkijingan, pengkeramikan dan mendirikan bangunan apa saja di atasnya. Sama terlarangnya melakukan shalat sunah mutlak bertepatan dengan terbit dan terbenamnya matahari, agar terhindar dari hal-hal yang dapat menyebabkan perbuatan syirik.
Rasulullah saw berdoa kepada Allah swt agar makamnya tidak dijadikan sebagai berhala sesembahan dan ternyata doanya terkabul. Kalau pada masa-masa sebelumnya telah terjadi berbagai bentuk bid’ah di kalangan umat para Nabi jaman dahulu, lalu Allah swt mengutus seorang Nabi baru kepada mereka yang bertugas untuk meluruskan dan memberantas bid’ah tersebut, maka setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, Allah swt menjaga umat Islam untuk tidak sepakat melakukan kesesatan dan memelihara makam beliau saw agar tidak dijadikan sebagai berhala yang disembah-sembah. Kalaupun terjadi pemberhalaan terhadap makam tersebut, pastilah akan terkalahkan dan akan diketahui oleh kaum muslimin, karena beliau saw telah memberitahukan kepada kita bahwa selalu ada sekelompok kaum muslimin yang secara terang-terangan akan mempertahankan kebenaran dan selalu berjalan di atas kebenaran itu, sehingga mereka tidak akan dapat dikalahkan oleh orang-orang yang menentangnya sampai hari kiamat. Dengan demikian, tidak ada jalan lagi bagi ahli bid’ah untuk melakukan perbuatan bid’ah di makam beliau saw, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang awam pada umumnya di makam-makam yang lain.  (Al-Jawab al-Bahir fi Zuwwar al-Maqabir , karya Ibnu Taimiyah, halaman 13).
==============================================
*) Sumber : Diambil dari salah satu bagian dari kitab :
Judul Asli
: مفـاهـيم يجب أن تـصحح
Penulis
: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
Alih Bahasa
: Achmad Suchaimi
Judul Terjemahan
: Pemahaman Yang Perlu Diluruskan (PYPD)

Biografi Singkat Hadlrotus Syeikh KH. 'Ali Maksum Krapyak Yogyakarta

=============

Biografi Singkat KH Ali Maksum Krapyak Yogyakarta

_________________________
Oleh: Achmad Suchaimi



KH Ali Maksum



1. Masa Kecil KH Ali Maksum
KH Ali Maksum adalah putra pertama dari hasil perkawinan KH Ma’shum bin KH Ahmad Abdul Karim dengan Ny. Hj. Nuriyah binti KH Muhammad Zein Lasem, yang lahir pada tanggal 2 Maret 1915 di desa Soditan Lasem kabupaten Rembang, di tengah gencarnya kaum pembaharu (modernis) melancarkan serangan terhadap keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang dipandang menghambat kebebasan berijtihad, mengembang-kan pemikiran irrasional semacam khurafat, takhayul dan bid’ah, dan sulit diajak untuk maju. 
 
mBah KH Maksum Lasem
Keluarga KH Ali Maksum, sejak dari jaman kakek-kakeknya dahulu sampai jamannya adalah keluarga besar yang kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari nilai-nilai kepesantrenan. KH Ma’shum yang terkenal dengan panggilan mBah Ma’shum ini merupakan pendiri sekaligus pengasuh pesantren Al-Hidayah di desa Soditan, Lasem, Rembang. Sejak kecil, KH Ali Maksum belajar dan dididik secara keras di pesantren ayahnya sendiri yang saat itu menjadi pusat rujukan para santri dari berbagai daerah, terutama dalam pengajaran kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya Ibnu ‘Aqil (Nahwu, Shorof dan Balaghah), dan kitab Jam’ul Jawami’.  mBah Ma’shum berharap agar putranya nanti menjadi seorang ulama ahli fiqih, sehingga beliau menggembleng Ali kecil setiap harinya dengan pelajaran kitab-kitab fiqih. Sementara itu beliau juga mengajarkan kitab-kitab lainnya kepada para santri, terutama kitab-kitab ilmu nahwu, shorof dan balaghah. Akan tetapi kecenderungan Ali kecil justru lebih senang mempelajari kitab-kitab nahwu dan shorof. Ali kecil kemudian belajar beberapa waktu di pondoknya KH Amir di Pekalongan.


2. Menuntut Ilmu ke Pondok Tremas.

Setelah Ali memasuki usia remaja (usia 12 tahun),  mBah Ma’shum berfikir untuk menitipkan pendidikan anaknya itu kepada kiai lain yang terbilang masih temannya, yakni KH Dimyati yang memimpin pesantren Tremas Pacitan (1894 – 1934),  karena tidak terbiasa orang tua mendidik anak kandungnya sendiri sampai dewasa. Pada saat itu, Pesantren Tremas yang terletak di pelosok Pacitan dan hanya dapat dicapai dengan jalan kaki beberapa lama ini merupakan pesantren yang cukup popular, terkenal dan berwibawa, disebabkan oleh tiga alasan : Pertama, pesantren Tremas secara tegas menolak dan menentang penjajah Belanda, serta berusaha menghindar dari pengaruh budayanya. Kedua, sebagian besar ahli bait (keluarga) pesantren Tremas tergolong sangat ‘alim, sehingga keberadaan Tremas saat itu sebagai gudangnya ilmu agama sangat diperhitungkan. Bukti kealiman mereka terukir dalam sejarah, dengan munculnya nama Syaikh Mahfuzh at-Tarmasi (wafat di Makkah, 1918 M) di Dunia Islam yang menjadi ulama besar berkaliber internasional di Tanah Haram, penulis produktif dan guru besar di bidang hadis Shahih Bukhari serta diberi hak untuk mengajar di Masjidil Haram. Ketiga, kegiatan ilmiah di Tremas sangat intensif, karena mendapatkan dorongan sepenuhnya dari kiai dan keluarganya. Bahkan kebebasan ilmiah yang dikembangkan pesantren Tremas berakibat pada munculnya “Madrasah” kontroversial didalam pondok pada tahun 1928 yang didirikan seorang santri senior bernama Sayyid Hasan Ba’bud, dengan tenaga pengajar yang kesemuanya berasal dari luar pesantren. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren Tremas sangat bervariasi seperti Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Minhajul Qawim, Al-Asybah wan-Nazhair, Shahih Bukhari dan Muslim, Alfiyah Ibnu Malik, dll. Mubahatsah (pembahasan) kitab berjalan setiap malam. Di samping itu didukung oleh kebijakan kiai yang memberi kesempatan kepada para santri senior yang mampu untuk mengajari santri adik kelasnya. Kondisi seperti itu lalu menumbuhkan semangat para santri untuk berkompetisi di bidang keilmuan.[1]
Dengan kondisi pesantren Tremas yang sangat mendukung pengembangan keilmuan tersebut, maka pada tahun 1927 M, Ali Maksum dikirim ke pesantren Tremas Pacitan untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Oleh KH Dimyati, Ali Maksum secara istimewa diminta untuk tidak tinggal di kamar-kamar santri pada umumnya, akan tetapi tinggal di komplek “ndalem”, yakni komplek keluarga KH Dimyati, satu kamar dengan Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmasi. Keistimewaan ini barangkali merupakan rasa hormat KH Dimyati kepada KH Maksum, karena di kalangan para kiai ada semacam tradisi saling menitipkan pendidikan putranya kepada kiai lain. Dalam hal ini, KH Maksum menitipkan putranya yang bernama Ali kepada KH Dimyati di pesantren Tremas, sementara KH Dimyati sendiri menitipkan putranya yang bernama Gus Hamid Dimyati dan Habib Dimyati, kepada KH Maksum di pesantren Al-Hidayah Lasem.
Ali Maksum, yang dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren lebih dikenal dengan panggilan Wak Ali ini,[2] nampak paling menonjol diantara para santri yang lain dan sudah menampakkan bakat-bakat keulamaannya. Hal ini bukan disebabkan oleh kebesaran nama ayahnya, akan tetapi disebabkan oleh kejeniusan otaknya, ketekunan belajarnya, kedalaman ilmunya, keluasan wawasannya, penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, kreatif, inovatif, kekuatan pribadinya, jiwa kepemimpinannya, dan hal-hal lainnya. 
Menurut saksi mata, sebagaimana yang dituturkan oleh KH Habib Dimyati, bahwa Wak Ali setiap harinya tidak lepas dari kitab-kitab besar. Semangat belajarnya hebat melampaui usianya yang sangat muda dan melintasi batas-batas yang ditetapkan pesantren. Wak Ali sering tidak tidur sampai larut malam, sehingga tidak aneh jika kamarnya terlihat tidak rapi, karena di sana-sini banyak kitab-kitabnya berserakan dalam keadaan terbuka.   Gus Muhammad, putra syaikh Mahfuzh at-Tarmisi, yang tinggal sekamar banyak berguru kepada Wak Ali dalam hal membaca kitab kuning. Maklum, meskipun lama bermukim di Makkah, Gus Muhammad lebih mengkhususkan diri pada ulumul Qur’an. Yang dipelajari Wak Ali bukan hanya terbatas pada kitab-kitab mu’tabarah karya ulama’ salaf sebagaimana yang diajarkan oleh kiainya, akan tetapi juga mempelajari kitab-kitab tulisan ulama’ pembaharu seperti kitab Tafsir Al-Manar tulisan Rasyid Ridha murid Muhamad Abduh, kitab Tafsir Al-Maraghi, kitab Fatawa tulisan Ibnu Taimiyah, kitab-kitab tulisan Ibnul Qayyim dan kitab-kitab baru lainnya. Padahal kitab-kitab tersebut menjadi larangan para kiai di beberapa pesantren tradisional untuk dibaca dan dipelajari para santrinya.  KItab-kitab para pembaharu tersebut diperoleh Wak Ali dari kiriman kawan-kawannya di Tanah Haram, santri ayahnya dan keluarga Tremas yang pulang dari pergi haji. KH Dimyati selaku pengasuh pesantren sebenarnya mengetahui hal itu, apalagi Wak Ali tinggal didalam komplek nDalem, akan tetapi beliau sengaja mendiamkannya, karena Wak Ali dipadang memiliki dasar-dasar tradisi pesantren yang kuat. Bahkan memperluas wawasan dengan kitab-kitab tersebut bagi Wak Ali sangat diper-lukan sebagai muqabalah (perbandingan). Barangkali karena latar belakang referensinya yang luas inilah yang menjadikan Wak Ali sebagai seorang ulama’ yang berwawasan luas, dalam, dan berpandangan lebih moderat bila dibanding dengan para kiai alumni pesantren lainnya.
Wak Ali sangat gemar mempelajari Ilmu tafsir Al-Qur’an, yang nantinya mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama’ ahli tafsir yang terkemula di Indonesia. Demikian pula dalam ilmu bahasa arab, Wak Ali sangat menguasai kitab-kitab nahwu tingkat tinggi seperti kitab Dahlan, Asymuni, Alfiyah Ibnu Malik dan syawahid-nya, sehingga di kemudian hari mengantarkannya menjadi seorang pakar ahli bahasa Arab yang terkenal. Julukan “Munjid berjalan”[3] untuk KH. Ali Maksum menunjukkan penguasaannya di bidang bahasa Arab beserta cabang-cabangnya. Atas kegemaran, ketekunan dan keahlian inilah yang mengantarkan KH Ali Maksum berhasil menciptakan metode baru dalam pembelajaran ilmu shorof yang dinilai cukup praktis dan efektif, yang kemudian diberi judul “Ash-Sharful Wadhih”. Metode ini berbeda dengan metode shorof yang sudah mapan saat itu, misalnya metode tashrif susunan Kiyai Muhammad Ma’shum bin Ali dari Jombang dalam bukunya yang berjudul “Al-Amtsilah at-Tashrifiyah”.
Kegemaran lain Wak Ali di bidang keilmuan adalah menghafal dan mempelajari secara intens syiir-syiir dan butir-butir kalam hikmah yang sangat berguna kelak ketika menjadi seorang ulama’ besar, dimana setiap ada kesempatan dalam berpidato, berceramah, mengajar, memberikan pembinaan dan lain-lain, sering keluar dari mulutnya untaian kalam hikmah dan syiir-syiir tersebut. 
Wak Ali Maksum yang sejak muda tidak gemar tirakat, puasa ngrowot dan perilaku nyeleneh lainnya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian santri di pesantren-pesantren salafiyah pada umumnya ini juga memiliki kegemaran musik. Beliau suka memukul-mukul daun pintu atau apa saja yang ditemui dengan ujung jarinya untuk mengiringi alunan nyanyian, dan bahkan menyukai lagu-lagu berbahasa inggris yang diiringi musik jazz. Kegemaran ini masih terbawa ketika sudah menjadi seorang kiyai yang mengasuh pesantren Krapyak, dimana lagu-lagu jazz tersebut sering diputar dan didengarkan didalam kamar pribadinya sambil beliau dipijiti para santri, bahkan terkadang suaranya sampai keluar melalui mic speaker sehingga para santri ikut menikmati lagu-lagu tersebut. Dalam bidang olahraga, Wak Ali sama sekali tidak memiliki kegemaran, kecuali gemar membersihkan lingkungan pondok dari daun-daun kering, mengambili kertas-kertas bekas dan sampah kering lainnya. Berbeda dengan Gus Hamid[4] dari Pasuruan yang gemar main sepakbola. 
KH Abd. Hamid Pasuruan: Besan dan teman di Tremas

 Mengingat kejeniusannya, ketekunan belajarnya, kedalaman dan keluasan ilmunya, penguasaannya terhadap kitab-kitab kuning, dan bakat keulamaannya,  Wak Ali dipercaya oleh KH Dimyati untuk mengajar para santri dalam usia yang sangat muda. Dalam menjalankan tugas mengajar, Wak Ali sangat menguasai materi kitab yang dibebankan kepadanya, tegas, disiplin dan simpatik. Oleh karenanya, beliau memperoleh kedudukan yang terhormat di kalangan keluarga pesantren dan santri.
Dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren, Wak Ali adalah “simbol keteladanan”. Beliau bersama-sama dengan Gus Hamid Dimyati, Gus Rahmat Dimyati dan Gus Muhammad bin Syaikh Mahfuzh at-Tirmasi sangat populer dengan sebutan “Empat Serangkai”, karena dari merekalah muncul ide-ide segar untuk memajukan dan mengembangkan pesantren Tremas. Diantaranya adalah ide  dari Wak Ali tentang perlunya menerapkan sistem madrasi dalam sistem pendidikan pesantren Tremas, dengan tenaga pengajar dari dalam pesantren sendiri. Semula ide ini ditolak oleh KH Dimyati, karena trauma dengan pendirian madrasah kontroversial oleh Sayyid Hasan Ba’bud. Setelah konsep dari ide tersebut dipandangnya jelas dan mendukung kemajuan pesantren, maka KH Dimyati mengijinkan berdirinya madrasah tersebut, dengan Wak Ali Maksum sebagai direkturnya. Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Wak Ali, yang ketika itu baru berusia 19 tahun, untuk melakukan pembaharuan di bidang metode pengajaran dan kurikulumnya, diantaranya dengan cara memasukkan kitab-kitab baru karya ulama modern kedalam kurikulumnya, seperti kitab Qiroatur Rosyidah, an-Nahwul Wadhih dan lain-lain. 
Setelah Wak Ali Maksum pulang “boyongan” ke Lasem, kepemimpinan madrasah diserahkan kepada Gus Hamid Dimyati sebagai direktur dan A. Mukti Ali sebagai wakilnya. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali berkomentar, bahwa Ali Maksum-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas, dari hanya meng-gunakan sistem pesantren ke sistem madrasi. [5]



3. Berguru ke Tanah Haram Makkah.

Sepulangnya ke Lasem pada tahun 1935, KH Ali Maksum membantu ayahnya mengajar di pesantren Al-Hidayah, terutama dalam disiplin ilmu bahasa arab dan Tafsir Al-Qur’an yang menjadi kegemaran dan spesialisasinya selama belajar di pesantren Tremas. Selain mengajar, KH Ali Maksum juga membenahi sistem pendidikan dan pengajaran pesantren. Semangat pembaharuan mulai beliau tiupkan, dan ternyata mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, karena pembaharuan yang diterapkannya sama sekali tidak mengancam keberadaan pesantren berikut segala pranatanya, melainkan justru menguatkan-nya. Pembaharuan yang beliau lakukan tetap berpedoman pada prinsip: Al-Muhafazhatu ‘alal qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, yaitu mempertahankan tradisi lama yang masih baik (layak) dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. 
M. Rasyid Ridha
Muhammad Abduh
Jamaluddin Al-Afghani
Umar Hamdan
Alwi Abbas Al-Maliki
Pada tahun 1938, KH Ali Maksum menikahi Rr. Hasyimah putri KHM Munawwir. Beberapa hari setelah pernikahannya, seseorang bernama H. Junaid dari Kauman Yogyakarta melalui KH Maksum menawarkan tiket gratis kepada KH Ali Maksum untuk beribadah haji. Sebulan kemudian, KH Ali Maksum bertolak menuju Makkah lewat pelabuhan Semarang, dan kesempatan tawaran beribadah ini sekaligus digunakan untuk thalabul ilmi, mengaji kepada beberapa ulama’ besar di Makkah, diantaranya berguru kepada Sayyid Alwi Abbas Al-Maliki (ayah Sayyid DR. Muhammad Alwi Abbas Al-Maliki) untuk mengaji kitab Al-Luma’ dan lain-lain, juga berguru kepada  Syaikh Umar Hamdan untuk mengaji kitab Shahih Bukhari dan kitab hadis lainnya, serta memperluas wawasan dengan mengkaji kitab-kitab kaum modernis seperti karya Muhammad Abduh, M. Rasyid Ridha, Jalaluddin Al-Afghani, dan lain-lain. 
Selama dua tahun tinggal di Makkah, berarti dua kali pula Ali Maksum menunaikan ibadah Haji. Selama itu pula, Ali Maksum berhubungan dengan para masyayikh, sesama para pelajar dan jamaah haji Indonesia. Kepada jamaah haji yang dikenalnya, ia menitipkan kitab-kitabnya untuk dibawa ke Lasem, terutama kitab-kitab baru tulisan para ulama’ pembaharu, disamping kitab-kitab yang ia tumpuk untuk dibawa sendiri pada tahun 1940.[6]


4.  Menjadi Pengasuh Pondok Pesantren
Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta

KHR A. Afandi
KHR Abd. Qodir
Sepeninggal K.H.M. Munawwir, sesuai dengan wasiat dan kesepakatan kekuarga, kepemimpinan pesantren kemudian diambil alih oleh kakak beradik, K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir. K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir bertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan sarana prasarana pesantren dan hubungan dengan luar pesantren, dan K.H.R. Abdul Qodir Munawwir bertugas sebagai penanggung jawab dalam urusan pengajaran Al-Qur’an. 

 Namun satu persatu santri pulang meninggalkan pesantren, dan belum genap 100 hari wafatnya, jumlah santri tinggal puluhan orang. Bersamaan dengan itu, masuknya penjajah Jepang ke Indonesia semakin memperparah kondisi pesantren, sehingga santri tinggal beberapa orang, padahal jumlah santri saat wafatnya K.H.M. Munawwir mencapai 200-an lebih. Walaupun demikian, aktifitas kepesantrenan (pengajian Al-Qur’an) tetap berjalan seperti masa-masa sebelumnya dengan jumlah santri apa adanya.
Masjid PP Al-Munawwir Krapyak, tempo dulu
Dari fenomena ini sementara dapat disimpulkan bahwa kewibawaan dan kekharismaan K.H.M. Munawwir merupakan faktor penyebab kebesaran pesantren, dan hal ini ternyata tidak mampu diatasi oleh penggantinya selaku turunan langsung yang secara tradisional mewarisi kepemimpinan dan kharisma dari ayahnya. Kondisi ini membuat keluarga besar K.H.M. Munawwir merasa resah dan khawatir terhadap kelestarian pesantren ke depan. Maka pada tahun 1943, musyawarah keluarga Bani Munawwir memutus-kan untuk mengirim delegasi menemui Kiai Ali (menantu K.H.M. Munawwir), yang saat itu telah berhasil membenahi sistem pendidikan pesantren ayahnya di Lasem dan mampu mendongkrak jumlah santri, agar bersedia diajak ”hijrah” ke Krapyak untuk mengatasi krisis tersebut. Namun ajakan ini ditolak tegas oleh Kiai Ali Maksum. Beberapa bulan kemudian, datang lagi utusan ke Lasem. Kali ini yang datang adalah Nyai Sukis sendiri (isteri K.H.M. Munawwir, ibu mertua Kiai Ali) dengan didampingi K.H.R. Abdullah Afandi Munawwir, yang mengharap dengan sangat agar Kiai Ali bersedia diboyong ke Krapyak. Akhirnya kekerasan hati Kiai Ali luluh dan menerima ajakan itu. Sejak kepindahan Kiai Ali ke Krapyak ini (1943), pesantren Al-Munawwir di bawah kepemimpinan ”tiga serangkai” dengan pembagian tugas sebagai berikut :
1). K.H.R. Abdullah Affandi (putra, wafat 1968), dengan tugas sebagai pimpinan umum, menangani urusan sarana-prasarana dan hubungan dengan dunia luar pesantren
2). K.H.R. Abdul Qadir (putra, wafat 1961)), dengan tugas sebagai pengasuh Tahfizh Al-Qur’an dan urusan intern pesantren
3). K.H. Ali Maksum (menantu), sebagai penanggung jawab urusan pengajaran kitab-kitab kuning dan pembenahan sistem pendidikannya.
  Dari ketiga pemimpin tersebut, Kiai Ali merupakan orang yang memiliki kelebihan. Disamping keahlian, kedalaman dan keluasan wawasan di bidang keilmuan, juga dipandang lebih mumpuni, lebih dewasa, lebih berpengalaman dan lebih siap memimpin pesantren. Dengan bermodalkan pengalaman dan potensi yang dimiliki selama menjadi santri di pesantren  Tremas dan membenahi pesantren ayahnya di Lasem, serta tugas berat ”amanah” yang dibebankan kepadanya tersebut, Kiai Ali mulai mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk mencari titik-titik lemah yang menjadi sumber kemunduran beserta jalan keluarnya, kemudian menetapkan beberapa langkah strategis, diantaranya: 1) perlunya kaderisasi ulama / tenaga pengajar inti dari dalam pesantren, dan 2) perlunya pengembangan sistem pendidikan-pengajaran dan kurikulum pesantren. 
  
Selama dua tahun pertama (antara tahun 1943 – 1944), aktifitas  secara intensif difokuskan pada usaha kaderisasi ulama, tenaga pengajar dan pengelola dari lingkungan keluarga pesantren, dengan melibatkan seluruh putra dan menantu K.H.M. Munawwir, serta tetangga. Sedangkan aktifitas kepesantrenan (pengajaran Al-Qur’an) dan penerimaan santri dari luar untuk sementara dibekukan. 

KH Zainal Abidin
KH Zaini
KH Mufid Mas'ud
KH Dalhar
Peserta yang mengikuti pengkaderan terdiri dari : KHR Abdul Qodir Munawwir (pengasuh), KH Zaini Munawwir,  KH Zainal Abidin Munawwir, KH Ahmad Munawwir,  KH Dalhar Munawwir, KH A. Warson Munawwir, KH Nawawi Abdul Aziz (menantu), KH Mufid Mas’ud (menantu), KH Habib Dimyati (Tremas), H. Wardan Junaid (Kauman Yogyakarta), Abdul Hamid (tetangga, Krapyak), dan KH. Zuhdi Dahlan (tetangga, Jogokaryan). 
 
KH Ahmad Warson
KH Nawawi Abd.Aziz
Murid-murid pertama ini tidak mengecewakan dan tidak satupun diantara mereka yang “melorot” (kendur) semangatnya, padahal mereka harus mengikuti pengajian berbagai macam kitab kuning dengan sistem halaqah/weton dan sorogan, sejak sehabis sholat subuh sampai pukul 21.00 secara nonstop, kecuali sekedar waktu untuk shalat dan makan, dan disiplin yang diterapkan betul-betul sangat ketat, terutama yang diterapkan kepada peserta ahlul bait (keluarga pesantren).[7]
Hasilnya, seluruh peserta kaderisasi memiliki kesiapan dalam segala hal untuk bersama-sama mengelola, memajukan dan mengembangkan pesantren. Mereka menjalankan tugas, wewenang, dan aktifitas sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Maka dalam jangka waktu yang relatif singkat, pesantren Al-Munawwir selama dalam kepengasuhan Kiai Ali mengalami perkembangan pesat setahap demi setahap. Hal ini ditandai dengan :
a) Berkembangnya sistem pendidikan yang tidak lagi dipusatkan pada pengajaran Al-Qur’an, akan tetapi juga pada kajian kitab kuning, yang keduanya dapat berjalan secara seimbang, sehingga menjadi aktifitas utama sekaligus menjadi ciri khas pesantren. 
b) Berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal/klasikal dalam bentuk madrasah, meliputi :  1). Madrasah Ibtidaiyah putra 4 tahun (1946); 2) Madrasah Tsanawiyah Putra 3 tahun (1947) dan SMP Eksakta Alam  (1951-1954); 3) Madrasah Banat (1951);  4) M. Aliyah Salafiyah putra 3 tahun (1955);  5)  Madrasatul Huffazh (1955); 6) TK (1957); 7)  Madrasah Diniyah (1960); 7) Tsanawiyah 6 tahun (1962-1986);  6) MTs dan Aliyah 3 tahun (1987);
c) semakin bervariasi (santri takhassus, santri kalong, sekolah didalam dan diluar pesantren) dan meningkatnya jumlah santri yang tertarik belajar di pesantren Krapyak;
d) semakin terkenalnya nama pesantren di tingkat Nasional dan dunia internasional, terutama di negara-negara Timur Tengah,[8] apalagi semenjak Kiai Ali menjadi Rois ’Am (1981-1984) dan menjadi tuan rumah Muktamar NU ke-28 (1989), kepopuleran dan peran pesantren Al-Munawwir diperhitungkan oleh berbagai pihak.

Disebabkan oleh perannya yang begitu besar sebagai motivator, dinamisator, katalisator, inspirator (penggagas) kaderisasi ulama dalam kepemimpinan pesantren, dan sebagai power bagi komunitas yang dipimpinnya, serta sebagai sumber pengetahuan, maka dari sudut ini, Kiai Ali dapat dipandang sebagai sesepuh Krapyak, sekaligus sebagai pembangun pesantren yang sebelumnya telah dirintis dan didirikan oleh K.H.M. Munawwir.


5. Pengabdiannya di Jam’iyyah NU

Di sela-sela kesibukannya sebagai pengajar dan pengasuh pesantren Al-Munawwir Krapyak, Kiai Ali sejak masa-masa awal sudah simpatik terhadap jam’iyyah NU. Terutama sekitar tahun 1950-an ketika suhu politik memanas akibat semakin nyaringnya suara kaum nahdhiyyin untuk keluar dari Masyumi, dan terealisir ketika Muktamar di Palembang tahun 1952 yang memu-tuskan NU keluar dari Masyumi dan mendirikan partai “NU” sendiri. Untuk menghadapi Pemilu pertama tahun 1955, Kiai Ali mulai aktif berkampanye untuk partai NU dengan cara tidak langsung turun ke lapangan sebagai jurkam, melainkan lewat pendidikan kader kepada para santri Krapyak dan melalui pembicaraan non formal dengan para tamu yang sowan ke rumahnya. Hasilnya, Partai NU memperoleh suara terbanyak rangking ketiga setelah PNI dan PKI. Dari Pemilu tersebut, Kiai Ali akhirnya terpilih menjadi anggota konstituante yang mewakili NU Yogyakarta.
KH Bisiri Sansuri
Pada tahun 1960-an, tatkala PKI tengah gencar memusuhi kaum muslimin dan mengancam para kiai, Kiai Ali justru diminta menjadi Rois Syuriyah PWNU propinsi D.I.Yogyakarta secara terus menerus sampai beliau dikukuhkan sebagai Rois ‘Am PBNU menggantikan posisi KH Bisri Syansuri yang wafat, melalui Munas Alim Ulama NU di Kaliurang Sleman Yogyakarta, 30 Agustus – 2 September 1981.
KH Ahmad Siddiq
  Kiai Ali sebenarnya kurang tertarik dengan dunia politik praktis dan menolak keras ketika dicalonkan sebagai Rois ‘Am. Berulang kali Kiyai Ali mengatakan, “Demi Allah, jangan dipilih”, mengingat dorongan yang sangat kuat dari banyak kiyai, terutama pendapat KH Ahmad Shiddiq di forum Munas: “Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cocok untuk menjadi Rois Am daripada KH Ali Maksum”, dan ternyata kemudian disetujui oleh farum Munas secara aklamasi, maka dengan rasa berat Kiai Ali mau menerimanya dengan syarat hanya satu kali periode kepengurusan sampai diadakannya Muktamar ke-27 tahun 1984. Sambil menangis, dan juga diikuti tangisan haru para kiai, Kiai Ali memberikan kata sambutan dengan bahasa arab yang fasih, yang intinya menyatakan bahwa beliau bukanlah orang yang terbaik, bila selama memimpin terlihat bengkok agar diluruskan bahkan beliau siap dicampakkan atau dipecat.[9]

DR. Hc.KH Idham Kholid
KHR As'ad Samsul Arifin
KH Makhrus Ali
DR.Hc.KH Abdurrahman Wahid
Kiai Ali oleh banyak kalangan disebut sebagai “penyelamat NU”, karena : 1) ketika muncul krisis kepemimpinan di NU dan kesulitan memilih orang yang tepat untuk jabatan Rois ‘Am pengganti KH Bisri Syansuri yang wafat, Kiai Ali bersedia dipilih sebagai Rois ‘Am pada 1981 melalui Munas Alim Ulama NU di Kaliurang Yogyakarta, walaupun dengan sangat berat;  2) ketika NU dilanda kemelut tahun 1983 dengan pengunduran diri DR Idham Kholid sebagai Ketua Umum PBNU (yang belakangan lalu dicabutnya kembali), akibat perseteruan antara kubu politik (kelompok “Cipete”, pimpinan DR Idham Kholid) dengan kubu ulama/non politik (kelompok “Situbondo”, pimpinan KH As’ad Syamsul Arifin), Kiai Ali tampil merangkap jabatan sebagai Rois ‘Am sekaligus Ketua Umum PBNU untuk membenahi persiapan Muktamar Situbondo 1984, yang menghasilkan keputusan strategis dan monumental, yaitu mengembalikan NU ke khittah 1926;  3) Ketika ada gejolak sebagian aktivis yang ingin, menggoyang Khittah NU 1926 dan membelokkan NU ke partai politik, serta usaha mendongkel Gus Dur dari posisi Ketua Umum PBNU di Munas Alim Ulama NU di Cilacap akhir 1987, maka dengan kewibawaan dan kekarismatikannya Kiai Ali mampu menjadi penjaga gawang-nya sehingga dapat meredam gejolak tersebut. Atas perannya ini Kia Ali secara berkelakar berkomentar: “Wah, saya ini anggota Mustasyar bagian meden-medeni (menakut-nakuti).”
Diantara jasa dan hasil capaian Kiai Ali selama memimpin NU adalah : 1) mampu mengerem usaha menjerumuskan NU ke politik praktis yang lebih dalam;  2) lahirnya keputusan NU kembali ke Khittah 1926;  3) menjaga jarak yang sama antara NU dengan partai-partai politik;  4) mengangkat wibawa ulama/syuriyah;  5) mulai terjadinya regenerasi dalam NU dengan mendorong dan memasukkan generasi muda NU kedalam struktur kepengurusan;[10]  6) hilangnya perpecahan di tubuh NU, tidak ada lagi kubu Cipete dan Situbondo, yang ada adalah kubu NU;  7) membuatkan bekal bagi pengurus dan warga NU dalam meraih sukses organisasi.[11]
Setelah Muktamar ke-27 di Situbondo, Kiyai Ali ditempatkan sebagai salah satu anggota Mustasyar PBNU bersama-sama dengan KHR As’ad Syamsul Arifin, KH DR. Idham Cholid, KH Mahrus Ali, dll.

6. Sifat Kepribadian KH Ali Maksum
Banyak sifat-sifat kepribadian Kiai Ali yang dapat dijadikan sebagai suri teladan terutama bagi para santri, dan sekaligus mempengaruhi tipologi kepemimpinannya di PP Al-Munawwir, diantaranya adalah istiqomah mengajarkan kitab kuning. Sekalipun kesibukan beliau bertumpuk-tumpuk, seperti sebagai seorang muballigh, dosen di IAIN dan pengurus NU (Rois ‘Am) yang sering keluar kota,  beliau jarang sekali meninggalkan pengajian dan sorogan yang menjadi rutinitasnya sehari-hari, kecuali dalam kondisi yang sangat mendesak, terutama di akhir hayatnya yang sering sakit-sakitan.
Kiai Ali berpola hidup sederhana, zuhud, tidak terkesan hidup mewah, dan tampil apa adanya. Hal ini ditunjukkan oleh kondisi pakaiannya, tempat tinggal, kendaraan dan makanannya yang sangat sederhana, tidak terkesan mewah, bahkan bisa dikatakan tidak layak untuk ukuran dan statusnya sebagai seorang Kiai besar. Keseriusan usahanya dalam pengembangan pesantren seperti pembiayaan pembelian tanah untuk perluasan lokasi pesantren, pengadaan bangunan, fasilitas pesantren dan kegiatan-kegiatan keagamaan (konsumsi majlis taklim, dll), baik dengan dana pribadi maupun dana sumbangan dari berbagai pihak, semua itu menunjukkan sikap kezuhudannya. Bahkan, jauh sebelum wafatnya Kiai Ali sudah mempersiapkan untuk membagi-bagikan seluruh harta kekayaannya tanpa diketahui oleh siapapun dengan cara membuat catatan beberapa lembar kertas yang kemudian disimpan di lemari diantara tumpukan pakaiannya. Isinya : 1) jumlah total berbagai jenis harta benda yang dimiliki (tanah, rumah, pakaian, kendaraan, uang, dll) beserta tempat penyimpanannya, 2/3 harta benda tak bergerak dihibahkan untuk pesantren dan sisanya dihibahkan untuk anak-anaknya; 2) daftar nama orang satu persatu dari kalangan masyarakat tetangga pesantren, para sahabat dan kenalan, sanak kerabat dan putra-putrinya, lengkap dengan angka nominal dan jenis harta yang akan diterimanya, sehingga pada saat wafat, beliau sedikit pun tidak meninggalkan harta warisan. Sungguh, tindakannya ini sesuai sekali dengan isi kandungan syi’iran sholawatan berbahasa Jawa yang beliau gubah dan sering beliau lantunkan di tengah atau akhir memberikan ceramah pengajian, antara sebagai berikut :
Kulo sowan nang Pangeran // Kulo miji tanpo rencang // Tanpo sanak tanpo kadang // Bondho kulo ketilaran //.
Yen manungso sampun pejah // Uwal saking griyo sawah // Najan nangis anak simah // Nanging kempal boten betah //.
Senajan berbondho-bondho // Morine mung sarung ombo // Anak bojo moro tuwo // Yen wis nguruk banjur lungo //.
Yen urip tan kebeneran // Bondho kang sa’ pirang-pirang // Ditinggal dienggo rebutan // Anak podho keleleran //.
Yen sowan kang Moho Agung // Ojo susah ojo bingung // Janji ridhone Pangeran // Udinen nganggo amalan.[12]
Pembawaan Kiai Ali yang tenang, santun dan mengesankan, wataknya yang arif dan bijaksana, serta sifatnya yang lemah lembut, grapyak (mudah menyapa, mudah bergaul) dengan siapa saja yang ditemui, tutur katanya yang manis, serta raut wajahnya yang selalu ceria dan semringah dengan hiasan senyuman yang khas,  menyebabkan beliau disukai oleh siapa saja. Demikian pula sikap beliau yang tawadhu’, tidak suka dihormati secara berlebihan apalagi dikultuskan,[13] suka memaafkan kesalahan orang,[14], serta jauh dari sifat pendendam dan dengki, menyebabkan beliau selalu dihormati dan disegani.
Pergaulan KH Ali dengan Para Santri.  Kiai Ali sangat dekat hubungannya dengan para santri, dan begitu pula sebaliknya. Kiai Ali hampir hapal semua nama santri, tempat tinggalnya di lokasi pesantren, nama orang tuanya dan asal usul daerahnya. Di hadapan para santri, Kiai Ali bukanlah sosok yang menakutkan. Pada umumnya, para santri merasa takut dan lari atau bersembunyi ketika bertemu dengan kiai, akan tetapi tidak demikian terhadap Kiai Ali. Hubungan Kiai Ali dengan santri seperti layaknya hubungan bapak dengan anak. Kedekatan hubungan ini ditunjukkan oleh kesukaannya bercanda dan bergurau dengan para santrinya, baik secara individu maupun secara jamaah di pengajian. Kalaupun ada santri yang lari atau takut ketika berhadapan Kiai Ali, mereka justru akan dipanggil, baik secara langsung maupun lewat microphone untuk sekedar diajak ngobrol sambil mendengar-kan lagu-lagu kesayangannya atau menonton TV,[15] diajak jalan-jalan keliling pondok sambil mengambili sampah-sampah kering (kertas, plastik dan dedaunan), disuruh memijatnya,  disuruh menyapu atau membersihkan kamar pribadinya atau halaman rumahnya, dan lain-lain, sehingga mereka tidak lagi merasa takut dan terasa begitu dekat dengan Kiai Ali.
Kiai Ali sangat rajin mendatangi kamar-kamar santri dan membangunkan mereka untuk diajak shalat subuh berjamaah. Terhadap santri yang dipandang malas dan bandel berjamaah tarawih setiap datangnya bulan Ramadhan, Kiai Ali mengadakan “Tarawih Panggilan” di kediamannya dan diimami sendiri. Ini bukan berarti memberi kesempatan atau peluang untuk bandel, akan tetapi mendidik mereka bahwa dengan sering dipanggilnya mereka, maka lama kelamaan mereka akan sadar dan malu dengan sendirinya.
Demikian pula kedekatan Kiai Ali terhadap para alumninya, yang ditunjukkan oleh seringnya beliau menitipkan salam kepada alumni lewat para tamu, wali santri, atau santri yang kebetulan kenal dan dekat tempat tinggalnya dengan alumni tersebut. Bahkan Kiai Ali sering mampir ke rumah alumni di tengah perjalanannya ke luar kota.[16] Terutama setiap ada event Haul KH Munawwir, para alumni selalu dikirimi undangan untuk meng-hadiri Haul tersebut.  Dari sini dapat dikatakan bahwa kedekatan hubungan santri dengan Kiai tetap berlanjut sampai menjadi alumni.
 Dalam soal ketaatan “mutlak” santri kepada kiyai hingga sampai pada tingkat pengkultusan, adalah tidak sejalan dengan pandangan kiai Ali. Ketaatan murid terhadap guru sebatas pada hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at dan dilakukan secara wajar.[17]
Kiai Ali sangat peduli terhadap kebersihan lingkungan pondok. Beliau sering berjalan-jalan sambil mengelilingi pondok. Begitu melihat lingkungan yang kotor dengan berbagai jenis sampah, langsung saja memanggil santri yang ada di situ, terutama para santri yang tidak ikut sorogan untuk diperintah mengambili sampah-sampah tersebut dengan tangannya, karena beliau memang sangat “titen” (ingat, dan teliti) pada santri yang ikut dan yang tidak ikut sorogan. Bahkan terkadang beliau sendiri yang mengambilinya. Selain itu, beliau juga sangat peduli dengan kondisi suatu bangunan yang rusak, kumuh, atau yang tidak layak huni, langsung saja beliau mengerahkan, memimpin dan mengawasi para santri untuk kerja bakti.[18]
Ulama Intelek dan Tokoh Modernis NU. Nama KH Ali Maksum di kalangan masyarakat tidak asing lagi, karena perannya yang begitu besar di berbagai sektor, sebagai pengasuh pesantren, sebagai ulama intelek, sebagai ilmuwan, sebagai tokoh organisasi Islam, modernis NU, dan sebagai pemimpin lainnya.
Kiai Ali merupakan tipe seorang Kiai yang memiliki semangat autodidak yang tinggi. Bagi Kiai Ali, pameo “Belajar sendiri tanpa guru (misalnya mengkaji sendiri kitab yang belum pernah dingaji-kan), maka gurunya adalah syetan” dipandangnya salah kaprah dan tidak berlaku lagi. Pameo itu sebenarnya hanya berlaku khusus pada murid thariqat yang sangat membutuhkan bimbingan spiritual seorang mursyid dalam mendalami ilmu-ilmu haqiqat. Sebab, jika ilmu hakekat didalami sendiri tanpa bimbingan guru terkadang justru dapat menyesatkannya. Berbeda kondisinya dengan para santri yang mendalami ilmu-ilmu syari’at, bahwa kitab-kitab yang dikaji tersebut justru dipandang sebagai guru yang terbaik. tidak pernah berbohong, paling sabar dan tidak pernah marah. Artinya, kitab-kitab tersebut berbicara dengan bahasa tulis apa adanya, terbuka untuk dikoreksi dan dikritik. Berbeda dengan guru manusia yang suka menutupi kekurangannya dan menonjolkan kelebihannya.[19]  Pandangan inilah yang melandasi Kiai Ali memiliki semangat otodidak tinggi, berwawasan luas dan dalam, serta berpandangan moderat. Bahkan pandangannya ini sering kali dilontarkan kepada para santri di tengah memberikan pengajian, sehingga mampu mendorong para santri untuk memiliki semangat otodidak yang tinggi seperti yang dimiliki oleh Kiai   Ali.
Kiai-Kiai yang seangkatan dengan beliau atau yang lebih sepuh lagi, dan juga kalangan intelektual muda mengakui keluasan ilmunya. Beliau adalah ulama ahli tafsir, hadis, fiqih, bahasa Arab beserta ilmu alatnya, dan berbagai disiplin ilmu lainnya, serta menguasai berbagai macam kitab, baik yang menjadi rujukan ulama tradisional maupun ulama modernis. Bahkan penguasaannya terhadap kitab-kitab rujukan ulama modernis tersebut (seperti karya Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Sayyid Quthub, Hassan Al-Bana, Muhammad Abduh dan lain-lain) justru melebihi dari para ulama kelompok modernis itu sendiri[20]. Julukan “Munjid Berjalan” oleh masyarakat untuk Kiai Ali Maksum menujukkan keluasan bidang keilmuan yang dikuasainya.
DR. KHA Mustofa Bisri
KH Anwar Musaddad
Prof. DR. Mukhtar Yahya
RHA Soenarjo
Di kalangan inetelektual muslim dan dunia kampus, Kiai Ali adalah seorang dosen dan guru besar ilmu tafsir di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang benar-benar ahli di bidangnya dan berpandangan luas. Karena keahliannya itu pada tahun 1962, Kiai Ali bersama-sama dengan Prof. KH Anwar Musyaddad, Prof. DR. Muhtar Yahya, Prof. Hasbi Assiddiqi dan lain-lain ditunjuk oleh Menteri Agama RI sebagai anggota tim Lembaga Penyelenggara Penterjemahan Kitab Suci Al-Qur’an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Sunaryo, SH (Rektor IAIN Sunan Kalijaga ketika itu). 
 Meskipun dekat dengan kalangan akademisi dan intelektual, KH Ali tetap istiqomah mengajarkan kitab kuning kepada para santri Krapyak, dan hampir  tidak ada waktu jeda untuk memberikan pengajian umum/ceramah agama kepada masyarakat, baik di pedesaan, didalam kota maupun luar kota Yogyakarta.[21]
 
KH A. Sahal Mahfudz
KH Masdar F Mas'udi
Mahbub Junaidi
KH A. Muchid Muzadi
Kiai Ali dikenal luas sebagai tokoh modernis NU, yang menjadi motor penggerak terjadinya perubahan dan pembaharuan di tubuh NU melalui sepak terjang generasi muda NU pasca Muktamar Situbondo. Kiai Ali memandang perlu agar kaum muda terutama yang memiliki pemikiran progresif dan semangat pembaharuan diberi kesempatan untuk memimpin NU ke depan. Menurut Martin van Bruinessen, sebagaimana yang dikutip oleh Zainal Arifin Thoha dalam bukunya Runtuhnya Singgasana Kiai, bahwa salah satu alasan yang mendorong Kiai Ali menerima jabatan Rois ‘Am sesungguhnya juga didorong oleh rasa ingin melindungi (gagasan-gagasan) angkatan muda NU, seperti KH Ahmad Shiddiq, KH Sahal Mahfudz, KH Abdurrahman Wachid, KH A. Musthofa Bisri, DR. Fahmi Saifuddin, dr. Muhammad Tohir, KH Muchid Muzadi, M. Zamroni, Mahbub Djunaidi, Masdar Farid Mas’udi dan lainnya yang kelak dikenal sebagai para penggagas Khittah. Pembelaan terhadap gagasan-gagasan progressif angkatan muda NU tidak hanya sampai di forum Muktamar ke-27 Situbondo yang mengantarkan KH Ahmad Shiddiq dan KH Abdurrahman Wachid sebagai Rois ‘Am dan Ketua Umum PBNU, juga pada Muktamar ke-28 Krapyak Yogyakarta (1989) yang juga mengantarkan keduanya untuk dikokohkan kembali sebagai Rois ‘Am dan Ketua Umum PBNU.[22]
  Sejak tahun 1943 Kiai Ali pindah ke Krapyak. Yang pertama kali dirasakan Kiai Ali pada awal kepindahannya ini adalah kuatnya getaran gerakan Muhammadiyah, maklum kota Yogyakarta adalah kota kelahirannya. Kiai Ali yang dikalangan para kiai NU dikenal sebagai salah satu tokoh reformis atau modernis NU ini tidak menunjukkan sikap yang konfrontatif, akan tetapi dengan sikap penuh toleransi, kemudian  gerak langkah Muhammadiyah tersebut terus diikuti perkembangannya dengan seksama. Hal ini yang mempengaruhi kebijakannya dalam memimpin pesantren Al-Munawwir, yaitu dengan membuat seimbang antara pengajian Al-Qur’an dan pengajian kitab-kitab kuning agar santri mengetahui ajaran-ajaran Islam ‘ala Ahlussunnah wal Jamaah beserta dalil-dalinya secara proporsional untuk dijadikan sebagai benteng dari pengaruh faham wahhabi yang disuarakan oleh gerakan Muhammadiyah tersebut.
KH A. Mukti Ali
Persinggungannya dengan kaum modernis nampak terlihat antara lain dari cara Kiai Ali mengupas berbagai masalah keagamaan dalam setiap pengajiannya, yang sering diperbandingkan dengan pandangan ulama pembaharu. Jiwa pembaharuan, keluasan ilmunya dan pandangannya yang moderat tidak lepas dari pengalaman masa lalunya di pesantren Tremas yang sangat gemar mengkaji berbagai jenis kitab karangan para ulama salaf dan ulama’ pembaharu,[23] ide-idenya yang segar demi kemajuan pesantren mampu mendorong terjadinya pembaharuan sistem pendidikan di Tremas. Tidak berlebihan jika Prof. DR. KH A. Mukti Ali mengatakan, bahwa Kiai Ali Maksum-lah yang menjadi motor penggerak modernisasi pesantren Tremas, dari hanya menggunakan sistem pesantren ke sistem madrasi.[24]
 
Bahkan dalam banyak hal pandangan Kiai Ali sejalan dengan pandangan kaum pembaharu, diantaranya seperti masalah mencari ilmu yang harus diperoleh melalui belajar (Innamal ‘ilmu bit-ta’allum) dan didukung dengan makanan yang bergizi untuk meningkatkan kecerdasan, bukan dengan mengandalkan semangat pencarian melalui laku spiritual (laduni), wirid, perilaku ngrowot dan lelakon nyeleneh lainnya. Oleh karena itu Kiai Ali hampir tidak pernah mengajak santrinya hidup prihatin atau tirakat dengan menjauhi makanan tidak bergizi, selain ibadah puasa sunnah yang disyari’atkan.
Latar belakang kehidupan keilmuan Kiai Ali yang dinamis, berwawasan yang sangat luas, dalam dan moderat, dengan dukungan referensi yang multidisipliner, serta memiliki semangat otodidak yang tinggi tersebut, sedikit banyak tentu mempengaruhi pendidikan dan pengajaran yang diberikannya kepada para santri. Tidak mengherankan jika para alumni yang pernah mendapatkan didikan dari Kiai Ali tidak sedikit yang menjadi tokoh masyarakat, intelektual, dan kiai-kiai pengasuh atau pendiri pesantren yang berwawasan luas, mendalam dan moderat disebabkan referensinya yang sangat luas, serta memiliki semangat otodidak yang tinggi. 
KH Munawir AF
KH Drs. M. Hasbullah,  SH
KH Cholil Bisri
Prof. DR. KH A.Malik Madani










Para santri alumni didikan Kiyai Ali antara lain: Prof.DR.KH A Mukti Ali (Guru Besar Fak Usuluddin IAIN Yogya, mantan Menteri Agama RI), KH A. Mustofa Bisri (Rembang), KHM Cholil Bisri (Rembang), KH Maksum Ahmad (tanggulangin Sidoarjo : Pengasuh pesantren dan muballigh), KH A. Masduqi Mahfudh (Malang, mantan Rois Syuriyah PWNU Jatim) KH Abdul Aziz Masyhuri (Jombang: Pengasuh pesantren), KH A. Asrori Usman Al-Ishaqi (PP Al-Fithroh Sby, Mursyid Thoriqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah), KH Abdurrahman Ar-Roisi (Jakarta: penulis dan muballigh), KH Masdar Farid Mas’udi, Drs. H. Slamet Efendi Yusuf,  Prof.DR. KH Said Agiel Siroj, MA, KH Drs. Muhd. Hasbullah SH, KH Drs. Masyhuri AU, Prof. DR. Yudian Wahyudi, KH Zainal Abdin Muanwwir (Pengasuh pesantren), KH Ahmad Warson Munawwir (Pengasuh pesantren, penulis Kamus Al-Munawwir), KH Drs, Asyhari Abta, M.Pd.I, KH Munawwir AF, KH Drs. Henry Sutopo,  KH Drs, Asyahri Marzuki, Lc., KH DR. Malik Madani, MA.,  Drs. H. As'ad Said Ali (mantan Waka BIN, Waketum PBNU), dan lain-lain, 

KH Asyhari Marzuki

KH Idris Hamid

Prof.DR. KH Said Aqil Siraj,MA

KH Drs. Henry Sutopo

KH A. Asrori

KH Drs. Asyhari Abta, MPdI









 
 
 
 
 
 
 
 
6.  Wafatnya KH Ali Maksum
Ketika dilangsungkan Muktamar NU ke-28 di pesantren Al-Munawwir Krapyak, sebenarnya beliau sudah sakit sejak beberapa saat sebelumnya. Meskipun demikian, sebagai tuan rumah yang bertanggung jawab atas sukses dan tidaknya Muktamar, beliau masih sempat mengkomando panitia pelaksana yang sebagian besar adalah santrinya lewat mick speaker dari kamarnya. Ketika Presiden Soeharto dan beberapa menteri serta para kiai peserta muktamar menjenguknya, Kiai Ali juga masih sempat menerima mereka dengan berbaring di kamarnya. 
 Wal hasil, Muktamar dapat berjalan dengan sukses, dengan mengantarkan kembali KH Ahmad Shiddiq sebagai Rois ‘Am dan KH Abdurahman Wahid sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode yang kedua kalinya. Seminggu setelah Muktamar, KH Ali Maksum jatuh sakit dan dirawat di RS DR Sardjito selama seminggu, kemudian wafat ketika adzan Maghrib berkumandang pada pukul 17,55 WIB di hari Kamis malam Jum’at, tanggal 7 Desember / 15 Jumadil Awwal 1989 dalam usia 74 tahun. Jenazahnya dilepas dari Masjid Pesantren Krapyak setelah shalat Jum’at dan dikebumikan berdampingan dengan makam KHM Munawwir di dusun Senggotan (Dongkelan) Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yogyakarta. 

Makam KH Ali Maksum di Dongkelan Yogya, tanpa batu nisan
 Beliau wafat dengan meninggalkan seorang isteri, Nyai Hj. Rr. Hasyimah Munawwir dan 8 orang putra-putri : 1) Adib (wft masih kecil), 2) KH Atabik Ali,  3) H. Jirjis Ali,  4) Nyai Hj. Siti Hanifah Ali,  5) Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali,  6) Nafi’ah (wafat masih kecil),  7) M. Rifqi Ali (Gus Kelik), dan 8) Hj. Ida Rufaidah Ali.
Selain itu beliau juga meninggalkan :
1). Lembaga pendidikan yang begitu besar (madrasah dll), yang pada masa selanjutnya dikelola oleh Yayasan Ali Maksum Pondok Peantren Krapyak Yogyakarta pimpinan KH Atabik Ali;  
2). Karya tulis yang meliputi :
a. Mizanul ‘Uqul fi Ilmil Mantiq, yang berisi prinsip-prinsip dasar ilmu mantiq
b. Ash-Shorful Wadhih, yang berisi kaidah-kaidah dan amtsilatut tashrif (latihan praktis tashriful kalimah) dengan metode baru temuan KH Ali Maksum.
c. Hujjatu Ahlissunnah Wal Jama’ah, berisi kajian dalil-dalil / argumentasi syar’iyyah yang dijadikan sebagai dasar berpijak kaum nahdhiyyin dalam melaksanakan amaliah atau tradisi ke-NU-an.
d. Jawami’ul Kalim : Manqulah min ahadits al-Jami’ ash-shoghir murattabah ‘ala hurufl hijaiyyah ka ashliha,  berisi koleksi hadis-hadis pendek yang mengandung pemahaman yang luas dan dalam, yang dicuplik dari kitab al-Jami’us Shoghir.
e. Ajakan Suci : Pokok-pokok Pikiran tentang NU, Pesantren dan Ulama, merupakan kumpulan makalah tulisan KH Ali Maksum yang tersebar di Majalah Bangkit, surat kabar, forum seminar, dan media cetak lainnya
f. Eling-eling Siro Manungso, yang berisi kumpulan syi’iran sholawatan berbahasa Jawa gubahan KH Ali Maksum.





Catatan Kaki
[1] )  A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum : Perjuangan dan Pemikiran-Pemikirannya, Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 1989, cet.1, halm. 6-7

[2] )  Meskipun putra seorang kiyai besar, Ali Maksum tidak suka dipanggil  “Gus” sebagaimana yang lazim digunakan untuk memanggil semua putra kiyai, melaikan lebih suka dipanggil “Wak”. Mungkin kata ini berasal dari “Uwak” yang lazim digunakan sebagai panggilan kehormatan  untuk orang-orang yang dituakan
[3] )  “Munjid” merupakan judul buku kamus atau ensiklopedi bahasa arab terlengkap di dunia yang ditulis oleh Louis Ma’luf  dari Libanon.

[4] )   Gus Hamid atau KH Abdul Hamid dari Pasuruan, yang lebih dikenal dengan panggilan “mBah Hamid” ini merupakan seorang ulama’ kharismatik, pengasuh sebuah pesantren di Jl. Jawa Pasuruan, oleh kaum muslimin pada umumnya dipandang sebagai seorang Waliyullah yang memiliki banyak karomah. Beliau adalah seangkatan KH Ali Maksum sewaktu nyantri di pesantren Tremas, dan menjadi besannya dengan dinikahkannya Gus Nasikh bin KH Hamid dengan Ny.Hj. Durroh Nafisah binti KH Ali Maksum.

[5] )  KH A. Mukti Ali, KH Ali Ma’shum Itu Guru Saya,  dalam  A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum: Perjuangan …., ibid., halm. Ix.

[6] ) A. Zuhdi Muhdlor, ibid. halm. 17 (wawancara A. Zuhdi Mukhdlor dengan KH Ali Maksum, 1 Oktober 1989).
[7] )  Semua peserta harus mentaati instruksi atau tata aturan Kiyai Ali. Yang melanggar akan kena hukuman. KHA Warson pernah dihukum berdiri dan diikat di tiang masjid sampai pengajian selesai, gara-gara beliau tidak menghafalkan bait-bait alfiyah. (Wawancara dengan KHA Warson, 04-09-2010).

[8] )  A. Zuhdi Mukhdlor, op.cit., halm. 78-77.
Tentang kemasyhuran nama KH Ali Maksum dan pesantren Al-Muanwwir di dunia internasional, bahwa berkat jasa KH Ali Maksum atas kepeloporannya dalam menolak dan menggagalkan rencana penyelenggaraan Konferensi Dewan Gereja Se-Dunia di Indonesia. Kepeloporan ini ternyata gaungnya sangat kuat di Negara-negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi, sehingga Sekjen Rabithah ‘Alam Islami, Syaikh Ali Al-Harakan mengirimkan utusan khusus menemui beliau untuk mengucapkan terima kasih, bahkan Raja Faishal dari Saudi Arabia memberi hadiah kenang-kenangan kepada beliau berupa gedung bertingkat dua yang menyatu dengan kediamannya.

[9] )  A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 90-91
Diantara sambutannya berbunyi :
يَا اَللَّهُ   اِنَّنِيْ ذَلِيْلٌ فَأَعِزَنِيْ وَ اِنَّنِيْ فَقِيْرٌ فَأَغْنِنِيْ وَ اِنَّنِيْ ضَعِيْفٌ فَقَوِنِيْ  يَا اَللَّهُ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.    يَا سَادَتِيْ اِنِّيْ قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ وَ إِذَا رَاَيْتُمْ فِيَّ اِعْوِجَاجًا فَقَوِّمُوْنِيْ  وَاعْزِلُوْنِيْ وَاطْرَحُوْنِيْ فِى الْمِزْبَلَةِ
Artinya: “Ya Alloh, sungguh kami ini hina, maka tinggikanlah kami. Kami ini fakir, maka kayakanlah. Kami ini lemah, maka kuatkanlah. Ya Arhamarrohimin. vWahai kawan-kawan, sungguh kalian telah memberi kami kekuasaan, padahal kami bukanlah orang yang terbaik diantara kalian. Karena itu,jika kalianmelihat kami  berlaku bengkok, maka luruskanlah kami, tinggalkanlah kami dan bahkan campakkan kami ke tempat kotoran….”


[10] )  Salah satu pidato Kiyai Ali yang monumental soal pentingnya regenrasi, sebagai berikut :
“ …. Marilah kita terima kehadiran generasi muda, karena wujudnya generasi muda ini adalah termasuk salah satu kewajiban yang harus kita wujudkan. KApan mereka menjadi dewasa kalau tidak kita tuntun mulai sekarang, dan kapan pula mereka mempunyai rasa tanggung jawab, kalau tidak mulai sekarang kita latih untuk melaksanakan tugas perjuangan ini”   (A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 89).
[11] )  A. Zuhdi Mukhdlor, ibid., halm. 86-106
…. Begitu intens keterlibatan KH Ali Maksum dalam NU seolah NU menjadi jiwanya. Bahkan dengan serius Kiai Ali membuatkan bekal bagi pengurus dan warga NU dalam meraih sukses organisasi. Bekal yang dimaksud adalah 1) Ats-Tsiqotu bi Nahdlotul Ulama;  2) Al-Ma’rifatu wal Istiqon bi NU;  3) Al-Amalu bi Ta’limi NU;  4) Al-Jihadu fi Sabili NU;  dan 5) Ash-Shobru fi sabili NU. (Ibid., halm. 98 – 106).

[12] ) Isi kandungan dari “syi’iran sholawatan” gubahan Kiai Ali tersebut mengingatkan kaum muslimin tentang kondisi kehidupan yang mesti dialami oleh setiap orang yang wafat. Ketika wafat, seseorang akan berpisah dari keluarga dan harta bendanya. Setelah mengantarkan ke kuburan, mereka akan meninggalkannya. Seluruh harta yang ditinggalkannya tidak akan dibawa, kecuali selembar kain kafan, bahkan hartan itu akan menjadi rebutan. sewaktu sowan kehadirat Alloh sendirian dan tanpa ditemani seorang pun, kamu tidak perlu susah dan bingung. Yang penting, kerjakan amal sholeh (selama masih hidup di dunia) untuk meraih ridho Allah.

[13] )  Ke-tawadhu’-an dan tidak suka dihormati secara berlebihan nampak pada sikapnya yang lebih suka dipanggil “Pak Ali” daripada “KH Ali”, “mBah Kiai Ali”. Beliau tidak menyukai orang yang mencium tangannya sambil dibolak-balik ketika bersalaman, berjalan “ngesot” ketika sowan sebagaimana yang dilakukan abdi dalem kepada rajanya di Kraton, menundukkan kepala dan diam seribu bahasa seperti patung ketika berhadapan dengan kiai dan lain-lain. Hal ini disamping untuk menghindari pengkultusan juga menunjukkan sikap ketawadhu’annya dan kedekatan hubungannya dengan para santri.

[14] ) Ketika terjadi kasus penganiayaan “pemukulan” yang dilakukan oleh pemuda Dirman (mantan santrinya yang terganggu kejiwaannya), terhadap Kiai Ali sesuai memberikan ceramah Haul almarhum KH Bisri Mustofa di pondok Rembang, semua orang dari berbagai pihak (keluarga, para santri, kaum muslimin khususnya nahdhiyyin, pemerintah, militer dll)  merasa gerah dan menginginkan agar pelakunya dihukum berat, namun beliau dengan lapang dada justru memaafkannya tanpa satu pun syarat, bahkan ibunya yang jualan di pasar Lasem diberi bantuan uang untuk tambahan modal, sekalipun kasus tersebut berakibat fatal terhadap kesehatannya, dimana sejak saat itu beliau sering sakit-sakitan sampai wafatnya. (Wawancara dengan KH Atabik Ali (18-07-2010), KH. Munawwir AF (17-07-2010), dan bandingkan dengan A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Maksum : Perjuangan ….., halm. 29-31

KH Said Agil Siroj
[15] ) Menurut pengakuan Prof. DR. KH Agiel Siroj, MA, bahwa sewaktu menjadi santri di Krapyak, dirinya sering diajak Kiyai Ali nonton TV bareng penampilan petinju Muhammad Ali di kamar pribadinya. Ini menunjukkan kedekatan emosional dan spiritual murid dengan guru. (M. Dawam Sukardi, Prof. DR. KH Agiel Siroj, MA :: NU Sejak Lahir , Dari Pesantren Untuk Bangsa; Kado Buat Kyai Said. Jakarta : SAS Center, 2010, halm. 40)

[16] )  Pada bulan syawal tahun 1982, setelah menghadiri acara Halal Bihalal di Surabaya, Kiyai Ali mengunjungi alumni angkatan 1970-an, H. Asa Asy’ari dan Afif Chozin  di Tambak Osowilangun Benowo Surabaya, kemudian mampir ke rumah penulis dan sekaligus diajak kembali ke pesantren Krapyak. Dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, beliau mampir mengunjungi salah seorang pengurus PWNU Jatim, KH Hasyim Lathif di daerah Sepanjang Sidoarjo, kemudian sesampainya di Solo beliau mampir lagi mengunjungi KH Umar di PP Al-Muayyad Mangkuyudan Solo dan istirahat beberapa jam, lalu melanjutkan perjalanannya.

[17] )  Wawancara dengan Drs. KH Henry Sutopo, 17-07-2010
[18] ) Wawancara dengan KH Asyhari Abta, M.Pd.I, 18-07-2010
[19] )  Wawancara tanggal 17 Juli 2010 dengan KH A. Warson Munawwir, KH Asyhari Abta, KH Munawwir AF, KH Heri Sutopo
[20] )  M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara : Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta : Gelegar Media Indonesia, 2009, cet.1, halm
[21] ) Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai. NU, Pesantren dan Kekuasaan : Pencarian Tak Kunjung Usai. Yogyakarta : Kutub, 2003, cet.1, halm. 272
[22] )  Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kiai. NU, Pesantren dan Kekuasaan : Pencarian Tak Kunjung Usai. Yogyakarta : Kutub, 2003, cet.1, halm. 280

[23] ) Kegemaran dan kecintaan Kiyai Ali dalam mengkaji kitab-kitab tersebut terus berlanjut ketika menjadi pengasuh PP AL-Munawwir Krapyak. Hal ini terlihat pada banyaknya kitab-kitab yang memenuhi lemari-lemari perpustakaan pribadi di rumahnya. Saking cintanya terhadap kitab-kitab pribadi tersebut membuat Kiyai Ali terbilang “bakhil”, yakni bakhil dalam pengertian tidak akan meminjamkan kitab tersebut keluar rumah, khawatir tidak dikembalikan, karena berkali-kali kitab beliau “hilang” karena tidak dikembalikan oleh peminjamnya. Oleh karenanya, setiap lemari perpustakaan pribadinya terdapat tulisan “Boleh dibaca, Haram Dibawa”. (Wawancara dengan Drs. KH Heri Sutopo, 17 Juli 2010).
[24] )  KH A. Mukti Ali, KH Ali Ma’shum Itu Guru Saya,  dalam  A. Zuhdi Mukhdlor, KH Ali Ma’shum: Perjuangan ….op.cit., halm. Ix.