ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Kamis, 31 Oktober 2013

Uwais Al-Qoroni RA (Tabi’in Terbaik ): إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ

============
=================================
Uwais bin ‘Amir Al-Qoroni adalah tabiin terbaik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim[1] dari Umar bin Al-Khotthob ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسٌ وَلَهُ وَالِدَةٌ ((Sebaik-baik tabi’in adalah seorang yang disebut dengan Uwais dan ia memiliki seorang ibu… )). Berkata An-Nawawi, “Ini jelas menunjukan bahwa Uwais adalah tabi’in terbaik, mungkin saja dikatakan “Imam Ahmad dan para imam yang lainnya mengatakan bahwa Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik”, maka jawabannya, maksud mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyib adalah tabi’in terbaik dalam sisi ilmu syari’at seperti tafsir , hadits, fiqih, dan yang semisalnya dan bukan pada keafdlolan di sisi Allah”[2]

Berikut ini kami menyampaikan sebuah hadits yang berkaitan dengan kisah Uwais Al-Qoroni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalah shahihnya[3]. Namun agar kisahnya lebih jelas dan gamblang maka dalam riwayat Imam Muslim ini kami menyelipkan riwayat-riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadroknya, Abu Ya’la dan Ibnul Mubarok dalam kedua musnad mereka.
Dari Usair bin Jabir berkata, “Umar bin Al-Khotthob, jika datang kepadanya amdad dari negeri Yaman maka Umar bertanya mereka, “Apakah ada diantara kalian Uwais bin ‘Amir ?”, hingga akhirnya ia bertemu dengan Uwais dan berkata kepadanya, “Apakah engkau adalah Uwais bin ‘Amir?”, ia berkata, “Iya”. Umar berkata, “Apakah engkau berasal dari Murod[4], kemudian dari Qoron?”, ia berkata, “Benar”. Umar berkata, “Engkau dahulu terkena penyakit baros (albino) kemudian engkau sembuh kecuali seukuran dirham?” ia berkata, “Benar”. ((Pada riwayat Abu Ya’la[5]: Uwais berkata, “Dari mana engkau tahu wahai Amirul mukminin?, demi Allah tidak seorang manusiapun yang mengetahui hal ini.” Umar berkata “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami bahwasanya aka ada diantara tabi’in seorang pria yang disebut Uwais bin ‘Amir yang terkena penyakit putih (albino) lalu ia berdoa kepada Allah agar menghilangkan penyakit putih tersebut darinya, ia berkata (dalam doanya), “Ya Allah sisakanlah (penyakit putihku) di tubuhku sehingga aku bisa (selalu) mengingat nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku”…”)) Umar berkata, “Engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia meohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), oleh karenanya mohonlah kepada Allah ampunan untukku!” ((Dalam suatu riwayat Al-Hakim[6] : “Engkau yang lebih berhak untuk memohon ampunan kepada Allah untukku karena engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”)), lalu Uwaispun memohon kepada Allah ampunan untuk Umar. Lalu Umar bertanya kepadanya, “Kemanakah engkau hendak pergi?”, ia berkata, “Ke Kufah (Irak)”, Umar berkata, “Maukah aku tuliskan sesuatu kepada pegawaiku di Kufah untuk kepentinganmu?”, ia berkata, “Aku berada diantara orang-orang yang lemah lebih aku sukai”.

((Dalam riwayat Al-Hakim[7] : Kemudian Uwaispun mendatangi Kufah, kami berkumpul dalam halaqoh lalu kami mengingat Allah, dan Uwais ikut duduk bersama kami, jika ia mengingatkan para hadirin (yang duduk dalam halaqoh tentang akhirat) maka nasehatnya sangat mengena hati kami tidak sebagaimana nasehat orang lain. Suatu hari aku (yaitu Usair bin Jabir) tidak melihatnya maka aku bertanya kepada teman-teman duduk (halaqoh) kami, “Apakah yang sedang dikerjakan oleh orang yang (biasa) duduk dengan kita, mungkin saja ia sakit?”, salah seorang berkata, “Orang yang mana?”, aku berkata, “Orang itu adalah Uwais Al-Qoroni”, lalu aku ditunjukan dimana tepat tinggalnya, maka akupun mendatanginya dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, dimanakah engkau?, kenapa engkau meninggalkan kami?”, ia berkata, “Aku tidak memiliki rida’ (selendang untuk menutup tubuh bagian atas), itulah yang menyebabkan aku tidak menemui kalian.”, maka akupun melemparkan rida’ku kepadanya (untuk kuberikan kepadanya), namun ia melemparkan kembali rida’ tersebut kepadaku, lalu akupun mendiamkannya beberapa saat lalu ia berkata, “Jika aku mengambil rida’mu ini kemudian aku memakainya dan kaumku melihatku maka mereka akan berkata, “Lihatlah orang yang cari muka ini (riya’) tidaklah ia bersama orang ini hingga ia menipu orang tersebut atau ia mengambil rida’ orang itu”. Aku terus bersamanya hingga iapun mengambil rida’ku, lalu aku berkata kepadanya, “Keluarlah hingga aku mendengar apa yang akan mereka katakan!”. Maka iapun memakai rida’ pemberianku lalu kami keluar bersama. Lalu kami melewati kaumnya yang sedang bermasjlis (sedang berkumpul dan duduk-duduk) maka merekapun berkata, “Lihatlah kepada orang yang tukang cari muka ini, tidaklah ia bersama orang itu hingga ia menipu orang itu atau mengambil rida’ orang itu”. Akupun menemui mereka dan aku berkata, “Tidak malukah kalian, kenapa kalian menggangunya (menyakitinya)?, demi Allah aku telah menawarkannya untuk mengambil rida’ku namun ia menolaknya!”))

Pada tahun depannya datang seseorang dari pemuka mereka[8] dan ia bertemu dengan Umar, lalu Umar bertanya kepadanya tentang kabar Uwais, orang itu berkata, “Aku meninggalkannya dalam keadaan miskin dan sedikit harta” ((Dalam riwayat Ibnul Mubarok[9] : orang itu berkata “Ia adalah orang yang jadi bahan ejekan di kalangan kami, ia dipanggil Uwais”)). Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir bersama pasukan perang penolong dari penduduk Yaman dari Murod dari kabilah Qoron, ia pernah terkena penyakit albino kemudian sembuh kecuali sebesar ukuran dirham, ia memiliki seorang ibu yang ia berbakti kepada ibunya itu, seandainya ia (berdoa kepada Allah dengan) bersumpah dengan nama Allah maka Allah akan mengabulkan permintaannya. Maka jika engkau mampu untuk agar ia memohonkan ampunan kepada Allah untukmu maka lakukanlah)), maka orang itupun mendatangi Uwais dan berkata kepadanya, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, orang itu berkata, “:Mohonlah ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau lebih baru saja selesai safar dalam rangka kebaikan maka engkaulah yang memohon ampunan kepada Allah untukku”, Uwais berkata, “Engkau bertemu dengan Umar?”, Orang itu menjawab, “Iya”. ((Dalam riwayat Al-Hakim[10] : Uwais berkata, “Aku tidak akan memohonkan ampunan kepada Allah untukmu hingga engkau melakukan untukku tiga perkara”, ia berkata, “Apa itu?”, Uwais berkata, “Janganlah kau ganggu aku lagi setelah ini, janganlah engkau memberitahu seorangpun apa yang telah dikabarkan Umar kepadamu” dan Usair (perowi) lupa yang ketiga)) Maka Uwaispun memohon ampunan bagi orang itu. Lalu orang-orangpun mengerti apa yang terjadi lalu iapun pergi[11]. Usair berkata, “Dan baju Uwais adalah burdah (kain yang bagus yang merupakan pemberian si Usair) setiap ada orang yang melihatnya ia berkata, “Darimanakah Uwais memperoleh burdah itu?”[12]

Uwais Al Qorni RA (Sabda Nabi: "Wahai Umar, wahai Ali..! Jika kalian berdua menemuinya, mintalah padanya agar memohonkan ampun bagi kalian berdua")

============

Uwais Al Qorni RA

Uwais Al Qorni RA - Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah ra, bahwa Rasulullah SAW (Shollallahu 'Alayhi Wassalam) bersabda: 
"Sesungguhnya Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi mencintai di antara makhluk-Nya orang-orang pilihan, (mereka) tersembunyi, taat, rambut mereka acak-acakan, wajah mereka berdebu dan perut mereka kelaparan. Jika meminta izin kepada pemimpin ditolak. Jika melamar wanita cantik tidak diterima. Jika mereka tak hadir tak ada yang kehilangan dan jika hadir tak ada yang merasa bahagia atas kehadirannya. Jika sakit tak ada yang mengunjunginya dan jika mati tak ada yang menyaksikan jenazahnya."
Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, contohkan pada kami salah satu dari mereka?" 
Beliau SAW menjawab: "Itulah 'Uwais al-Qarni." 
Para sahabat bertanya kembali: "Seperti apakah 'Uways al-Qarani?" 
Beliau SAW menjawab: 
"Matanya berwarna hitam kebiru-biruan, rambutnya pirang, pundaknya bidang, postur tubuhnya sedang, warna kulitnya mendekati warna tanah (coklat-kemerahan), janggutnya menyentuh dada (karena kepalanya sering tertunduk hingga janggutnya menyentuh dada), pandangannya tertuju pada tempat sujud, selalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri, menangisi (kelemahan) dirinya, bajunya compang-camping tak punya baju lain, memakai sarung dan selendang dari bulu domba, tidak dikenal di bumi namun dikenal oleh penduduk langit, jika bersumpah (berdo'a) atas nama Allah pasti akan dikabulkan. Sesungguhnya di bawah pundak kirinya terdapat belang putih. Sesungguhnya kelak di hari kiamat, diserukan pada sekelompok hamba, "Masukklah ke dalam surga!" Dan diserukan kepada 'Uwais, "Berhenti, dan berikanlah syafa'at!" Maka Allah memberikan syafa'at sebanyak kabilah Rabi'ah dan Mudhar."
"Wahai Umar, wahai Ali..! Jika kalian berdua menemuinya, mintalah padanya agar memohonkan ampun bagi kalian berdua, niscaya Alloh akan mengampuni kalian berdua." 
Maka beliau berdua mencarinya selama sepuluh tahun tetapi tidak berhasil. Ketika di akhir tahun sebelum wafatnya, Umar ra berdiri di gunung Abu Qubais, lalu berseru dengan suara lantang: 
"Wahai penduduk Yaman, adakah di antara kalian yang bernama Uwais?"
Bangkitlah seorang tua yang berjenggot panjang, lalu berkata: 
"Kami tidak tahu Uwais yang dimaksud. Kemenakanku ada yang bernama Uwais, tetapi ia jarang disebut-sebut, sedikit harta, dan seorang yang paling hina untuk kami ajukan ke hadapanmu. Sesungguhnya ia hanyalah penggembala unta-unta kami, dan orang yang sangat rendah (kedudukan sosialnya) di antara kami. Demi Allah tak ada orang yang lebih bodoh, lebih gila (lebih aneh/nyentrik), dan lebih miskin daripada dia."
Maka, menangislah Umar Bin Khattab ra, lalu beliau berkata: 
"Hal itu (kemiskinan dan kebodohan spiritual) ada padamu, bukan padanya. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: 
"Kelak akan masuk surga melalui syafa'atnya sebanyak kabilah Rabi`ah dan Mudhar." 
Maka Umar pun memalingkan pandangan matanya seakan-akan tidak membutuhkannya, dan berkata: Dimanakah kemenakanmu itu!? Apakah ia ada di tanah haram ini?" 
"Ya," jawabnya. 
Beliau bertanya: "Dimanakah tempatnya?" 
Ia menjawab: "Di bukit Arafat." 
Kemudian berangkatlah Umar dan Ali ra dengan cepat menuju bukit Arafat. Sampai di sana, mereka mendapatkannya dalam keadaan sedang shalat di dekat pohon dan unta yang digembalakannya di sekitarnya. 
Mereka mendekatinya, dan berkata: "Assalamu'alayka wa rahmatullah wa barakatuh." 
Uwais mempercepat shalatnya dan menjawab salam mereka.
Mereka berdua bertanya: "Siapa engkau?" 
Ia menjawab: "Penggembala unta dan buruh suatu kaum." 
Mereka berdua berkata: "Kami tidak bertanya kepadamu tentang gembala dan buruh, tetapi siapakah namamu?" 
Ia menjawab: " `Abdullah (hamba Allah)." 
Mereka berdua berkata: "Kami sudah tahu bahwa seluruh penduduk langit dan bumi adalah hamba Allah, tetapi siapakah nama yang diberikan oleh ibumu?" 
Ia menjawab: "Wahai kalian berdua, apakah yang kalian inginkan dariku?"
Mereka berdua menjawab: 
"Nabi SAW menyifatkan kepada kami seseorang yang bernama Uwais Al Qarni. Kami sudah mengetahui akan rambut yang pirang dan mata yang berwarna hitam kebiru-biruan. Beliau SAW memberitahukan kepada kami bahwa di bawah pundak kirinya terdapat belang putih. Tunjukkanlah pada kami, kalau itu memang ada padamu, maka kaulah orangnya. 
Maka ia menunjukkan kepada mereka berdua pundaknya yang ternyata terdapat belang putih itu. 
Mereka berdua melihatnya seraya berkata: "Kami bersaksi bahwasanya engkau adalah Uwais Al Qarni, mintakanlah ampunan untuk kami, semoga Allah mengampunimu."
Ia menjawab: "Aku merasa tidak pantas untuk memohon ampun untuk anak cucu Adam As, tetapi di daratan dan lautan (di kapal yang sedang berlayar) ada segolongan laki-laki maupun wanita mukmin (beriman) dan muslim yang doanya diterima." 
Umar dan Ali ra berkata: "Sudah pasti kamu yang paling pantas."
Uwais Al Qarni berkata: "Wahai kalian berdua, Allah telah membuka (rahasia spiritual) dan memberitahukan keadaaan (kedudukan spiritual)ku kepada kalian berdua, siapakah kalian berdua?" 
Berkatalah Ali ra: "Ini adalah Umar Bin Khattab Amir al-Mu'minin, sedangkan aku adalah Ali bin Abi Thalib." 
Lalu Uwais Al Qarni bangkit dan berkata: "Kesejahteraan, rahmat dan keberkahan Allah bagimu wahai Amir al-Mu'minin, dan kepadamu pula wahai putra Abi Thalib, semoga Allah membalas jasa kalian berdua atas umat ini dengan kebaikan." 
Lalu keduanya berkata: "Begitu juga engkau, semoga Allah membalas jasamu dengan kebaikan atas dirimu."
Lalu Umar Bin Khattab ra berkata kepadanya: "Tetaplah di tempatmu hingga aku kembali dari kota Madina dan aku akan membawakan untukmu bekal dari pemberianku dan penutup tubuh dari pakaianku. Di sini tempat aku akan bertemu kembali denganmu."
Ia berkata: "Tidak ada lagi pertemuan antara aku denganmu wahai Amir al-Mu'minin. Aku tidak akan melihatmu setelah hari ini. Katakan apa yang harus aku perbuat dengan bekal dan baju darimu (jika engkau berikan kepadaku)? Bukankah kau melihat saya (sudah cukup) memakai dua lembar pakaian terbuat dari kulit domba? Kapan kau melihatku merusakkannya! Bukankah kau mengetahui bahwa aku mendapatkan bayaran sebanyak empat dirham dari hasil gembalaku? Kapankah kau melihatku menghabiskannya? Wahai Amir al-Mu'minin, sesungguhnya dihadapanku dan dihadapanmu terdapat bukit terjal dan tidak ada yang bisa melewatinya kecuali setiap (pemilik) hati (bersih-tulus) yang memiliki rasa takut dan tawakal (hanya kepada Allah), maka takutlah (hanya kepada Allah) semoga Allah merahmatimu."
Ketika Umar Bin Khattab ra mendengar semua itu, ia menghentakkan cambuknya di atas tanah. Kemudian ia menyeru dengan suara lantang: 
"Andai Umar tak dilahirkan oleh ibunya! Andai ibuku mandul tak dapat hamil! Wahai siapa yang ingin mengambil tampuk kekhilafahan ini?" 
Kemudian Uwais Al Qarni berkata: "Wahai Amir al-Mu'minin, ambillah arahmu lewat sini, hingga aku bisa mengambil arah yang lain." 
Maka Umar Bin Khattab ra berjalan ke arah Madina, sedangkan Uwais Al Qarni menggiring unta-untanya dan mengembalikan kepada kaumnya. Lalu ia meninggalkan pekerjaan sebagai penggembala dan pergi ke Kufah dimana ia mengisi hidupnya dengan amal-ibadah hingga kembali menemui Allah.

Rabu, 30 Oktober 2013

RENTETAN SEJARAH HADIST GHODIR KHUM DARI ULAMA’ SALAFUS SHOLIHIN

===================

RENTETAN SEJARAH


HADIST GHODIR KHUM


DARI ULAMA’ SALAFUS SHOLIHIN


“Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpin,maka ali adalah pemimpinya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, musuhilah orang yang memusuhinya,cintailah orang yang mencintainya, murkailah orang yang memurkainya, bantulah orang yang membantunya, hinakanlah orang yang menghinakannya dan edarkan kebenaran sekiranya dia beredar”.

(H.R. tirmidzi, nasai, ahmad –hadist hasan)

(lihat buletin syi’ah al-itrah “ghadir khum” hal.pertama/edisi perdana-th.2007)

muqoddimah

setelah semakin meluasnya pengertian hadist ghadir khum yang di klaim oleh ahlu bid’ah, syia’ah imamiyah khususnya bahwa sesungguhnya Ali ra adalah satu-satunya sahabat nabi saw dari ahlul bait yang mendapat pesan dan wasiat langsung dari beliau saw sebagai imam (pemimpin) dan paling berhak untuk menggantikan beliau saw. Syi;ah berkata:

“lebih dari itu, ada satu pesan dan perkara lain yang sebenarnya sudah sering beliau kemukakan lagi agar terungkap secara formal,tegas dan didengar umat.pesan yang juga berasal dari wahyu illahi itu tak lain adalah pesan dan wasiat tentang kepemimpinan ali bin abi thalib as sepeninggal beliau”.

(Lihat bulletin syi’ah al-itrah “ghadir khum” hal pertama / edisi perdana-th. 2007)

maka perlu kiranya kita kaji pengertian hadit tersebut dari ulama-ulama salafus sholeh ahlus sunnah wal jama’ah.

Pokok masalah :

Dalam kenyataan sejarah dunia, yaitu perjalanan kehidupan manusia (sunnahtullah), ternyata orang-orang yang menggantikan kholifatur rasul saw adalah bukan ali ra. Secara berurutan mereka adalah :sahabat abu bakar as-shiddiq ra, umar bin khottob ra dan ustman bin affan. Baru kemudian khilafah di pegang oleh ali ra.

Berbicara mengenahi sunnatullah (perjalanan kehidupan dunia dan seisinya), maka alangkah baiknya kita merenungkan firman allah yang terkandung dalam surat al-an’am ayat 59

“dan pada sisi Alloh lah kunci-kunci semua yang ghoib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan dilautan dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (lauh mahfudz)”.

Dari pengertian ini, allah menyatakan bahwa peredaran alam jagad raya dan seluruh peristiwa yang ter jadi di muka bumi ini adalah merupakan takdir dan qodar allah yang suadah tertulis di lauh-mahfudz. Apapun yang terjadi,baik,buruk. Perkara yang disukai atau tidak di sukai adalah hak mutlak kekuasaan dan kehendak allah ta’ala semata. Inilah salah satu rukun iman keenam agama islam . yaitu percaya akan qodo’ dan qodar allah, baik atau jahatnya semuanya dari allah semata. Barang siapa yang tidak mempercayainya, maka dia adalah kufur kepada allah ta’ala

Lain halnya sikap aliran syi’ah dalam menghadapi kenyataan yang terjadi. Mereka seakan-akan menggugat dan tidak ridhlo kepada allah ta’ala yang telah menetapkan dan mentaqdirkan para shahabat yang menggantikan nabi saw dan mendahului ali ra. Sebagai kholifah. Sehingga mereka berani mengatakan bahwa:

“kota madinah yang di binanya dengan pedoman dan ajaran islam dan tauhid saat itu (sepeninggal nabi saw-red) justru terancam serangan musuh (para shahabat-red),kaum pemdamba kenikmatan duniawi, dan kaum yang hatinya penuh gejolak dendam kesumat kepada islam dan pendirinya (Nabi Muhammad saw-red) sehingga mereka (para shahaba-red) ingin meluluh-lantakkan bangunan islam untuk kemudian mereka bangun kembali kebudayaan jahiliyyah yang sudah kehilangan daya pikatnya”.

(lihat buletin syi’ah al-itrah “ghadir khum” hal.pertama/edisi perdana-th.2007)

subhanallah! Inilagh salah satu bentuk keberanian aliaran syi’ah yang mengatasnamakan organisasi ke-islaman al-itrah di bangil yang baru muncul pada awal tahun 2007 dan mewakili organisasi-organisasi keislaman berbasis syi’ah.mereka berani dengan lantang mencaci-maki para shahabat sebagai musuh islam,hatinya penuh gejolak dendam kesumat kepada islam dan nabi saw,dll.lebih-lebih kepada abu bakar ra. Sebagai pengganti pertama kholifatur rasul dengan kata-kata yang tidak sepatutnya mereka lontarkan dari seorang yang mengaku muslim.

Subhanallah ! rasulullah saw pernah berkata kepada abu bakar ra didalam gua tsur ketika beliau menyertai nabi saw hijrah ke madinah. Begitu nabi saw melihat betapa besar cintanya abu bakar ra kepada nabi saw dan pengorbanannya, baik harta. Jiwa, dan keluarganya, semuanya beliau serahkan hanya untuk islam, sehingga nabi berkata:”demi dzat yang mengutus aku dengan benar sebagai nabi! Tidak akan masuk surga orang yang berani membencimu(hai abu abu bakar). Sekalipun amalnya mencapai 70 amalan nabi”.

Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana ulama ahlus sunnah salafu-shaleh mengantisipasi, menanggapi dan menjelaskan perkara hadist ghodir khum?

Pembahasan:

Walhasil marilah kita telaah perjalanan(asbabul-wurud) hadist ghodir khum, hadist ini sendiri terjadi setelah beliau saw usai melaksanakan haji wada’. Yaitu tepatnya pada tahun ke 10 hijriyyah. Haji wada’ ini juga dinamakan haji balagh dan haji islam sebab nabi saw mengucapkan salam perpisahan kepada seluruh manusia dan beliau tidak melaksanakan haji setelah haji wada’ ini. Dan beliau meneragkan kepada mereka apa yang halal dan yang haram. Beliau berangkat beserta jama’ah sebanyak 90.000 orang sahabat pada 5 hari sebelum masuk bulan dzulhijjah selepas sholat dhuhur bersama para sahabat bergerak dari kota madinah menuju kota mekkah.

Ibadah haji pun telah usai. Manasik demi manasik dengan berbagai cara terlakasana. Lalu nabi saw melaksanakan tawaf wada’ sebagai tanda perpisahan. Beliau berdiri di depan multazam, yaitu tempat  diantara hajar aswad dan pintu ka’bah,beliau saw berdo’a seraya menempelkan dada dan wajah beliau dengan multazam.

Setelah 10 hari masuk kota mekkah, tepatnya tanggal18 dzulhijjah, nabi saw keluar bersama para sahabat pulang menuju ke kota madinah. Ketika beliau sampai pada satu daerah yang dikenal denagn sebutan ghodir khum. Para sahabat berkumpul disana dan nabi mengutarakan khutbah dan tentang keutamaan ali ra dan bebasnya harga diri beliau dari daripada pendapatnya orang-orang yang menyertai beliau di yaman. Yaitu sesuatu yang timbul dari diri beliau soal peradilan, sebagian mereka mengatakan bahwa ali ra adalah seorang yang menyimpang  dan bakhil. Padahal kebenaran senantiasa menyertai beliau ra.

Dalam khotbahnya, nabi saw mengutamakan soal berpegang dengan teguh kepada kitabullah dan beliau saw berwasiat akan keutamaan keluarganya,seraya berkata:”sesungguhnya aku meninggalkan pada kalian 2 perkara, yaitu kitabullah dan keluargaku, dan sekali-kali keduanya tidak akan berpisah sehingga sampai keduanya ke telaga(hari kiamat)”.(Al-hadits)

Dalam membela perkara haq Ali ra, nabi saw berkata lantang berulang kali ,”bukankah aku ini paling utamanya kalian dari pada diri kalian”, mereka menjawabnya dengan membenarkan dan pengakuan,lalu nabi saw mengangkat tangan ali ra menunjukkan kepada shahabat seraya berkata:

“Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpin,maka ali adalah pemimpinya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, musuhilah orang yang memusuhinya,cintailah orang yang mencintainya, murkailah orang yang memurkainya, bantulah orang yang membantunya, hinakanlah orang yang menghinakannya dan edarkan kebenaran sekiranya dia beredar”.

Inilah paling kuatnya hadist yang dipegang oleh syi’ah bahwasannya ali ra adalah yang paling utamanya untuk mendapat mandate kepemimipinan dari pada sahabat lainnya. Mereka berpendapat bahwa hadist ini adalah merupakan nash(ketetapan) yang jelas atas kholifah ali ra. Yang mana pada waktu itu tidak kurang dari 30 orang sahabat mendengar lansung dan menyaksikannya,

Ulama salaf menolak pendapat syi’ah tentang hadist ghodir khum dalam beberapa sisi. Selain derajat hadist tersebut hanya hadist hasan, bukan shahih:

Pertama:

Orang syiah mufakat atas pengertian hadist tawarur. Yaitu dalam beberap hadist yang bisa mereka buat sebagai dalil atas imamah. Akan tetapi kenyataanya hadist ghodir khum ini adalah hadist tunggal, bahkan ada sebagian imam hadist mencelanya. Seperti imam abu dawud dan abu hatim ar rozi. Maka hal ini merupakan satu bentuk perlawanan dari mereka (imam hadist) akan ketawaturan hadist ini. Sehingga hanya dikategorikan sebagai hadist hasan.

Dari sini berkata ulama ahlusunnah”,subhanallah!, dari perkara orang-orang syi’ah yang mana apabila kita ahlu sunnah membuat dalil untuk membantah mereka dengan hadist-hadist shohih “. Maka mereka berkata,”ini adalah hadist tunggal yang tidak cukup dibuat sebagai dalil”. Dan apabila mereka membuat dalil akan satu pendapatnya, maka mereka mendatangkan hadist-hadist batil.yaitu hadist yang tidak sampai ketingkat derajat hadist dhoif”.

Kedua:

Sesungguhnya pengertian “mauliy” itu bisa dimutlakkan pada 20 makna. Yaitu satu diantaranya adalah yang bermakna : “sayyidiy” yang berarti Ali ra adalah seorang penghulu yang patut kiranya unutk dicintainya dan menghindar dari pada membencinya.

Sesungguhnya ada seorang shahabat bernama buraidah yang pernah menyertai baliau ra di yaman mengeluh soal kekasaran ali ra kepadanya, maka berubahlah wajah nabi saw(marah),lalu beliau saw berkata kepadanya:

“ya buraidah,jangan engkau mengumpat ali ra. Sesungguhnya dia adlah bagian dariku, dan aku bagian darinya, bukankah aku paling utama orang-orang mukmin dari diri mereka”.

Buraidah menjawab “benar, ya rasulullah saw”, maka nabi bersabda:…………..

Demikian ini diutarakan nabi saw hanya kepada buraidah, kemudian manakala nabi saw, sampai ke ghodirkhum beliau ingin mengatakannya kepada seluruh para sahabat, sebagaimana wajib atas mereka(para sahabat)mencintai nabi saw, maka sepantasnya wajib atas mereka mencintai ali ra.

Adapun pengertian dari ali ra paling utama sebagai imam(pemimpin) setelah nabi saw, maka sebenarnya yang dikehendaki adalah bisa terjadi diwaktu yang akan datng bukan pada waktu itu, apabila tidak demikian, maka sudah pasti dia(ali ra) menjadi imam pada waktu itu juga, sekalipun nabi saw masih hidup. Akan tetapi perkara ini tidak mungkin terjadi. Dan waktu yang akan dating tersebut tidak ditentukan secara pasti. Lantas dari sisi mana beliau ra bisa menjadi seorang imam setelah wafatnya nabi saw? Boleh jadi imamah terjadi setelah diikatnya bai’at atas ali ra(disumpah) dan menjadi khollifah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ali ra tidak pernah berdalih dengan hadist tersebut kecuali setelah sampainya khilafah kepada beliau ra sebagai bentuk penolakan atas orang yang menentang beliau dalam masalah khilafah tersebut.

Dan diamnya ali ra dari mengambil dalih hadist tersebut ebagai imam sampai datangnya hari-hari khilafah beliau ra adalah bisa jadi ketetapan bagi orang orang yang lebih rendah akal pikirannya, lebih-lebih orang yang mengerti bahwa sesungguhnya tidak ada nash(ketetapan) dalam hadist ghodir khum tersebut atas imamahnya ali ra setelah wafat nabi saw

Ketiga:

Sudah menjadi khabar tawatur dari ali ra dan sahabat lainnya bahwasannya nabi saw tidak pernah menetapkan khilafah kepada seseorang ketika wafatnya beliau saw. Tidak kepada beliau (ali ra) dan tidak kepada lainnya maka dikatakan kepada beliau,…………………………

“engkau adalah yang bisa dipercaya dan engkau yang bisa memegang amanah atas perkara yang engkau dengar”. Maka beliau ra berkata,

“adapun urusan mandat dari rosulullah saw, maka demi allah tidak ada, seandainya aku orang yang pertama kali membenarkan denagn hadist ghodir khum ini, niscaya aku adalah orang yang pertama kali mendustakannya. Seandainya aku mempunyai perjanjian dengan nabi saw dalam perkara wasiat imamahku ini, maka aku tidak akan meninggalkan perlawanan untuk mendapatkan khilafahku tersebut. Sekalipun aku tidak mendapatkan kecuali selimut buluku ini”

dalam riwayat lain ali ra berkata:

“aku tidak akan membiarkan saudara dari bani tamim dan bani adiy”. Yaitu abu bakar ra dan umar ra. Yang mana merka berdua menggantikan mimbar nabi saw dan sungguh aku berperang melawan mereka berdua dengan kedua tanganku”.

Keempat:


Seandainya hadist ghodir khum itu merupakan sebuah nash atas imamahnya ali ra, maka sudah barang tentu ada keleluasan bagi ali ra untuk tidak mengikuti ajakan paman beliau abbas ra tatkala mengajak beliau kerumah nabi saw seraya berkata,”seandainya urusan imamah setelah nabi saw ini hak kita (ali ra dan anak turunnya sebagai ahlu bait nabi saw), maka kita pasti mengetahuinya”.

Dan juga seandainya hadist ghodir khum itu merupakan sebuah nash atas imamahnya ali ra, niscaya tidak akan ada ucapan dari kalangan anshor,……………

“dari  kami (golonagn anshor )ada pemimpinnya sendiri dan dari kalian ( golongan muhajirin) ada pemimpinnya sendiri”.

Lalu abu bakar mengambil dalil atas mereka(kaum anshor) dengan mengatakan bahwa imamah(pemimpin) itu adlah dari kaum qureisy(golongan mayoritas)

Kejadian hadist ghodir khum dan ucapan kaum anshor tersebut tidak kurqang dari 2 bulan, maka untuk mengartikan lupanya ali ra, abbas ra dan seluruh sahabat muhajirin dan anshor ra adalah bentuk kemustahilan yang sangat jauh. Dan seluruh sahabat terjaga oleh allah ta’ala dari pada berkumpul untuk menyesatkan umat dan tidak melaksanakan perintah allah dan rasulNya tentang apa yang mereka ketahui dari hadist tersebut. Yang berakibat fatal, yaitu batalnya syareat agama islam sebagaimana yang dilansir dari pendapatnya aliran syiah

Ketika di katakana kepada hasan al-mutsanna bin sibthi”sungguh hadist:………………….

Adalah nash tentang imamahnya ali ra,maka dia berkata

…………………………………………………………….

………………………

“ingatlah demi allah!seandainya nabi saw menghendaki dengan hadist ghodir khum dengan pemerintahan dan kekuasaan,pastilah nabi saw menerangkan maksudnya kepada mereka.dan pasti beliau berkata”wahai manusia!ali ra adalah penguasa setelah aku dan menjadi kepala pemerintahan atas kalian setelah. Maka taatilah dan patuhilah dia”.

Demi allah seandainya nabi saw telah memberi mandate kepada ali ra kemudian meninggalkannya.maka demikian ini adalah satu kesalahan yang sangat besar”.

Imam nawawi ditanya tentang hadist……………………….apa yang dapat diambil faedah darinya? Beliau menjawab dari ulama’ yang ahli dari perkara ini dan dari mereka bisa dibuat pegangan dalam menyatakan kebenaran hadist tersebut adalah bermakna :

………………………………………………………………………….

“barang siapa yang aku sebagai penolongnya,pengaturnya,yang mencintainya dan yang membersihkannya,maka ali ra adalah yang demikian ini”.

Pembahasan II

Untuk memperkuat makna dari hadist ghadir khum yang mengandung wasiat imamah ali sebagaimana pendapatnya orang syi’ah,maka mereka menghubung hubungkan dengan ayat.”hai rasul,sampaikan apa yang diturunkan kepadamudari tuhanmu.dan jika kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu),berarti kamu tidak menyampaikan amanat_Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)manusia sesungguhnya allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”(Al maaidah 67)

Coba kita baca bulletin syi’ah al-itrah:

“lebih dari itu,ada satu pesan dan perkara lain yang sebenarnya sudah sering beliau kemukakan kepada umat,namun saat ini harus beliau kemukakan lagi agar terungkap secara lebih formal,tegas,dan didengar umat.pesan yang juga berasal dari wahyu illahi itu tak lain adalah pesan dan wasiat tentang kepemimpinan ali bin abi thalib as sepeninggal beliau.”(lihat bulletin syiah al-itrah(ghadir khum” hal.pertama/edisi perdana-th.2007)

sebenarnya ayat diatas memang ada perbedaan bacaan. Sebagaiman yang diriwayatkan oleh ibnu mardawaihi,bahwasannya ibnu mas’ud membaca ayat diatas dengan tambahan:”hai rasul sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari tuhan mu.sesungguhnya ali adalah pemimpin orang-orang mukmin”.

Sehingga syi’ah dengan lantang mengumandangkan bahwa ayat tersebut adalah merupakan wahyu illahi yang mengandung pesan dan wasiat tentang kepemimipinan ali bin abi thalib sepeninggal beliau saw. Dan pesan ini terwujud dalam peristiwa hadist ghadir khum.

Padahal tambahan bacaan…………………sendiri tidak disebut bentuk bacaannya dalam khot al-qur’an mushaf “utsmani yang ada sekarang ini, dan tidak ditemukan keabsahan sanadnya.lebih-lebih mencapai derajat tawatur.karena sesungguhnya kitab hadistnya imam mardawaihi ini. Tidak ada satu ahli hadist pun yang mengatakan keshahihannya apa lagi mencapai tingkat tawatur.maka tidak boleh dijadikan tambahan sebagai al-qur’an dengan ijma’ ulama ushul,fuqoha’ dan qurro’ seantero dunia kecuali syi’ah.

Tambahan bacaan diatas ,sebenarnya banyak ditemukan dalam kitab tafsir seperti ayat”dan perempuan yng telah kamu nikmati/gauli diantara mereka (sampai pada waktu yang telah ditentukan, maka berikanlah upah-upah merka”.

Dengan ayat ini syi’ah berda;lih halalnya mut’ah. Padahal bacaan ini tidak mutawatir, bahkan bacaan ini dapt dihukumi sebagai khobar ahad(hadist tunggal)yaitu periwayatnya hanya 1 orang

Apabali perubahan bacaan al-qur’an ini terjadi maka tidak diragukan lagi bahwa bacaan diatas tidak kuat hukumnya apalagi dijadikan bacaan mashur, sehinggabisa menjadi sumber hokum tentang halalnya mut’ah karena masih adanya bacaan yang lebih mashur dan mutawatir yang bertentangan dengan bacaan diatas sebagaimana pendapat jumhur ulama’

Dan ini lah salah bentuk al quran versi yang kelak akan keluar sebelum datangnya kiamat,yang akan dibawa imam mahdi.

Pembahasan III

Menghadapi kenyataan yang terjadi setelah nabi saw meninggal, siapakah khalifah yang berhak menggantikan beliau saw? Dalam masalah ini ada perbedaan antara ahlu sunnah dan syi’ah yang tidak bisa dipadukan.maka hanya firman allah swt dan sabda rasul-Nya yang bisa dijadikan acuan untuk mengambil kebenaran.

Coba kita simak firman allah swt:

………………………………………………………………………………….

…………………………………………………………

“hai orang-orang yang beriman,ta’atilah allah swt dan ta’atilah rasul(Nya),dan ulil amri diantara kamu.”

Dalam ayat ini jelas allah memerintah kepada orang yang beriman untuk patuh dan ta’at kepada allah swt,rasul-Nya saw dan kepada ulil amri.maka siapakah ulil tersebut ? ahli tafsir menerangkan ulil amri dengan bermacam-macam pandangan.akan tetapi paling utamanya pendapat yang mendekati kebenaran bahwa ulil amri itu adalah seorang penguasa atau kepala pemerintahan yang dibai’at oleh orang-orang islam.karena perintah nabi saw untuk menta’ati seorang penguasa atau kepala pemerintahan yang akan bisa membawa kemaslahatan bagi orang-orang islam.

Dalam perkara kholifah setelah nabi saw,beliau saw pernah menyatakan dalam sebuah hadist shahih yang diriwayat imam bukhori.rosulullah saw bersabda :

……………………………………………………………………………….

………………………………………………………………………………..

………………………………………………………..

……………………….

“Adalah bani isroil yang memerintah mereka itu adalah para nabi.apabila satu diantara mereka meninggal,maka satu nabi yang lain menggantikannya.dan bahwasannya tidak ada nabi setelah aku dan bakal ada banyak kholifah-kholifah penggantiku.para sahabat bertanya “ya rosulullah !apa yang engkau perintahkan kepada kami ? nabi saw berkata,”penuhilah pelantikan kholifah-kholifah secara berurutan.dan berikan kepada mereka akan hak-haknya(patuhi dan ta’ati mereka)sebab sesungguhnya allah swt akan meminta pertanggung jawaban tentang jalan pemerintahannya”.

Dari hadist tersebut jalas-jelas nabi saw memerintahkan untuk patuh dan ta’at kepada kholifah yang bakal menggantikan beliau secara berurutan.

Untuk lebih jelas,marilah kita lihat bagaimana sikap dan reaksi para sahabat dari kalangan ahlu bait nabi saw, kaum muhajirin dan anshor serta ijma’ ulama’ akan kholifatur rosul.lebih-lebih kepada kholifah yang pertama.yaitu abu bakar ra.

1.ahlu sunnah mempunyai banyak dalil tentang berhaknya abu bakar ra sebagai pengganti nabi saw.seandainya hal itu wajib ada dalilnya,mak cukuplah perintah nabi saw kepada beliau untuk menggantikan beliau saw memimpin manusia sholat.sebab ketika beliau ra dibai’at,tidak ada satu shahabat pun yang menentangnya.dan tidak mungkin mereka (ummat)mufakat dalam satu kesalahan atau kesesatan.

2.pada suatu hari abu juhaifah masuk kerumah ali bin abi thalib ra seraya berkata,”wahai sebaik-baik manusia setelah nabi saw”.maka ali ra berkata,”pelan-pelan,hai abu juhaifah !maukah engkau aku beritahu sebaik-baik manusia setelah nabi saw.sebaik-baik manusia setelah nabi saw adalah abu bakar dan umar ra”.

3.pada suatu hari abu sufyan bin harb menyindir tentang kepemimpinan abu bakar ra, ma kali ra berkata,”selagi engkau memusuhi islam dan orang-orang islam, hai abu sufyan !maka demikian tersebut tidak akan membahayakan islam.sungguh kami telah mendapatkan abu bakar ra ahli dalam kepemimpinan”

4.ketika nabi saw telah wafat,maka kaum anshor berkata,”dari kami (golongan anshor)ada pemimpinnya sendiri dan dari kalian (golongan muhajirin)ada pemimpinnya sendiri”.

Maka umar ra mendatangi mereka seraya berkata:”wahai kaum anshor!bukankah

kalian tahu bahwa rosulullah saw sungguh memerintah abu bakar ra untuk memimpin umat sholat,maka siapa diantara kalian yang hatinya rela untuk mendahului abu bakar ra”?

maka mereka para shahabat menjawab “kami minta perlindungan kepada allah swt dari pada mendahului abu bakar ra”.

5.ketika nabi saw meninggal, para shahabat berkumpul dirumah sa’ad bin ubadah,ada diantara mereka abu bakar ra dan umar bin khottob ra.maka berdirilah seorang anshor seraya menyampaikan khotbahnya:

“wahai kaum muhajirin!sesungguhnya rasulullah saw,apabila beliau memperkerjakan salah seorang dari kalian niscaya beliau menyertakan seorang dari kami.maka kami memandang bahwa ada dua orang yang harus mengurusi perkara ini (kholifah)yaitu dari kami dan dari kalian”.

Maka berdirilah zai bin tsabit seraya berkata:

“tahukah kalian sesungguhnya rosulullah saw adalah dari golongan muhajirin,maka sudah tentu kholifatur rosul adalah dari golongan muhajirin dan kami adalah golongan anshor(penolong)rosulullah saw,maka sudah tentu kami adalah anshor kholifatur rosul”.

Kemudian dia memegang tangan abu bakar dan berkata,”abu bakar ra ini adalah shahabat kalian,maka bai’atlah dia”,kemudian umar membai’at abu bakar ra, terus kaum muhajirin dan anshor membai’at juga “.

Setelah itu abu bakar naik ke mimbar sambil memandang wajah-wajah shahabat dan beliau ra tidak melihat ali ra ,maka beliau memenggil-manggil nama ali ra,kemudian datanglah ali ra sambil berkata :

“aku adalah anak paman Rasulullah saw dan suami dari putri beliau (Muhammad saw),aku tidak menghendaki terbelahnya tongkat(kepemimpinan) orang-orang islam.”

Kemudian ali ra berkata :”tidak ada cercaan bagimu wahai kholifatur rasul”,kemudian beliau juga membai’at Abu Bakar ra.

sumber:http://masjidsegaf.wordpress.com/sejarah-hadist-ghodir-khum/

Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghodir Khum

==========

Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum bagian-1

Rasulullah yang mulia Shallallahu ‘alahi wa ‘ala Ali wa Salam pernah bersabda :
من كنت مولاه فعلي مولاه, اللهمّ والى من واله وعادى من عاداه
Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.
Dari hadits di atas, kaum Syi’ah mengklaim bahwa Ali-lah yang berhak atas wilayah (kekuasaan khilafah) setelah wafatnya Rasulullah yang mulia ’alaihi ash-Sholatu was Salam, benarkah demikian?
Mengenai takhrij hadits Ghadir Khum silahkan baca di :
Adalah tidak mungkin mendiskusikan hadits Ghadir Khum tanpa terlebih dahulu memahami konteks khusus apa yang dikatakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam pada saat itu. Dan merupakan aturan yang lazim di dalam memahami Al-Qur’an maupun Hadits dengan meneliti latar belakang dari turunnya sebuah ayat maupun keluarnya sabda dari Nabi shalallahu alaihi wassalam untuk mendapatkan pemahaman yang benar.
Sebagai contoh, terdapat ayat dalam Al-Qur’an berbunyi : ”Bunuhlah mereka dimana-pun kalian menemukan mereka”, ayat tersebut sering digunakan oleh kaum orientalis untuk menyerang Islam dan menggambarkan bahwa Islam membenarkan pembunuhan kepada manusia dimanapun mereka berada di semua keadaan. Padahal ayat tersebut adalah ayat khusus yang turun pada saat terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan kafir Quraisy, ini membuat kita sadar bahwa ayat tersebut bukanlah ayat umum yang berisi perintah untuk membunuh manusia, tetapi sebuah ayat yang diturunkan pada sebuah situasi khusus.
Demikian juga dengan hadits Ghadir Khum, hanya dapat dimengerti dalam konteks dimana hadits tersebut diucapkan yaitu Sekelompok pasukan telah mengkritik Ali bin Abi Thalib ra dengan pedas melebihi apa yang sebenarnya terjadi, dan khabar ini akhirnya sampai ke telinga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, yang kemudian beliau bersabda sebagaimana tercantum dalam hadits Ghadir Khum. Seperti kaum orientalis, kaum syi’ah mencoba menghilangkan latar belakang konteks hadits tersebut untuk memalingkan dari pemahaman yang benar terhadap hadits tersebut.
Keinginan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam ketika beliau bersabda di Ghadir Khum tersebut bukanlah untuk memilih Ali ra sebagai khalifah pengganti beliau, tetapi hanya untuk membela Ali dari tuduhan-tuduhan yang dilancarkan kepada Ali ra. Dengan menghilangkan latar belakang konteks hadits tersebut, syi’ah berusaha menjajakan keyakinannya kepada umat Islam.
Pentingnya Hadits Ghadir Khum bagi kaum Syi’ah
Hampir seluruh fondasi keyakinan Syi’ah bertumpu pada kejadian di Ghadir Khum, karena di tempat tersebut Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mereka yakini menunjuk Ali ra sebagai pengganti beliau. Jika peristiwa tersebut tidak diklaim oleh Syi’ah, maka berarti Rasulullah shalallahu alaihi wassalam tidak pernah menunjuk Ali ra dan syi’ah harus mencabut kembali klaim-klaim mereka seperti anggapan bahwa Abu Bakar ra telah merampas hak kekhalifahan Ali ra.
Sesungguhnya, peristiwa Ghadir Khum begitu sentral bagi paradigma kaum Syi’ah, dan begitu penting bagi keyakinan mereka, sehingga kaum Syi’ah merayakan setiap tahun perayaan yang bernama Eid Al Ghadir.
Berdasarkan dugaan yang terjadi pada peristiwa Ghadir Khum tersebut, kaumSyi’ah menolak kekhalifahan Abu Bakar ra, memisahkan diri dari mainstream kaum muslimin, dan menyatakan bahwa Ali ra adalah Imam yang pertama kali ditunjuk. website milik Syi’ah, Al-Islam.org menyatakan Ghadir Khum adalah peristiwa yang sangat penting dan landasan keimamahan Ali ra.
Alasan ini diperlukan untuk menekankan dengan kuat pentingnya Ghadir Khum bagi Syi’ah yang kami akan tunjukkan kepada anda betapa senjata yang menurut perkiraan kaum syi’ah adalah terampuh tersebut ternyata adalah sangat lemah. Jika hadits Ghadir Khum ini adalah benar landasan sangat mendasar dari keyakinan Syi’ah, maka sesungguhnya keyakinan Syi’ah adalah doktrin yang sangat lemah. Kaum Syi’ah mengatakan bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam telah menunjuk Ali ra sebagai penggantinya di Ghadir Khum, tetapi logika sederhana telah membantahnya.
Apa yang Syi’ah klaim mengenai hadits Ghadir Khum?
Website milik Syi’ah, Al-Islam.org mengatakan:
Sesudah menyelesaikan haji terakhir beliau (Hajjatul Wada’), Rasulullah shalallahu alaihi wassalam meninggalkan Mekah menuju ke Madinah, ketika beliau dan banyak orang sampai pada sebuah tempat bernama Ghadir Khum (daerah yang dekat dengan al-Juhfah saat ini). Tempat itu adalah tempat dimana orang dari berbagai daerah yang berbeda biasa bertemu dan saling menyapa sebelum mengambil rute yang berbeda menuju daerah masing-masing.
Di tempat ini, ayat Al-Qur’an berikut ini diturunkan :
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia… (Qur’an 5:67)
Kalimat terakhir pada ayat di atas mengindikasikan bahwa Nabi (s) begitu perhatian dengan reaksi dari umatnya ketika beliau menyampaikan risalah, tetapi Allah memberitahukan kepada beliau untuk tidak khawatir karena Allah akan melindungi beliau dari gannguan manusia.
Kemudian diikuti kalimat kunci menandakan penunjukkan yang jelas atas Ali as sebagai pemimpin kaum muslimin. Nabi (s) mengangkat tangan Ali dan bersabda :
“Barangsiapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya (Mawla), maka Ali adalah pemimpinnya (Mawla)”.
Segera setelah Nabi (s) selesai menyampaikan hal itu, ayat Al-Qur’an berikut ini turun :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Qur’an 5:3)
Ayat di atas mengindikasikan dengan jelas Islam tanpa menjelaskan kepemimpinan sesudah Nabi (s) tidaklah sempurna, dan penyempurnaan dari agama adalah pengumuman dengan segera mengenai pengganti beliau.

Mengapa ini dikatakan ga masuk akal?
Kaum Syi’ah mengklaim bahwa Nabi Shalallahu alaihi wassalam menyelesaikan haji terakhirnya, melakukan pidato perpisahan di atas bukit Arafah di Mekah, sesudah itu menunjuk Ali ra di Ghadir Khum, mari kita analisa klaim ini, Ghadir Khum terletak diantara Mekah dan Madinah, dekat dengan kota Al-Juhfah. Khum adalah sebuah kolam air di tengah padang pasir. Maka jika kita telusuri kenyataannya, Ghadir Khum terletak sekitar 250 km  jauhnya dari kota Mekah. Ini sudah cukup untuk membatalkan premis Syi’ah.
Sebagaimana kita semua tahu, Nabi shalallahu alaihi wassalam menyampaikan pidato perpisahan beliau di Mekah saat Haji Wada’. Hal itu dilakukan beliau dihadapan mayoritas kaum muslimin terbesar, yang datang dari berbagai daerah untuk melakukan haji. Jika Nabi shalallahu alaihi wassalam ingin melakukan penunjukkan kepada Ali sebagai pengganti beliau, maka sungguh tidak ada penjelasan mengapa Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak melakukannya saat beliau menyampaikan pidato perpisahan tersebut? Seluruh muslim dapat mendengarkan kata-kata beliau, jadi saat itu adalah saat yang paling tepat dan kesempatan yang paling baik untuk menunjuk seseorang sebagai pengganti beliau dan diumumkan kepada manusia.
Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan kaum muslimin menyelesaikan haji mereka dan kemudian setiap orang kembali ke daerah mereka masing-masing. Orang-orang dari Madinah kembali ke Madinah, orang-orang dari Tha’if kembali ke Tha’if, orang-orang dari Yaman kembali ke Yaman, orang-orang dari Kufah kembali ke Kufah, orang-orang dari Syiria kembali ke Syiria, dan orang-orang Mekah tetap tinggal di Mekah. Yang perlu kita ingat, di masa-masa akhir kehidupan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, kaum muslimin sudah banyak tersebar di Jazirah Arab saat itu.
Hanya sekelompok orang dari sebelah utara semenanjung Arabia yang melewati Gadhir Khum. Itu berarti hanya terdiri dari orang-orang yang tinggal di Madinah dan sebagian kecil orang-orang yang tinggal semisal di Syiria dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu, ketika Nabi shalallahu alaihi wassalam berhenti di Ghadir Khum dan diyakini peristiwa tersebut terjadi, sejumlah besar kaum muslimin tidak hadir termasuk orang-orang yang tinggal di Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain sesudah melaksanakan haji. Hanya kelompok yang pergi ke Madinah (atau yang melewati daerah itu) yang menemani Rasulullah shalallahu alaihi wassalam ke Ghadir Khum.
Oleh karena itu, berlawanan dengan klaim syi’ah, Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak menunjuk Ali dihadapan kaum muslimin, tetapi apa yang terjadi di Ghadir Khum terjadi dihadapan sejumlah kecil kaum muslimin yang kembali ke Madinah (atau yang melewati daerah tersebut). Mari kita perhatikan klaim dari salah satu website Syi’ah
 The Thaqalayn Muslim Association mengatakan:
Pada tahun ke-18, Dzulhijah, sesudah menyelesaikan Haji perpisahan beliau (Hajjatul wida’a), Rasulullah SAWW berangkat dari Mekah menuju ke Madinah. Beliau dengan seluruh rombongan kaum muslimin, sejumlah lebih dari 100,000 orang, berhenti di Ghadir Khum, sebuah daerah padang pasir yang letaknya strategis sampai sekarang, berada diantara Mekah dan Madinah (dekat dengan Juhfah pada hari ini). Pada hari-hari itu, Ghadir Khum sebagai tempat titik keberangkatan, dimana kaum muslimin dari berbagai daerah yang pulang dari melaksanakan haji dari daerah-daerah sekitar mulai berpencar menuju tujuan daerah masing-masing.
Situs Syi’ah tersebut mengklaim bahwa “Ghadir Khum sebagai tempat titik keberangkatan, dimana kaum muslimin dari berbagai daerah yang pulang dari melaksanakan haji dari daerah-daerah sekitar mulai berpencar menuju tujuan daerah masing-masing”. Peta yang terlihat sederhana akan menunjukkan betapa tidak masuk akalnya klaim ini.
map1
Apakah Rasional, kaum muslimin dari Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain mengambil rute menuju Ghadir Khum terlebih dahulu untuk menuju daerah mereka masing-masing? Kami harap pembaca bisa memahami betapa tidak masuk akalnya klaim mereka tersebut. Apalagi tidak terdapat satu riwayatpun bahwa Rasulullah sebelumnya telah memerintahkan seluruh kaum muslimin untuk pergi ke Ghadir Khum saat mereka masih berkumpul di Mekah.
Perhatikan gambaran rute saat kaum muslimin berangkat haji ke Mekah
arabia1a
Kemudian setelah ibadah haji selesai, menurut klaim syi’ah Ghadir Khum adalah titik keberangkatan bagi kaum muslimin dari berbagai daerah untuk pulang menuju daerahnya masing-masing. Berarti kaum muslimin yang berada di sebelah selatan Mekah seperti Yaman, Tha’if dan lain-lain yang berlawanan arah dengan Ghadir Khum mengambil rute ke ghadir khum dulu yang jaraknya sekitar 250 km dari Mekah, kemudian dari sana baru balik lagi ke rumah masing-masing. kira-kira butuh berapa hari perjalanan jika hal tersebut benar-benar dilakukan. gambaran rutenya seperti ini :
arabiaWrong1
dan yang masuk akal adalah rute seperti ini:
arabiaReturn1
Oleh karena itu, klaim Syi’ah bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam menunjuk Ali ra dihadapan seluruh kaum muslimin adalah sangat tidak mungkin sehubungan dengan fakta bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam tidak berkhotbah mengenai penunjukkan Ali ra di pidato perpisahan di Arafah. Sedangkan peristiwa Ghadir Khum, kami melihat betapa tidak mungkinnya bahwa tempat itu menjadi tempat penunjukkan Ali ra sebagai khalifah berikutnya. Sesungguhnya versi mainstream kaum muslimin jauh lebih masuk akal.
  
Apa yang sebenarnya terjadi di Ghadir Khum?
Tidak ada seorangpun menolak peristiwa Ghadir Khum, tetapi yang kita tolak adalah sikap berlebih-lebihannya kaum Syi’ah terhadap kejadian tersebut, yang pertama. Syi’ah berlebihan dalam menyebutkan jumlah yang hadir di Ghadir Khum, seringkali mereka menyebutkan jumlah ratusan ribu orang, sebagaimana yang kita telah tunjukkan di atas, padahal hanya kaum muslimin yang pergi menuju Madinah saja yang hadir di Ghadir Khum, yang artinya kaum muslimin penduduk Mekah tidak hadir, demikian juga penduduk Tha’if, Yaman dan lain-lain. Kenyataannya Syi’ah sering mengatakan yang hadir di Ghadir Khum sejumlah lebih dari 100,000 orang, ini terlalu berlebihan. Jumlah ini lebih dimungkinkan jumlah orang yang melakukan ibadah Haji di Mekah dari berbagai wilayah. Tetapi berapapun jumlah yang mereka sebutkan tidak menjadi masalah buat kita, yang jelas sejumlah itu adalah sebagian dari kaum muslimin, karena tidak termasuk kaum muslimin yang tinggal di Mekah, Tha’if, Yaman dan lain-lain.
Konteks dari hadits Ghadir Khum harus dipertimbangkan, Apa yang terjadi di Ghadir Khum adalah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam merespon individu-individu tertentu yang mengkritik Ali bin Abi Thalib ra. Latar belakang dibalik peristiwa ini adalah beberapa bulan sebelumnya, Nabi shalallahu alaihi wassalam telah mengutus Ali ra bersama 300 orang ke Yaman dalam sebuah ekspedisi. Ini disebutkan di website Syi’ah www. Najaf.org : “Ali ditunjuk sebagai pemimpin dalam ekspedisi ke Yaman”. (http://www.najaf.org/english/book/20/4.htm).
Pasukan yang dipimpin oleh Ali ra tersebut mengalami sukses di Yaman dan mereka berhasil mendapatkan banyak rampasan perang. Atas rampasan perang ini terjadilah perdebatan antara Ali ra di satu sisi dan pasukannya di sisi yang lain. Hal ini dikisahkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah :
Diantara seperlima harta rampasan yang disebutkan, terdapat banyak kain yang cukup dipakai oleh seluruh pasukan, tetapi Ali ra telah memutuskan bahwa itu harus diserahkan kepada Rasulullah dulu dengan tanpa disentuh.
Setelah kemenangan di Yaman, Ali ra menempatkan wakil komandan pasukannya untuk bertanggung jawab atas pasukan yang ditempatkan di Yaman, sementara dia sendiri pergi menuju Mekah untuk menjumpai Rasulullah shalallahu alaihi wassalam untuk melaksanakan ibadah Haji.
Saat Ali tidak ada, akan tetapi, orang yang dia tinggalkan untuk bertanggung jawab atas pasukannya di bujuk untuk meminjamkan kepada masing-masing orang sebuah pakaian ganti dari kain tersebut. Penrgantian pakaian sangat diperlukan bagi mereka yang telah meninggalkan rumah hampir selama tiga bulan.
Pasukan yang ditempatkan di Yaman kemudian berangkat menuju Mekah untuk melaksanakan haji bersama Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.
Ketika mereka berada tidak jauh dari kota (Mekah), Ali ra keluar menemui mereka dan terkejut melihat perubahan yang terjadi (sehubungan dengan pakaian yang mereka kenakan).
“Saya memberi mereka pakaian” berkata wakil komandan pasukan, “yang penampilan mereka mungkin lebih layak ketika mereka berbaur dengan orang-orang. Mereka semua tahu bahwa setiap orang di Mekah saat itu sedang mengenakan baju terbaik mereka untuk menghormati hari besar (ibadah haji), dan mereka ingin sekali memperlihatkan penampilan mereka yang terbaik, tetapi Ali ra merasa tidak dapat tenang dengan membebaskannya dan dia memerintahkan mereka untuk memakai kembali pakaian lama mereka dan mengembalikan yang baru ke tempat barang rampasan. Kekecewaan/kekesalan yang besar dirasakan oleh seluruh pasukan atas keputusan itu, dan ketika Nabi shalallahu alaihi wassalam mendengar hal itu, beliau bersabda : “wahai manusia, jangan mencela/menyalahkan Ali, dia terlalu cermat di jalan Allah untuk disalahkan.” Tetapi kata-kata ini tidak cukup, atau mungkin mereka mendengarnya hanya sedikit, dan kekesalan diantara mereka tetap masih berlanjut.
Pada saat kembali ke Madinah salah seorang dari pasukan komplain dengan keras mengenai Ali ra kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam yang langsung berubah wajahnya. “Apakah saya tidak lebih dekat dengan kaum mukminin dibandingkan diri mereka sendiri?” beliau berkata; dan ketika orang tersebut membenarkannya, beliau menambahkan : “Barangsiapa yang menganggap saya mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.” Berikutnya dalam perjalanan ketika mereka berhenti di Ghadir Khum, beliau mengumpulkan semua orang bersama-sama, dan mengambil tangan Ali, beliau mengulang kata-kata ini (“Barangsiapa yang menganggap saya mawla-nya, maka Ali adalah mawla-nya.”), dimana beliau menambahkan dengan do’a : “Ya Allah, jadikan teman, orang-orang yang menjadi temannya, dan jadikan musuh orang-orang yang memusuhinya”. Dan keluhan-keluhan terhadap Ali ra pun berhenti.
Pasukan di bawah tanggung jawab Ali ra tidak hanya gelisah atas pergantian pakaian tetapi juga atas pembagian harta rampasan secara umum. Kaum muslimin bersyukur akan kepemimpinan terbaik Ali ra yang telah mendapatkan banyak unta rampasan, tetapi Ali ra melarang mereka untuk memiliki unta-unta tersebut. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Ali ra mencegah mereka menaiki unta-unta hasil rampasan perang yang mereka telah dapatkan. Tetapi ketika Ali ra telah berangkat ke Mekah, wakil komandan pasukannya telah mengalah kepada pasukannya dan mengijinkan mereka untuk menaiki unta-unta tersebut. Ketika Ali ra melihat hal itu, dia menjadi marah dan menyalahkan wakil komandan pasukannya. Abu Sa’id ra berkata : “ketika kita dalam perjalanan kembali ke Madinah, kami menyebutkan kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam kekerasan yang telah kami lihat dari Ali; Nabi shalallahu alaihi wassalam berkata : “Hentikan… Demi Allah, saya telah mengetahui bahwa dia (Ali ra) telah melakukan hal yang baik untuk Allah.”
Sebuah kejadian serupa diceritakan oleh Ibnu Ishaq di Sirah Rasul :
Ketika Ali ra datang dari Yaman untuk menjumpai Rasulullah shalallahu alaihi wassalam di Mekah, Ia cepat-cepat menjumpai beliau dan memberikan tanggung jawab atas pasukannya kepada salah satu sahabatnya yang pergi dan menghalangi setiap orang yang memaksa mengenakan pakaian dari kain milik Ali. Ketika pasukan mendekat, Ia (Ali ra) keluar untuk menemui mereka dan menemukan mereka memakai pakaian tersebut. Ketika dia menanyakan apa yang terjadi, orang yang ditunjuk wakil oleh Ali ra menjawab bahwa dia telah memberikan pakaian kepada orang-orang agar bisa terlihat layak ketika mereka berbaur dengan orang-orang. He (Ali) memerintahkan kepadanya untuk menanggalkan pakaian-pakaian tersebut sebelum mereka datang kepada Rasul shalallahu alaihi wassalam dan mereka melakukannya dan menaruhnya kembali diantara barang rampasan. Pasukan menunjukkan kekesalan mereka pada perlakuan mereka… ketika orang-orang komplain mengenai Ali ra, Rasul shalallahu alaihi wassalam angun memanggil mereka dan dia (periwayat) mendengar beliau (Nabi shalallahu alaihi wassalam) bersabda : “Jangan mencela/menyalahkan Ali, dia terlalu cermat atas hal-hal milik Allah, atau dalam meniti jalan Allah, untuk dicela.
(Ibnu Ishaq, Sirah Rasul , hal 650)
Ibnu Katsir menceritakan bahwa orang-orang dalam pasukan (yang dikirim ke Yaman) mulai mengkritik Ali ra karena dia mencegah mereka menaiki unta-unta dan mengambil kembali pakaian-pakaian baru yang mereka telah dapatkan. Orang-orang tersebut adalah yang menemani Nabi shalalallahu alaihi wassalam menuju Madinah melalui Ghadir Khum, dan mereka lah orang-orang yang dimaksud dalam hadits-hadits Ghadir Khum yang terkenal.
Faktanya, di Tarikh al-Islam, peristiwa Ghadir Khum termasuk dalam judul “Hiburan untuk Ali ra” :
Hiburan untuk Ali
Selama pelaksanaan ibadah haji, ebagian dari pengikut Ali ra yang bersamanya ke Yaman komplain kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam tentang Ali. Beberapa kesalahpahaman orang-orang dari Yaman yang menimbulkan rasa curiga. Memanggil sahabat-sahabatnya di Ghadir Khum, Rasulullah shalallahu alaihi wassalam memuji Ali : “orang yang menjadikan saya teman adalah menjadikan Ali teman juga.. mengikuti hal itu, Umar memberi selamat kepada Ali dan berkata : “mulai hari ini kamu adalah teman spesialku” kemudian Nabi shalallahu alaihi wassalam kembali ke Madinah dan putra beliau Ibrahim meninggal dunia.
(Tarikh al-Islam, Jilid.1, hal.241)

Konteks Hadits Ghadir Khum
Prajurit-prajurit di pasukan Ali sangat gelisah dengan Ali ra kerena dia menolak mereka dalam hal kain dan unta-unta dari rampasan perang, dan mereka tidak senang dengan fakta bahwa Ali ra sendiri mendapatkan pembagian khusus dari khumus (seperlima dari harta rampasan perang). Tentu saja, Ali ra tidak dapat disalahkan atas hak istimewa ini untuk mengambil pembagian ekstra dari Khumus, dimana ini adalah hak keluarga rasul menurut Al-Qur’an. Walaupun demikian, kemarahan ada di mata mereka, sehingga mereka mengambil kesempatan untuk mengkritik Ali ra ketika Ali ra mengambil seorang budak wanita untuk dirinya dari khumus, para pasukan menuduh Ali sebagai seorang yang munafik karena melarang pakaian dan unta untuk para pasukan tetapi dia sendiri mengambil seorang budak wanita dari Khumus. Untuk kritik yang keliru kepada Ali ra ini Rasulullah shalallahu alaihi wassalam membela Ali ra dalam hadits Ghadir Khum.

Syi’ah Mencoba Menghilangkan Konteks Hadits Ghadir Khum
Ahlus Sunnah memandang bahwa Nabi shalallahu alaihi wassalam terpaksa membuat pernyataan/deklarasi di Ghadir Khum sehubungan dengan apa yang terjadi antara Ali ra dan pasukannya dari Yaman.
Taair-al-Quds, Admin dari situs ShiaOfAhlBayt mengatakan :
Hadits yang menyebutkan kejadian tersebut (pasukan Ali ra marah terhadap Ali ra) tidak ada hubungannya dengan peristiwa di Ghadir Khum.
Seluruh kejadian (pasukan Ali ra marah terhadap Ali ra) terjadi di Madinah di dalam Masjid dan selesai di sana dan tidak ada hubungannya dengan peristiwa Ghadir Khum! Nabi (s) telah mengklarifikasi kejadian itu dimana Wahabi/Nawashib bertujuan menghadirkannya sebagai konteks peristiwa ghadir khum, dimana peristiwa Ghadir Khum terjadi sesudahnya.
Peristiwa Ghadir Khum terjadi pada tanggal 18 Dzuhijah sementara peristiwa Yaman terjadi pada bulan Rabi’ul Akhir (Tsani) atau Jumadil Ula berdasarkan keterangan ahli sejarah. Tidak ada kesesuaian ataupun kemungkinan bercampurnya kedua kejadian tersebut. Yang satu berlangsung saat kembali dari Mekah sesudah haji dan yang satunya terjadi di Yaman lebih awal dan sudah dipecahkan di masjid Nabawi Madinah, bahkan sebelum Nabi (s) berangkat menunaikan haji.
Faktanya, kedua kejadian tersebut terjadi di tahun akhir kehidupan Nabi shalallahu alaihi wassalam. Merujuk kepada Ulama Syi’ah Klasik, Syaikh Mufid, ekspedisi dari Yaman datang ke Mekah pada 5 hari terakhir bulan Dzulqa’dah (Bulan ke-11 pada penanggalan Islam) dan kejadian Ghadir Khum terjadi tepat sesudah itu di bulan Dzulhijah (bulan ke-12 pada penanggalan Islam). Taair-al-Quds telah melakukan suatu penipuan dengan mengklaim ekspedisi ke Yaman terjadi di bulan Rabi’ul Tsani (bulan ke-4 pada pemanggalan Islam) atau Jumadil Ula (bulan ke-5 pada penanggalan Islam), sedangkan peristiwa Ghadir Khum terjadi di bulan ke 12. Operasi di Yaman berlangsung beberapa bulan sampai bulan yang ke-11! Sedangkan ekspedisi ke Yaman dimulai beberapa bulan sebelumnya. Ini jelas tidak berakhir sebelum 5 hari terakhir dari bulan ke-11, dimana sesudahnya Ali ra dan pasukannya segera bergabung dengan Nabi shalallahu alaihi wassalam di Mekah untuk melaksanakan haji.
Klaim Taair-al-Quds bahwa kejadian Yaman telah diselesaikan di Madinah, adalah kesalahan besar yang mengerikan yang ada padanya. Setelah apa yang terjadi di Yaman (perdebatan soal khumus), Ali pergi menjumpai Nabi shalallahu alaihi wassalam di Mekah, bukan Madinah. Ali ra dan pasukannya melaksanakan haji bersama Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan selama waktu-waktu itu pasukan Ali ra menggerutu soal keputusan Ali ra, dimana hal tersebut mendorong rasulullah bersabda di Ghadir Khum.
Taair-al-Quds menuding hal ini sebagai propaganda wahabi/nawashib yang menganggap bahwa kejadian perdebatan antara Ali ra dan pasukannya terjadi tepat sebelum peristiwa Ghadir Khum. Kita akan bertanya kepada Taair-al-Quds, apakah Syaikh Mufid seorang ulama besar klasik Syi’ah termasuk seorang Nawashib? Syaikh Mufid dalam kitabnya Al-Irsyad menyebutkan kisah perdebatan antara Ali ra dan pasukannya di Yaman di bawah judul “Haji perpisahan Rasulullah dan Deklarasi di Ghadir Khum”
Haji perpisahan Rasulullah dan Deklarasi di Ghadir Khum     
… Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, telah mengirim dia (Ali as), ke Yaman untuk mengumpulkan pembagian khumus dari emas mereka dan mengumpulkan baju besi dan barang-barang yang lainnya… kemudian Nabi (s) memutuskan untuk pergi haji dan melakukan kewajibannya dimana Tuhan Yang Maha Agung telah memutuskan…
Beliau (s), berangkat dengan mereka pada 5 hari terakhir bulan Dzul Qa’dah. Beliau telah menulis untuk Amirul Mukminin Ali as tentang berangkat haji dari Yaman…
Sementara itu, Amirul mukminin as, pergi dengan pasukan yang menemani beliau ke Yaman. Ada bersamanya baju besi-baju besi yang dia telah kumpulkan dari penduduk Najran. Ketika Rasulullah (s) telah mendekati Mekah di jalan dari arah Madinah, Amirul Mukminin Ali as sedang mendekati Mekah di jalan dari arah Yaman. Dia (Ali) pergi mendahului pasukannya untuk menjumpai Nabi shalallahu alaihi wassalam dan dia menyerahkan tanggung jawab kepemimpinan kepada salah seorang dari pasukannya. Dia datang kepada Nabi (s) sesudah memasuki Mekah. Ia (Ali) menyalami beliau (Nabi) dan menginformasikan kepada beliau mengenai apa yang telah dilakukannya dan apa yang ia telah kumpulkan (dalam Khumus) dan bahwa dia telah buru-buru pergi mendahului pasukannya untuk menemui beliau. Rasulullah (s) senang atasnya dan gembira berjumpa dengan dia…
Amirul mukminin as pamit kepada beliau (Nabi) dan kembali ke pasukannya. Ia bertemu mereka di tempat yang tidak jauh dan menemukan mereka telah memakai bajubesi-bajubesi yang mereka bawa. Ia (Ali) marah kepada mereka karenanya.
“Aib atasmu”! Ia (Ali) berkata kepada orang yang dia tunjuk sebagai wakil pasukannya. “Apa yang membuat kamu memberikan kepada mereka bajubesi sebelum kita serahkan kepada Rasulullah (s)?”. “Saya tidak memberi ijin kepadamu untuk melakukan itu.”
“Mereka meminta saya untuk membiarkan mereka menghias diri mereka dan masuk ke tanah suci, dan kemudian mereka akan mengembalikannya lagi kepada saya,” Ia menjawab.
Amirul mukminin as mengambil kembali baju besi tersebut dari orang-orang dan menaruhnya kembali ke karung-karung. Mereka (pasukan Ali as) merasa tidak puas kepada Ali karena hal itu. Ketika mereka sampai di Mekah, mereka komplain kepada Amirul Mukminin as berkali-kali. Rasulullah (s) berseru diantara orang-orang : “Hentikan lisanmu terhadap Ali bin Abi Thalib, dia adalah seorang yang tajam untuk kepentingan Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi, bukanlah dia orang yang menipu dalam agamanya…
Ketika Rasulullah melakukan ibadah haji, beliau jadikan Ali sebagai partnernya dalam menyembelih hewan kurban. Kemudian beliau memulai perjalanan kembali ke Madinah. Ali as dan kaum muslimin pergi bersama beliau. Beliau sampai ke suatu tempat yang dikenal dengan nama Ghadir Khum…
(Kitab al-Irsyad, by Syaikh Mufid, hal.119-123)
Gambar halaman muka kitab Al-Irsyad terjemahan bahasa Inggris
titlepage1
Kesimpulan :
Berlawanan dengan klaim Syi’ah, Hadits Ghadir Khum tidak ada hubungannya dengan khilafah atau imamah, akan tetapi Nabi shalallahu alaihi wassalam hanya menolak sekelompok orang yang berada di bawah komando Ali ra yang mereka mengkritik Ali ra dengan kata-kata yang sangat pedas. Berdasarkan ini, Nabi shalallahu alaihi wassalam menghimbau kepada orang-orang bahwa Ali ra adalah Mawla (yang berhak dicintai) oleh seluruh kaum muslimin, sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wassalam sendiri. Seandainya beliau berkehendak menunjuk Ali ra sebagai khalifah pengganti beliau, maka beliau akan lakukan hal tersebut pada saat pidato perpisahan beliau di Mekah, bukan saat di saat perjalanan beliau pulang ke Madinah, di tengah padang pasir yang jauhnya 250km dari Mekah.
Allahu A’lam.

sumber:http://alfanarku.wordpress.com/2009/10/12/analisa-hadits-ghadir-khum-bagian-1/


Hadits Ghodir Khum yang Shohih Menurut Ahlussunnah Wal-Jama'ah:

==========

Hadits Ghadir Khum yang shohih Menurut Ahlissunnah

 ===========
Hadits Ghodir Khum yang Shohih  Menurut Ahlussunnah:
ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﻐﺪﻳﺮ :
ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﺻﻠﻪ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ
ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﺭﻗﻢ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻨﻪ – ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ”: ﻗﺎﻡ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻮﻣﺎ
ﻓﻴﻨﺎ ﺧﻄﻴﺒﺎ ﺑﻤﺎﺀ ﻳﺪﻋﻰ ﺧﻤﺎ ﺑﻴﻦ
ﻣﻜﺔ ﻭﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻓﺤﻤﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﺛﻨﻰ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﻭﻋﻆ ﻭﺫﻛﺮ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ : ﺃﻳﻬﺎ
ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﺃﻧﺎ ﺑﺸﺮ ﻳﻮﺷﻚ ﺃﻥ
ﻳﺄﺗﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺭﺑﻰ ﻓﺄﺟﻴﺐ ﻭﺃﻧﺎ ﺗﺎﺭﻙ
ﻓﻴﻜﻢ ﺛﻘﻠﻴﻦ : ﺃﻭﻟﻬﻤﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ
ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻬﺪﻯ ﻭﺍﻟﻨﻮﺭ ﻓﺨﺬﻭﺍ ﺑﻜﺘﺎﺏ
ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﺳﺘﻤﺴﻜﻮﺍ ﺑﻪ ( ﻓﺤﺚ ﻋﻠﻰ
ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﻏﺐ ﻓﻴﻪ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ) ﻭﺃﻫﻞ
ﺑﻴﺘﻲ ﺃﺫﻛﺮﻛﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ
ﺃﺫﻛﺮﻛﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ
ﺃﺫﻛﺮﻛﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ ” .
ﻭﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﻃﺮﻕ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﻥ
ﺍﻟﻨﺒﻲ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻣﺮ
ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ ﻓﺄﺧﺬ ﺑﻴﺪ ﻋﻠﻲ – ﺭﺿﻲ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ – ﻓﻘﺎﻝ ”: ﺃﻟﺴﺖ ﺃﻭﻟﻰ
ﺑﺎﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ؟ ﻗﺎﻟﻮﺍ :
ﺑﻠﻰ . ﻗﺎﻝ ﺃﻟﺴﺖ ﺃﻭﻟﻰ ﺑﻜﻞ ﻣﺆﻣﻦ
ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﺑﻠﻰ ﻗﺎﻝ : ﻓﻬﺬﺍ
ﻭﻟﻲ ﻣﻦ ﺃﻧﺎ ﻣﻮﻻﻩ ، ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻭﺍﻝ
ﻣﻦ ﻭﺍﻻﻩ ، ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻋﺎﺩ ﻣﻦ ﻋﺎﺩﺍﻩ
” .
ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ” ﻣﻦ ﻛﻨﺖ ﻣﻮﻻﻩ
ﻓﻌﻠﻲ ﻣﻮﻻﻩ

masalah berdalil dengan hadits  Ghadir khum maka ada banyak  bantahannya, yaitu:
a. tidak ada dalam hadits  ghadir isyarat sekecil apapun  bahwa Nabi mengangkat Ali atau  lainnya dari ahlil bait sebagai Khalifah atau imam. Sebab wurud hadits adalah karena ada  beberapa orang yang berbicara menggunjing sahabat Ali radhiyallahu a’nhu karena telah melarang mereka untuk menggunakan onta zakat dan meminta mereka mengembalikan  perhiasan-perhiasan yang  dilepaskan untuk mereka oleh wakilnya. Maka ketika nabi saw  pulang dari haji di tempat yang namanya Ghadir Khum beliau berkhutbah membersihkan nama  Ali dan meninggikan kedudukannya di sisinya agar hilang apa yang ada di hati banyak orang.
b. tidak ada seorang sahabat pun yang memahami dari hadits ini bahwa Ali ditunjuk menjadi khalifah, tidak secara tersurat maupun tersirat. Oleh karena itu saat mereka berkumpul di SAQIFAH BANI SAIDAH (waktu membaiat Khalifah Abu Bakar assiddiq ra) tidak ada seporang pun yang berhujjah dengan hadits ini, karena memang para sahabat ra memahami bahwa al-maula  yang ada hadits ini adalah untuk kecintaan dan kesetiaan. Bukan untuk imamah dan imarah. Bahkan Ali ra sendiri mengingkari orang yang memanggilnya dengan ya mawlana. Seandainya beliau  memahami bahwa kata mawlana sinonim dari ya amirana ya imamana tentu beliau tidak mengingkari mereka.
c. antara peristiwa Ghadir dan wafat Nabi saw kira-kira hanya 70 hari, ini dengan ijma’nya orang  syiah sebab mereka mengatakan bahwa peristiwa itu tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10. berdasarkan kesepakatan bahwa wafatnya Rasul tanggal 28 shafar tahun 11, jadi jaraknya hanya 70 hari.  Apakah masuk akal jika seluruh sahabat dalam waktu yang singkat ini melupakan hadits ini?!!.  Bagaimana mungkin 100 ribu sahabat itu- seperti yang diyakini syiah- setelah 70 hari saja melupakan baiat yang telah mereka lakukan bersama nabi mereka?!! Sungguh tidak ada duanya kejadian seperti ini dalam sejarah manusia!!!  Maka jika faktor untuk mengutip hadits itu ada dan penghalang dari itu tidak ada, tetapi tetap  hadits itu tidak muncul maka ini menunjukkan kalau nash itu benar-benar tidak ada!!!
d. kata mawla menurut ibnul atsir bisa berarti:
ﺍﻟﺮﺏ ﻭﺍﻟﻤﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﻤﻨﻌﻢ ﻭﺍﻟﻨﺎﺻﺮ ﻭﺍﻟﻤﺤﺐ
ﻭﺍﻟﺤﻠﻴﻒ ﻭﺍﻟﻌﺒﺪ ﻭﺍﻟﻤﻌﺘﻖ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﻌﻢ
ﻭﺍﻟﺼﻬﺮ

“Tuhan, Yang Memiliki, Yang memberi nikmat, penolong, mencintai, sekutu, hamba/budak, orang yang memerdekakan budak, saudara sepupu, dan  menantu.” Kalau nabi saw ingin mengangkatnya menjadi khalifah tentu tidak menggunakan istilah  yang mengandung banyak makna, lebih utama kalau nabi yang sangat fashih dan nashih itu  mengatakan: “Khalifah adalah Ali”.
e. yang dimaksud dengan “Man kuntu mawlahu fa aliyy mawlahu” adalah kecintaan dan  kesetiaan serta wasiat untuk berbuat baik kepada ahlul bait, dan menjelaskan tingginya kedudukan ahlul bait. Tidak ada dalam redaksi maupun mafhumnya bahwa Ali adalah imam atau khalifah!
f. seandainya Nabi saw  menginginkan awla tentu tidak akan mengatakan mawla akan tetapi akan mengatakan awla. Kalau kita mengalah bahwa maksud dari mawla adalah awla niscaya maksudnya adalah bukan wilayah, hukum dan kepemimpinan mengatur urusan kaum muslimin, karena Allah
telah berfirman:
{ ﺇﻥ ﺃﻭﻟﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺈﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻟﻠﺬﻳﻦ
ﺍﺗﺒﻌﻮﻩ ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻭﺍﻟﻠﻪ
ﻭﻟﻲ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ
}
Maka apakah para pengikut Nabi Ibrahim menjadi pemimpin atas Nabi Ibrahim? Atau apakah para
pengikut Ibrahim menjadi pemimpin semua?
g. sebagian ulama syiah sendiri menolak jika hadits Ghadir khum diartikan sebagai pernyataan atas
imamah Ali setelah Rasulullah saw. An-Nuri al-Thubrusi berkata:
:” ﻟﻢ ﻳﺼﺮﺡ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻟﻌﻠﻲ ﺑﺎﻟﺨﻼﻓﺔ ﺑﻌﺪﻩ
ﺑﻼ ﻓﺼﻞ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻐﺪﻳﺮ ﻭﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟﻴﻬﺎ
ﺑﻜﻼﻡ ﻣﺠﻤﻞ ﻣﺸﺘﺮﻙ ﺑﻴﻦ ﻣﻌﺎﻥ ﻳﺤﺘﺎﺝ
ﻓﻲ ﺗﻌﻴﻴﻦ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻣﻨﻬﺎ ﺇﻟﻰ
ﻗﺮﺍﺋﻦ

h. adapun riwayat dengan lafazh “wa huwa waliyyukum min ba’di” maka telah didhaifkan oleh
para pakar hadits. Ia datang dari 2 jalur, dalam sanadnya ada ja’far ibn Sulaiman dan Ajlaj al-Kindiy
yang sangat lemah.
Adapun tambahan min ba’di maka kata al-Mubarakfuri adalah  tambahan dari dua perawi syiah
tadi. Kbeliau berkata:
:” ﻭﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻥ ﺯﻳﺎﺩﺓ ) ﺑﻌﺪﻱ ( ﻓﻲ
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ ﻭﻫﻢ ﻫﺬﻳﻦ ﺍﻟﺸﻴﻌﻴﻴﻦ
ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﻭﺍﻷﺟﻠﺢ ﻭﻳﺆﻳﺪﻩ ﺃﻥ
ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺭﻭﻯ ﻓﻲ ﻣﺴﻨﺪﻩ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ ﻋﺪﺓ ﻃﺮﻕ ﻟﻴﺴﺖ ﻓﻲ
ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻣﻨﻬﺎ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ

i. meskipun kita anggap benar misalnya maka hadits ini bertentangan dengan keyakinan orang syiah sebab mereka meyakini keimamahan Ali semenjak Nabi masih hidup berdasarkan ayat
{ ﺇﻧﻤﺎ ﻭﻟﻴﻜﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ
ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻘﻴﻤﻮﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻳﺆﺗﻮﻥ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ
ﻭﻫﻢ ﺭﺍﻛﻌﻮﻥ

Lalu bagaimana ada tambahan “min ba’di?!”
(AH) 9 R. Akhir 1431 H

sumber : http://old.gensyiah.com/hadits-ghadir-khum-yang-shahih-menurut-ahlissunnah.html
===========================

Hadits Ghadir Khum dalam Pandangan Sunni

Oleh: Zahrul Bawady M. Daud
Membahas masalah imamah/khalifah (khususnya khulafaur rasyidin) serta pertentangan antara Sunni dan Syiah, pada akarnya akan membawa kita kepada satu peristiwa terkenal yang disebut dengan Ghadir Khum (غدير خم), sebuah lembah antara Makkah dan Madinah. Peristiwa ini semakin populer karena landasan imamah yang dikenal dalam konsep akidah Syiah ada di sini. Meski sebagian kalangan Sunni tidak terlalu familiar dengan peristiwa tersebut, kecuali mereka yang memfokuskan diri kepada hadits dan sejarah.
Keotentikan Hadits
Dalam literatur Islam hadits Ghadir Khum ini berbunyi من كنت مولاه فعلي مولاه. Sementara hadits ini memiliki jalur periwayatan yang cukup banyak. Hadits ini diriwayatkan di dalam Musnad Imam Ahmad 2/71 nomor 641. Di dalam Musnad Ahmad, Hadits ini masuk kategori Shahih Lighairih, karena memiliki sanad yang shahih dari jalur periwayatan lain yang mencapai 30 sahabat. Imam Dzahabi di dalam Siyar A'lam Nubala menyebut matan hadits ini mutawatir (8/335)
Hadits tersebut juga diriwayatkan di dalam Mustadrak Hakim 3/109-110 yang mengambil jalur Imam Ahmad dari Zaid bin Arqam. Hadits ini malah disebut shahih atas syarat Imam Bukhari dan Muslim.I mam Dzahabi di dalam Mukhtashar Istidrak Dzahabi Ala Mustadrak Hakim menyebut bahwa hadits ini memiliki 12 jalur periwayatan.Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzy dalam Sunan 10/214, Nasai dalam Khashaish, hal. 96, Imam Bazzar dalam Musnad 3/189, Ibn Hibban dalah Shahih Ibn Hiban nomor 2205 dan jalur periwayatan lain sebagaimana tertera di dalam kitab-kitab hadits.
Maka tidak ada keraguan tentang keotentikan hadits ini sebagaimana telah dijelaskan oleh berbagai ulama lintas zaman. Walaupun sanad pada beberapa jalur periwayatan dianggap memiliki cacat akan tetapi memiliki penopang melalui riwayat lain.
Amat penting bagi kita untuk melihat keotentikan hadits sebelum membahas pemaknaannya. Karena distorsi hadits tidak hanya terjadi pada sanad (jalur riwayat), akan tetapi matan. Adakalanya matan (subtansi) isinya benar, namun itu ternyata bukan hadits nabi. Pembahasan ini tentu akan lebih banyak kita dapati ketika kita membahas sebab dan sejarah hadits palsu di dalam Islam.
Pemahaman Hadits Versi Syiah
Hadits Ghadir Khum ini sangat populer di kalangan Syiah sebagai dalil keabsahan Ali Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sampai sampai seorang ulama kontemporer, Abdul Hasan Umainy dari Syiah mengarang sebuah kitab berjudul Al Ghadir fil Kitab wa Sunnah wal Adab dalam enam jilid.
Di Ghadir Khum ini menurut versi Syiah, nabi menyampaikan salah satu risalah wahyu sesuai yang diamanahkan oleh Allah dalam Surah Al Maidah :67. Menurut kalangan Syiah, ayat ini turun setelah nabi menyebutkan hadits di atas.
Lebih lanjut, Al Majlisi dalam Bihar Anwar juga mengomentari hadits Ghadir dimana ketika itu kaum muslimin berkumpul dan nabi bersabda, "Wahai manusia, bukankah aku lebih utama bagi seorang mukmin daripadanya dirinya sendiri? Lalu mereka menjawab, benar. Kemudian nabi melanjutkan, من كنت مولاه فعلي مولاه.
Dan menurut mereka, setelah Allah menurunkan wahyu terakhir (Alyauma akmaltu lakum..), maka rasul mengatakan Maha besar Allah yang telah menyempurnakan agama dan memilih Ali sebagai pemimpin setelahku. (Ghadir… 1/11).
Thibrisy di dalam A'lam Wara halaman 169-170 memberikan asbab wurud (sebab turunnya)hadits ini yang tak lain dan tak bukan adalah imamah Imam Ali sepeninggal nabi, karena tidak mungkin memberikan makna kenabian, maka yang paling tepat adalah imam. Walaupun ada sebagian kalangan Syiah yang menganggap Ali sederajat dengan Nabi.
Dalam konsep Syiah, hadits Ghadir ini tak pelak menjadi pegangan utama mereka dalam memberikan hak khilafah "wajib" kepada Imam Ali. Karena menurut mereka sangat jelas sabda nabi yang mengatakan bahwa siapa yang menganggap aku sebagai maulah (pemimpinnya-versi Syiah-), maka Imam Ali adalah pemimpinnya.
Kepemimpinan Imam Ali sepeninggal nabi dan keturunannnya menurut Syiah tidak boleh diingkari dan menjadi hak utama. Di dalam Abhal Madad Fi Syarah Ulama Baghdad:116 disebutkan wajibnya hak-hak tersebut ditunaikan dan menjadi akidah umat Islam.
Pemahaman Sunni Pada Tafsir Ayat dan Hadits
Haris Suhaimi di dalam Tautsiq Sunnah Baina Syiah wa Ahli Sunnah menyebutkan bahwa pengakuan bahwa kedua ayat tersebut tersebut turun di Ghadir sangat bertentangan dengan konteks ayat tersebut secara keseluruhan. Dalam pemahaman ahli tafsir Terutama pada surat Al Maidah:67 dimana melihat kenyataan bahwa ayat sebelumnya semua ditujukan untuk mencela ahlul kitab dan menjelaskan keingkaran mereka. Al Thabariy mengatakan bahwa ayat ini turun untuk memerintahkan nabi mendakwahi ahlul kitab yang disebutkan oleh ayat sebelumnya (Jami' Al Bayan 6/307 ).
Sedangkan ayat "Al yauma akmaltu lakum…" itu turun di Arafah, ini juga diakui oleh seorang yang dianggap muhaddits dalam kalangan Syiah, Syaikh Kulaini di dalam Ushul Kafy. Demikian juga dikuatkan oleh Thabary yang mengatakan ayat ini turun hari Jumat pada hari Arafah, tepatnya ketika haji Wada'. Walaupun demikian, ada beberapa Ahli Tafsir mencoba menggabung beberapa periwayatan asbab nuzul hadits ini, diantaranya Al Alusy di dalam Ruhul Ma'any.
Kembali ke hadits Ghadir Khum. Kata "maulah" yang terkandung di dalam hadits tersebut tidak kurang mengandung 23 makna menurut Ibnu Mandhur di dalam Lisanul Arab. Dan kita harus melihat konteks hadits tersebut untuk memastikan makna mana yang dimaksud .Setelah diteliti oleh ulama Sunni, makna yang paling tepat adalah makna mahabbah (kecintaan). Karena setelah kata kata فعلىي مولاه disambung dengan sabda nabi اللهم وال من والاه و عاد من عاداه (Sanyangilah orang yang menyayanginya dan bencilah orang yang yang membencinya).
Ini jika kita teliti melihat konteks hadits tersebut. Apabila kita maknakan secara makna khalifah atau pemimpin, maka penggalan hadits ini setelahnya akan sangat paradoks dan tidak berdasar.
Haidar Ali dalam Tahqiq Haula Nushsush Imamah menjelaskan kelemahan makna pemimpin dalam maksud hadits akibat hadits tersebut tidak diikat dengan kata kata بعدى (setelahku). Katakanlah jika yang dimaksud di sini mungkin benar bermakna pemimpin, maka ketika itu akan terdapat dua kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Nabi dan Imam Ali, dan tentu kita tidak ada yang sepakat dalam hal ini.
Di dalam I'tiqad Ala Madzhab Ahlus Sunnah wa Al Jama'ah: 205 Imam Baihaqi menuturkan sebuah riwayat. Ketika Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ditanyakan kepadanya, Bukankan Nabi Muhammad telah mengatakan من كنت مولاه فعلي مولاه, lantas Imam Hasan menjawab, sekiranya yang dimaksud oleh Nabi adalah pemimpin, maka Nabi akan menjelaskannya secara lebih terperinci, sebagaimana dijelaskannya perkara wajibnya shalat, puasa dan zakat.
Salah satu bukti nyata bahwa hadits Ghadir ini tidak mengandung makna khalifah adalah ketika terjadi Musyawarah Bani Tsaqifah yang pada akhirnya membaiat Abu Bakar sebagai Khulafaur Rasyidin pertama, tidak ada seorang pun sahabat yang menggunakan dalil ini untuk mengangkat Imam Ali. Padahal peristiwa Ghadir Khum dan wafatnya Nabi hanya sekitar 70 hari saja dalam catatan sejarah. Padahal, sahabat ini sangat memahami hadits ini dengan baik, lagipun mereka tak akan bersepakat di dalam kesesatan.
Efek Perbedaan Tafsir
Perbedaan tafsir dan pemaknaan baik dari Ayat maupun hadits membawa efek besar dalam akidah di kemudian hari. Inilah sebabnya perpecahan itu terkadang tidak dapat disatukan. Lazimnya perkataan Syaikh Ali Al Shabuni yang berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu.
Mulanya dalam hemat penulis, pandangan Syiah melaknat bahkan mengkafirkan sahabat hanyalah klaim sepihak dari anti-Syiah saja.Akan tetapi setelah adanya referensi dan telaah yang sedikit mendalam, akhirnya kita temukan bahwa fenomena tersebut tidak hanya asal tuduh, namun dibuktikan di dalam kitab-kitab karya ulama Syiah sendiri.
Al Bahrany di dalam Syihabun Tsaqib:172 yang dianggap muhadits Syiah bahkan menganggap bahwa khalifah sebelum Imam Ali adalah pencuri. Lebih jauh, Nurullah Tustury di dalam Shawarim Al Muhriqah:5 menyebut khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar dan Usman) sebagai orang yang melahirkan permusuhan dan kedhaliman.
Di dalam sebuah kitab yang amat terkenal, Syarah Ushul Kafy karya Maula Muhammad Shalih 5/112 disebutkan bahwa "khalifah adalah hak ahlul bait, kemudian datang sekelompok pencuri yang akal dan daging mereka berkembang dalam menyembah patung." Dalil -dalil penghinaan terhadap sahabat oleh Syiah juga dapat kita temukan di banyak referensi Syiah, seperti Tanzih Anbiya oleh Syarih Murtadha, Syafi, Al Arba'in, karya Muhammad Thahir Al Qamy yang menyebut propaganda Bani Tsaqifah untuk merebut hak Imam Ali. Bahkan Muhammad Baqir Al Majlisi di dalam Haqqul Yaqin:367 menyebut Abu Bakar dan Umar layaknya Fir'un dan Hamman. Na'udzubillah.
Lebih jauh, Jamil Hamud di dalam Fawaid Bahiyah Fi Syarh Akidah Imamiah menyebut bahwa Imamiah adalah bagian dari ushuluddin, serta wajibnya menyerahkan kekhalifahan kepada Imam Ali dan Ahl Bait jika ingin keselamatan iman.
Kita, tidak menolak hadits Ghadir Khum, sebagaimana kita tidak menolak untuk mencintai ahlul bait. Tetapi sebagai ummat Islam, kita harus menolak segala penyimpangan dan distorsi sejarah yang berkembang.Wallahu A'lam.
*Alumni Dayah Bustanul Ulum Langsa, Santri Al Azhar Kairo
sumber:http://www.hidayatullah.com/read/26590/31/12/2012/hadits-ghadir-khum-dalam-pandangan-sunni.html
=======================
Pertanyaan:
Bagaimana mungkin seratus ribu lebih jumlah sahabat yang hadir di Ghadir Khum dan mendengarkan hadis al-Ghadir namun tiada satu pun dari mereka yang melontarkan kritikan dan protes di Saqifah?
 
Jawaban Global:
Akar peristiwa al-Ghadir menurut nukilan sejarah merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dan dibuktikan validitasnya.  Para penulis sejarah dengan merekam pelbagai peristiwa dan menukil turun-temurun kisah ini dan menjadi sandaran masyarakat melalui jalan yang beragam, mengakui kebenaran masalah ini.
Sedemikian masalah ini argumentatif sedemikian sehingga ia dapat dijumpai pada sastra, teologi, tafsir, dan bahkan kitab-kitab hadis standar Ahlusunnah dan Syiah dimana Nasai salah seorang ulama besar Ahlusunnah menukil hadis ini melalui 250 sanad.
Terlepas dari itu, berhimpunnya masyarakat sedemikian besar di Ghadir Khum bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa al-Ghadir terjadi pada tahun sepuluh Hijriah dimana dengan menyebarnya tabligh untuk Islam banyak orang yang condong untuk memeluk Islam Terkhusus kewajiban Haji yang merupakan salah satu syiar Ilahi, Nabi Saw mengumumkan pada tahun itu bahwa beliau akan ikut serta dalam musim haji tahun itu dan secara langsung beliau sendiri yang akan mengajarkan hukum-hukum haji pada tahun itu.
Sekarang pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa masyarakat yang sedemikian besar, tidak melancarkan protes dan memilih jalan untuk bungkam di hadapan penyelewengan Saqifah!? Bukankah hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir tidak menandaskan dan menunjukkan wilayah Imam Ali As?!
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa sejatinya secara umum tiadanya protes para sahabat di Saqifah dapat digugurkan dan dibatalkan; karena para sahabat besar seperti Salman, Miqdad, Thalha dan sebagainya melancarkan protes kepada para pembesar Saqifah dan bahkan Zubair menghunuskan pedangnya di hadapan para pembesar Saqifah.
Dalam masalah ini, terdapat ragam kelompok sahabat dalam menyikapi hadis al-Ghadir. Ada sekelompok sahabat yang memilih untuk diam; atau demi untuk menjaga kemaslahatan dan menghindar dari perpecahan dan perberaian, seperti yang dilakukan Abbas paman Nabi Saw, atau di antara mereka ada yang gentar dan takut dari ancaman para antek khalifah ketika itu. Atau di antara mereka banyak mendapatkan keuntungan dengan berkuasanya kelompok Saqifah. Seperti banyak di antara sahabat yang baik atau mereka yang dari golongan Bani Umayyah. Sebagaimana terdapat kelompok lainnya bukan karena ancaman atau larangan, karena mereka mengenal Ali sebagai penguasa yang ingin menyebarkan keadilan, mereka menolak untuk menentang penyimpangan di Saqifah ini. Dan terakhir, sebagian dari mereka juga, didasari oleh kebodohan dan ketidaktahuan, mengira bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang dipilih oleh Nabi Saw sebagai khalifah oleh karena itu mereka memilihnya sebagai khalifah dan membaiatnya.
Imam Ali juga sesuai dengan wasiat Nabi Saw bertugas untuk tidak membiarkan komunitas Muslimin ini bercerai-berai dan terpecah belah, karena itu beliau puluhan kali melancarkan protes pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis al-Ghadir meski protes dan penentangannya ini terbatas pada penentangan lisan saja.
Jawaban Detil
Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat dua kemungkinan: Kemungkinan pertama yang dapat diasumsikan adalah bahwa tiada dari kalangan sahabat yang melancarkan  protes terhadap keputusan Saqifah dan adanya pengingkaran terhadap akar peristiwa al-Ghadir; Kemungkinan kedua yang dapat diasumsikan adalah tentang akar peristiwa al-Ghadir dan tiadanya protes para sahabat serta pengingkaran terhadap petunjuk hadis al-Ghadir atas wilayah (khilafah) Imam Ali As.
Untuk menjawab dua kemungkinan ini cukup bagi kita menetapkan akar peristiwa Saqifah melalui nukilan sejarah sebagaimana berikut ini.
Banyak kitab-kitab sejarah dari kalangan Sunni dan Syiah mengakui nukilan peristiwa al-Ghadir ini[1] dan memandangnya sebagai sesuatu yang pasti telah terjadi dalam sejarah kaum Muslimin.
Khalil Abdulkarim, salah seorang ulama kiwari Ahlusunnah, dalam pembahasan pengumpulan al-Qur’an, menulis: “Bilangan para sahabat Nabi Saw, pada haji al-Widâ’ (haji perpisahan, dimana peristiwa al-Ghadir terjadi ketika itu) adalah sejumlah seratus dua puluh empat ribu.”[2] Demikian juga Ibnu Katsir menulis, “Riwayat-riwayat dan hadis-hadis tentang peristiwa Ghadir Khum sangat mutawatir dan kami menukil peristiwa tersebut, sesuai dengan kemampuan kami (sebagian darinya).[3]
Terlepas dari kitab-kitab sejarah yang disebutkan, dalam kitab-kitab hadis Ahlusunnah, terdapat banyak riwayat yang menukil hadis Ghadir ini. Sebagian dari mereka menyebutkan hadis ini dengan satu kandungan dengan jalan yang berbeda-beda. Dimana sebagai contoh, Nasai menukil hadis ini dengan dua ratus lima puluh sanad.[4]
Kesemua ini merupakan bukti atas banyaknya jumlah sahabat pada peristiwa Ghadir Khum sehingga tidak menyisakan lagi keraguan dan sangsi, bukan pada akar peristiwa Ghadir, juga bukan pada banyaknya jumlah bilangan sahabat yang hadir ketika itu.
Terlepas dari itu, berkumpulnya manusia sedemikian besar dan banyak di Ghadir Khum ini bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa Ghadir Khum, terjadi di daerah yang bernama Rabigh,[5] sebuah daerah yang letaknya kurang-lebih dua ratus kilometer dari Mekkah. Sebuah persimpangan jalan-jalan menuju Irak, Madinah,[6] Mesir dan Yaman. Dengan demikian, seluruh haji tatkala mereka usia menunaikan ibadah haji, mau-tak-mau, harus melintasi daerah ini untuk kembali ke tempat mereka masing-masing.
Dari sudut pandang kondisi waktu juga harus dikatakan bahwa peristiwa Ghadir Khum, terjadi pada 18 Dzul-Hijjah akhir bulan tahun ke-10 Hijriah.[7] Namun pada tahun itu, jumlah orang yang hadir lebih banyak dari pelaksanaan haji sebelumnya. Hal ini dikarenakan banyak ayat yang diwahyukan bahwa haji merupakan salah satu dari syiar Allah, dan dengan gencarnya tabligh Islam, banyak masyarakat dari pelbagai strata yang memeluk agama Ilahi ini.
Dari sisi lain, karena Nabi Saw menginstruksikan sebelum berangkat haji untuk mengumumkan bahwa beliau sendiri akan turut serta pada musim haji tahun itu dan mengajarkan langsung hukum-hukum haji.[8]
Seluruh sebab-sebab ini berujung hingga tahun tersebut, jumlah bilangan haji sangat banyak dari tahun-tahun sebelumnya dan karena peristiwa Ghadir Khum terjadi di Rabigh, lantaran kaum Muslimin belum lagi berpencar untuk pulang ke daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, peristiwa Ghadir Khum merupakan sebuah perhelatan akbar dan tiada duanya dalam sejarah kaum Muslimin.
Kemungkinan kedua bahwa bagaimana mungkin para sahabat meski mereka melihat peristiwa Ghadir Khum secara langsung dan mendengar sabda Rasulullah Saw serta baiat yang disampaikan kepada Ali As, mereka malah memilih orang lain untuk urusan khilafah yang merupakan urusan Ilahi ini? Hal ini menegaskan bahwa hadis Ghadir Khum tidak menunjukkan pada wilayah (khilafah) Imam Ali As.[9]
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa, klaim tiadanya protes para sahabat terkait peristiwa Ghadir Khum merupakan klaim yang tidak benar. Dan tidak sedikit para pengikut sejati yang tetap setia memegang teguh baiat dan ikrar mereka serta melarang para pembesar Saqifah dari tindakan berbahaya mereka.
Imam Ali As yang menjalankan wasiat Nabi Saw untuk tidak membiarkan kaum Muslimin bertikai dan berpecah belah, karena itu beliau hanya melakukan penentangan lisan dan tidak mengangkat senjata untuk melaksanakan titah Ghadir Khum. Beliau tidak membaiat Abu Bakar selama Fatimah As masih hidup. Tatkala Fatimah As syahid, Imam Ali terpaksa dan berdasarkan pada kemaslahatan memberikan baiat kepada Abu Bakar. Namun beliau menyampaikan protes lisannya pada pelbagai kesempatan dengan bersandar pada hadis Ghadir.
Sahabat-sahabat besar seperti Salman, Abu Dzar, Thalha, Zubair[10] dan lainnya angkat suara menentang keputusan Saqifah dan tidak memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar. Melainkan mereka tidak mencukupkan diri saja dengan protes ini, bahkan mereka menghunus pedang di hadapan para pembesar Saqifah.[11]
Sebagian lainnya seperti Abbas paman Nabi Saw, kendati ia tidak menyatakan penentangan secara terang-terangan, karena ingin menghindar dari pertumpahan darah dan perpecahan. Namun ia juga tidak menyatakan sokongan terhadap pembesar Saqifah dan tidak memberikan baiat kepada mereka.[12]
Dari sebagian penentangan secara praktik, sekelompok besar sahabat dan juga penyandaran berketerusan Imam Ali terhadap hadis Ghadir Khum pada pelbagai kesempatan menandaskan bahwa apa yang ditegaskan oleh hadis Ghadir ini sebagai penunjukan khilafah dan wilayah Amirul Mukminin As adalah penunjukkan yang lengkap dan sahih.
Akan tetapi masyarakat awam yang hadir pada peristiwa Ghadir Khum berada pada dua posisi. Sebagian mereka banyak mengambil manfaat dari kejadian Saqifah, atau dalam kondisi terpaksa atau mendapatkan ancaman sehingga memberikan baiatnya kepada para pembesar Saqifah ini.[13] Atau sebagian dari mereka, tidak mendapatkan keuntungan juga tidak terpaksa memberikan baiat, namun mereka mengetahui bahwa mereka tidak kuasa berada di bawah kekuasaan Ali bin Abi Thalib atau mereka memiliki dendam kepadanya, karena kebanyakan dari kabilah orang-orang Kafir atau Musyrikin yang terbunuh dalam pelbagai medan perang. Sebagian lainnya disebutkan bahwa mereka memberikan baiat kepada Abu Bakar karena dasar tidak tahu. Mereka adalah orang-orang yang mendengar peristiwa Ghadir dan menyangka bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang mendapatkan rekomendasi wilayah dari Nabi Saw lalu mereka membaiatnya.[14][]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1.       Ghadir, Sanad-e Ghuyâ-ye Wilâyat, Geruh-e Ma’arif wa Tahqiqat-e Islami.
2.       Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, 11 jilid.
3.       Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, 1 jilid.
4.       Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islâm, Ja’far Subhani.
5.       Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim.
6.       Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qubi bin Ja’far bin Abi Wadhih.
7.       Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi.
8.       Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, Muhammad Qul’aji.
9.       Asrâr Âli Muhammad Saw, Salim bin Qais Hilali.
10.   Farâid al-Simthain, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani.
11.   Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari.
12.   Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abil Hadid.
13.   Jamal, Syaikh Mufid.
14.   Syarh Ushul Kafi, Maula Muhammad Shalih Mazandarani.
15.   Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi.


[1]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qub bin Ja’far bin Abi Wadhi, jil. 2, hal. 112.  
[2]. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim, hal. 20.  
[3]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi, jil. 5, hal. 213.  
[4]. Ghadir, Sanad-e Ghuya Wilâyat, Geruh Ma’arif wa Tahqiqat Islami, hal. 15.  
[5]. Ibid, hal. 7.
[6]. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, jil. 1, hal. 8.  
[7]. Al-Tanbih wa al-Asyrâf,  al-Mas’udi, hal. 222
[8]. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islam, Ja’far Subhani, hal. 504.
[9]. Saqifah berarti tempat yang memiliki atap untuk tempat berlidung. Mu’jam Lugha al-Fuqaha, Muhammad Qal’aji, hal. 264.
[10]. Farâidh al-Simthaîn, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, jil. 2, hal. 82.
[11]. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari, hal. 50.  
[12]. Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, jil. 1, hal. 73.  
[13]. Jamal, Syaikh Mufid, hal. 59; Syarh Ushul Kâfi, Maula Muhammad Shaleh Mazandarani, hal. 260.  
[14]. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi, hal. 19-23.  
sumber:http://www.islamquest.net/id/archive/question/fa1296
=======================

GHADIR KHUM

ANTARA KEYAKINAN SYIAH DAN AHLUS SUNNAH
Oleh Abu Salma al-Atsari

Rasulullah yang mulia Shallallahu ‘alahi wa ‘ala Ali wa Salam pernah bersabda :
من كنت مولاه فعلي مولاه, اللهمّ والى من واله وعادى من عاداه
Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”
Dari hadits di atas, kaum Syi’ah mengklaim bahwa ’Ali-lah yang berhak atas wilayah (kekuasaan khilafah) setelah wafatnya Rasulullah yang mulia ’alaihi ash-Sholatu was Salam, benarkah demikian? Mari kita telusuri keabsahan hadits ini dan kesimpulannya…

TAKHRIJ HADITS GHADIR KHUM
من كنت مولاه فعلي مولاه, اللهمّ والى من واله وعادى من عاداه
Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”
Hadits di atas warid dari banyak thuruq (jalur periwayatan) dari jama’ah Shahabat, seperti :
  1. Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘anhu.
  2. Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu.
  3. Buraidah bin al-Hashib Radhiallahu ‘anhu.
  4. Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu.
  5. Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu.
  6. Al-Barra’ bin ‘Aazib Radhiallahu ‘anhu.
  7. Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘anhu.
  8. Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu.
  9. Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu.
  10. Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu.

Tafshil (perincian) thuruqil hadits

I) Hadits Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘anhu. Padanya 5 thuruq :
Pertama : Dari Abi Thufail yang dikeluarkan oleh Nasa’i dalam Khoshoish ‘Ali hal 15, Hakim (III/109), Ahmad (I/118), Ibnu ‘Abi ‘Ashim (1365), Thabrani (hal. 4969-4970).
Berkata al-Hakim : “Shahih atas syarat Syaikhaini.”
Al-Albani berkata : “Dzahabi mendiamkannya, di sanadnya terdapat Habib, dan ia adalah Mudallis, dan ia ber’an’anah. Namun hadist ini tak bersendirian, karena ia memiliki penyerta.” Diantaranya adalah :
  • Dari Fithr bin Khalifah yang dikeluarkan oleh Ahmad (IV/370), Ibnu Hibban dalam shahihnya 2205, Ibnu Abi ‘Ashim (1367,1368) dan Thabrani (4968).
Albani berkata : “Shahih menurut syarat Bukhori”.
Berkata al-Haitsami dalam Majmu’ (IX/104) : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, dan rijalnya shahih kecuali Fithr bin Khalifah, ia adalah Tsiqah.
  • Dari Salamah bin Kuhail yang dikeluarkan oleh Turmudzi (II/298) dan ia berkata : “Hadits Hasan Shahih”.
Al-Albani berkata : “Isnadnya Shahih atas syarat syaikhaini
  • Dari Harits bin Jubair dan ia adalah orang yang dha’if, dikeluarkan oleh Thabrani (4971)
Kedua : Dari Maimun Abi Abdillah yang dikeluarkan Ahmad (IV/372) dan Thabrani (5092) dari jalan Abu Ubaid, dikeluarkan Nasa’ i (hal 16) dari jalan A’masy dan ‘Auf keduanya, dari Maimun tanpa lafadh “Allahumma waali…”.
Berkata Maimun, “Menceritakan kepadaku sebagian kaum dari Zaid bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, Allahumma…dst”.
Berkata Haitsami : “Diriwayatkan Ahmad dan Bazzar, pada sanadnya terdapat Maimun Abu Abdullah Al-Bishri, Ibnu Hibban mentsiqahkannya namun jama’ah (Muhaddits) mendhaifkannya”.
Albani berkata : “Hakim menshahihkannya” (III/125).
Ketiga : Dari Abu Sulaiman (Al-Mu’adzdzin) yang dikeluarkan oleh Ahmad (V/370).
Abul Qasim Hibatullah Al-Baghdadi dalam bagian kedua ‘Al-Amaaliy’ (20/2), ia berkata : “Hadits hasan matannya shahih”.
Berkata Haitsami (IX/107) : “Diriwayatkan Ahmad, pada sanadnya terdapat Abu Sulaiman, dan aku tak mengetahuinya kecuali (jika yang dimaksud) adalah Basyir bin Sulaiman, (jika benar ia), maka ia adalah orang yang tsiqah dan sisanya adalah perawi tsiqah.”
Adapun Abu Israil adalah Ismail bin Khalifah, di dalam ‘At-Taqrib’ dinyatakan ia adalah ‘shaduq sedikit hapalannya’.
Albani mengatakan : “Hadits ini hasan dengan syawahid.”
Keempat : Dari Yahya bin Ju’dah yang dikeluarkan oleh Thabrani (4986) dan rijalnya tsiqat.
Kelima : Dari ‘Athiyah Al-‘Aufiy yang dikeluarkan oleh Ahmad (IV/368) dan Thabrani (5068-5071), dan rijalnya tsiqat termasuk rijal Muslim kecuali ‘Athiyah, ia adalah dha’if.

II) Hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, padanya terdapat 3 thuruq:
Pertama : Dari Abdirrahman bin Sabith secara Marfu’ yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban (121), berkata Al-Albani : “Isnadnya shaih”.
Kedua : Dari Abdul Wahid bin Aiman, dari ayahnya yang dikeluarkan oleh Nasa’i (Khashaish hal 16), Isnadnya Shahih, Rijalnya Tsiqat.
Ketiga : Dari Khaitsamah bin Abdirrahman yang dikeluarkan oleh Hakim (III/116) dari jalan Muslim Al-Mala`i, berkata Dzahabi dalam ‘Talkhish’ : “Hakim mendiamkan keshahihannya dan Muslim (al-Mala`i) adalah matruk”.

III) Buraidah bin Al-Hashib, padanya terdapat 3 thuruq :
Pertama : Dari Ibnu Abbas, dikeluarkan oleh an-Nasa’i dan Hakim (III/110), Ahmad (V/347) dari jalan Abdul Malik bin Abi ‘Athiyah, ia berkata, mengabarkan pada kami Hakim dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas.
Albani berkata : “isnadnya shahih menurut syarat syaikhain”.
Kedua : Dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, dikeluarkan oleh Nasa’i dan Ahmad (V/350,358,361).
Albani berkata : “Isnad ini shohih menurut syarat Syaikhaini atau Muslim, jika Ibnu Buraidah yang dimaksud adalah Abdullah, maka ia termasuk rijalnya syaikhaini, jika yang dimaksud adalah Sulaiman maka ia termasuk rijalnya Muslim.”
Dikeluarkan pula oleh Ibnu Hibban (2204).
Ketiga : Dari Thawus dari Buraidah tanpa lafadh “Allahumma…”, dikeluarkan oleh Thabrani dalam ‘Ash-Shaghir’ no 171 dan ‘Al-Awsath’ (341) dari 2 jalan dari Abdurrazaq dengan 2 sanad dari Thawus dan rijalnya tsiqat.

IV) Ali bin ‘Abi Thalib, padanya 9 thuruq :
Pertama : Dari ‘Amr bin Sa’id, dikeluarkan oleh Nasa’i dari jalan Haani’ bin Ayyub dari Thawus (asalnya Thalhah) dari ‘Amr bin Sa’id (asalnya Sa’d).
Albani mengatakan : “Hani’ sebagaimana dikatakan Ibnu Sa’d, padanya kelemahan, namun Ibnu Hibban menyebutnya dalam ‘Ats-Tsiqat’.”
Kedua : Dari Zadzan bin Umar, dikeluarkan oleh Ahmad (I/87), Ibnu ‘Abi ‘Ashim (1372) dari jalan Abu Abdurrahman Al-Kindi.
Albani berkata : “Al-Kindi aku tak mengetahuinya.”
Haitsami berkata : “Diriwiyatkan Ahmad dan sanadnya terdapat rijal yang tak kukenal.”
Ketiga dan Keempat : Dari Said bin Wahb dan Zaid bin Yutsi’, dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id ‘Al-Musnad’ (I/118) dan darinya Adh-Dhiyaa’ Al-Muqoodisi dalam Al-Mukhtarah (406) dari jalan Syarik dari Ibnu Ishaq dari keduanya dan dikeluarkan oleh Nasa’i (16), namun tanpa menyebutkan Sa’id bin Wahb dalam sanadnya.
Albani berkata : “Syarik adalah Abdullah Al-Qadhi dan dia sedikit hafalannya, haditsnya jayyid jika disertai syawahid, dan telah disertai hadits Syu’bah oleh Nasa’i (16) dan Ahmad (V/366).
Kelima : Dari Syarik juga, dari Abu Ishaq, dari Amir, dengan tambahan, “Wan-shur man nashorohu wakhdzul man khodzalahu”. Dikeluarkan oleh Ibnu Hatim (III/1/232).
Keenam : Dari Abdurrahman bin Abu Laila, tanpa tambahan, “Wanshur…”. Dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad (I/119) dengan jalan Yazid bin Abu Ziyad dan Samak bin ‘Ubaid bin Walid al-Abbasi.
Albani berkata : “Hadits ini shohih dengan mengumpulkan 2 jalan darinya.
Ketujuh dan Kedelapan : Dari Abu Maryam dan orang-orang yang bermajlis dengan ‘Ali bin Abi Thalib, dikeluarkan oleh Abdullah (I/152) dari Nu’aim bi Hakim dan orang-orang yang bermajlis dengan Ali. Sanadnya laa ba’sa bihi dengan penyertanya. Abu Maryam adalah Majhul sebagaimana dalam at-Taqrib.
Kesembilan : Dari Thalhah bin Musharrif, dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abi ‘Ashim (1373) dengan sanad yang dha’if, dan ia adalah Muhajir bin ‘Umairah, demikianlah dalam ‘al-Jarh wat Ta’dil’ (IV/1/261) dari riwayat ‘Adi bin Tsabit Al-Anshari darinya. Dan tidaklah disebutkan padanya jarh maupun ta’dil, demikian pula pada ‘Tsiqaat Ibnu Hibban’ (III/256).

V) Abu Ayyub Al-Anshari, meriwayatkan padanya Riyah bin Al-Harits.
Dikeluarkan oleh Ahmad (V/419) dan Thabrani (4052,4053) dari jalan Hinsy bin Al-Harits bin Laqith an-Nakha’I dari Riyah bin al-Harits.
Albani berkata : “Sanadnyanya jayyid dan rijalnya tsiqat”.
Haitsami berkata : “Diriwayatkan Ahmad dan Thabrani, dan rijalnya Ahmad tsiqat.

VI) Al-Barra’ bin’Aazib, meriwayatkan padanya ‘Adi bin Tsabit.
Dikeluarkan oleh Ahmad dan putranya dalam Zawaid-nya (IV/281) dan Ibnu Majah (116) secara ringkas dari jalan Ali bin Zaid dari ‘Adi bin Tsabit. Rijalnya Tsiqat dan semuanya rijalnya Muslim kecuali Ali bin Zaid dan ia adalah Ibnu Jud’an dan ia adalah Dha’if.

VII) Ibnu ‘Abbas, meriwayatkan darinya ‘Amr bin Maimun secara Marfu’ tanpa tambahan.
Dikeluarkan oleh Ahmad (I/330-331) dan Hakim (III/132-134), ia berkata : “Isnadnya shahih dan Dzahabi mensepakatinya”.

VIII), IX) dan X) Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah.
Meriwayakan dari mereka ‘Amirah bin Sa’d. Dikeluarkan oleh Thabrani dan ‘ash-Shaghir’ (hal 33 no 112) dan dalam ‘al-awsath’ (no 2442) dari Ismail bin Amr, Mas’ar menerima dari Thalhah bin Mushrif dari ‘Amirah bin Sa’d, ia berkata, tidaklah diriwayatkan dari Mas’ar kecuali Isma’il.
Albani berkata : “Ia adalah dha’if” karenannya Haitsami berkata (IX/108) setelah dengan cerdiknya beliau menjama’nya, “dalam isnadnya layyin”.
Albani berkata : “Namun dikuatkan oleh thuruq lainnya dari Abu Hurairah dan Abu sa’id Al-Khudri, dan selain keduanya dari sahabat Nabi.”
Adapun Hadits Abu Hurairoh, meriwayatkan darinya Ikrimah bin Ibrahim al-‘Azdiy, menceritakan padaku Idris bin Yazid al-‘Awdiy dari ayahnya. Dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Awsath (1105) dan ia berkata, tidak diriwayatkannya dari Idris kecuali Ikrimah.
Albani berkata : “Ia adalah dha’if”.
Adapun Hadits Abu Sa’id, meriwayatkan padanya Hafsh bin Rasyid, menerima Fudhail bin Marzuq dari ‘Utbah dari ayahnya, dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Awsath (8599), dan ia berkata : “Tidak meriwayatkannya dari Fudhail melainkan Hafsh bin Rasyid”.
Albani berkata : “Hadits ini memiliki banyak thuruq” dan beliau mengumpulkan thuruqul haditsnya dan mentashhihnya.
Beliau berkata lagi : “Jika kalian telah mengetahui hal ini, sesungguhnya saya terdorong untuk menjelaskan perkataan atas hadits ini dan menerangkan keshahihannya, dikarenakan aku melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dimana beliau telah mendha’ifkan bagian pertama dari hadits ini dan adapun bagian kedua beliau menuduhnya dusta (lihat ‘Majmu’ Fatawa’ (IV/417-418)). Hal ini termasuk diantara sikap berlebih-lebihannya beliau, dan menurut asumsiku/perkiraanku hal ini disebabkan karena ketergesa-gesaan beliau dalam mendha’ifkan hadits ini sebelum menjama’ thuruqnya dan meneliti secara mendalam terhadapnya. Wallahul Musta’an!

Kesimpulan : Hadits di atas shahih setelah pengumpulan thuruqul hadits­-nya.

TANBIH (PERINGATAN PENTING) :
Imam Albani berkata : “Adapun yang disebutkan oleh Syi’ah dalam hadits ini dengan tambahan lafazh yang lain, bahwasanya Nabi bersabda, “Sesungguhnya ia adalah khalifahku sepeninggalku nanti”, maka lafazh (tambahan) ini tidak shahih dari segala penjuru/sisi, bahkan padanya memiliki kebathilan yang banyak, yang menunjukkan kejadian/peristiwa tersebut di atas kedustaan.
Seandainya memang benar Nabi bersabda demikian, pastilah akan terjadi, karena tidaklah beliau mengucapkan sesuatu melainkan dari wahyu yang diwahyukan oleh Allah dan Allah tak pernah menyelisihi perkataannya/janjinya.”
Dan telah dikeluarkan hadits-hadits dusta ini dalam kitab lainnya milik Imam Albani, yakni ‘adh-Dha’ifah’ (4923,4932).
Lucunya, dengan hadits dusta dan munkar ini, syi’ah mengklaim bahwa ‘Ali adalah khalifah setelah Rasulullah, sedangkan Abu Bakar dan Umar mengkhianati Ali dan mengkhianati sabda Rasulullah dengan merampas hak wilayah Ali, maka sungguh mereka (syi’ah) itu telah melakukan:
  1. Kedustaan atas nama Allah dan Rasul-Nya.
  2. Kedustaan atas nama Ali dan sahabat-sahabatnya.
  3. Mengingkari firman Allah subhanahu wa Ta’ala bahwa tidaklah Muhammad itu berkata kecuali dari wahyu yang diwahyukan.
  4. Mendustakan kebenaran sabda Nabi.
  5. Menuduh Allah Ta’ala tidak amanah dengan perkataan dan janji-Nya.
  6. Menuduh Rasulullah berdusta karena sabdanya tidak terlaksana.
  7. Menuduh, menfitnah dan mencela sahabat-sahabat Rasulullah yang mulia.
  8. Mendustakan hadits-hadist Nabawi yang shohih.
  9. Mengada-adakan sesuatu di dalam Islam yang tak pernah dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
  10. Mengkafirkan sahabat Rasulullah, melaknat mereka dan mengkafirkan ahlus sunnah wal jama’ah.
Maka wajib atas kita, baro’ terhadap kesesatan dan kekufuran mereka (syi’ah) atas tuduhan dan pengada-adaan yang mereka lakukan di dalam dien ini.
Allahumman-shur man nashoro dien wakh-dzul man khadzalahu.!!!
Ya Alloh tolonglah hamba-Mu yang membela agama-Mu dan hinakanlah mereka yang menghinakan agama-Mu

(diringkas dari Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah IV/330-334/1750)
sumber:http://abusalma.wordpress.com/2007/03/26/ghadir-khum-antara-keyakinan-syiah-dan-ahlus-sunnah/