Hadits Ghadir Khum yang shohih Menurut Ahlissunnah
Hadits Ghodir Khum yang Shohih Menurut Ahlussunnah:
ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﻐﺪﻳﺮ :
ﻭﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﺻﻠﻪ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ
ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﺭﻗﻢ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻨﻪ – ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ”: ﻗﺎﻡ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻮﻣﺎ
ﻓﻴﻨﺎ ﺧﻄﻴﺒﺎ ﺑﻤﺎﺀ ﻳﺪﻋﻰ ﺧﻤﺎ ﺑﻴﻦ
ﻣﻜﺔ ﻭﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻓﺤﻤﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﺛﻨﻰ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﻭﻋﻆ ﻭﺫﻛﺮ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ : ﺃﻳﻬﺎ
ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﺃﻧﺎ ﺑﺸﺮ ﻳﻮﺷﻚ ﺃﻥ
ﻳﺄﺗﻲ ﺭﺳﻮﻝ ﺭﺑﻰ ﻓﺄﺟﻴﺐ ﻭﺃﻧﺎ ﺗﺎﺭﻙ
ﻓﻴﻜﻢ ﺛﻘﻠﻴﻦ : ﺃﻭﻟﻬﻤﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ
ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻬﺪﻯ ﻭﺍﻟﻨﻮﺭ ﻓﺨﺬﻭﺍ ﺑﻜﺘﺎﺏ
ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﺳﺘﻤﺴﻜﻮﺍ ﺑﻪ ( ﻓﺤﺚ ﻋﻠﻰ
ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﻏﺐ ﻓﻴﻪ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ) ﻭﺃﻫﻞ
ﺑﻴﺘﻲ ﺃﺫﻛﺮﻛﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ
ﺃﺫﻛﺮﻛﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ
ﺃﺫﻛﺮﻛﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ ” .
ﻭﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﻃﺮﻕ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﻥ
ﺍﻟﻨﺒﻲ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻣﺮ
ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ ﻓﺄﺧﺬ ﺑﻴﺪ ﻋﻠﻲ – ﺭﺿﻲ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ – ﻓﻘﺎﻝ ”: ﺃﻟﺴﺖ ﺃﻭﻟﻰ
ﺑﺎﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ؟ ﻗﺎﻟﻮﺍ :
ﺑﻠﻰ . ﻗﺎﻝ ﺃﻟﺴﺖ ﺃﻭﻟﻰ ﺑﻜﻞ ﻣﺆﻣﻦ
ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﺑﻠﻰ ﻗﺎﻝ : ﻓﻬﺬﺍ
ﻭﻟﻲ ﻣﻦ ﺃﻧﺎ ﻣﻮﻻﻩ ، ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻭﺍﻝ
ﻣﻦ ﻭﺍﻻﻩ ، ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻋﺎﺩ ﻣﻦ ﻋﺎﺩﺍﻩ
” .
ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ” ﻣﻦ ﻛﻨﺖ ﻣﻮﻻﻩ
ﻓﻌﻠﻲ ﻣﻮﻻﻩ “
masalah berdalil dengan hadits Ghadir khum maka ada banyak bantahannya, yaitu:
a. tidak ada dalam hadits ghadir isyarat sekecil apapun bahwa Nabi mengangkat Ali atau lainnya dari ahlil bait sebagai Khalifah atau imam. Sebab wurud hadits adalah karena ada beberapa orang yang berbicara menggunjing sahabat Ali radhiyallahu a’nhu karena telah melarang mereka untuk menggunakan onta zakat dan meminta mereka mengembalikan perhiasan-perhiasan yang dilepaskan untuk mereka oleh wakilnya. Maka ketika nabi saw pulang dari haji di tempat yang namanya Ghadir Khum beliau berkhutbah membersihkan nama Ali dan meninggikan kedudukannya di sisinya agar hilang apa yang ada di hati banyak orang.
b. tidak ada seorang sahabat pun yang memahami dari hadits ini bahwa Ali ditunjuk menjadi khalifah, tidak secara tersurat maupun tersirat. Oleh karena itu saat mereka berkumpul di SAQIFAH BANI SAIDAH (waktu membaiat Khalifah Abu Bakar assiddiq ra) tidak ada seporang pun yang berhujjah dengan hadits ini, karena memang para sahabat ra memahami bahwa al-maula yang ada hadits ini adalah untuk kecintaan dan kesetiaan. Bukan untuk imamah dan imarah. Bahkan Ali ra sendiri mengingkari orang yang memanggilnya dengan ya mawlana. Seandainya beliau memahami bahwa kata mawlana sinonim dari ya amirana ya imamana tentu beliau tidak mengingkari mereka.
c. antara peristiwa Ghadir dan wafat Nabi saw kira-kira hanya 70 hari, ini dengan ijma’nya orang syiah sebab mereka mengatakan bahwa peristiwa itu tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10. berdasarkan kesepakatan bahwa wafatnya Rasul tanggal 28 shafar tahun 11, jadi jaraknya hanya 70 hari. Apakah masuk akal jika seluruh sahabat dalam waktu yang singkat ini melupakan hadits ini?!!. Bagaimana mungkin 100 ribu sahabat itu- seperti yang diyakini syiah- setelah 70 hari saja melupakan baiat yang telah mereka lakukan bersama nabi mereka?!! Sungguh tidak ada duanya kejadian seperti ini dalam sejarah manusia!!! Maka jika faktor untuk mengutip hadits itu ada dan penghalang dari itu tidak ada, tetapi tetap hadits itu tidak muncul maka ini menunjukkan kalau nash itu benar-benar tidak ada!!!
d. kata mawla menurut ibnul atsir bisa berarti:
ﺍﻟﺮﺏ ﻭﺍﻟﻤﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﻤﻨﻌﻢ ﻭﺍﻟﻨﺎﺻﺮ ﻭﺍﻟﻤﺤﺐ
ﻭﺍﻟﺤﻠﻴﻒ ﻭﺍﻟﻌﺒﺪ ﻭﺍﻟﻤﻌﺘﻖ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﻌﻢ
ﻭﺍﻟﺼﻬﺮ
“Tuhan, Yang Memiliki, Yang memberi nikmat, penolong, mencintai, sekutu, hamba/budak, orang yang memerdekakan budak, saudara sepupu, dan menantu.” Kalau nabi saw ingin mengangkatnya menjadi khalifah tentu tidak menggunakan istilah yang mengandung banyak makna, lebih utama kalau nabi yang sangat fashih dan nashih itu mengatakan: “Khalifah adalah Ali”.
e. yang dimaksud dengan “Man kuntu mawlahu fa aliyy mawlahu” adalah kecintaan dan kesetiaan serta wasiat untuk berbuat baik kepada ahlul bait, dan menjelaskan tingginya kedudukan ahlul bait. Tidak ada dalam redaksi maupun mafhumnya bahwa Ali adalah imam atau khalifah!
f. seandainya Nabi saw menginginkan awla tentu tidak akan mengatakan mawla akan tetapi akan mengatakan awla. Kalau kita mengalah bahwa maksud dari mawla adalah awla niscaya maksudnya adalah bukan wilayah, hukum dan kepemimpinan mengatur urusan kaum muslimin, karena Allah
telah berfirman:
{ ﺇﻥ ﺃﻭﻟﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺈﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻟﻠﺬﻳﻦ
ﺍﺗﺒﻌﻮﻩ ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻭﺍﻟﻠﻪ
ﻭﻟﻲ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ }
Maka apakah para pengikut Nabi Ibrahim menjadi pemimpin atas Nabi Ibrahim? Atau apakah para
pengikut Ibrahim menjadi pemimpin semua?
g. sebagian ulama syiah sendiri menolak jika hadits Ghadir khum diartikan sebagai pernyataan atas
imamah Ali setelah Rasulullah saw. An-Nuri al-Thubrusi berkata:
:” ﻟﻢ ﻳﺼﺮﺡ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻟﻌﻠﻲ ﺑﺎﻟﺨﻼﻓﺔ ﺑﻌﺪﻩ
ﺑﻼ ﻓﺼﻞ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻐﺪﻳﺮ ﻭﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟﻴﻬﺎ
ﺑﻜﻼﻡ ﻣﺠﻤﻞ ﻣﺸﺘﺮﻙ ﺑﻴﻦ ﻣﻌﺎﻥ ﻳﺤﺘﺎﺝ
ﻓﻲ ﺗﻌﻴﻴﻦ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻣﻨﻬﺎ ﺇﻟﻰ
ﻗﺮﺍﺋﻦ
h. adapun riwayat dengan lafazh “wa huwa waliyyukum min ba’di” maka telah didhaifkan oleh
para pakar hadits. Ia datang dari 2 jalur, dalam sanadnya ada ja’far ibn Sulaiman dan Ajlaj al-Kindiy
yang sangat lemah.
Adapun tambahan min ba’di maka kata al-Mubarakfuri adalah tambahan dari dua perawi syiah
tadi. Kbeliau berkata:
:” ﻭﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻥ ﺯﻳﺎﺩﺓ ) ﺑﻌﺪﻱ ( ﻓﻲ
ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ ﻭﻫﻢ ﻫﺬﻳﻦ ﺍﻟﺸﻴﻌﻴﻴﻦ
ﺟﻌﻔﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﻭﺍﻷﺟﻠﺢ ﻭﻳﺆﻳﺪﻩ ﺃﻥ
ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺭﻭﻯ ﻓﻲ ﻣﺴﻨﺪﻩ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻣﻦ ﻋﺪﺓ ﻃﺮﻕ ﻟﻴﺴﺖ ﻓﻲ
ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻣﻨﻬﺎ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ
i. meskipun kita anggap benar misalnya maka hadits ini bertentangan dengan keyakinan orang syiah sebab mereka meyakini keimamahan Ali semenjak Nabi masih hidup berdasarkan ayat
{ ﺇﻧﻤﺎ ﻭﻟﻴﻜﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ
ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻘﻴﻤﻮﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻳﺆﺗﻮﻥ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ
ﻭﻫﻢ ﺭﺍﻛﻌﻮﻥ
Lalu bagaimana ada tambahan “min ba’di?!”
(AH) 9 R. Akhir 1431 H
sumber : http://old.gensyiah.com/hadits-ghadir-khum-yang-shahih-menurut-ahlissunnah.html
Hadits Ghadir Khum dalam Pandangan Sunni
Oleh: Zahrul Bawady M. Daud
Membahas masalah imamah/khalifah (khususnya khulafaur rasyidin) serta
pertentangan antara Sunni dan Syiah, pada akarnya akan membawa kita
kepada satu peristiwa terkenal yang disebut dengan Ghadir Khum (غدير
خم), sebuah lembah antara Makkah dan Madinah. Peristiwa ini semakin
populer karena landasan imamah yang dikenal dalam konsep akidah Syiah
ada di sini. Meski sebagian kalangan Sunni tidak terlalu familiar dengan
peristiwa tersebut, kecuali mereka yang memfokuskan diri kepada hadits
dan sejarah.
Keotentikan Hadits
Dalam literatur Islam hadits Ghadir Khum ini berbunyi من كنت مولاه
فعلي مولاه. Sementara hadits ini memiliki jalur periwayatan yang cukup
banyak. Hadits ini diriwayatkan di dalam Musnad Imam Ahmad 2/71 nomor
641. Di dalam Musnad Ahmad, Hadits ini masuk kategori Shahih Lighairih,
karena memiliki sanad yang shahih dari jalur periwayatan lain yang
mencapai 30 sahabat. Imam Dzahabi di dalam Siyar A'lam Nubala menyebut
matan hadits ini mutawatir (8/335)
Hadits tersebut juga diriwayatkan di dalam Mustadrak Hakim 3/109-110
yang mengambil jalur Imam Ahmad dari Zaid bin Arqam. Hadits ini malah
disebut shahih atas syarat Imam Bukhari dan Muslim.I mam Dzahabi di
dalam Mukhtashar Istidrak Dzahabi Ala Mustadrak Hakim menyebut bahwa
hadits ini memiliki 12 jalur periwayatan.Hadits ini juga diriwayatkan
oleh Imam Turmudzy dalam Sunan 10/214, Nasai dalam Khashaish, hal. 96,
Imam Bazzar dalam Musnad 3/189, Ibn Hibban dalah Shahih Ibn Hiban nomor
2205 dan jalur periwayatan lain sebagaimana tertera di dalam kitab-kitab
hadits.
Maka tidak ada keraguan tentang keotentikan hadits ini sebagaimana
telah dijelaskan oleh berbagai ulama lintas zaman. Walaupun sanad pada
beberapa jalur periwayatan dianggap memiliki cacat akan tetapi memiliki
penopang melalui riwayat lain.
Amat penting bagi kita untuk melihat keotentikan hadits sebelum
membahas pemaknaannya. Karena distorsi hadits tidak hanya terjadi pada
sanad (jalur riwayat), akan tetapi matan. Adakalanya matan (subtansi)
isinya benar, namun itu ternyata bukan hadits nabi. Pembahasan ini tentu
akan lebih banyak kita dapati ketika kita membahas sebab dan sejarah
hadits palsu di dalam Islam.
Pemahaman Hadits Versi Syiah
Hadits Ghadir Khum ini sangat populer di kalangan Syiah sebagai dalil
keabsahan Ali Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah sepeninggal
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sampai sampai seorang ulama
kontemporer, Abdul Hasan Umainy dari Syiah mengarang sebuah kitab
berjudul Al Ghadir fil Kitab wa Sunnah wal Adab dalam enam jilid.
Di Ghadir Khum ini menurut versi Syiah, nabi menyampaikan salah satu
risalah wahyu sesuai yang diamanahkan oleh Allah dalam Surah Al Maidah
:67. Menurut kalangan Syiah, ayat ini turun setelah nabi menyebutkan
hadits di atas.
Lebih lanjut, Al Majlisi dalam Bihar Anwar juga mengomentari hadits
Ghadir dimana ketika itu kaum muslimin berkumpul dan nabi bersabda,
"Wahai manusia, bukankah aku lebih utama bagi seorang mukmin daripadanya
dirinya sendiri? Lalu mereka menjawab, benar. Kemudian nabi
melanjutkan, من كنت مولاه فعلي مولاه.
Dan menurut mereka, setelah Allah menurunkan wahyu terakhir (Alyauma
akmaltu lakum..), maka rasul mengatakan Maha besar Allah yang telah
menyempurnakan agama dan memilih Ali sebagai pemimpin setelahku.
(Ghadir… 1/11).
Thibrisy di dalam A'lam Wara halaman 169-170 memberikan asbab wurud
(sebab turunnya)hadits ini yang tak lain dan tak bukan adalah imamah
Imam Ali sepeninggal nabi, karena tidak mungkin memberikan makna
kenabian, maka yang paling tepat adalah imam. Walaupun ada sebagian
kalangan Syiah yang menganggap Ali sederajat dengan Nabi.
Dalam konsep Syiah, hadits Ghadir ini tak pelak menjadi pegangan
utama mereka dalam memberikan hak khilafah "wajib" kepada Imam Ali.
Karena menurut mereka sangat jelas sabda nabi yang mengatakan bahwa
siapa yang menganggap aku sebagai maulah (pemimpinnya-versi Syiah-),
maka Imam Ali adalah pemimpinnya.
Kepemimpinan Imam Ali sepeninggal nabi dan keturunannnya menurut
Syiah tidak boleh diingkari dan menjadi hak utama. Di dalam Abhal Madad
Fi Syarah Ulama Baghdad:116 disebutkan wajibnya hak-hak tersebut
ditunaikan dan menjadi akidah umat Islam.
Pemahaman Sunni Pada Tafsir Ayat dan Hadits
Haris Suhaimi di dalam Tautsiq Sunnah Baina Syiah wa Ahli Sunnah
menyebutkan bahwa pengakuan bahwa kedua ayat tersebut tersebut turun di
Ghadir sangat bertentangan dengan konteks ayat tersebut secara
keseluruhan. Dalam pemahaman ahli tafsir Terutama pada surat Al
Maidah:67 dimana melihat kenyataan bahwa ayat sebelumnya semua ditujukan
untuk mencela ahlul kitab dan menjelaskan keingkaran mereka. Al
Thabariy mengatakan bahwa ayat ini turun untuk memerintahkan nabi
mendakwahi ahlul kitab yang disebutkan oleh ayat sebelumnya (Jami' Al
Bayan 6/307 ).
Sedangkan ayat "Al yauma akmaltu lakum…" itu turun di Arafah, ini
juga diakui oleh seorang yang dianggap muhaddits dalam kalangan Syiah,
Syaikh Kulaini di dalam Ushul Kafy. Demikian juga dikuatkan oleh Thabary
yang mengatakan ayat ini turun hari Jumat pada hari Arafah, tepatnya
ketika haji Wada'. Walaupun demikian, ada beberapa Ahli Tafsir mencoba
menggabung beberapa periwayatan asbab nuzul hadits ini, diantaranya Al
Alusy di dalam Ruhul Ma'any.
Kembali ke hadits Ghadir Khum. Kata "maulah" yang terkandung di dalam
hadits tersebut tidak kurang mengandung 23 makna menurut Ibnu Mandhur
di dalam Lisanul Arab. Dan kita harus melihat konteks hadits tersebut
untuk memastikan makna mana yang dimaksud .Setelah diteliti oleh ulama
Sunni, makna yang paling tepat adalah makna mahabbah (kecintaan). Karena
setelah kata kata فعلىي مولاه disambung dengan sabda nabi اللهم وال من
والاه و عاد من عاداه (Sanyangilah orang yang menyayanginya dan bencilah
orang yang yang membencinya).
Ini jika kita teliti melihat konteks hadits tersebut. Apabila kita
maknakan secara makna khalifah atau pemimpin, maka penggalan hadits ini
setelahnya akan sangat paradoks dan tidak berdasar.
Haidar Ali dalam Tahqiq Haula Nushsush Imamah menjelaskan kelemahan
makna pemimpin dalam maksud hadits akibat hadits tersebut tidak diikat
dengan kata kata بعدى (setelahku). Katakanlah jika yang dimaksud di sini
mungkin benar bermakna pemimpin, maka ketika itu akan terdapat dua
kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Nabi dan Imam Ali, dan tentu kita tidak
ada yang sepakat dalam hal ini.
Di dalam I'tiqad Ala Madzhab Ahlus Sunnah wa Al Jama'ah: 205 Imam
Baihaqi menuturkan sebuah riwayat. Ketika Hasan bin Hasan bin Ali bin
Abi Thalib ditanyakan kepadanya, Bukankan Nabi Muhammad telah mengatakan
من كنت مولاه فعلي مولاه, lantas Imam Hasan menjawab, sekiranya yang
dimaksud oleh Nabi adalah pemimpin, maka Nabi akan menjelaskannya secara
lebih terperinci, sebagaimana dijelaskannya perkara wajibnya shalat,
puasa dan zakat.
Salah satu bukti nyata bahwa hadits Ghadir ini tidak mengandung makna
khalifah adalah ketika terjadi Musyawarah Bani Tsaqifah yang pada
akhirnya membaiat Abu Bakar sebagai Khulafaur Rasyidin pertama, tidak
ada seorang pun sahabat yang menggunakan dalil ini untuk mengangkat Imam
Ali. Padahal peristiwa Ghadir Khum dan wafatnya Nabi hanya sekitar 70
hari saja dalam catatan sejarah. Padahal, sahabat ini sangat memahami
hadits ini dengan baik, lagipun mereka tak akan bersepakat di dalam
kesesatan.
Efek Perbedaan Tafsir
Perbedaan tafsir dan pemaknaan baik dari Ayat maupun hadits membawa
efek besar dalam akidah di kemudian hari. Inilah sebabnya perpecahan itu
terkadang tidak dapat disatukan. Lazimnya perkataan Syaikh Ali Al
Shabuni yang berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu.
Mulanya dalam hemat penulis, pandangan Syiah melaknat bahkan
mengkafirkan sahabat hanyalah klaim sepihak dari anti-Syiah saja.Akan
tetapi setelah adanya referensi dan telaah yang sedikit mendalam,
akhirnya kita temukan bahwa fenomena tersebut tidak hanya asal tuduh,
namun dibuktikan di dalam kitab-kitab karya ulama Syiah sendiri.
Al Bahrany di dalam Syihabun Tsaqib:172 yang dianggap muhadits Syiah
bahkan menganggap bahwa khalifah sebelum Imam Ali adalah pencuri. Lebih
jauh, Nurullah Tustury di dalam Shawarim Al Muhriqah:5 menyebut khalifah
yang tiga (Abu Bakar, Umar dan Usman) sebagai orang yang melahirkan
permusuhan dan kedhaliman.
Di dalam sebuah kitab yang amat terkenal, Syarah Ushul Kafy karya
Maula Muhammad Shalih 5/112 disebutkan bahwa "khalifah adalah hak ahlul
bait, kemudian datang sekelompok pencuri yang akal dan daging mereka
berkembang dalam menyembah patung." Dalil -dalil penghinaan terhadap
sahabat oleh Syiah juga dapat kita temukan di banyak referensi Syiah,
seperti Tanzih Anbiya oleh Syarih Murtadha, Syafi, Al Arba'in, karya
Muhammad Thahir Al Qamy yang menyebut propaganda Bani Tsaqifah untuk
merebut hak Imam Ali. Bahkan Muhammad Baqir Al Majlisi di dalam Haqqul
Yaqin:367 menyebut Abu Bakar dan Umar layaknya Fir'un dan Hamman.
Na'udzubillah.
Lebih jauh, Jamil Hamud di dalam Fawaid Bahiyah Fi Syarh Akidah
Imamiah menyebut bahwa Imamiah adalah bagian dari ushuluddin, serta
wajibnya menyerahkan kekhalifahan kepada Imam Ali dan Ahl Bait jika
ingin keselamatan iman.
Kita, tidak menolak hadits Ghadir Khum, sebagaimana kita tidak
menolak untuk mencintai ahlul bait. Tetapi sebagai ummat Islam, kita
harus menolak segala penyimpangan dan distorsi sejarah yang
berkembang.Wallahu A'lam.
*Alumni Dayah Bustanul Ulum Langsa, Santri Al Azhar Kairo
*Alumni Dayah Bustanul Ulum Langsa, Santri Al Azhar Kairo
=======================
Pertanyaan:
Bagaimana
mungkin seratus ribu lebih jumlah sahabat yang hadir di Ghadir Khum dan
mendengarkan hadis al-Ghadir namun tiada satu pun dari mereka yang
melontarkan kritikan dan protes di Saqifah?
Jawaban Global:
Akar peristiwa al-Ghadir menurut nukilan sejarah merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dan dibuktikan validitasnya. Para
penulis sejarah dengan merekam pelbagai peristiwa dan menukil
turun-temurun kisah ini dan menjadi sandaran masyarakat melalui jalan
yang beragam, mengakui kebenaran masalah ini.
Sedemikian
masalah ini argumentatif sedemikian sehingga ia dapat dijumpai pada
sastra, teologi, tafsir, dan bahkan kitab-kitab hadis standar Ahlusunnah
dan Syiah dimana Nasai salah seorang ulama besar Ahlusunnah menukil
hadis ini melalui 250 sanad.
Terlepas
dari itu, berhimpunnya masyarakat sedemikian besar di Ghadir Khum bukan
merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa al-Ghadir
terjadi pada tahun sepuluh Hijriah dimana dengan menyebarnya tabligh
untuk Islam banyak orang yang condong untuk memeluk Islam Terkhusus
kewajiban Haji yang merupakan salah satu syiar Ilahi, Nabi Saw
mengumumkan pada tahun itu bahwa beliau akan ikut serta dalam musim haji
tahun itu dan secara langsung beliau sendiri yang akan mengajarkan
hukum-hukum haji pada tahun itu.
Sekarang
pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa masyarakat yang sedemikian
besar, tidak melancarkan protes dan memilih jalan untuk bungkam di
hadapan penyelewengan Saqifah!? Bukankah hal ini menegaskan bahwa hadis
Ghadir tidak menandaskan dan menunjukkan wilayah Imam Ali As?!
Dalam
menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa sejatinya secara umum
tiadanya protes para sahabat di Saqifah dapat digugurkan dan dibatalkan;
karena para sahabat besar seperti Salman, Miqdad, Thalha dan sebagainya
melancarkan protes kepada para pembesar Saqifah dan bahkan Zubair
menghunuskan pedangnya di hadapan para pembesar Saqifah.
Dalam
masalah ini, terdapat ragam kelompok sahabat dalam menyikapi hadis
al-Ghadir. Ada sekelompok sahabat yang memilih untuk diam; atau demi
untuk menjaga kemaslahatan dan menghindar dari perpecahan dan
perberaian, seperti yang dilakukan Abbas paman Nabi Saw, atau di antara
mereka ada yang gentar dan takut dari ancaman para antek khalifah ketika
itu. Atau di antara mereka banyak mendapatkan keuntungan dengan
berkuasanya kelompok Saqifah. Seperti banyak di antara sahabat yang baik
atau mereka yang dari golongan Bani Umayyah. Sebagaimana terdapat
kelompok lainnya bukan karena ancaman atau larangan, karena mereka
mengenal Ali sebagai penguasa yang ingin menyebarkan keadilan, mereka
menolak untuk menentang penyimpangan di Saqifah ini. Dan terakhir,
sebagian dari mereka juga, didasari oleh kebodohan dan ketidaktahuan,
mengira bahwa Abu Bakar itu adalah Ali As yang dipilih oleh Nabi Saw
sebagai khalifah oleh karena itu mereka memilihnya sebagai khalifah dan
membaiatnya.
Imam Ali
juga sesuai dengan wasiat Nabi Saw bertugas untuk tidak membiarkan
komunitas Muslimin ini bercerai-berai dan terpecah belah, karena itu
beliau puluhan kali melancarkan protes pada pelbagai kesempatan dengan
bersandar pada hadis al-Ghadir meski protes dan penentangannya ini
terbatas pada penentangan lisan saja.
Jawaban Detil
Dalam
menjawab pertanyaan ini terdapat dua kemungkinan: Kemungkinan pertama
yang dapat diasumsikan adalah bahwa tiada dari kalangan sahabat yang
melancarkan protes terhadap keputusan Saqifah dan adanya
pengingkaran terhadap akar peristiwa al-Ghadir; Kemungkinan kedua yang
dapat diasumsikan adalah tentang akar peristiwa al-Ghadir dan tiadanya
protes para sahabat serta pengingkaran terhadap petunjuk hadis al-Ghadir
atas wilayah (khilafah) Imam Ali As.
Untuk
menjawab dua kemungkinan ini cukup bagi kita menetapkan akar peristiwa
Saqifah melalui nukilan sejarah sebagaimana berikut ini.
Banyak kitab-kitab sejarah dari kalangan Sunni dan Syiah mengakui nukilan peristiwa al-Ghadir ini[1] dan memandangnya sebagai sesuatu yang pasti telah terjadi dalam sejarah kaum Muslimin.
Khalil
Abdulkarim, salah seorang ulama kiwari Ahlusunnah, dalam pembahasan
pengumpulan al-Qur’an, menulis: “Bilangan para sahabat Nabi Saw, pada
haji al-Widâ’ (haji perpisahan, dimana peristiwa al-Ghadir terjadi ketika itu) adalah sejumlah seratus dua puluh empat ribu.”[2] Demikian juga Ibnu Katsir menulis, “Riwayat-riwayat dan hadis-hadis tentang peristiwa Ghadir Khum sangat mutawatir dan kami menukil peristiwa tersebut, sesuai dengan kemampuan kami (sebagian darinya).[3]
Terlepas
dari kitab-kitab sejarah yang disebutkan, dalam kitab-kitab hadis
Ahlusunnah, terdapat banyak riwayat yang menukil hadis Ghadir ini.
Sebagian dari mereka menyebutkan hadis ini dengan satu kandungan dengan
jalan yang berbeda-beda. Dimana sebagai contoh, Nasai menukil hadis ini
dengan dua ratus lima puluh sanad.[4]
Kesemua
ini merupakan bukti atas banyaknya jumlah sahabat pada peristiwa Ghadir
Khum sehingga tidak menyisakan lagi keraguan dan sangsi, bukan pada
akar peristiwa Ghadir, juga bukan pada banyaknya jumlah bilangan sahabat
yang hadir ketika itu.
Terlepas
dari itu, berkumpulnya manusia sedemikian besar dan banyak di Ghadir
Khum ini bukan merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa
Ghadir Khum, terjadi di daerah yang bernama Rabigh,[5] sebuah daerah yang letaknya kurang-lebih dua ratus kilometer dari Mekkah. Sebuah persimpangan jalan-jalan menuju Irak, Madinah,[6]
Mesir dan Yaman. Dengan demikian, seluruh haji tatkala mereka usia
menunaikan ibadah haji, mau-tak-mau, harus melintasi daerah ini untuk
kembali ke tempat mereka masing-masing.
Dari
sudut pandang kondisi waktu juga harus dikatakan bahwa peristiwa Ghadir
Khum, terjadi pada 18 Dzul-Hijjah akhir bulan tahun ke-10 Hijriah.[7]
Namun pada tahun itu, jumlah orang yang hadir lebih banyak dari
pelaksanaan haji sebelumnya. Hal ini dikarenakan banyak ayat yang
diwahyukan bahwa haji merupakan salah satu dari syiar Allah, dan dengan
gencarnya tabligh Islam, banyak masyarakat dari pelbagai strata yang
memeluk agama Ilahi ini.
Dari
sisi lain, karena Nabi Saw menginstruksikan sebelum berangkat haji
untuk mengumumkan bahwa beliau sendiri akan turut serta pada musim haji
tahun itu dan mengajarkan langsung hukum-hukum haji.[8]
Seluruh
sebab-sebab ini berujung hingga tahun tersebut, jumlah bilangan haji
sangat banyak dari tahun-tahun sebelumnya dan karena peristiwa Ghadir
Khum terjadi di Rabigh, lantaran kaum Muslimin belum lagi berpencar
untuk pulang ke daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, peristiwa
Ghadir Khum merupakan sebuah perhelatan akbar dan tiada duanya dalam
sejarah kaum Muslimin.
Kemungkinan
kedua bahwa bagaimana mungkin para sahabat meski mereka melihat
peristiwa Ghadir Khum secara langsung dan mendengar sabda Rasulullah Saw
serta baiat yang disampaikan kepada Ali As, mereka malah memilih orang
lain untuk urusan khilafah yang merupakan urusan Ilahi ini? Hal ini
menegaskan bahwa hadis Ghadir Khum tidak menunjukkan pada wilayah
(khilafah) Imam Ali As.[9]
Dalam
menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa, klaim tiadanya protes
para sahabat terkait peristiwa Ghadir Khum merupakan klaim yang tidak
benar. Dan tidak sedikit para pengikut sejati yang tetap setia memegang
teguh baiat dan ikrar mereka serta melarang para pembesar Saqifah dari
tindakan berbahaya mereka.
Imam
Ali As yang menjalankan wasiat Nabi Saw untuk tidak membiarkan kaum
Muslimin bertikai dan berpecah belah, karena itu beliau hanya melakukan
penentangan lisan dan tidak mengangkat senjata untuk melaksanakan titah
Ghadir Khum. Beliau tidak membaiat Abu Bakar selama Fatimah As masih
hidup. Tatkala Fatimah As syahid, Imam Ali terpaksa dan berdasarkan pada
kemaslahatan memberikan baiat kepada Abu Bakar. Namun beliau
menyampaikan protes lisannya pada pelbagai kesempatan dengan bersandar
pada hadis Ghadir.
Sahabat-sahabat besar seperti Salman, Abu Dzar, Thalha, Zubair[10]
dan lainnya angkat suara menentang keputusan Saqifah dan tidak
memberikan baiat mereka kepada Abu Bakar. Melainkan mereka tidak
mencukupkan diri saja dengan protes ini, bahkan mereka menghunus pedang
di hadapan para pembesar Saqifah.[11]
Sebagian
lainnya seperti Abbas paman Nabi Saw, kendati ia tidak menyatakan
penentangan secara terang-terangan, karena ingin menghindar dari
pertumpahan darah dan perpecahan. Namun ia juga tidak menyatakan
sokongan terhadap pembesar Saqifah dan tidak memberikan baiat kepada
mereka.[12]
Dari
sebagian penentangan secara praktik, sekelompok besar sahabat dan juga
penyandaran berketerusan Imam Ali terhadap hadis Ghadir Khum pada
pelbagai kesempatan menandaskan bahwa apa yang ditegaskan oleh hadis
Ghadir ini sebagai penunjukan khilafah dan wilayah Amirul Mukminin As
adalah penunjukkan yang lengkap dan sahih.
Akan
tetapi masyarakat awam yang hadir pada peristiwa Ghadir Khum berada
pada dua posisi. Sebagian mereka banyak mengambil manfaat dari kejadian
Saqifah, atau dalam kondisi terpaksa atau mendapatkan ancaman sehingga
memberikan baiatnya kepada para pembesar Saqifah ini.[13]
Atau sebagian dari mereka, tidak mendapatkan keuntungan juga tidak
terpaksa memberikan baiat, namun mereka mengetahui bahwa mereka tidak
kuasa berada di bawah kekuasaan Ali bin Abi Thalib atau mereka memiliki
dendam kepadanya, karena kebanyakan dari kabilah orang-orang Kafir atau
Musyrikin yang terbunuh dalam pelbagai medan
perang. Sebagian lainnya disebutkan bahwa mereka memberikan baiat
kepada Abu Bakar karena dasar tidak tahu. Mereka adalah orang-orang yang
mendengar peristiwa Ghadir dan menyangka bahwa Abu Bakar itu adalah Ali
As yang mendapatkan rekomendasi wilayah dari Nabi Saw lalu mereka
membaiatnya.[14][]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Ghadir, Sanad-e Ghuyâ-ye Wilâyat, Geruh-e Ma’arif wa Tahqiqat-e Islami.
2. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, 11 jilid.
3. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, 1 jilid.
4. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islâm, Ja’far Subhani.
5. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim.
6. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qubi bin Ja’far bin Abi Wadhih.
7. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi.
8. Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, Muhammad Qul’aji.
9. Asrâr Âli Muhammad Saw, Salim bin Qais Hilali.
10. Farâid al-Simthain, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani.
11. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari.
12. Syarh Nahj al-Balaghah, Ibn Abil Hadid.
13. Jamal, Syaikh Mufid.
14. Syarh Ushul Kafi, Maula Muhammad Shalih Mazandarani.
15. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi.
[1]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Abi Ya’qub bin Ja’far bin Abi Wadhi, jil. 2, hal. 112.
[2]. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim, hal. 20.
[3]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi, jil. 5, hal. 213.
[4]. Ghadir, Sanad-e Ghuya Wilâyat, Geruh Ma’arif wa Tahqiqat Islami, hal. 15.
[5]. Ibid, hal. 7.
[6]. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, jil. 1, hal. 8.
[7]. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, hal. 222
[8]. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islam, Ja’far Subhani, hal. 504.
[9]. Saqifah berarti tempat yang memiliki atap untuk tempat berlidung. Mu’jam Lugha al-Fuqaha, Muhammad Qal’aji, hal. 264.
[10]. Farâidh al-Simthaîn, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, jil. 2, hal. 82.
[11]. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari, hal. 50.
[12]. Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, jil. 1, hal. 73.
[13]. Jamal, Syaikh Mufid, hal. 59; Syarh Ushul Kâfi, Maula Muhammad Shaleh Mazandarani, hal. 260.
[14]. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi, hal. 19-23.
sumber:http://www.islamquest.net/id/archive/question/fa1296
=======================
[2]. Mujtma’ al-Yatsrib, Khalil Abdulkarim, hal. 20.
[3]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Hafizh bin Katsir Dimasyqi, jil. 5, hal. 213.
[4]. Ghadir, Sanad-e Ghuya Wilâyat, Geruh Ma’arif wa Tahqiqat Islami, hal. 15.
[5]. Ibid, hal. 7.
[6]. Al-Ghadir, Syaikh Abdulhusain Amini, jil. 1, hal. 8.
[7]. Al-Tanbih wa al-Asyrâf, al-Mas’udi, hal. 222
[8]. Farâzha-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islam, Ja’far Subhani, hal. 504.
[9]. Saqifah berarti tempat yang memiliki atap untuk tempat berlidung. Mu’jam Lugha al-Fuqaha, Muhammad Qal’aji, hal. 264.
[10]. Farâidh al-Simthaîn, Ibrahim bin Muhammad Juwaini Khurasani, jil. 2, hal. 82.
[11]. Al-Saqifah wa al-Fadak, Abi Bakar Ahmad bin Abdulaziz Jauhari, hal. 50.
[12]. Syarh Nahj al-Balâgha, Ibn Abi al-Hadid, jil. 1, hal. 73.
[13]. Jamal, Syaikh Mufid, hal. 59; Syarh Ushul Kâfi, Maula Muhammad Shaleh Mazandarani, hal. 260.
[14]. Al-Mi’yâr wa al-Mawâzinih, Abi Ja’far al-Askafi, hal. 19-23.
sumber:http://www.islamquest.net/id/archive/question/fa1296
=======================
GHADIR KHUM
ANTARA KEYAKINAN SYIAH DAN AHLUS SUNNAH
Oleh Abu Salma al-Atsari
Rasulullah yang mulia Shallallahu ‘alahi wa ‘ala Ali wa Salam pernah bersabda :
من كنت مولاه فعلي مولاه, اللهمّ والى من واله وعادى من عاداه
”Barangsiapa
yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai
walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan
musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”
Dari hadits di atas, kaum Syi’ah mengklaim bahwa ’Ali-lah yang berhak atas wilayah (kekuasaan khilafah) setelah wafatnya Rasulullah yang mulia ’alaihi ash-Sholatu was Salam, benarkah demikian? Mari kita telusuri keabsahan hadits ini dan kesimpulannya…
TAKHRIJ HADITS GHADIR KHUM
من كنت مولاه فعلي مولاه, اللهمّ والى من واله وعادى من عاداه
”Barangsiapa
yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai
walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan
musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”
Hadits di atas warid dari banyak thuruq (jalur periwayatan) dari jama’ah Shahabat, seperti :
-
Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘anhu.
-
Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu.
-
Buraidah bin al-Hashib Radhiallahu ‘anhu.
-
‘Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu.
-
Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu.
-
Al-Barra’ bin ‘Aazib Radhiallahu ‘anhu.
-
Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘anhu.
-
‘Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu.
-
Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu.
-
Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu.
Tafshil (perincian) thuruqil hadits
I) Hadits Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘anhu. Padanya 5 thuruq :
Pertama : Dari Abi Thufail yang dikeluarkan oleh Nasa’i dalam Khoshoish ‘Ali hal 15, Hakim (III/109), Ahmad (I/118), Ibnu ‘Abi ‘Ashim (1365), Thabrani (hal. 4969-4970).
Berkata al-Hakim : “Shahih atas syarat Syaikhaini.”
Al-Albani berkata : “Dzahabi
mendiamkannya, di sanadnya terdapat Habib, dan ia adalah Mudallis, dan
ia ber’an’anah. Namun hadist ini tak bersendirian, karena ia memiliki
penyerta.” Diantaranya adalah :
-
Dari Fithr bin Khalifah yang dikeluarkan oleh Ahmad (IV/370), Ibnu Hibban dalam shahihnya 2205, Ibnu Abi ‘Ashim (1367,1368) dan Thabrani (4968).
Albani berkata : “Shahih menurut syarat Bukhori”.
Berkata al-Haitsami dalam Majmu’ (IX/104) : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, dan rijalnya shahih kecuali Fithr bin Khalifah, ia adalah Tsiqah.”
-
Dari Salamah bin Kuhail yang dikeluarkan oleh Turmudzi (II/298) dan ia berkata : “Hadits Hasan Shahih”.
Al-Albani berkata : “Isnadnya Shahih atas syarat syaikhaini”
-
Dari Harits bin Jubair dan ia adalah orang yang dha’if, dikeluarkan oleh Thabrani (4971)
Kedua : Dari
Maimun Abi Abdillah yang dikeluarkan Ahmad (IV/372) dan Thabrani (5092)
dari jalan Abu Ubaid, dikeluarkan Nasa’ i (hal 16) dari jalan A’masy
dan ‘Auf keduanya, dari Maimun tanpa lafadh “Allahumma waali…”.
Berkata Maimun, “Menceritakan kepadaku sebagian kaum dari Zaid bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, Allahumma…dst”.
Berkata Haitsami : “Diriwayatkan
Ahmad dan Bazzar, pada sanadnya terdapat Maimun Abu Abdullah Al-Bishri,
Ibnu Hibban mentsiqahkannya namun jama’ah (Muhaddits) mendhaifkannya”.
Albani berkata : “Hakim menshahihkannya” (III/125).
Ketiga : Dari Abu Sulaiman (Al-Mu’adzdzin) yang dikeluarkan oleh Ahmad (V/370).
Abul Qasim Hibatullah Al-Baghdadi dalam bagian kedua ‘Al-Amaaliy’ (20/2), ia berkata : “Hadits hasan matannya shahih”.
Berkata Haitsami (IX/107) : “Diriwayatkan
Ahmad, pada sanadnya terdapat Abu Sulaiman, dan aku tak mengetahuinya
kecuali (jika yang dimaksud) adalah Basyir bin Sulaiman, (jika benar
ia), maka ia adalah orang yang tsiqah dan sisanya adalah perawi tsiqah.”
Adapun Abu Israil adalah Ismail bin Khalifah, di dalam ‘At-Taqrib’ dinyatakan ia adalah ‘shaduq sedikit hapalannya’.
Albani mengatakan : “Hadits ini hasan dengan syawahid.”
Keempat : Dari Yahya bin Ju’dah yang dikeluarkan oleh Thabrani (4986) dan rijalnya tsiqat.
Kelima : Dari ‘Athiyah Al-‘Aufiy yang dikeluarkan oleh Ahmad (IV/368) dan Thabrani (5068-5071), dan rijalnya tsiqat termasuk rijal Muslim kecuali ‘Athiyah, ia adalah dha’if.
II) Hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, padanya terdapat 3 thuruq:
Pertama : Dari Abdirrahman bin Sabith secara Marfu’ yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban (121), berkata Al-Albani : “Isnadnya shaih”.
Kedua : Dari Abdul Wahid bin Aiman, dari ayahnya yang dikeluarkan oleh Nasa’i (Khashaish hal 16), Isnadnya Shahih, Rijalnya Tsiqat.
Ketiga : Dari
Khaitsamah bin Abdirrahman yang dikeluarkan oleh Hakim (III/116) dari
jalan Muslim Al-Mala`i, berkata Dzahabi dalam ‘Talkhish’ : “Hakim mendiamkan keshahihannya dan Muslim (al-Mala`i) adalah matruk”.
III) Buraidah bin Al-Hashib, padanya terdapat 3 thuruq :
Pertama :
Dari Ibnu Abbas, dikeluarkan oleh an-Nasa’i dan Hakim (III/110), Ahmad
(V/347) dari jalan Abdul Malik bin Abi ‘Athiyah, ia berkata, mengabarkan
pada kami Hakim dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas.
Albani berkata : “isnadnya shahih menurut syarat syaikhain”.
Kedua : Dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, dikeluarkan oleh Nasa’i dan Ahmad (V/350,358,361).
Albani berkata : “Isnad
ini shohih menurut syarat Syaikhaini atau Muslim, jika Ibnu Buraidah
yang dimaksud adalah Abdullah, maka ia termasuk rijalnya syaikhaini,
jika yang dimaksud adalah Sulaiman maka ia termasuk rijalnya Muslim.”
Dikeluarkan pula oleh Ibnu Hibban (2204).
Ketiga : Dari Thawus dari Buraidah tanpa lafadh “Allahumma…”,
dikeluarkan oleh Thabrani dalam ‘Ash-Shaghir’ no 171 dan ‘Al-Awsath’
(341) dari 2 jalan dari Abdurrazaq dengan 2 sanad dari Thawus dan
rijalnya tsiqat.
IV) Ali bin ‘Abi Thalib, padanya 9 thuruq :
Pertama :
Dari ‘Amr bin Sa’id, dikeluarkan oleh Nasa’i dari jalan Haani’ bin
Ayyub dari Thawus (asalnya Thalhah) dari ‘Amr bin Sa’id (asalnya Sa’d).
Albani mengatakan : “Hani’ sebagaimana dikatakan Ibnu Sa’d, padanya kelemahan, namun Ibnu Hibban menyebutnya dalam ‘Ats-Tsiqat’.”
Kedua : Dari Zadzan bin Umar, dikeluarkan oleh Ahmad (I/87), Ibnu ‘Abi ‘Ashim (1372) dari jalan Abu Abdurrahman Al-Kindi.
Albani berkata : “Al-Kindi aku tak mengetahuinya.”
Haitsami berkata : “Diriwiyatkan Ahmad dan sanadnya terdapat rijal yang tak kukenal.”
Ketiga dan Keempat :
Dari Said bin Wahb dan Zaid bin Yutsi’, dikeluarkan oleh Abdullah bin
Ahmad dalam Zawa’id ‘Al-Musnad’ (I/118) dan darinya Adh-Dhiyaa’
Al-Muqoodisi dalam Al-Mukhtarah (406) dari jalan Syarik dari
Ibnu Ishaq dari keduanya dan dikeluarkan oleh Nasa’i (16), namun tanpa
menyebutkan Sa’id bin Wahb dalam sanadnya.
Albani berkata : “Syarik
adalah Abdullah Al-Qadhi dan dia sedikit hafalannya, haditsnya jayyid
jika disertai syawahid, dan telah disertai hadits Syu’bah oleh Nasa’i
(16) dan Ahmad (V/366).”
Kelima : Dari Syarik juga, dari Abu Ishaq, dari Amir, dengan tambahan, “Wan-shur man nashorohu wakhdzul man khodzalahu”. Dikeluarkan oleh Ibnu Hatim (III/1/232).
Keenam : Dari Abdurrahman bin Abu Laila, tanpa tambahan, “Wanshur…”. Dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad (I/119) dengan jalan Yazid bin Abu Ziyad dan Samak bin ‘Ubaid bin Walid al-Abbasi.
Albani berkata : “Hadits ini shohih dengan mengumpulkan 2 jalan darinya.”
Ketujuh dan Kedelapan :
Dari Abu Maryam dan orang-orang yang bermajlis dengan ‘Ali bin Abi
Thalib, dikeluarkan oleh Abdullah (I/152) dari Nu’aim bi Hakim dan
orang-orang yang bermajlis dengan Ali. Sanadnya laa ba’sa bihi dengan penyertanya. Abu Maryam adalah Majhul sebagaimana dalam at-Taqrib.
Kesembilan : Dari Thalhah bin Musharrif, dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abi ‘Ashim (1373) dengan sanad yang dha’if, dan ia adalah Muhajir bin ‘Umairah, demikianlah dalam ‘al-Jarh wat Ta’dil’ (IV/1/261) dari riwayat ‘Adi bin Tsabit Al-Anshari darinya. Dan tidaklah disebutkan padanya jarh maupun ta’dil, demikian pula pada ‘Tsiqaat Ibnu Hibban’ (III/256).
V) Abu Ayyub Al-Anshari, meriwayatkan padanya Riyah bin Al-Harits.
Dikeluarkan
oleh Ahmad (V/419) dan Thabrani (4052,4053) dari jalan Hinsy bin
Al-Harits bin Laqith an-Nakha’I dari Riyah bin al-Harits.
Albani berkata : “Sanadnyanya jayyid dan rijalnya tsiqat”.
Haitsami berkata : “Diriwayatkan Ahmad dan Thabrani, dan rijalnya Ahmad tsiqat.”
VI) Al-Barra’ bin’Aazib, meriwayatkan padanya ‘Adi bin Tsabit.
Dikeluarkan oleh Ahmad dan putranya dalam Zawaid-nya
(IV/281) dan Ibnu Majah (116) secara ringkas dari jalan Ali bin Zaid
dari ‘Adi bin Tsabit. Rijalnya Tsiqat dan semuanya rijalnya Muslim
kecuali Ali bin Zaid dan ia adalah Ibnu Jud’an dan ia adalah Dha’if.
VII) Ibnu ‘Abbas, meriwayatkan darinya ‘Amr bin Maimun secara Marfu’ tanpa tambahan.
Dikeluarkan oleh Ahmad (I/330-331) dan Hakim (III/132-134), ia berkata : “Isnadnya shahih dan Dzahabi mensepakatinya”.
VIII), IX) dan X) Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah.
Meriwayakan dari mereka ‘Amirah bin Sa’d. Dikeluarkan oleh Thabrani dan ‘ash-Shaghir’ (hal 33 no 112) dan dalam ‘al-awsath’
(no 2442) dari Ismail bin Amr, Mas’ar menerima dari Thalhah bin Mushrif
dari ‘Amirah bin Sa’d, ia berkata, tidaklah diriwayatkan dari Mas’ar
kecuali Isma’il.
Albani berkata : “Ia adalah dha’if” karenannya Haitsami berkata (IX/108) setelah dengan cerdiknya beliau menjama’nya, “dalam isnadnya layyin”.
Albani berkata : “Namun dikuatkan oleh thuruq lainnya dari Abu Hurairah dan Abu sa’id Al-Khudri, dan selain keduanya dari sahabat Nabi.”
Adapun
Hadits Abu Hurairoh, meriwayatkan darinya Ikrimah bin Ibrahim
al-‘Azdiy, menceritakan padaku Idris bin Yazid al-‘Awdiy dari ayahnya.
Dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Awsath (1105) dan ia berkata, tidak
diriwayatkannya dari Idris kecuali Ikrimah.
Albani berkata : “Ia adalah dha’if”.
Adapun
Hadits Abu Sa’id, meriwayatkan padanya Hafsh bin Rasyid, menerima
Fudhail bin Marzuq dari ‘Utbah dari ayahnya, dikeluarkan oleh Thabrani
dalam al-Awsath (8599), dan ia berkata : “Tidak meriwayatkannya dari Fudhail melainkan Hafsh bin Rasyid”.
Albani berkata : “Hadits ini memiliki banyak thuruq” dan beliau mengumpulkan thuruqul haditsnya dan mentashhihnya.
Beliau berkata lagi : “Jika
kalian telah mengetahui hal ini, sesungguhnya saya terdorong untuk
menjelaskan perkataan atas hadits ini dan menerangkan keshahihannya,
dikarenakan aku melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dimana beliau
telah mendha’ifkan bagian pertama dari hadits ini dan adapun bagian
kedua beliau menuduhnya dusta (lihat ‘Majmu’ Fatawa’ (IV/417-418)). Hal
ini termasuk diantara sikap berlebih-lebihannya beliau, dan menurut
asumsiku/perkiraanku hal ini disebabkan karena ketergesa-gesaan beliau
dalam mendha’ifkan hadits ini sebelum menjama’ thuruqnya dan meneliti
secara mendalam terhadapnya. Wallahul Musta’an!”
Kesimpulan : Hadits di atas shahih setelah pengumpulan thuruqul hadits-nya.
TANBIH (PERINGATAN PENTING) :
Imam
Albani berkata : “Adapun yang disebutkan oleh Syi’ah dalam hadits ini
dengan tambahan lafazh yang lain, bahwasanya Nabi bersabda, “Sesungguhnya ia adalah khalifahku sepeninggalku nanti”,
maka lafazh (tambahan) ini tidak shahih dari segala penjuru/sisi,
bahkan padanya memiliki kebathilan yang banyak, yang menunjukkan
kejadian/peristiwa tersebut di atas kedustaan.
Seandainya
memang benar Nabi bersabda demikian, pastilah akan terjadi, karena
tidaklah beliau mengucapkan sesuatu melainkan dari wahyu yang diwahyukan
oleh Allah dan Allah tak pernah menyelisihi perkataannya/janjinya.”
Dan telah dikeluarkan hadits-hadits dusta ini dalam kitab lainnya milik Imam Albani, yakni ‘adh-Dha’ifah’ (4923,4932).
Lucunya,
dengan hadits dusta dan munkar ini, syi’ah mengklaim bahwa ‘Ali adalah
khalifah setelah Rasulullah, sedangkan Abu Bakar dan Umar mengkhianati
Ali dan mengkhianati sabda Rasulullah dengan merampas hak wilayah Ali,
maka sungguh mereka (syi’ah) itu telah melakukan:
-
Kedustaan atas nama Allah dan Rasul-Nya.
-
Kedustaan atas nama Ali dan sahabat-sahabatnya.
-
Mengingkari firman Allah subhanahu wa Ta’ala bahwa tidaklah Muhammad itu berkata kecuali dari wahyu yang diwahyukan.
-
Mendustakan kebenaran sabda Nabi.
-
Menuduh Allah Ta’ala tidak amanah dengan perkataan dan janji-Nya.
-
Menuduh Rasulullah berdusta karena sabdanya tidak terlaksana.
-
Menuduh, menfitnah dan mencela sahabat-sahabat Rasulullah yang mulia.
-
Mendustakan hadits-hadist Nabawi yang shohih.
-
Mengada-adakan sesuatu di dalam Islam yang tak pernah dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
-
Mengkafirkan sahabat Rasulullah, melaknat mereka dan mengkafirkan ahlus sunnah wal jama’ah.
Maka
wajib atas kita, baro’ terhadap kesesatan dan kekufuran mereka (syi’ah)
atas tuduhan dan pengada-adaan yang mereka lakukan di dalam dien ini.
Allahumman-shur man nashoro dien wakh-dzul man khadzalahu.!!!
Ya Alloh tolonglah hamba-Mu yang membela agama-Mu dan hinakanlah mereka yang menghinakan agama-Mu
(diringkas dari Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah IV/330-334/1750)
sumber:http://abusalma.wordpress.com/2007/03/26/ghadir-khum-antara-keyakinan-syiah-dan-ahlus-sunnah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar