SEJARAH KOMUNIS DI INDONESIA
==================
Versi
resmi pemerintah Hindia Belanda dan juga Pemerintah Indonesia saat ini
menyebut bahwa Revolusi 1926 atau Pemberontakan tahun 1926 adalah
pemberontakan komunis. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang
pemberontakan ini perlu dijelaskan kehadiran komunisme di Indonesia dan
kaitan dengan revolusi tersebut ( sejarah lahirnya komunis sampai
melakukan pemberontakan tersebut )
1. Kondisi di Indonesia secara Umum
2. Masuknya Komunis di Indonesia
3.
Perkembangan Komunis di Banten & sumatera ( tempat terjadinya
pemberontakan 1926 atau yang lebih dikenal dengan Revolusi 1926 )
Kondisi Di Indonesia
Kaum
petani menderita akibat penjajahan Belanda dalam banyak segi, yang
pertama dan paling berat adalah mereka menedita akibat diterapkannya
bentuk perpajakan. Ironisnya, beban pajak menjadi lebih berat pada zaman
diterapkannya kebijakan “etis” (liberal), yang diadopsi oleh
administrasi kolonial pada pergantian abad ke-20, ketika dibangun
infrastruktur yang dibiayi pajak. Kebijakan tanam paksa yang
mengharuskan petani menanam tanaman keras merupakan beban lain yang
ditanggung petani dan memusnahkan kebebasan petani (kebijakan ini
kemudian dihapuskan). Sewaktu itu petani terpaksa menjadikan sepertiga
sampai setengah tanah mereka tersedia untuk dipakai perkebunan gula.
Karena dipaksa bayar pajak, makin banyak tanah dipakai, dan petani makin
terpuruk dalam kemiskinan dan makin tergantung pada sistem kapitalis.
Borjuasi
kecil pribumi di perkotaan sangat lemah, sebagian besarnya pedagang
(banyak keturunan Tionghoa), dan bagian kecil pegawai. Tanpa industri
yang berkembang, kaum buruh kecil sekali. Buruh terpusat di sektor
pemerintahan dan transportasi yang dimiliki oleh swasta, yaitu kereta
api dan trem.
Dengan
tidak adanya oposisi politik yang berarti sebelum perang dunia pertama,
kekuasaan Belanda sempat bertindak agak liberal, tetapi bersifat
paternalistik, meskipun kebebasan pers dan berorganisasi senantiasa
tidak mutlak. Ketika perjuangan mulai timbul di kaum petani, buruh dan
kelas menengah, segala kebebasan ini langsung dicabut.
Kemelaratan
dan represi politik, hanya dibungkus oleh tabir toleransi liberal yang
tipis, merupakan ciri utama rakyat Indonesia pada tahun-tahun awal abad
ini. Hampir seluruh rakyat buta huruf, dan berbagai penyakit tersebar
luas mayoritas rakyat berada di bawah pengaruh kuat agama (Islam) dan
kebudayaan tradisionil. Feodalisme yang ada sebelum penjajahan
diidolakan. Bersamaan dengan itu kapitalisme dan pengalaman pejuangan
kelas mulai merubah sikap kaum muda, dan khususnya kaum buruh. [1]
Pendidikan
modern mengajarkan kelas menengah untuk mempersoalkan kekuasaan Belanda
Tetapi untuk merekrut anggota sebanyak mungkin ke dalam suatu
organisasi ternyata relatif tidak semudah yang diperkirakan. Walaupun
minimal secara teori memihak jelata, tetapi bagaimanapun juga komunisme
masih terkesan asing karena berasal dari Barat, tepatnya oleh dua orang
Jerman yaitu Karl Marx dan Friedrich Engels. Ini mungkin sulit dicerna
oleh bangsa Indonesia yang berbangsa dan bernorma Timur, minimal pada
saat itu.
Indonesia
adalah negara agraris. Jauh sebelum bangsa ini merdeka, sumber daya
pertanian selalu menjadi komoditas utama. Oleh karena itu, tidak bisa
dipungkiri apabila dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
adalah petani.[2]Mengenai klasifikasi sosial petani, menurut keadaan
pertanian di Jawa dapat dibedakan menjadi beberapa kelas sosial, yakni
Petani Kaya, Petani Sedang, Petani Miskin, dan Buruh Tani[3]. Laporan
Dr. J. W. Meyer Rannet tahun 1925 tentang kemakmuran rakyat yang diambil
dari penyelidikan di sejumlah daerah di Jawa, melihat petani
berdasarkan penghasilan penduduk menurut pembagian golongan pekerjaan.
Data itu melaporkan bahwa golongan petani tak bertanah berjumlah 37,8%
dari seluruh penduduk. Dan bila dijumlahkan dengan penduduk miskin, maka
jumlahnya menjadi 65% dari seluruh penduduk desa.
Perjuangan
di Indonesia pada waktu itu lebih banyak melalui pendekatan politik,
banyak berdiri organsiasi – organisasi kepemudaan yang memperjuangkan
nasib rakyat melalui politik, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam dsb.
Banyak organisasi islam dan nasionalis. Pemimpin yang terkenal pada
waktu itu adalah pemimpin nasionalis. Tetapi walaupun banyak organisasi
yang berdiri ternyata tidak banyak memberikan kontribusi yang bersifat
langsung terhadap kondisi rakyat pada saat itu. Nasib rakyat tidak
kunjung berubah.
Masuknya KOmunis ke Indonesia
Berdirinya ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging)
Faham
komunis masuk ke Indonesia oleh HFJ Sneevliet (1883-1942) tahun
1913[4]. Sebagaimana di negeri-negeri lain, yang tertarik pada faham
komunis umumnya adalah kaum jelata karena memang faham ini konon untuk
membela kaum jelata dan menjadikan kaum elit sebagai musuh. Adapun basis
pendukungnya adalah buruh dan tani. Di Indonesia, jelas faham komunis
mendapat lahan yang subur. Tatanan kolonial menjadikan bangsa Indonesia
sengsara di negeri sendiri, selain miskin juga tertindas. Sneevliet
membentuk organisasi bernama ISDV (Indische Sociaal Democratische
Vereeniging) tahun 1914.[5]
Atas
prakarsa Sneevliet pada tahun 1914 didirikan Persatuan Sosial Demokrat
Indonesia (ISDV), yang pada awalnya terdiri dari 85 anggota dua partai
sosialis Belanda (Partai Buruh Sosial Demokrat yang berbasis massa di
bawah kepemimpinan reformis, dan Partai Sosial Demokrat yang merupakan
cikal bakal Partai Komunis, terbentuk setelah perpecahan politik dengan
SDAP di tahun 1909)
Sejak
mulanya tendensi revolusioner mengendalikan ISDV, sikapnya militan
terhadap isu-isu lokal (misalnya, kampanye mendukung seorang jurnalis
Indonesia yang diadili karena melanggar hukum pengendalian pers, dan
juga mengadakan rapat umum menentang persiapan perang yang dilakukan
oleh pemerintah Belanda) dan selain itu ISDV juga melibatkan diri dalam
pergerakan nasional. Pada tahap itu orang Eropa anggota ISDV Belanda
boleh masuk Insulinde sebagai anggota individual. Pimpinan Insulinde dan
Sarekat Islam bersifat kelas menengah, tetapi senang dan bersyukur
menerima bantuan dari ISDV, dan hanya kaum sosialis siap membantu pada
saat itu.
Namun
demikian, tak terelakkan konflik mulai timbul antara kepemimpinan ISDV
dan Insulinde, dan juga di dalam ISDV sendiri. ISDV menegaskan bahwa
pejuangan melawan penjajahan Belanda harus didukung kaum sosialis, dan
menyatakan bahwa hal ini mencakup perjuangan melawan sistem kaptialis.
Pimpinan kelas menegah Insulinde (seperti para pemimpin SI kemudian)
secara naluriah menolak dengan keras pikiran itu, dan mengedepankan
“teori dua tahapan”. Dalam ISDV sendiri aliran refomis meninggalkan
partai itu di tahun 1916 dan mendirikan Partai Sosial Demokrat Indonesia
(ISDP), yang dalam waktu singkat langsung dekat dengan pemimpin kelas
menengah nasionalis. Di sisi lain, ISDV makin digemari dan dihormati
kaum militan Indonesia karena berani dan berprinsip dalam hal politik
lokal. Walaupun diserang para pemimpin nasionalis karena banyak yang
berketurunan Belanda, hal ini tidak merupakan rintangan dalam perjuangan
membangun organisasi revolusioner, dan merebut dukungan massal.
Banyak
masalah sulit yang dihadapi oleh ISDV di periode awal bangkitnya
gerakan politik massa ini. Pada 1915-18 penguasa Belanda menanggapi
gerakan massa yang tumbuh dengan mendirikan semacam “Volksraad” yang
bertujuan membendung militansi massa. ISDV – berlawanan dengan pimpinan
nasionalis dan ISDP – pada mulanya memboikot badan ini, tetapi kemudian
membatalkan keputusan itu ketika mulai jelas bahwa Volksraad itu dapat
dimanfaatkan sebagai medan propaganda revolusioner.
Sneevliet
juga memegang peran penting dalam Serikat Staf Kereta Api dan Trem
(VSTP), pada saat itu kecil saja, dan sebagian besar anggotanya berkulit
putih. Sneevliet mengarahkan VSTP kepada bagian besar buruh yang
pribumi, dan pada saat bersamaan berusaha menguatkan struktur
organisasinya dengan menegaskan pentingnya pengurusan cabang cabang yang
baik, juga konperensi tahunan, penarikan sumbangan anggota, dsb. Dalam
jangka waktu singkat anggota serikat ini menjadi dua kali lipat, dan
sebagian besar pribumi. Kesuksesan VSTP meraih hormat bagi gerakan
sosialis, dan memungkinkan Sneevliet merekrut para aktivis buruh ke
dalam ISDV. Yang terpenting di antaranya adalah Semaun, seorang pemuda
buruh perusahaan kereta api yang pada tahun 1916 (saat berusia 17
tahun), menjadi kepala Serikat Islam di Semarang, dan di kemudian hari
menjadi tokoh penting dalam PKI.
Liberalisme
Belanda tidak mendorong perjuangan buruh. Pemogokan dibalas dengan PHK
massal, pembuangan para aktivis ke pulau-pulau terpencil, dan tindakan
apa saja yang perlu untuk menghancurkan gerakan buruh. Dalam periode itu
jarang sekali pemogokan buruh menemui kesuksesan, dan tidak mungkin
berhasil memengaruhi perjuangan luas. Dilawan oleh majikan yang kuat,
terbatas kemungkinan memajukan kondisi kaum buruh lewat perundingan.
Meskipun
demikian gerakan serikat buruh bertahan dan berkembang. Kenyataan ini
hanya bisa diterangkan dengan kekuatan dan daya tahan kaum buruh, dengan
tumbuhnya jumlah dan pengalaman kaum buruh, dan di pihak lain,
diterangkan oleh kenyataan bahwa perjuangan serikat buruh] tidak dapat
dipisahkan dari perjuangan yang lebih luas yang dilakukan oleh rakyat
Indonesia dalam melawan penindasan dan penghisapan pemerintah Belanda.
Sebagian
besar kaum petani tetap mengikuti adat dan agama, kelihatannya pasif
kalau ditindas, petani pada waktu itu pandangannya terbatas oleh
kepentingan dan masalah kehidupan desa, tidak dapat diharapkan menunjang
program sosialis dengan pemikiran yang termaju. Kaum petani hanya bisa
memihak segi program sosialis yang merefleksikan kepentingan kaum tani
sendiri, dan memihak perjuangan militan yang membantu tuntutan itu.
Namun dukungan seperti itu juga biasanya sporadis, ekspolsif, dan tidak
lengkap, selaras dengan karakter kaum tani sendiri – yaitu suatu kelas
yang heterogen, produsen kecil yang terisolir, dan yang menurut
kepentingan sendiri. Oleh karena itu kaum petani mungkin memihak kaum
buruh, tetapi juga mungkin memihak demagogi kaum nasionalis, mistik
agama atau aliran lain yang menawarkan pemecahan segera bagi persoalan
kongkrit yang mereka hadapi.
Faktor
lain yang penting di Indonesia, sebagaimana juga hal ini terjadi di
dunia kolonial secara umum, ialah kelas menengah yang berpendidikan dan
berharta milik – meskipun kecil, mereka ini adalah kekuatan yang
signifikan. Kelas menengah juga sulit memihak program kaum buruh karena
hanya bergerak di bidang politik untuk menahan kepentingan sendiri
kepentingan borjuis, meskipun bertentangan dengan imperialism.
Perjuangan bersama mungkin dilakukan antara kelas buruh dan kelas
menengah hanya karena keduanya menghadapi musuh imperialisme, tetapi
tujuan fundamenatal dan metode kelas menengah berbeda dengan tujuan dan
metode kelas buruh. Kelas menengah, atau bagian-bagian darinya, dapat
meninggalkan pemikiran bersifat utopis dan dan program reaksioner mereka
hanya sebab mereka akhirnya mulai insaf bahwa tidak ada pilihan lain
yang praktis, namun kemungkinan ini akan lama prosesnya serta sangat
kontradiktif dengan kelas menengah sendiri. Mulanya kelas menengah akan
berkembang secara terpisah dari gerakan kelas buruh dan, karena
menyuarakan keluhan semua lapisan yang tertindas, mereka bisa memperoleh
dukungan massal. Karena berpendidikan dan agak makmur, mereka agak jauh
dari kehidupan orang biasa, tetapi oleh karena itu pula mereka makin
yakin dan pandai, dan makin berwibawa di mata kaum petani dan sebagian
kaum buruh yang terbelakang.
Walaupun
makin berpengaruh, ISDV – seperti PKI kemudian – tetap merupakan
organisasi kecil. Jumlah anggota ISDV naik dari 103 tahun 1915 (dengan
hanya tiga anggota pribumi) menjadi 330 di tahun tahun 1919 (300
pribumi). Dalam arti ini ISDV menjadi partai kader – partai para aktivis
dan pemimpin yang kuat dukungan di serikat buruh, di perkotaan, dan
juga pedesaan. Orientasi kelas ISDV paling jelas terrefleksi dalam
kedudukannya yang kuat di dalam gerakan serikat buruh. Ferderasi pertama
serikat buruh, didirikan pada tahun 1919, terdiri dari 22 serikat, dan
anggotanya berjumlah 72,000, dan sebagian menurut ISDV, dan bagian lain
memihak pimpinan nasional SI. Sesudah berberapa tahun kontrol pimpinan
SI yang kurang cakap mengalami perpecahan, kecuali di berberapa serikat
pegawai (pekerja kerah putih).
Kewibawaan
ISDV dicerminkan juga dengan dukungan massa terhadapnya di dalam tubuh
SI sendiri. Dengan mengingat populasi Indonesia, jumlah penganut itu
merupakan langkah awalan saja yang secara praktis perlu dikonsolidasikan
sebagai simpul di setiap daerah yang kemudian menjadi dasar gerakan
nasional yang didukung oleh jutaan orang, dengan intinya kader Marxis.
Jika kondisi begini sudah tercapai barulah mungkin menempatkan ikhwal
perebutan kekuasaan ke dalam agenda partai.
Dalam
pengertian perspektif dan teoris, di satu sisi, sebagai organisasi
kader ISDV amat lemah. Pengusiran Sneevliet dari Indonesia pada tahun
1918 meninggalkan jurang tak terjembatani di pucuk pimpinan organisasi
itu. Tidak ada pemimpin, baik keturunan Belanda maupun pribumi, walaupun
trampil sebagai pejuang revolusioner, memiliki pengalaman dan
pemandangan marxis yang cukup luas untuk mengemudikan partai secara
tepat saat menghadapi tikungan yang tajam dan mendadak.
Potensi
revolusioner ISDV yang gemilang pada era itu ditunjukkan tahun 1917-18,
saat partai itu segera mendukung Revolusi Rusia dan dengan cepat
menarik implikasi revolusi itu bagi revolusi di negara Eropa dan
Indonesia sendiri. Belajar dari pengalaman Rusia, ISDV mulai
mengorganisir serdadu dan pelaut di Indonesia, dan dengan usaha itu
berhasil menarik pengikut sekitar 3,000 orang di angkatan bersenjata
Belanda.
Pada
akhir tahun 1918, saat Belanda di ambang revolusi, pemerintah kolonial
bingung karena kelihatannya mungkin ada perebutan kekuasaan revolusioner
di Belanda, dan mungkin sesudahnya di Indonesia juga. Pada saat itu
sosial demokrat Belanda kehilangan keberaniannya. Pemerintah kolonial
menjanjikan berberapa perbaikan situasi, dan situasi revolusioner reda.
Situasi
di Indonesia pada tahun 1918-19 penuh gejolak, karena kisis ekonomi
menghantam para pekerja dan timbulkan perlawanan dengan kekerasan di
kalangan kaum tani. Kejadian ini melatarbelakangi pertumbuhan ISDV/PKI
secara massal, dan juga menyebabkan reaksi dari segi pemerintah.
Memecah SI
Indonesia
adalah Negara yang penduduknya mayoritas beragama islam. Corak agamis
dan anti kolonial jelas menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam organisasi yang beraliran islam. Salah satu
organisasi islam yang besar adalah Sarekat Islam. Di bawah pimpinan
sosok kharismatis H. ‘Umar Said Tjokroaminoto (1882-1934) organisasi SI
kian berbobot. Tokoh ini sudah pernah berurusan dengan aparat hukum
kolonial karena faham anti kolonial yang jelas. Pada masa itu berurusan
dengan aparat dalam arti melawan penguasa dapat menaikkan martabat dalam
pandangan rakyat. Tentu saja juga memiliki resiko besar, termasuk nyawa
taruhannya.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, kaum komunis menempuh cara licik. Pendekatan
Sneevliet dilakukannya melaui pimpinan SI Semarang yakni Semaun dan
Darsono Mereka tidak merasa perlu bersusah payah meraih pengikut dari
warga yang belum menjadi anggota suatu partai, tetapi mencoba menyusup
masuk Sarekat Islam dan menggembosinya. Dan hasilnya memuaskan, banyak
anggota SI yang terpengaruh. Dengan bantuan Semaoen –tokoh SI yang kelak
menjadi tokoh senior PKI– organisasi SI pecah menjadi SI Putih dan SI
Merah sebagai akibat pembelotan para anggotanya. Tjokroaminoto bersikap
tegas dengan kebijakan larangan beranggota ganda. Melalui pengaruhnya
dalam SI dan serikat-serikat buruh, ISDV mengalami perkembangan yang
cukup pesat. Perkembangan ISDV juga disebabkan infiltrasi ke dalam tubuh
SI yang dianjurkan oleh Sneevliet kepada pengikutnya untuk merangkap
sebagai anggota SI. Bahkan pada tanggal 25 Desember 1919 tercapai
persetujuan dengan SI yang menghasilkan pembentukan ”Persatuan
Pergerakan Kaum Buruh yang meliputi 22 Serikat Buruh dengan 72.000
anggota yang sebagian besar terdiri dari buruh Central Serikat Islam
(CSI) Semarang Sebelum munculnya Serikat Islam juga sudah banyak
terbentuk serikat-serikat buruh yang menjadi wadah perkumpulan dan
konsolidasi kepentingan mereka.
Bergolaknya Internal ISDV menentang Pengembosan terhadap SI dan menggunakan pendekatan thd islam untuk menarik massa
Bagi
SI, penggembosan tersebut merupakan pukulan berat. Anggotanya berkurang
drastis. Namun penggembosan itu juga mendapat tantangan dari intern PKI
sendiri. Ibrahim Tan Malaka (1897-1949), aktivis kemerdekaan asal
Minangkabau adalah penentang penggembosan. Dia pernah belajar di Eropa
sekaligus aktif dalam gerakan kemerdekaan. Kritik pada pemerintah
Belanda ketika berada di Belanda menyebabkan dia berurusan dengan
aparat. Proses hukum yang dijalani menaikkan martabatnya.
Tan
Malaka pernah dicalonkan sebagai anggota parlemen oleh Partai Komunis
Belanda, tidak jelas apakah terlaksana. Pada awalnya dia terkesan oleh
kemajuan teknologi di negara kapitalis Amerika Serikat dan Jerman.
Tetapi sukses Revolusi Bolshevik yang membawa kaum komunis berkuasa di
Rusia berakibat dia condong pada komunisme.
Tetapi
juga perlu diketahui, diantara sekian banyak tokoh PKI, Tan Malaka yang
paling moderat. Dia tidak menerima begitu saja semua doktrin komunis.
Praktek komunisme harus disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, jangan
dibiasakan menjiplak begitu saja pengaruh dari luar. Tan Malaka misalnya
tidak setuju dengan faham atheis, doktrin “agama adalah candu” tidak
masuk akal baginya.
Tan
Malaka pernah menentang pendapat Komintern (Komunis Internasional) yang
menyatakan bahwa gerakan Pan Islam adalah bentuk baru imperialisme. Tan
Malaka menegaskan bahwa Pan Islam juga anti imperialisme. Tan Malaka
mengingatkan komunis untuk mengakui fakta bahwa mayoritas rakyat
Indonesia adalah Muslim yang jelas memiliki potensi melawan
imperialisme. Maka, yang harus dilaksanakan komunis adalah merangkul
kekuatan agamis, bukan memusuhi. Jelas, bahwa menggembosi SI dapat
melemahkan perjuangan anti imperialisme. Usulannya gagal diterima.
Kegagalan lainnya adalah mencegah PKI ikut perlawanan militer yang kita
kenal dengan Revolusi 1926 karena dia menilai PKI masih lemah
Tragisnya,
ketika revolusi tersebut gagal Tan Malaka dipersalahkan oleh PKI
sebagai penyebab kegagalan. Merasa tidak cocok dengan PKI dia memilih
keluar dan membentuk PARI (Partai Republik Indonesia) (1927) dan pada
zaman Revolusi 1945 membentuk Partai Murba. Kelak Partai Murba menjadi
lawan tangguh PKI.
Setelah
mendapat pengikut dari penggembosan SI, PKI semakin giat menambah
pengikut dan melaksanakan program. Berbagai pemogokan dan kerusuhan
terjadi. PKI meraih banyak pengikut dari pegawai kereta api, mereka
membentuk organisasi bawahan (onderbouw) khusus untuk pegawai kereta
api. Organisasi bawahan lain juga dibentuk sesuai profesi semisal buruh
perkebunan, tani dan sebagainya.
Rezim
kolonial menyaksikan ini dengan cemas, tindakan tegas dilaksanakan.
Banyak orarng-orang komunis yang ditangkap, rapat dan demonstrasi
dibubarkan serta berbagai dokumen di sita atau dimusnahkan. Namun
kegiatan PKI belum berhenti dan cenderung semakin garang. Aktivis
kemerdekaan lain juga terkena dampaknya.
Keberanian
tersebut relatif cepat mendapat simpati rakyat yang memang muak dengan
rezim kolonial. Mereka kurang peduli dengan latar belakang PKI
sesungguhnya, yang dibutuhkan rakyat adalah pembangkit keberanian
melawan. Sesungguhnya bukan PKI yang pertama dituduh terlibat
pemberontakan, SI pernah dituduh terlibat hal itu dan beberapa tokohnya
sempat ditangkap. Mungkin PKI berusaha meniru SI untuk mendapat simpati
sebanyak mungkin.
Di
antara yang simpati adalah kelompok agamis dan inilah yang diharapkan
PKI ketimbang kelompok nasionalis. Para ulama memiliki pengaruh yang tak
dapat diremehkan di tengah masyarakat yang masih menempatkan agama atau
perkara ruhani sebagai hal sangat penting dalam hidup dan mati.
Supaya
makin berbobot di tengah masyarakat bercorak demikian, sadar tidak
sadar PKI menempuh cara yang diusulkan Tan Malaka, bahwa kelompok agamis
memiliki potensi besar melawan kolonial sehingga perlu dirangkul. Maka,
para propagandis menyebar ke berbagai pelosok mendekati para ulama.
Dengan lihai mereka menjelaskan persamaan nilai-nilai agamis dengan
komunis, antara lain faham sosialisnya. Para propagandis menjelaskan
bahwa agamis dan komunis sama-sama memihak kaum jelata, hanya istilahnya
yang berbeda. Komunis memiliki istilah proletar dan agamis memiliki
istilah dhuafa. Bahkan di Banten, PKI menampilkan gaya yang aneh,
fanatik dengan agama. Sikap aneh tersebut juga ditampilkan di wilayah
Surakarta oleh H. Misbakh, dia menyebarkan konsep “Komunisme Islam” dan
sempat menggerakkan kerusuhan.
Berganti nama Menjadi Partai Komunis Indonesia
Perkembangan
ISDV berlanjut dengan pergantian nama menjadi Perserikatan Komunis
Indonesia pada tanggal 23 Mei 1920. Dalam pertemuan tanggal 23 Mei itu
juga memilih Semaun sebagai Ketua dan Darsono sebagai Wakil Ketua.
Selain Semaoen, ada 2 tokoh SI bergabung dengan PKI yang juga menonjol
yaitu Alimin Prawirodirdjo (1889-1964) dan Moeso (1897-1948). Kemudian
atas usul Moskow, nama Perserikatan diubah menjadi Partai. Tahun 1924
nama Perserikatan Komunis Indonesia berganti nama menjadi Partai Komunis
Indonesia. Melihat perkembangan kaum komunis yang sedemikian pesat dan
dianggap membahayakan, pimpinan Serikat Islam yang bukan komunis
seperti Agoes Salim dan Abdul Moeis mengusulkan diterapkannya disiplin
keanggotaan rangkap untuk membendung pengaruh komunis. Pertentangan di
dalam tubuh SI melahirkan perpecahan dengan dibentuknya Serikat Islam
Merah oleh kaum komunis pada tahun 1923. Selanjutnya SI Merah berubah
nama menjadi Serikat Rakyat. Pada perkembangan awal, PKI telah berusaha
bergerak di kalangan petani. Hal itu didasarkan kepada keputusan
konferensi Kota Gede (Yogyakarta) pada bulan Desember 1923 yang
menghendaki agar Serikat Rakyat dipergunakan untuk melakukan hal
tersebut. Walaupun sebenarnya hal ini merupakan penegasan atas anjuran
Lenin kepada Bangsa-bangsa Timur yang disampaikannya pada bulan November
1919:
”…
Di hadapanmu terletak suatu tugas yang tidak pernah dihadapi oleh
komunis di seluruh dunia…, kamu harus menyesuaikan dirimu dengan
keadaan-keadaan istimewa yang tidak terdapat di negeri-negeri Eropa dan
hendaknya dapat mengenakan teori dan praktek pada keadaan-keadaan di
mana massa pokok adalah petani..”[6]
Apabila
kita sedikit mengamati, PKI yang pada awalnya lebih memfokuskan gerakan
dengan menggarap kaum buruh sebagai basis gerakannya justru mengalihkan
fokus gerakan dengan menggarap kaum petani, terutama setelah
dibentuknya Serikat Rakyat. Gerakan protes terhadap pemerintah kolonial
yang dilakukan serikat-serikat buruh yang disponsorori oleh PKI dianggap
lebih membahayakan oleh pemerintah kolonial dibandingkan gerakan yang
digalang oleh Serikat Islam. Hal itu bukan didasarkan oleh bentuk
gerakan yang mereka lakukan, tetapi karena melihat tujuan politik PKI
yang lebih luas. Namun, pemimpin PKI menganggap bahwa gerakan dengan
menggunakan serikat-serikat buruh sebagai kendaraan politik memiliki
beberapa kelemahan terutama mengenai karakter buruh sebagai masyarakat
yang dapat langsung berhubungan dengan pengaruh luar sehingga dapat
membuat kegoncangan. Selain itu, alasan utama lainnya adalah perbedaan
kesadaran sosial dan politik antara kaum buruh di Eropa dengan di
Indonesia.Oleh karena itulah PKI lebih condong untuk mengutamakan kaum
petani sebagai basis kekuatan politiknya. PKI lebih melihat petani
sebagai lapisan masyarakat yang tidak langsung berhubungan dengan
pengaruh dari luar, tetapi mereka mengetahuinya dari pemimpinya
masing-masing.
PKI Cabang Banten
Sejak
awal berdiri ISDV tidak pernah membuka cabang di Banten, meskipun dua
orang anggota eksekutifnya yakni Hasan Djajdiningrat dan J. C. Stam
tinggal di sana. Awal mula kemunculan PKI di Banten, tidak dapat
dilepaskan dari peran yang dimainkan oleh R. Oesadiningrat, seorang
karyawan Stasiun Kereta Api Tanah Abang yang dipecat oleh otoritas
kolonial yang kemudian aktif di Sarekat Buruh Kereta Api (VSTP) sebagai
pengurus harian penuh. Dalam kedudukannya sebagai pengurus VSTP,
Oesadiningrat kemudian menggelar rapat akbar sebanyak tiga kali yang
dihadiri oleh tokoh PKI terkemuka. Pada bulan Agustus 1924, ia kembali
menggelar rapat akbar di Pandeglang dengan tujuan hendak mendirikan
Sarekat Rakyat.
Pertumbuhan
PKI di Banten terjadi begitu cepat karena pada tahun 1924 baru ada dua
orang anggota PKI yang tinggal di Banten. Dalam jangka waktu dua belas
bulan, anggota PKI di Banten berjumlah ribuan orang dan terus bertambah
pada tahun 1926. Pertambahan anggota PKI yang begitu pesat disebabkan
sejak tahun 1925, perantau dari Banten semakin banyak yang kembali ke
kampong halamannya dan di antara mereka telah ada yang menjadi anggota
PKI.
Beberapa
perantau ini berkedudukan sebagai agen propaganda untuk mendirikan
cabang PKI di Banten. Salah seorang di antara mereka adalah Tubagus
Alipan yang diminta oleh Darsono untuk mendirikan PKI Cabang Banten.
Bersama-sama dengan Puradisastra, Tb. Alipan kemudian melakukan upaya
untuk mendirikan PKI Cabang Banten. Kedua orang agen propaganda PKI ini
kemudian dibantu oleh Achmad Bassaif yang fasih berbahasa Arab. Mereka
bertiga kemudian menjadikan Islam sebagai senjata propagandanya. Dalam
propagandanya itu, pengertian komunis ditekankan sebagai usaha menentang
Belanda dan dipersamakan dengan perang sabil. Hal tersebut kemudian
dipertegas oleh Alimin dan Musso yang datang ke Pandeglang sekitar tahun
1925. Di hadapan massa, kedua tokoh PKI ini menguraikan secara panjang
lebar soal-soal perjuangan bangsa menghadapi penjajahan Belanda. Dengan
demikian, dalam usahanya mendapatkan dukungan dari rakyat Banten, para
proganda PKI menghilangkan pengertian komunisme, tetapi kemudian lebih
mengedepankan persamaan perjuangan antara Islam dan PKI. Oleh karena
itu, para ulama Banten tidak menentang kehadiran PKI di Banten bahkan di
antara para ulama itu kemudian ada yang menjadi pengurus PKI Cabang
Banten. Selain mendapat dukungan dari para ulama, para petani di Banten
pun mendukung terhadap gerakan PKI karena tertarik terhadap janji-janji
PKI. PKI menjanjikan kepada para petani bahwa partainya akan membebaskan
petani dari pajak kepal/perorangan (hoofdgeld). Pajak inilah yang
membuat resah petani sehingga suatu saat akan meledak menjadi sebuah
perlawan jika ada yang mampu menggerakkannya. PKI mampu membaca situasi
itu sehingga mendapat dukungan penuh dari para petani Banten.
Awalnya,
aktivitas PKI dipusatkan di Kabupaten Serang. Akan tetapi, sejak bulan
Maret 1926, aktivitas mereka dengan cepat menyebar sampai ke wilayah
Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Aktivitas itu kemudian tidak hanya
sekedar menggelar rapat politik, tetapi juga telah bergeser ke arah
tindakan kriminal. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau situasi pada
waktu itu digambarkan penuh dengan kegelisahan. Tidak jarang para
anggota PKI ini melakukan tindakan-tindakan anarkis seperti
penganiayaan, pemboikatan, pengrusakkan, dan lain-lain. Setelah merasa
mendapat dukungan dari masyarakat Banten, PKI kemudian mulai
merencanakan pemberontakan. Langkah awal yang diambil adalah mendirikan
Dubbel Organisatie (DO) sebuah organisasi rahasia dan illegal untuk
mematangkan semangat revolusioner masyarakat Banten. Langkah berikutnya
adalah melakukan reorganisasi setelah perginya Puradisastra dan Bassaif
ke Batavia. Mereka berdua kemudian menjadi penguhubung PKI Pusat di
Batavia dengan PKI Cabang Banten. Pada bulan Mei diselenggarakan rapat
yang menghasilkan susunan baru PKI Cabang Banten di bawah kepemimpinan
Ishak dan H. Mohammad Noer. Sementara itu, Hasanudin dan Soleiman
diangkat sebagai pemimpin DO Banten. Adapun K. H. Achmad Chatib ditunjuk
sebagai Presiden Agama PKI Seksi Banten. Setelah rapat itu, semangat
revolusioner semakin dan PKI Seksi Banten telah menyatakan kesiapannya
untuk melancarkan pemberontakan. Dengan semakin meningkatnya aktivitas
PKI Banten, antara bulan Juli – September 1926, pemerintah Hindia
Belanda melakukan penangkapan dan penahanan terhadap beberapa pemimpin
PKI Banten.
Di
Rangkasbitung, empat orang tokoh utama PKI, yakni Tjondroseputro,
Atjim, Salihun, dan Thu Tong Hin ditahan oleh Pemerintah Hindia Belanda
pada akhir bulan September 1926. Penahanan ini mengakibatkan pimpinan
PKI berada di bawah tangan para ulama dan jawara. Golongan inilah yang
kemudian memimpin para petani melancarkan pemberontakan pada bulan
November 1926. Target utama pemberontakan ini adalah kaum priyayi dan
dipilih secara selektif. Mereka yang akan dibunuh adalah kaum priyayi
bukan asli Banten dan suka melakukan kekerasan kepada rakyat. Selain
itu, yang menjadi sasaran adalah mereka yang telah dianggap mencemari
nama baik Banten. Sementara orang Cina tidak menjadi sasaran karena ada
indikasi keterlibatan secara tidak langsung dalam pemberontakan
tersebut. Sebagian masyarakat Cina di Labuan dan Menes telah menjual
senjata dan amunisi kepada kaum pemberontak. Selain itu, ada juga orang
Cina yang telah menjadi pemimpin terkemuka PKI Banten, salah satunya
adalah Tju Tong Hin yang bergabung dengan PKI Rangkasbitung.
Perkembangan PKI di Sumatera
1. Masuknya Komunisme Di Sumatera Barat
Dalam
situasi Sumatera Barat yang pehuh pertentangan, Haji Datuk Batuah
membawa dan, menyebarkan paham komunis diaerah tersebut. Pada tahun 1923
ia menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru
muda Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah suatu
lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di
Sumatera Barat, dimana haji Batuah merupakan salah seorang pengajarnya.
Berawal
dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya menyebar
ke berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah
tersebut ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di
kalangan petani. Oleh masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut
“ilmu kominih” (Schrieke, 1960: 155). Ilmu ini menggabungkan ajaran
Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti
kapitalisme dan ajaran Marxis.
Pada
akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin
mendirikan pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Dalam waktu yang
hampir bersamaan Datuk Batuah menerbitkan harian “Pemandangan Islam”
dan dan Nazar Zaenuddin menerbitkan “Djago-Djago”. Lembaga Pusat
Komunikasi Islam dan kedua harian tersebut digunakan sebagai media
penyiaran paham komunis.
2. Usaha-usaha Perluasan
Pada
pagi 11 Nopember 1923 Datuk Batuah dan Nazar Zaenuddin ditangkap
pemerintah kolonial Belanda. Segera setelah itu pusat propaganda komunis
berpindah ke Padang ( Schreike, 1960: 60). Pucuk kepemimpinan PKI
Sumatera Barat kemudian di ambil alih oleh Sutan Said Ali. Pada waktu
itu kegiatan orang-orang komunis di seluruh nusantara menunjukkan
peningkatan yang pesat. Hal ini karena pada akhir tahun 1923 Darsono,
seorang tokoh, komunis kembali di Hindia Belanda dari Moskow atas
perintah komintern untuk mendampingi Semaun, Alimin dan Muso. Suatu
hal yang menyebabkan pesatnya perkembangan komunis di Sumatera Barat
adalah dileburnya Sarekat Rakyat Sumatera Barat ke dalam PKI. Sarekat
Rakyat ini semula bernama Sarekat Islam Merah, suatu organisasi pecahan
Sarekat Islam yang berorientesi kepada paham komunis, dimana di
Sumetera Barat mempunyai anggota yang cukup banyak (Kahin, 1952: 70).
Dengan
dileburnya Sarekat Rakyat ke dalam PKI, maka jumlah anggota inti PKI
Sumatera Barat meningkat berlipat ganda. Jika pada tanggal 1 Juni 1924
semua anggota inti PKI Sumatera Barat tercatat hanya berjumlah 158
Orang, maka pada tanggal 31 Desember 1924 telah menjadi 600 orang, tiga
bulan kemudian menjadi 884 orang. Daerah-daearah yang tercatat sebagai
basis PKI adalah: Kota Lawas, pariaman, Sawah Lunto, Tikalah, padang
dan Silungkang.
3. Resolusi prambanan 1925
Mulai
tahun 1925 tampaknya PKI telah jatuh ke tangan orang-orang yang
berdarah panas. PKI mulai menghubungkan diri dengan orang-orang yang
dipandang rendeh dalam masyarakat dan kumpulan teroris yang selalu
dijumpai di pinggiran masyarakat Indonesia waktu itu (Arnold C.
Bracham, 1970 : 22).
Sementara
itu Hoskow memproses arah yang ditempuh oleh PKI, tetapi tidak
berhasil (Ruth T.McVey,1965 : 158). Bahkan pada bulan Juni 1925, Alimin
secara terbuka menganjurkan suatu revolusi. Semenjak itu rupanya
pengawasan partai berada di tangan komunis sayap kiri.
Sejalan
dengan itu, pada bulan Desember 1925 di prambanan, Yogyakarta diadakan
pertemuan partai yang dipimpin oleh Alimin. Pretemuan ini dihadiri oleh
tokoh- tokoh PKI, diantaranya Budi Sucipto, Aliarcham, Sugono, Surat
Hardjo, Martojo, jatim, Sukirno, Suwarno, Kusno dan lain-lainnya. Sedang
Said Ali, pemimpin PKI cabang Sumatera Barat pada pertemuan ini hadir
mewakili seluruh Sumatera ( H. J. Benda, dan Ruth T.MaVey, 1960: 115)
Adapun hasil pokok dari pertemuan ini adalah bahwa PKI akan mengadakan
pemberontakan pada bulan Juli 1926, dengan terlebih dulu diawali dengan
aksi-aksi pemogokan yang akan diorganisir PKI.
Adapun
hasil pokok dari pertemuan ini adalah bahwa PKI akan mengadakan
pemberontakan pada bulan Juli 1926, dengan terlebih dulu diawali dengan
aksi-aksi pemogokan yang akan diorganisir PKI. Sehubungan dengan
keputusan Prambanan tersebut pemimpin-pemimpin PKI Sumatera Barat
menempuh langkah-langkah guna mempersiapkan pemberontakan, yang
meliputi :
a. Sejalan dangan Surat Edaran Komite Pusat PKI No.221 maka PKI cabang Sumatera
Barat
berusaha mengumpulkan senjata. Surat Edaran tersebut berisi perintah
kepada cabang Padang supaya mengumpulkan uang derma yang dimaksudkan
untuk membeli persenjataan yang akan digunakan untuk melakukan aksi
pemberontakan.
b. Mengadakan aksi-aksi ilegal.
Ini
terutama dilakukan dalam bentuk membangun sel-sel PKI di derah-daerah
pertanian dalam rangka memperkuat semangat perlawanan. Dalam
perkembangannya, organisasi-organisasi ilegal ini mempunyai pengaruh
cukup basar di Sumatera Barat, terutama Sarekat Jin yang bergerak di
Padang dan Pariaman (Ruth T.Mc Vey, 1965: 194 ).
c. Memperkuat propaganda di kalangan buruh-buruh tani yang bekerja di perkebunan-
perkebunan.
Tetapi
gelagat akan terjadinya pemberontakan di Sumatera Barat, terlebih dulu
tercium Pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, pemerintah
kolonial Belanda segera bertindak melakukan penangkapan-penangkapan
terhadap pemimpin-pemimpin PKI Sumatera Barat. Berturut-turut Said Ali,
Idrus, Sarun, Yusup Gelar Radjo Kacik, Datuk Bagindo Ratu dan Haji
Baharuddin pada akhir tahun 1926, kemudian ditangkap dan dijebloskan ke
penjara dengan tuduhan hendak memberontak (Abdul Muluk Nasution, 1981:
91).
Sehubungan
dengan keputusan Prambanan tersebut pemimpin-pemimpin PKI Sumatera
Barat menempuh langkah-langkah guna mempersiapkan pemberontakan, yang
meliputi :
a. Sejalan dangan Surat Edaran Komite Pusat PKI No.221 maka PKI cabang Sumatera
Barat
berusaha mengumpulkan senjata. Surat Edaran tersebut berisi perintah
kepada cabang Padang supaya mengumpulkan uang derma yang dimaksudkan
untuk membeli persenjataan yang akan digunakan untuk melakukan aksi
pemberontakan.
b. Mengadakan aksi-aksi ilegal.
Ini
terutama dilakukan dalam bentuk membangun sel- sel PKI di derah-daerah
pertanian dalam rangka memperkuat semangat perlawanan. Dalam
perkembangannya, organisasi-organisasi ilegal ini mempunyai pengaruh
cukup basar di Sumatera Barat, terutama Sarekat Jin yang bergerak di
Padang dan Pariaman (Ruth T.Mc Vey, 1965: 194 ).
c. Memperkuat propaganda di kalangan buruh-buruh tani yang bekerja di perkebunan – perkebunan.
Tetapi
gelagat akan terjadinya pemberontakan di Sumatera Barat, terlebih dulu
tercium Pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, pemerintah
kolonial Belanda segera bertindak melakukan penangkapan-penangkapan
terhadap pemimpin-pemimpin PKI Sumatera Barat. Berturut-turut Said Ali,
Idrus, Sarun, Yusup Gelar Radjo Kacik, Datuk Bagindo Ratu dan Haji
Baharuddin pada akhir tahun 1926, kemudian ditangkap dan dijebloskan ke
penjara dengan tuduhan hendak memberontak (Abdul Muluk Nasution, 1981:
91).
Konstruk Organisasi Komunis
Analisa Sejarah Lahirnya Komunis di Indonesia
Komunis
lahir saat kondisi di Hindis Belanda ( Indonesia ) sedang mangalami
ketertindasan akibat system yang diterapkan oleh Belanda à Belanda
mencerminkan praktek Kapitalisme dan Feodalisme à Menindas kaum kecil
seperti buruh dan petani
Pada
awalnya Komunis hendak menghancurkan belanda dan islam, tetapi melihat
begitu besarnya rakyat yang beragama islam yang itu bisa dimanfaatkan
sebagai massa pro komunis, akhirnya mereka juga menerapkan ide yang
awalnya ditentang oleh mereka ( ide untuk tidak menghancurkan islam tapi
justru memanfaatkannya dating dari Tan Malaka, ia menganggap dalam
menerapkan teori komunis harus melihat konteks wilyah )
Di
awal – awal lahirnya, massa yang dibidik adalah buruh, tetapi seiring
dengan berjalannya waktu mereka juga melihat bahwa petani bisa dijadikan
basis massa yang lebih solid dari pada buruh, akhirnya mereka pun
mengalihkan perhatiannya kepada kaum petani dan juga masyarakat islam.
Faktor
yang turut berpengaruh terhadap besarnya organisasi ini adalah apa yang
mereka tawarkan kepada petani, buruh serta kamuflase nilai komunis yang
disamakan dengan nilai islam. Hal ini karena kondisi saat itu benar –
benar kondisi yang berat dan menekan kaum kecil seperti buruh dan
petani. Dengan propaganda mereka yang dianggap pro rakyat kecil, mereka
pun mendapatkan simpati yang cukup besar.
[1] Blue Frames Forums > A Blue Alternative Community > BlueFame Pustaka > sejarah
[2]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada beberapa istilah untuk petani
antara lain petani berdasi, petani gurem, dan petani penggarap.
Perbedaan istilah itu berdasarkan klasifikasi kepemilikan tanah
[3]
Jusuf M. van der Kroef dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan
Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah di Jawa dari
Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor, 1984, hlm. 162—163
[4]
Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet atau lebih dikenal
sebagai Henk Sneevliet atau dengan nom de guerre (nama samaran dalam
perjuangan) Maring (lahir 13 Mei 1883 – wafat 13 April 1942 pada umur 58
tahun) adalah seorang Komunis Belanda, yang aktif di Belanda dan di
Hindia Belanda. Ia ikut serta dalam perlawanan komunis terhadap
pendudukan Jerman atas Belanda pada masa Perang Dunia II dan dihukum
mati oleh Jerman pada 1942 à lihat www.wikipedia.com ttg Henk Sneevliet
[5] Koleksi Buku Indraganie, serial “ Menggali yang terabaikan “
[6]
Arbi Sanit, Badai Revolusi: Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah
dan Jawa Timur, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 hlm. 43
sumber:http://mastampu.blogspot.com/2012/08/sejarah-komunis-di-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar