12 Ribu Tahun Sebelum Adam
===============
Muhammad saw Manusia Biasa?
Kesalahan terbesar pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi Muhammad
dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya sebagai bertindak
berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan, adalah karena mereka
melihat Nabi Muhammad saw
dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat Nabi saw sebagai makhluk
biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih
tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi rohani
merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya.
SESUNGGUHNYA dalam diri Rasulullah saw terdapat suri teladan yang baik bagi kamu (yaitu) bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari akhir dan banyak menyebut Allah (QS. 33:21)
Benarkah Nabi saw Manusia Biasa — dan Mengapa Wajib Mencintai Beliau dan Keluarganya?
Abdullah bin Amr berkata: Aku menulis segala sesuatu yang aku
dengar dari Rasulullah saw. Aku bermaksud menghapalnya. Tapi orang-orang
Quraisy melarangku dan mereka berkata: “Engkau menulis segala sesuatu
yang engkau dengar dari Rasulullah saw? Padahal beliau hanyalah seorang
manusia yang berbicara saat marah dan senang.” Aku berhenti menulis.
Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Ia kemudian menunjuk kepada mulutnya dan berkata: “Tulis saja. Demi
yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang ke-luar
dari sini kecuali kebenaran.”
Kedudukan Nabi dalam al-Quran
Terdapat puluhan ayat di dalam al-Quran yang memuja Nabi Muhammad
saw, apakah dalam bentuk pujian langsung, seperti ayat yang menyatakan
bahwa Nabi memiliki akhlak yang sangat luhur. Atau dalam bentuk
penyebutan sifat-sifat terpuji yang dimiliki Nabi. Berikut beberapa
contoh keagungan Rasulullah sebagaimana dalam al-Quran.
1. Keimanan semua rasul kepada Nabi. Imam ‘Ali
bin Abi Thalib kw berkata: Setiap kali Allah mengutus seorang nabi,
mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah
menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti Nabi Muhammad saw diutus,
mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil janji setia dari
kaumnya untuk melakukan hal yang sama.
Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi: “Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhammad saw) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada kalian, kalian benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah) berkata: “Apakah kalian menerima dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini?” Mereka berkata: “Ya, kami berjanji untuk melakukan itu.” Dia berkata: “Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian.” (QS. 3:81)
2. Kabar gembira tentang kedatangan Muhammad saw.
Al-Quran menjelaskan bahwa para penganut Ahlul Kitab tahu betul tentang
kedatangan Nabi Muhammad saw, sebagaimana mereka tahu betul siapa anak
mereka. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya
itu (QS. 2:89, 146). Dan itu pula yang dipintakan Nabi Ibrahim as dalam
doanya:
Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (Muhammad) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS. 2:129).
3. Penciptaan Nabi Muhammad saw sebelum Nabi Adam
as. Tetapi penciptaan itu masih dalam wujud “nur” atau cahaya. Ketika
Allah menciptakan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam yang
kemudian berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga
sulbi ‘Abdullah, ayah Nabi. Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah
saw bersabda:
Alloh telah menciptakanku dalam wujud nur yang bersemayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum menciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami baru berpisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib. Al-Quran menyebutkan bahwa sulbi-sulbi tempat bersemayamnya nur itu adalah sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa orangtua dan nenek moyang Rasulullah sampai ke Nabi Adam as. Istilah al-Quran, al-Sajidîn, orang-orang patuh. Allah berfirman: Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi ke sulbi orang-orang patuh (QS. 26:217-219).
4. Nabi Muhammad saw adalah manusia suci. Tidak
pernah berbuat kesalahan, apalagi dosa. Namun demikian, ia tetap manusia
biasa seperti manusia lainnya, dalam arti bahwa secara biologis tidak
ada perbedaan antara Nabi saw dengan yang lain. Allah berfirman dalam
QS. 33:33:
“Sesungguhnya yang dikehendaki Allah ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. Riwayat-riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait pada ayat di atas adalah ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan Nabi Muhammad saw sendiri.
5. Nabi Muhammad selalu dibimbing Allah Swt.
Ucapannya, perbuatannya, tutur katanya dan sebagainya, semuanya ; di
bawah pengarahan dan bimbingan Allah Swt.
Sesungguhnya dia (Muhammad) tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsu, melainkan semuanya semata-mata adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS. 53:3-4).
6. Nabi Muhammad saw adalah panutan yang sempurna, uswatun hasanah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik buat kamu.” (QS.33:21). Karena itu, maka “Apa pun yang dibawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus kamu jauhi.” (QS. 59:7)
7. Dibukanya rahasia kegaiban kepada Nabi Muhammad saw. Allah berfirman: Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada rasul yang dikehendaki (QS. 72: 26-27). Tentu saja Rasulullah saw berada di urutan paling atas di antara para rasul yang menerima anugrah utama ini.
8. Allah memuji Nabi Muhammad saw dengan berbagai
pujian karena keluhuran akhlak-nya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih
sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak
mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu
Allah Swt memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika
ada sedikit saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3; 94:1-4).
Nabi Sebagai Manusia Biasa?
Dari sekian ayat yang kita lihat di atas tidak dapat disangkal bahwa
Nabi Muhammad saw bukan manusia biasa, dalam arti bahwa kedudukannya
sangat-sangat mulia di sisi Allah. Ia telah diciptakan Allah sebelum
menciptakan yang lainnya. Nabi telah dipersiapkan membawa amanat-Nya
jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan utusan-utusan itu
diperintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat manusia
kedatangannya. Nabi ditetapkan sebagai perantara antara manusia dengan
Tuhan, dan sebagainya. Akan tetapi semua ini tidak harus membuat kita
memposisikannya sebagai bukan dari golongan manusia, seperti yang
dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as. Nabi Muhammad saw tetap
manusia sebagai-mana manusia lainnya, sebagaimana isyarat al-Quran dalam
beberapa ayatnya di atas. Pada diri Nabi Muhammad saw terdapat segala
sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi biologis manusia.
Karena itu Nabi makan, minum, sakit, tidur, berdagang, berkeluarga,
senang, sedih, dan sebagainya, seperti umumnya manusia. Al-Quran sengaja
menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia, basyar,
seperti manusia lainnya untuk membantah alasan penolakan kaum musyrikin
terhadap Nabi saw bahwa ia bukan dari golongan malaikat, atau (paling
tidak) ‘bekerjasama’ dengan malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan
kaum Muslimin supaya tidak mengulangi kesalahan seperti yang dilakukan
kaum Nasrani terhadap Nabi Isa yang menganggapnya sebagai Tuhan.
Tetapi, ketika kita mengatakan bahwa Nabi adalah ‘manusia biasa’
seperti manusia lainnya, tidak berarti bahwa kita harus menganggapnya
salah, keliru, melanggar, atau segalanya lalu berakhir sesudah beliau
wafat. Tidak. Sama sekali tidak demikian. Kesucian, keterpeliharaan dari
dosa (ma’sum), hidup abadi bersama Allah sesudah kematian,
atau kemampuan berhubungan dengan-Nya sesudah kematian, adalah perkara
ruhani yang mungkin saja dicapai oleh manusia asalkan (jika) ia telah
mencapai kedudukan ruhani yang begitu tinggi, atau katakanlah mencapai
maqam ‘Insan Kamil‘.
Allah Swt memang menciptakan manusia dari unsur tanah, yang
menghasilkan dimensi biologisnya. Namun, Allah juga menciptakan unsur
lainnya pada manusia, yakni ‘ruh’ Allah, yang justru dapat membuat
manusia lebih tinggi dari makhluk mana pun, bahkan dibanding malaikat
sekali pun.
Tingginya kedudukan itu terjadi jika — melalui ruh itu — manusia tadi
mampu mengatasi unsur biologisnya. Itulah sebabnya mengapa malaikat dan
jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam atau manusia.
Itulah pula mengapa Nabi Muhammad dapat menembus Sidratul-Muntaha,
sementara Jibril akan hangus terbakar jika berani mencoba melangkahkan
kaki meskipun hanya setapak. Padahal Jibril adalah penghulu para
malaikat. Karena Nabi Muhammad telah mencapai derajat kesempurnaan
mutlak insani. (Salah satu buku yang memuat kisah perjalanan ini dan
sering dibaca pada peringatan Maulid Nabi saw, misalnya, adalah kitab “Samtu ad-Durar“, karya Habib Ali Al-Habsyi).
Kesalahan terbesar pihak yang menolak mengakui kebesaran Nabi
Muhammad di atas dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya
sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan, yaitu
karena mereka melihat Nabi Muhammad saw dengan kacamata materi.
Mereka hanya melihat Nabi saw sebagai makhluk biologis.
Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari
sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi ruhani merupakan
jati diri manusia yang sesungguhnya.
Melihat seorang hanya dari dimensi biologisnya adalah logika
orang-orang kafir. Bukan logika orang-orang beriman. Dengan alasan bahwa
para utusan itu ‘hanya manusia seperti mereka’, orang-orang kafir
menolak mengakuinya sebagai nabi atau rasul. Di sini, baiklah kita tengok ayat-ayat Qur’an ini:
“Dan tidaklah menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman ketika datang kepada mereka petunjuk kecuali mereka membuat alasan: Apakah Allah mengutus rasul dari golongan manusia? (QS. 17:94).
Tapi orang-orang beriman berkata: “Kami mengimaninya. Semuanya dari sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7).
Selain itu, mereka yang mengaggap maulid itu bid’ah, biasanya karena menyamakannya dengan sebuah tindakan ‘ibadah mahdhah‘
(mah-dhoh) . Padahal perayaan atau peringatan Maulid yang dimeriahkan
dengan berbagai kegiatan sebagai tanda sukacita atas kelahiran Rasul saw
bukan merupakan ‘ibadah mahdhah‘.
Nah, dalam kaidah Islam, ada aturan penting bahwa dalam segala ibadah
mahdhah, maka prinsipnya adalah “semua tidak dibolehkan kecuali yang
yang telah ditetapkan.” Contoh ibadah mahdhah itu adalah ibadah dalam
rukun Islam yang lima itu (syahadat, shalat, zakat, puasa, haji). Maka,
dalam hal ini, siapa pun tidak boleh menambahi sesuatu atau mengurangi
sesuatu di dalamnya. Dengan kata lain, tidak boleh ada kreativitas di
dalam ibadah mahdhah itu. Sehingga siapa pun tidak boleh, misalnya,
menambah jumlah roka’at solat subuh menjadi tiga — karena merasa ingin
lebih dekat dengan Allah.
Pasangan ibadah mahdhah adalah ‘muamalah’. Dalam hal ini, prinsipnya
semua (kreativitas) diperbolehkan, kecuali yang nyata-nyata dilarang.
Muamalah, adalah semua selain ibadah mahdhoh. Contohnya adalah berdakwah
lewat telepon, atau membaca solawat dan puji-pujian kepada Nabi saw di
masjid pada saat di luar solat, menggambar komik dakwah, atau ketika
menunggu imam masuk ke masjid. Nah, yang begitu itu, prinsipnya boleh —
bukan bid’ah. Logis kan? Masa orang tidak boleh berkreasi, sepanjang
kreativitasnya itu dalam koridor ‘amar ma’ruf nahi munkar’? Masalahnya,
mungkin yang suka menuduh bid’ah itu tidak pernah tahu apa yang dibaca
pada saat peringatan Maulid di sana sini di seluruh dunia. Bukankah yang
dibaca adalah kalimat-kalimat ‘toyyibah‘ (baik, manis), kisah
sejarah dan akhlak Nabi saw (agar orang meneladani akhlaknya), dan
syair-syair cinta kepada Allah, kepada Nabi saw, keluarga dan sahabat
beliau?
Sikap kepada Nabi saw
Berdasarkan beberapa ayat tentang keagungan Nabi Muhammad saw di atas
dan beberapa riwayat Nabi, kita dapat melihat betapa Allah menuntut
kita untuk menghormati dan mengagungkan rasul-Nya.
Coba perhatikan ayat shalawat (solawat). Adakah
perintah yang sama dengan perintah shalawat, yaitu yang didahului dengan
pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya telah melakukannya terlebih
dahulu dan oleh karena itu kita pun diperintahkan untuk melakukan-nya,
selain shalawat kepada Nabi? Tidak ada. Perintah itu berarti kita harus
selalu melihat Nabi dengan penuh ta’dzim (pengormatan) dan agar kita selalu membalas jasa-jasanya.
Oleh karena itu pula, Nabi saw selalu mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir.
Bahkan orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke Madinah
untuk berziarah kepadanya (berarti) telah memutus hubungan silaturrahmi
dengannya.
Pada ayat tawassul kita bahkan diperingatkan Allah: jika ingin
dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya harus bertawassul kepadanya. Jika
tidak, Allah tidak akan mengabulkan permohonan ampun kita. Allah juga
mengingatkan agar kita tidak memperlakukannya sama dengan kita (manusia
yang bukan nabi), sebab hal itu dapat menghapus pahala amal ibadah kita
(QS. 49:2-3).
Selain itu, kita juga diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang
dilakukan atau diucapkan Nabi saw lahir karena emosi atau hawa nafsunya.
Tapi semuanya atas bimbingan Allah yang tidak pernah salah. Ia tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya (QS. 53:3-4).
Dengan demikian, yang mengagungkan dan memerintahkan kita untuk
mengagungkan Nabi Muhammad saw adalah Allah Swt sendiri. Bukan kita.
Kita hanya mengikuti perintah dan ajaran Tuhan saja. Lalu mengapa kita
harus menentang Allah dan Rasul-Nya, hanya karena takut jatuh dalam
hantu “kultus” yang kita ciptakan sendiri (seperti sering dituduhkan
kaum Wahhabi-Takfiri)?
Sebenarnya tidak ada kultus; karena kultus ialah melebih-lebihkan
sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pengagungan Nabi Muhammad saw justeru
mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw sebagaimana mestinya, seperti
diperintahkan al-Quran. Justru jika kita tidak melakukan itu,
dikhawatirkan telah menzalimi beliau. Sesungguhnya orang-orang yang
mengganggu Allah dan rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di
akhirat dan Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya (QS. 33:57).
1. Allah bershalawat kepada Nabi. Demikian juga seluruh malaikatnya. Karena itu orang-orang yang beriman diperintahkan bershalawat kepadanya (QS. 33:56).
Arti shalawat Allah kepada Nabi adalah ‘penganugerahan rahmat dan kasih
sayang-Nya’; shalawat malaikat adalah permohonan limpahan rahmat-Nya.
Demikian pula shalawat orang-orang beriman.
2. Orang-orang beriman diperintahkan untuk tidak
memperlakukan Rasulullah sebagaimana perlakuan mereka terhadap sesama
mereka. Jika berbicara kepada Rasul harus dengan suara yang pelan, tidak
boleh teriak-teriak, karena hal itu akan menghapus pahala amal mereka (QS. 49:2-3).
3. Allah akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Nabi. “Dan tuhanmu akan memberimu sehingga membuatmu senang” (QS.
93:5). Ayat ini menunjukkan betapa Allah amat mencintai Nabi-Nya. Ia
akan memberikan apa saja yang diinginkan Nabi dan akan melakukan apa
saja demi menyenangkan hati ‘kekasih’-Nya itu. Dan salah satu anugrah
Allah yang paling besar kepada Nabi ialah, wewenang “memberi syafaat”
kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi juga di dunia,
yaitu dalam bentuk pengabulan doa yang disampaikan oleh Nabi untuk
umatnya, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafatnya.
4. Nabi saw ditetapkan sebagai perantara (wasilah) antara diri-Nya dengan manusia. Bahkan merupakan salah satu syarat terkabulnya doa. Kami
tidak utus seorang rasul kecuali untuk ditaati, dengan seizin Allah.
Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa, lalu
memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka,
pastilah mereka dapati Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih (QS. 4:64). Tawassul kepada Nabi Muhammad saw ini sudah dilakukan para nabi dan orang-orang salih jauh sebelum kelahirannya.
Banyak riwayat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawassul
kepada Nabi Muhammad saw saat mereka berdua dikeluarkan dari surga.
Tatkala Nabi Adam as dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada
Allah atas perbuatanya. Dalam permohonannya itu, ia bertawassul melalui
Nabi Muhammad saw: “Ya Allah, melalui kebesaran Muhammad, aku mohon ampun pada-Mu kiranya Engkau ampuni dosaku.”
- Allah Swt bertanya kepada Adam, “Dari mana kamu tahu Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?”
- Adam berkata, “Tuhanku, ketika Engkau cipta-kan aku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh-Mu dalam diriku, aku mengangkatkan kepalaku dan kulihat di pilar-pilar Arsy tertulis Lâ ilâha illallâh Muhammad Ra-sûlullâh. Aku tahu Engkau tidak akan menyertakan nama hamba-Mu kepada nama-Mu kecuali yang paling Engkau cintai.”
- Allah Swt berkata, “Engkau benar, Adam. Muhammad adalah hamba yang paling Aku cintai. Dan karena engkau memohon ampun melaluinya, maka Aku kabulkan permohonanmu. Hai Adam, kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakan-mu.”
Untuk keterangan lebih lengkap tentang hal ini, baik juga membaca
beberapa artikel ilmiah yang antara lain menuliskan kewajiban mencintai
Nabi dan keluarga (ahlul bait)-nya; antara lain berdasarkan dalil al-qur’an dan hadis berikut ini (maaf masih dalam bahasa Inggris, belum diterjemahkan):
- Verily Allah only desires to keep away the uncleanness from you, O People of the House (Ahl al-Bayt) and to purify you a thorough purifying [Verse of Purification from Qur’an 33:33]
- Prophet Muhammad (s) was asked by his Companions: “How should we invoke blessings for you?” … He said: “Say: ‘O Allah! Send Your blessings on Muhammad and the Family of Muhammad, as You sent Your blessings on Abraham and on the Family of Abraham, for You are the Most Praiseworthy, the Most Glorious.’” [Sahih al-Bukhari, volume 4, book 55, number 589]
- Link:http://syafiqb.com/2012/02/06/muhammad-saw-manusia-biasa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar