Kiai Abdul Malik dan Detik Proklamasi
============================
Kisah ini pernah diceritakan oleh Habib Luthfi, murid Syekh Abdul Malik bin Ilyas. Pernah suatu ketika kiai yang berasal dari daerah Purwokerto Banyumas tersebut mengajak Habib Luthfi jalan-jalan.
Di tengah perjalanan di antara daerah Bantarbolang-Randudongkal, Kiai
Abdul Malik tiba-tiba menyuruh untuk menghentikan perjalanannya. “Pak
Yuti, berhenti dulu,” perintah Kiai Malik kepada Suyuti, supir, untuk
menghentikan mobil.
“Nggih Mbah,” jawab supir. Mobil pun menepi untuk berhenti.
“Ke tempat yang adem saja, biar enak untuk gelaran,” kata Kiai Malik.
Waktu itu sekitar pukul 09.45 WIB. Setelah mendapat tempat untuk
beristirahat, tikar digelar dan termos juga dikeluarkan. Kiai Malik
mengeluarkan rokok khasnya, klembak menyan, kemudian diraciknya sendiri
sebelum dinikmati Sesekali dia mengeluarkan jam dari kantongnya, sembari
berkata, “Dilut maning (sebentar lagi),”
Sang murid pun heran, ada apa gerangan yang berulang kali diucapkan gurunya ‘dilut maning’ itu.
Namun, setelah pukul 09.50 WIB, rokok yang belum habis tadi tiba-tiba dimatikan. Kemudian berkata, ”Ayo Pak Yuti, Habib mriki (kesini)!”
Setelah itu Kiai Malik membacakan hadroh al Fatihah untuk Nabi,
Sahabat dan seterusnya sampai disebutkan pula sejumlah nama pahlawan
seperti Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, Kiai Mojo, Jenderal
Sudirman dan lain sebagainya.
Sampai ketika tepat pukul 10.00 WIB, Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyyah ini terdiam beberapa saat dan kemudian berdoa Allahummaghfirlahum warhamhum. Setelah selesai, Habib Luthfi yang penasaran dengan apa yang dilakukan gurunya, kemudian bertanya kepada Syekh Malik, “Mbah, wonten napa ta (ada apa)?”
“Anu, napa niki jam 10, niku napa namine, Pak Karno Pak Hatta rumiyin baca napa (pukul 10 dulu Pak Karno Pak Hatta dulu membaca apa) ?” tanya Kiai Malik.
“Proklamasi, Mbah,” jawab Habib Luthfi.
“Ya niku lah, kita niku madep ngormati (ya itulah kita berhenti sejenak menghormati),” jawab Kiai Malik.
Betapa dalamnya cara para Kiai dan sesepuh kita di dalam menghormati
dan menanamkan karakter nasionalisme. “Sampai begitu mereka, kita ini
belum ada apa-apanya, makanya sampai sekarang saya etok-etoke
meniru, setiap tanggal 17 Agustus kita baca Al-Fatihah. Rasa mencintai
dan memiliki. Tanamkan kepada anak-anak kita!” tegas Habib Luthfi
mengakhiri kisahnya.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-lang,id-ids,1-t,warta-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar