Khadijah Binti Khuwaylid, Potret Wanita Pejuang Dakwah Islam
Oleh: Hilmy Muhammad
بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar
Menjadi wanita adalah kodrat sekaligus anugerah Allah. Barangkali
tidak mudah dijalani dan penuh jalan terjal. Tapi adalah keniscayaan
jika wanita kemudian menjadi isteri bagi suami, dan menjadi ibu dari
anak-anaknya. Peran domestik yang sudah sedemikian repot ini kadang
masih ditambah dengan peran sosial wanita sebagai bagian dari anggota
komunal masyarakat. Sungguh merupakan pengabdian yang luar biasa, karena
di samping mengurus masalah pribadi dan keluarga, mereka masih harus
berbagi waktu dan usaha bagi kerja-kerja sosial.
Sejarah mencatat bagaimana wanita berperan dalam soal-soal
kemasyarakatan dan bahkan dalam perjuangan bangsa. Dan itu bukan hanya
terjadi di abad ini tapi bahkan jauh di beberapa abad yang lalu, di masa
Rasulullah shallallahu ‘alayh wasallam. Wanita berperan
sedemikian rupa dalam berbagai bentuk dan cara. Mereka ikut mangayubagyo
dan menghantarkan Islam menjadi seperti yang dapat dilihat pada masa
ini. Salah satu wanita motivator dan teladan itu adalah Sayyidah
Khadijah binti Khuwaylid, sebagaimana profil perjuangannya berikut ini.
Fenomena Khadijah Binti Khuwaylid radliyallahu ‘anha
Khadijah adalah isteri Kanjeng Rasul yang pertama. Sejarah mencatat,
beliau bukan hanya wanita pertama yang masuk Islam, tapi juga adalah
orang pertama yang menyatakan iman kepada Nabi. Beliau menikah dengan
Kanjeng Rasul saat berusia 40 tahun. Dan dalam 25 tahun
pernikahannya dengan Nabi, beliau dikaruniai Allah dua orang putra dan
empat orang putri, yaitu: al-Qasim, ‘Abdullah, Zaynab, Ruqayyah, Umm
Kultsum dan Fathimah.
Khadijah senantiasa memberi semangat dan menjadi motivator utama
Nabi. Beliau merupakan pendamping setia Nabi, terutama saat masyarakat
mengucilkan Nabi. Sebagai seorang saudagar, melalui harta kekayaannya,
beliau menjadi pendukung utama Nabi dalam menegakkan agama Islam.
Saat kematian Khadijah, Nabi menjadikannya sebagai “Tahun Kesedihan” atau ‘Ammul-Huzni.
Saat masih bersama, Nabi tidak menduakan Khadijah. Nabi bahkan menduda
dan tidak beristri lagi selama tiga tahun paska meninggalnya
Khadijah. Besarnya cinta Nabi juga terlihat ketika beliau menziarahi
kuburan Khadijah, pada momentum para shahabat bereuforia merayakan
keberhasilan menaklukkan Makkah (Fath Makkah).
Potret Perjuangan Khadijah
Cinta Nabi yang sedemikian besar kepada Sayyidah Khadijah tentu
berdasarkan alasan-alasan agama. Ini bukan semata-mata cinta suami
kepada isteri, sebagaimana asumsi Sayyidah ‘Aisyah saat cemburu akibat
Nabi mengagung-agungkan namanya: “Seakan-akan di dunia ini tidak ada
wanita selainnya (كأن لم يكن في الدنيا امرأةٌ إلا خديجة)”. Nabi kemudian
menjelaskan alasannya:
“واللهِ، ما أبدلَنِي اللهُ خيْرًا مِنْها: آمَنَتْ بِي
حِيْنَ كَفَر الناسُ، وصدَّقَتْني إِذْ كَذَّبَنِي الناسُ، ووَاسَتْنِي
بِمَالِها إِذْ حَرَّمَنِي النَّاسُ، ورَزَقَنِي منها اللهُ الوَلَدَ دون
غَيْرِها من النِّسَاءِ.”
(Demi Allah, Allah tidak memberiku wanita pengganti yang lebih baik daripadanya: dia iman kepadaku tatkala orang-orang mengingkariku; dia mempercayaiku ketika orang-orang mendustakanku; dia membantuku dengan hartanya saat orang-orang tidak mau membantuku; dialah ibu dari anak-anak yang Allah anugerahkan kepadaku, tidak dari istri-istri yang lain)
Ada beberapa penegasan yang dapat diambil dari penjelasan Nabi terhadap keistimewaan Sayyidah Khadijah radliyallahu ‘anha sebagaimana di atas:
1. Ungkapan “آمَنَتْ بِي حِيْنَ كَفَر الناسُ” berarti, landasan
perjuangan adalah keimanan. Iman menjadi visi dan misi perjuangan
Sayyidah Khadijah. Bermakna perjuangan beliau senantiasa bersandar pada
keyakinan tauhid dan berbasiskan ajaran agama. Hal inilah yang
menjadikan beliau berjuang tanpa takut dan tanpa menyerah, meskipun
harus dilakukan dengan susah payah.
2. Ungkapan “وصدَّقَتْني إِذْ كَذَّبَنِي الناسُ” bermakna,
keharusan untuk memiliki komitmen yang kuat. Berdasarkan iman dan
keyakinan yang kokoh, maka Sayyidah Khadijah memiliki tekad kuat
mengawal perjuangan Nabi hingga tuntas. Komitmen inilah yang menjadikan
beliau berani membela Nabi, melawan para penentang dan menanggung
penderitaan bersama dengan Nabi.
3. Ungkapan “ووَاسَتْنِي بِمَالِها إِذْ حَرَّمَنِي النَّاسُ”
bermaksud, kerelaan Sayyidah Khadijah untuk berkorban. Berkorban adalah
bukti cinta dan kesetiaan. Tidak ada perjuangan tanpa disertai dengan
pengorbanan. Rela berkorban berarti kesediaan dan keikhlasan berjuang
tanpa mengharap imbalan, baik bersifat materi, maupun non-materi.
Kerelaan berkorban bahkan menuntut seseorang berani dan bersedia
menanggung penderitaan bagi terwujudnya tujuan perjuangan.
4. Ungkapan “ورَزَقَنِي منها اللهُ الوَلَدَ دون غَيْرِها من
النِّسَاءِ” dapat diartikan sebagai kesadaran Khadijah terhadap kodrat
dan keberadaannya sebagai wanita, yang memiliki peran utama sebaga
isteri dan ibu bagi anak-anak. Jadiperan domestik ini tetap tidak boleh
ditinggalkan selama menjalankan peran sosial. Hal ini bermakna,
perjuangan yang dilakukan haruslah tetap dalam batas dan dukungan suami
atau orangtua, dan tetap menjaga fitrah, harga diri, harkat dan martabat
pribadinya sebagai seorang wanita.
Demikian catatan singkat ini disampaikan. Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Daftar Bacaan:
- Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari.
- Muslim. Shahih Muslim.
- At-Tirmidzi. Sunan At-Tirmidzi.
- Al-Bayhaqi, Abu Bakr Ahmad ibn al-Husayn. Dala`il an-Nubuwwah wa Ma’rifah Ahwal Shahib asy-Syari’ah.
- Bint Syathi’, ‘Aisyah Abdurrahman. Nisa` al-Nabi ‘alayhish-Shalatu was-Salam.
- Haykal, Muhammad Husayn. Hayat al-Nabi.
sumber:http://krapyak.org/2013/03/22/khadijah-binti-khuwaylid-potret-pejuang-dakwah-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar