ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 30 November 2011

Makna Tembang Lir-ilir, Lir-ilir, Tandure wus sumilir, Sunan Kalijaga

==========
Lir Ilir
==========
Karya besar (tembang Ilir-ilir) ini dibuat oleh Sunan Kalijaga, yang terkenal dengan dakwah Islam ala Jawa yang telah dikenal masyarakat pada zamannya hingga sekarang. Sunan Kalijaga ialah anggota Wali Songo (sembilan Waliullah) yang dikenal sebagai sosok bijaksana dan cerdas.Beliau adalah satu-satunya anggota Wali Songo yang asli keturunan Jawa. Oleh karena itu, dalam misi menyebarkan agama Islam, beliau menggunakan cara-cara kejawen yang mudah dimengerti oleh kalangan orang Jawa yang pada waktu itu masih ada pengaruh budaya Hindu. Dakwahnya tidak hanya dikenal di kalangan rakyat jelata, namun kalangan ningrat pun mengetahuinya. Oleh karena itu, beliau dikenal oleh kaum muslim yang fanatik sebagai pemimpin “Islam abangan”. Maksud “abangan” dalam konteks ini ialah (cara dakwah) tidak seperti Islam aslinya di Negeri Arab, khususnya dalam hal budayanya.
Kebijaksanaan dalam hal kebudayaan memang beliau ambil sendiri (diterapkan secara lokal). Bangsa Jawa saat itu memang murni Bangsa Jawa yang berkebudayaan Jawa, tidak perlu diganti dengan kebudayaan Bangsa Arab. Hanya dalam hal kepercayaan saja harus diganti dengan kepercayaan Islam, dengan pengertian yang dalam. Maka (pada waktu itu), seni dan kebudayaan Jawa tidak dihapus oleh Sunan Kalijaga, namun diberi warna Islam, upacara ritual seperti selamatan doanya diganti dengan doa Islam. Wayang kulitpun diubah sedemikian rupa bentuknya, sehingga tidak menyalahi hukum Islam. Hingga pada perjalanannya, beliau menghasilkan karya besar berbudaya Jawa dengan membuat tembang seperti Ilir-ilir dan Dandang Gula yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dakwah.
Tembang Ilir-ilir ini akan kita kaji lebih dalam dalam pembahasan ini, karena di dalamnya banyak sekali pelajaran-pelajaran yang patut kita teladani. Berikut adalah syair tembang tersebut :
ILIR – ILIR
Lir-ilir, Lir-ilir,
Tandure wus sumilir,
Tak ijo royo-royo,
Tak sengguh penganten anyar.
Cah angon – cah angon,
Penekno blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu penekno,
Kanggo mbasuh dodotiro.
Dodotiro – dodotiro,
Kumitir bedah ing pinggir,
Dondomana jlumatana,
Kanggo seba mengko sore.
Mumpung padang rembulane,
Mumpung jembar kalangane,
Yo suraka, surak hiyo.
Syair tersebut sangat indah jika kita merenungkannya secara mendalam.
Nasihat Dibalik Tembang ILIR – ILIR
Tembang ini mengandung nasihat bagaimana untuk menjadi muslim yang baik. Secara garis besar tembang tersebut berisi:
· Bait pertama menerangkan mulai bangkitnya iman Islam.
· Bait kedua ialah perintah untuk melaksanakan Rukun Islam yang lima.
· Bait ketiga tentang taubat, memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan untuk bekal kelak.
· Bait keempat menerangkan tentang adanya kesempatan-kesempatan (yang baik).
Berikut adalah uraian-uraian secara rinci :
Uraian “Lir-ilir Tandure Wis Sumilir”
Kata Lir-ilir berasal dari bahasa Jawa “Ngelilir” yang bahasa Indonesianya ialah terjaga/bangun dari tidur. Maksudnya ialah, orang yang belum masuk (agama Islam) dikatakan masih tidur / belum sadar. Pada tembang di atas, kata “Lir-ilir, Lir-ilir” (diulang sebanyak dua kali), maksudnya ialah “bangun-bangun”, bangun ke alam pemikiran yang baru, yaitu Islam.
Sedangkan baris “tandure wis sumilir”, terdiri dari :

“tandure” berarti “benih” yang ditanam.
“wis sumilir” berarti sudah tumbuh.

Jadi, baris “tandure wis sumilir” sama dengan benih yang ditanam sudah mulai tumbuh. Benih di sini berarti iman, yaitu iman Islam. Pada dasarnya semua manusia yang terlahir di muka bumi ini telah dianugerahi benih berupa iman oleh Allah swt. Disadari atau tidak bergantung pada orang-orang yang bersangkutan. Jika orang yang bersangkutan tersebut “sadar” akan adanya benih itu dalam dirinya dan mau merawat dengan baik setiap harinya, maka benih itu akan tumbuh subur, tentunya akan menghasilkan buah yang baik pula. Perawatan benih iman itu dapat berupa :

Membaca Al Quran atau bacaan-bacaan Islam lainnya.
Menghadiri pengajian.
Mendengarkan khutbah mimbar agama Islam
Menjalin hubungan baik / silaturrahmi dengan sesama.

Masih banyak lagi pupuk-pupuk (makanan rohaniah) lainnya, yang tentunya dilaksanakan dengan penuh keikhlasan.
Uraian “Tak Ijo Royo-Royo, Tak Sengguh Pengantin Anyar”
“Tak ijo royo-royo” – Dibuat tumbuh subur, daunnya hijau nan segar. Maksud kalimat tersebut nampaknya menekankan “penampilan” tentang pribadi muslim yang menyenangkan. Adanya benih iman yang selalu dirawat yang menjadikan pribadi muslim sehat jasmani dan rohani. “Ijo-royo-royo” merupakan lambang tanaman yang subur karena dirawat dengan baik.
“Tak sengguh penganten anyar” – pengantin baru. Pengantin ialah pasangan mempelai. Analogi ini disangkutkan dengan manusia atas keyakinan imannya, yang baru bertemu menjadi pengantin. Pasangan / pengantin baru ialah orang yang sangat berbahagia hidupnya. Begitu pula dengan “tak sengguh penganten anyar,” orang yang telah bersanding dengan keyakinan iman Islam.
Jadi, maksud dari “Tak ijo royo-royo, tak sengguh pengantin anyar” berarti benih iman seseorang yang dirawat dengan baik akan menghasilkan seorang muslim yang baik pula. Kebahagiaan seorang muslim di sini ibarat pengantin baru.
Iman yang kokoh yang digambarkan dengan “tak ijo royo-royo” tadi, haruslah selalu dijaga dan dirawat dengan baik. Tumbuhan bisa tidak “tak ijo royo-royo” lagi bila terkena hama. Analogi ini bisa kita kaitkan dengan iman seorang muslim.
Penjagaan iman supaya tetap kokoh haruslah mampu menghalau hama-hamanya (contoh : tindakan kemungkaran). Berjudi, mencuri, zina, minum minuman keras, dan sejenisnya merupakan hama iman yang harus segera dibasmi.
Uraian “Cah Angon – Cah Angon, Penekno Blimbing Kuwi”
“Cah angon” berarti anak gembala. Kata-kata tersebut diulang bahkan dua kali, yang berarti di sini terdapat penekanan, adanya perintah yang penting. Perintahnya yaitu : “penekno blimbing kuwi” (panjatlah belimbing itu). Perintah ini diberikan kepada bawahan / kedudukan yang lebih rendah dari atasan / kedudukan yang lebih tinggi. Analogi ini sepintas berkesan “orang tua yang memerintah anaknya.”
Mengapa yang harus diperintah ialah “cah angon?” Ada gembala, pasti ada yang digembalakannya. Arti cah angon (bukan hanya anak semata) ialah manusia. Manusia yang sebagai gembala menggembalakan nafsu-nafsunya sendiri. Nafsu-nafsu yang dimiliki setiap orang ini, kalau tidak digembalakan, bisa merusak dan tentunya banyak melanggar perintah / aturan agama. Pribadi manusia haruslah bisa berperan sebagai gembala yang baik. Intinya, “cah angon” merupakan sebutan yang diperuntukkan untuk seorang muslim yang menjadi gembala atas nafsu-nafsunya sendiri.
“Penekno blimbing kuwi.” Ini bukan berarti harus memanjat buah belimbingnya, namun “panjatlah pohon belimbing itu.” Perintah yang harus dipanjat ialah pohon belimbingnya (untuk meraih buahnya). Timbul pertanyaan, mengapa harus belimbing yang dijadikan contoh di sini, kok tidak durian atau strawberi? Kita tahu bahwa belimbing mempunyai 5 sisi. Nah gambaran ini sebenarnya merujuk kepada rukun Islam yang lima, yaitu :

(Dua kalimat) syahadat
Mendirikan sholat
Membayar zakat
Berpuasa Ramadhan
Menunaikan ibadah haji

Uraian “Lunyu – Lunyu yo Penekno kanggo Mbasuh Dodotiro”
Bahasa Indonesia dari “Lunyu-lunyu yo penekno” ialah “Meskipun licin, tetap panjatlah” (baris ini berhubungan dengan baris sebelumnya “Cah angon-cah angon, peneken blimbing kuwi”). Licin merupakan sebuah penghambat bagi si pemanjat. Haruslah memanjat dengan sungguh-sungguh dan hati-hati. Jika tidak, maka akan tergelincir jatuh.
Sama halnya dengan perintah agama. Jika tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin bila tergelincir ke neraka. Analogi secara kasat mata, jalan turun memang lebih mudah daripada jalan naik, jalan menuju neraka lebih mudah daripada jalan menuju ke surga. Bukankan minum minuman keras, judi, berzina, berdusta, memfitnah lebih mudah daripada mencegah kemungkaran, mengerjakan sholat dan berpuasa? Namun, bagi “cah angon” yang taat, perintah Allah untuk memanjat “blimbing” tadi bukanlah beban dan bukan sesuatu yang berat baginya (untuk meraih buah yang lezat, yaitu surga).
“Kanggo mbasuh dodotiro” mempunyai maksud : berguna untuk membersihkan atau mensucikan kepercayaan kita, hingga benar-benar menjadi kepercayaan yang suci. Dodot ialah pakaian kebesaran di lingkungan kraton. Dodot = pakaian. Analogi ini diibaratkan sebagai “kepercayaan.” Pada zaman “WaliSongo” dulu, banyak orang yang memeluk agama Hindu, Buddha, dan Animisme. Hal-hal seperti itu dicuci dengan “iman Islam” oleh WaliSongo, hingga jadilah agama yang bersih dan benar yaitu agama Islam. Salah satu pembersihnya yaitu rukun Islam yang lima.
Uraian “Dodotiro – Dodotiro Kumitir Bedah ing Pinggir, Dondomana Jlumatana, Kanggo Seba Mengko Sore”
Keterangan sebelumnya menerangkan bahwa “dodot” untuk menggambarkan agama atau kepercayaan yang dianut. “Kumitir bedah ing pinggir” artinya : banyak robekan-robekan di bagian tepi.
Berikutnya terdapat perintah “dondomana jlumatana” – dijahit/diperbaiki. Pakaian yang rusak tadi hendaklah diperbaiki agar pantas dipakai lagi. Demikian halnya dengan kepercayaan kita. Bila rusak (karena dosa-dosa yang telah dilakukan), hendaknya diperbaiki dengan jalan memohon ampun kepada Allah (taubat) dan melakukan rukun Islam sebaik-baiknya. “Kanggo seba” mengandung arti : “datang, menghadap Yang Maha Kuasa, yaitu Allah.” Sedangkan “sore” mengandung maksud “akhir dari perjalanan.” Akhir dari perjalanan manusia.
Jadi, maksud dari “Kanggo seba mengko sore” yaitu : “untuk menghadap Allah nanti bila perjalanan hidup sudah berakhir.” Hikmahnya yaitu bagaima kita melaksanakan perintah dalam mengamalkan rukun Islam dengan baik sebagai bekal untuk menghadap Allah kelak ketika hidup sudah berakhir.
Uraian “Mumpung Padang Rembulane, Mumpung Jembar Kalangane”
Terjemahan Bahasa Indonesia-nya ialah : “selagi terang sinar bulannya, selagi luas tempatnya.” terang bulan yang jelas saat malam hari.
Tanpa cahaya bulan pada malam hari (tanpa penerang apapun) akan gelap gulita, tidak dapat melihat apa-apa. Maksudnya, disaat “gelap” orang akan sulit (bahkan tidak mampu) membedakan yang haq dan batil (mana yang baik/benar dan mana yang buruk/salah/haram). Namun, pada suasana gelap itu sesungguhnya terdapat “sinar penerangan” dari cahaya bulan (Sinar Islam), sehingga bisa nampak jelas mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang haq dan mana yang batil. “Mumpung jembar kalangane” – Luas cakupan sinar bulan, mampu menerangi daerah yang luas.
Jadi, maksud dari “Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane” adalah mumpung masih ada kesempatan bertaubat untuk meraih surga (menek blimbing) itu / untuk melaksanakan perintah agama, yaitu rukun Islam yang lima tadi. Hal ini dikarenakan dengan adanya Sinar Islam itu, kita bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kesempatan yang baik dan luas itu jangan sampai disia-siakan begitu saja. Semua itu merupakan ajakan untuk seluruh umat manusia agar melaksanakan kelima rukun Islam dengan baik dan benar.
Uraian “Yo Surako, Surak Hiyo”
Baris di atas (mari bersorak-mari bersorak) ialah ajakan untuk bersorak. Sorak merupakan ekspresi kebahagiaan dan kesenangan bagi yang bersangkutan. Mengapa harus berbahagia? Tak lain ialah karena ia sudah berhasil melaksanakan perintah “Peneken blimbing kuwi, lunyu-lunyu ya peneken.” Bahagia atau senang ini diperoleh sebagai hadiah dari pekerjaannya “memanjat belimbing itu” (surga).
Inti dari baris tersebut ialah, mengajak “Si Cah Angon” (seorang muslim) yang telah melaksanakan perintah “peneken blimbing kuwi” dengan baik, untuk berbahagia karena akan memperoleh pahala yang berupa surga.
Demikian uraian ini semoga bermanfaat bagi kita semua.

البردة في مدح خير الانام

البردة في مدح خير الانام :البردة المنشد: عبدالرحمن البار اسماء الله الحسنى


http://www.youtube.com/watch?v=zZZl3TJikws


البردة المنشدين حسين الحامد عبدالرحمن البار



http://www.youtube.com/watch?v=HGWW80EfHGc

=======================================

سيرة ونسب واعمال الامام البويصيري صاحب البردة

بسم الله الرحمن الرحيم


اشتهر الإمام شرف الدين محمد بن سعيد بن حماد الصنهاجي البوصيري بمدائحه النبوية، التي ذاعت شهرتها في الآفاق، وتميزت بروحها العذبة وعاطفتها الصادقة، وروعة معانيها، وجمال تصويرها، ودقة ألفاظها، وحسن سبكها، وبراعة نظمها؛ فكانت بحق مدرسة لشعراء المديح من بعده، ومثالا يحتذيه الشعراء لينسجوا على منواله، ويسيروا على نهجه؛ فظهرت قصائد عديدة في فن المدائح النبوية، أمتعت عقل ووجدان ملايين المسلمين على مرّ العصور، ولكنها كانت دائمًا تشهد بريادة الإمام البوصيري وأستاذيته لهذا الفن بلا منازع.



حياته الحافلة
ولد البوصيري بقرية "دلاص" إحدى قرى بني سويف من صعيد مصر، في (أول شوال 608هـ = 7 من مارس 1213م) لأسرة ترجع جذورها إلى قبيلة "صنهاجة" إحدى قبائل البربر، التي استوطنت الصحراء جنوبي المغرب الأقصى، ونشأ بقرية "بوصير" القريبة من مسقط رأسه، ثم انتقل بعد ذلك إلى القاهرة حيث تلقى علوم العربية والأدب.


وقد تلقى البوصيري العلم منذ نعومة أظفاره؛ فحفظ القرآن[ في طفولته، وتتلمذ على عدد من أعلام عصره، كما تتلمذ عليه عدد كبير من العلماء المعروفين، منهم: أثير الدين محمد بن يوسف المعروف بأبو حيان الغرناطي، وفتح الدين أبو الفتح محمد بن محمد العمري الأندلسي الإشبيلي المصري، المعروف بابن سيد الناس... وغيرهما.


عُني البوصيري بقراءة السيرة النبوية، ومعرفة دقائق أخبار النبي (صلى الله عليه وسلم) وج، امع سيرته العطرة، وأفرغ طاقته وأوقف شعره وفنه على مدح النبي (صلى الله عليه وسلم)، وكان من ثمار مدائحه النبوية (بائياته الثلاث)، التي بدأ إحداها بلمحات تفيض عذوبة ورقة استهلها:




وافاكَ بالذنب العظيم المذنبُ خجلا يُعنفُ نفسَه ويُؤنِّبُ


ويستهل الثانية بقوله:




بمدح المصطفى تحيا القلوبُ وتُغتفرُ الخطايا والذنوبُ


أما الثالثة، وهي أجودها جميعًا، فيبدؤها بقوله:




أزمعوا البين وشدوا الركابا فاطلب الصبر وخلِّ العتابا


وله –أيضا- عدد آخر من المدائح النبوية الجيدة، من أروعها قصيدته "الحائية"، التي يقول فيها مناجيا الله عز وجل:





يا من خزائن ملكه مملوءة كرمًا وبابُ عطائه مفتوح

ندعوك عن فقر إليك وحاجة ومجال فضلك للعباد فسيح
فاصفحْ عن العبد المسيء تكرُّمًا إن الكريم عن المسيء صفوح


وقصيدته "الدالية" التي يبدؤها بقوله:





إلهي على كل الأمور لك الحمد فليس لما أوليتَ من نعمٍ حدُّ

لك الأمر من قبل الزمان وبعده وما لك قبل كالزمان ولا بعدُ
وحكمُك ماضٍ في الخلائق نافذ إذا شئتَ أمرًا ليس من كونه بُدُّ



أعماله
ترك البوصيري عددًا كبيرًا من القصائد والأشعار ضمّها ديوانه الشعري الذي حققه "محمد سيد كيلاني"، وطُبع بالقاهرة سنة (1374 هـ= 1955م)، وقصيدته الشهيرة البردة "الكواكب الدرية في مدح خير البرية"، والقصيدة "المضرية في مدح خير البرية"، والقصيدة "الخمرية"، وقصيدة "ذخر المعاد"، ولامية في الرد على اليهود والنصارى بعنوان: "المخرج والمردود على النصارى واليهود"، وقد نشرها الشيخ "أحمد فهمي محمد" بالقاهرة سنة (1372 هـ= 1953م)، وله أيضا "تهذيب الألفاظ العامية"، وقد طبع كذلك بالقاهرة

=================

البردة في المغرب العربي

http://www.youtube.com/watch?v=0ujqOOpAcPk&feature=related

==============

بعض عن البردة)

قصيدة البردة أو قصيدة البُرأة أو الكواكب الدريَّة في مدح خير البرية. هي أحد أشهر القصائد في مدح محمد، كتبها محمد بن سعيد البوصيري في أوائل القرن السابع الهجري. وقد أجمع معظم الباحثين على أن هذه القصيدة من أفضل قصائد المديح النبوي إن لم تكن أفضلها، حتى قيل : إنها أشهر قصيدة في الشعر العربي بين العامة والخاصة.

وقد انتشرت هذه القصيدة انتشارا واسعا في البلاد الإسلامية، يقرأها المسلمون في معظم بلاد الإسلام كل ليلة جمعة. وأقاموا لها مجالس عرفت بـ مجالس البردة الشريفة، أو مجالس الصلاة على النبي. يقول الدكتور زكي مبارك: (والبوصيري بهذه البردة هو الأستاذ الأعظم لجماهير المسلمين، ولقصيدته أثر في تعليمهم الأدب والتاريخ والأخلاق، فعن البردة تلّقى الناس طوائف من الألفاظ والتعابير غنيت بها لغة التخاطب، وعن البردة عرفوا أبوابًا من السيرة النبوية، وعن البردة تلّقوا أبلغ درس في كرم الشمائل والخلال. وليس من القليل أن تنفذ هذه القصيدة بسحرها الأخاذ إلى مختلف الأقطار الإسلامية، وأن يكون الحرص على تلاوتها وحفظها من وسائل التقرب إلى الله والرسول[1]

===================

سبب نظم هذه القصيدة

يقول البوصيري عن سبب نظمه لهذه القصيدة: كنت قد نظمت قصائد في مدح رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، منها ما اقترحه عليّ الصاحب زين الدين يعقوب بن الزبير، ثم اتفق بعد ذلك أن داهمني الفالج (الشلل النصفي) فأبطل نصفي، ففكرت في عمل قصيدتي هذه فعملتها واستشفعت بها إلى الله تعالى في أن يعافيني، وكررت إنشادها، ودعوت، وتوسلت، ونمت فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم فمسح على وجهي بيده المباركة، وألقى عليّ بردة، فانتبهت ووجدتُ فيّ نهضة، فقمت وخرجت من بيتي، ولم أكن أعلمت بذلك أحداً، فلقيني بعض الفقراء فقال لي: أريد أن تعطيني القصيدة التي مدحت بها رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، فقلت: أي قصائدي؟ فقال: التي أنشأتها في مرضك، وذكر أولها وقال: والله إني سمعتها البارحة وهي تنشد بين يدي رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، وأعجبته وألقى على من أنشدها بردة. فأعطيته إياها. وذكر الفقير ذلك وشاعت الرؤيا.

=================

أجزاء القصيدة

تقع قصيدة البردة في عشرة فصول هي بالترتيب:

الفصل الأول : في الغزل وشكوى الغرام.

الفصل الثاني : في التحذير من هوى النفس.

الفصل الثالث : في مدح سيد المرسلين صلى الله عليه وسلم.

الفصل الرابع: في مولــده صلى الله عليه وسلم.

الفصل الخامس: في معجزاته صلى الله عليه وسلم.

الفصل السادس : في شـرف القرآن ومدحه.

الفصل السابع : في إسرائه ومعراجه صلى الله عليه وسلم.

الفصل الثامن : في جهاد النبي صلى الله عليه وسلم.

الفصل التاسع : في التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم.
الفصل العاشر : في المناجاة وعرض الحاجات.

==================

العلماء شرحوا البردة

شراحها



شرح قصيدة البردة عدد كبير من أئمة السنة واعتنوا بها اعتناء كبيرا، فمنهم:



المُحدث شهاب الدين أحمد بن محمد القسطلاني: المتوفى سنة 923 هـ، وسمى شرحه على البردة الأنوار المُضية في شرح الكواكب الدُرية.

جلال الدين المحلي: المتوفى سنة 864 هـ وهو صاحب كتاب (تفسير الجلالين) وكتاب (شـرح الورقات في أصول الفقه).

الإمام الزركشي : صاحب كتاب (البرهان في علوم القرآن) المتوفى سنة 794 هـ.

الإمام اللغوي خالد الأزهري: مؤلف كتاب (موصل الطلاب إلى قواعد الإعراب) المتوفى سنة 905 هـ.

الشيخ الباجوري: صاحب كتاب (شرح جوهرة التوحيد) المتوفى سنة 1276 هـ.

الإمام النحوي ابن هشام الحنبلي المتوفى سنة761هـ فقد شرح قصيدة البردة شرحاً لغوياً سماهُ الكواكب الدرية.

محمد بن أحمد ابن مرزوق التلمساني: صاحب كتاب (مفتاح الوصول إلى بناء الفروع على الاصول) المتوفى سنة 842 هـ.

ابن العماد: صاحب كتاب (شذرات الذهب) المتوفى سنة 808 هـ.

شيخ الإسلام زكريا بن محمد الأنصاري: المتوفى سنة 926هـ وسماهُ الزبدة الرائقة في شرح البردة الفائقة.

محمد علي بن علاَّن الصدّيقي المكي: شرح البردة وسماه الذخر والعدة في شرح البردة.

ابن الصائغ: المتوفى سنة 776 هـ.

علاء الدين البسطامي: المتوفى سنة 875 هـ.

محمد بن عبد الله بن مرزوق المالكي المغربي: المتوفى سنة 781 هـ.

الشيخ القاضي بحر بن رئيس الهاروني المالكي.

علي القصاني: المتوفى سنة 891 هـ.

الإمام ابن حجر الهيتمي: وسماهُ العمدة في شرح البردة.

===================================



شرح قصيدة البردة عدد كبير من أئمة السنة واعتنوا بها اعتناء كبيرا، فمنهم:



المُحدث شهاب الدين أحمد بن محمد القسطلاني: المتوفى سنة 923 هـ، وسمى شرحه على البردة الأنوار المُضية في شرح الكواكب الدُرية.

جلال الدين المحلي: المتوفى سنة 864 هـ وهو صاحب كتاب (تفسير الجلالين) وكتاب (شـرح الورقات في أصول الفقه).

الإمام الزركشي : صاحب كتاب (البرهان في علوم القرآن) المتوفى سنة 794 هـ.

الإمام اللغوي خالد الأزهري: مؤلف كتاب (موصل الطلاب إلى قواعد الإعراب) المتوفى سنة 905 هـ.

الشيخ الباجوري: صاحب كتاب (شرح جوهرة التوحيد) المتوفى سنة 1276 هـ.

الإمام النحوي ابن هشام الحنبلي المتوفى سنة761هـ فقد شرح قصيدة البردة شرحاً لغوياً سماهُ الكواكب الدرية.

محمد بن أحمد ابن مرزوق التلمساني: صاحب كتاب (مفتاح الوصول إلى بناء الفروع على الاصول) المتوفى سنة 842 هـ.

ابن العماد: صاحب كتاب (شذرات الذهب) المتوفى سنة 808 هـ.

شيخ الإسلام زكريا بن محمد الأنصاري: المتوفى سنة 926هـ وسماهُ الزبدة الرائقة في شرح البردة الفائقة.

محمد علي بن علاَّن الصدّيقي المكي: شرح البردة وسماه الذخر والعدة في شرح البردة.

ابن الصائغ: المتوفى سنة 776 هـ.

علاء الدين البسطامي: المتوفى سنة 875 هـ.

محمد بن عبد الله بن مرزوق المالكي المغربي: المتوفى سنة 781 هـ.

الشيخ القاضي بحر بن رئيس الهاروني المالكي.

علي القصاني: المتوفى سنة 891 هـ.

الإمام ابن حجر الهيتمي: وسماهُ العمدة في شرح البردة.



ومن المعاصرين:



الشيخ عمر عبد الله كامل: وسماه البلسم المريح من شفاء القلب الجريح.

الشيخ محمد عيد عبد الله يعقوب الحسيني: وسماه الشرح الفريد في بردة النبي الحبيب.

==============

http://www.alhabibomar.com/Broadcast.aspx?SectionID=11&RefID=1

البث المبآشر .. مولد في دار المصطفى

============

http://www.alhabibomar.com/Broadcast.aspx?SectionID=11&RefID=1

البث المبآشر .. مولد دار المصطفى

====================

قصيدة من روائع القصائد للأمام البصيري (رحمه الله) عن مدح النبي صلى الله عليه و سلم بمسمى (المحمدية) مع صور نادرة و خاصة و من أجمل الصور عن المسجد النبوي الشريف و القبة الخضراء و المواجة الشريفة .

أداء الجسيس : عبدالرحمن البار

إخراج : عبدالله العطاس و القادم أجمل ,,

اتفضلو بالدخول للصفحة للاستماع



http://www.facebook.com/pages/almnshd-abdulrhman-albar/133734686702971?ref=hnav

================================

((أن الله وملائكته يصلون علي النبي.. يأيها الذين امنو صلو عليه وسلمو تسليما))







من جملة خصائصه صلى الله عليه وسلم، تخصيصه بالصلاة والسلام عليه, فلا يجوز أن تُتخذ شعاراً دائماً إلا له صلى الله عليه وسلم.







ومعنى صلاة الله تعالى على نبيه: ثناؤه عليه في الملأ الأعلى، كما ثبت ذلك عن أبي العالية رحمه الله، قال : "صلاة الله ثناؤه عليه عند الملائكة وصلاة الملائكة الدعاء".



لاتنسو ياحبايب ندعوكم لمجلس البردة مكة المكرمة كل خميس لاتنسو



الله يقوينا في الصلاة على النبي في كل لحظة وكل يوم اللهم صل وسلم عليه وعلى اله





والسلام معناه طلب السلامة من الآفات، فهذه الصيغة فيها سؤال الله تعالى أن يحقق الخيرات لنبيه صلى الله عليه وسلم بالثناء عليه في الملأ الأعلى وإزالة الآفات والسلامة منها





قال حبيب الله عليه الصلاه والسلام ( أكثروا من الصلاة علي في يوم الجمعة وليلة الجمعة فمن فعل ذلك كنت له شهيدا وشافعا يوم القيامة.)





قال حبيب الله عليه الصلاه والسلام (أكثروا من الصلاة علي في كل يوم جمعة فإن صلاة أمتي تعرض علي في كل يوم جمعة، فمن كان أكثرهم علي صلاة كان أقربهم مني منزلة.)





قال حبيب الله عليه الصلاه والسلام ( أكثروا من الصلاة علي في يوم الجمعة فإنه يوم مشهود تشهده الملائكة، وإن أحدا لن يصلي علي إلا عرضت علي صلاته حتى يفرغ منها.)



==================

هذه منظومة للحبيب العلامة محمد الهدار نفعنا الله باسراره ورحمه رحمة الأبرار

http://www.youtube.com/watch?v=kVo7G-9sGWU&feature=share

www.youtube.com

====================

نهج البردة للشاعر المصري محمود سامي البارودي1

هج كثير من الشعراء منهج البردة في مدح الرسول الأعظم صلى الله عليه وآله وسلم، معتبرينها المثال والأيقونة في المديح النبوي كما أوضحنا سالفا. ومنهم من نهج منهجها قلبا وقالبا وعارضها وزنا وقافية، ومنهم من شطّرها ومنهم من خمّسها ومن سدّسها ومن سبّعها. وأكثر هؤلاء الشعراء اختار معارضة القصيدة في شكلها الأساسي ومن هؤلاء أسماء لها ثقلها في تاريخ الشعر العربي ومنهم من كادت تمحى أسماؤهم لولاها.


وتباعا، إن شاء الله تعالى، سنأتي على ذكر نفر من هؤلاء الشعراء مع نقل نهج بردتهم كاملة ما استطعنا لذلك سبيلا، والبداية أحبها أن تكون مع شاعر لطالما أغرمت بشعره الجامع بين أفضل ما في عصرين عظيمين من عصور الشعر العربي ألا وهما العصر الجاهلي والعصر العباسي. هو شاعر عرف على أنه باعث الشعر العربي من موته، ولقب برائد الشعر العربي المعاصر، إنه فقيد السيف والقلم من أحيا دولة الشعر بعد العدم الأمير الأفحم والوزير الأعظم،، الشاعر العربي المصري المتأثر بالثقافتين الفارسية والتركية محمود سامي باشا البارودي.


إن للبارودي نهج بردة ملحمية في 447 بيتا عنوانها ((كشف الغمة في مدح سيد الأمة))، أترككم مع نتف مختارة من مقالة شيقة عنوانها ((قراءة في آثار ‘‘البارودي’’: من هنا مر شاعر))، نشرت في العدد 431 من مجلة العربي بتاريخ أكتوبر1994:








((





ومما ترك محمود سامي البارودي من إرث شعري، ملحمته الدينية ورائعته الأدبية التي قالها في مدح الرسول الكريم كشف الغمة في مدح سيد الأمة. وقبل أن ندخل في تفاصيلها لابدّ من القول إن المدائح النبوية، ظلت تتطور طيلة سبعة قرون إلى أن أصبحت فنا مستقلا، قائما بذاته. ففي القرن السابع للهجرة توافرت لها تقاليد ناضجة تجاوز لامية كعب ابن زهير، ودالية الأعشى ومدائح حسان بن ثابت.

وهذا الفّن مدين لأبي عبدالله محمد البوصيري الذي توّجهُ بميميته الشهيرة البردة. وفيما بعد، عارض شعراء كثيرون بردة البوصيري واستخدموا في معارضاتهم فنا جديدا آنذاك هو فن البديع.

وظلت بردة البوصيري ومعارضاتها، مصدر تحد لكل من كتب في المدائح النبويّة في العصر الحديث.

وإذا كان البوصيري قد خلّص بردته من قيود وعصر الانحطاط، فإن البارودي قد خلّص الشعر العربي كلّه مما كان فيه من وهن وضعف وبديع متكلّف.

… نظم البوصيري قصيدته، استشفاعا عند الله تعالى ورسوله الكريم كي يشفيه من فالج (شلل) أودى بنصفه. ونظم البارودي ملحمته ذريعة أمت بها يوم المعاد، وسلّما إلى النجاة من هول المحشر.

ويشترك الشاعران في الفخر بمشاركة النبي العربي، اسمه الكريم، إذ يقول البوصيري:
فإنّ لي ذمةً [منه] بتسميتي *** محمداً، وهو أوفى الخلق بالذمم



ويقول البارودي :
أم كيف تخذلني من بعد تسميتي *** باسمٍ له في سماء العرش محترم



لكن ملحمة البارودي تمتاز عن بردة البوصيري في محاكاتها أسلوب القدماء.

من ذلك مثلا: الاستطراد. ففيما يكتفي البوصيري بالإشارة إلى قصة الغار الذي لجأ إليه النبيٌ في المدينة، نجد شاعرنا، يفصّلُ في وصف الحمامتين والعنكبوت وعملهما، ويستغرق في ذلك، مبتعدا عن موضوعه الأصليّ وهو المديح، كما كان يفعل القدماء تماما؛ إذ يستغرقهم وصف الناقة فيما هم يمدحون أو يرثون، أو غير ذلك.
يبدأ البارودي ملحمته بالنسيب في مجاراة

====================

نهج البردة للشاعر المصري محمود سامي البارودي2

لبداية بردة البوصيري لكنه يجنح بها إلى الحكمة التي تخلو منها البردة، وكأنه يرغب في المقارنة بين معاناة النبي الكريم في قومه ومعاناة الشاعر في قومه! يبدو ذلك جلياّ في الأبيات من 96 إلى 116 والتي يذكر فيها نزول الوحي واضطلاع الرسول الكريم بأعباء الرسالة في سن الأربعين.

ومن اللاّفت في ملحمة البارودي عنايته بالوصف عموماً وبوصف جيش النبي وغزواته خصوصا.
ويبدو أن تجربة الشاعر كجندي ومقاتل، فارس، وما تثيره ذكرى الوقائع في نفسه قد جعلته يخوض قصيدته، فارساً لا ناظما! …



يقول في وصف أصحابه من معاركه:
إذا نحن سرنا، صرّح الشر باسمه *** وصاح القنا بالموت واستقتل الجندُ



ويقول في صحابة الرسول الكريم:
بيض أساورة، غلْبُ قساورة *** شكْسٌ لدى الحرب مطعامون في الأُزمِ


))






يا رَائِدَ البَرقِ يَمّمِ دارَةَ العَلَمِ *** وَاحدُ الغَمامَ إِلى حَيٍّ بِذِي سَلَمِ


وَإِن مَرَرتَ عَلى الرَّوحاءِ فَامرِ لَها *** أَخلافَ سارِيَةٍ هَتّانَةِ الدِّيَمِ


مِنَ الغِزارِ الَّلواتي في حَوالِبِها *** رِيُّ النَّواهِلِ مِن زَرعٍ وَمِن نَعَمِ


إِذا اِستَهَلَّت بِأَرضٍ نَمنَمَت يَدُها *** بُرداً مِنَ النَّورِ يَكسُو عارِيَ الأَكَمِ



تَرى النَّباتَ بِها خُضراً سَنابِلُهُ *** يَختالُ في حُلَّةٍ مَوشِيَّةِ العَلَمِ

أَ
دعُو إِلى الدَّارِ بِالسُّقيا وَبِي ظَمَأٌ *** أَحَقُّ بِالريِّ لَكِنّي أَخُو كَرَمِ


مَنازِلٌ لِهَواها بَينَ جانِحَتي *** وَدِيعَةٌ سِرُّها لَم يَتَّصِل بِفَمي


أَدِر عَلى السَّمعِ ذِكراها فَإِنَّ لَها *** في القَلبِ مَنزِلَةً مَرعِيَّةَ الذِمَمِ


عَهدٌ تَوَلّى وَأَبقى في الفُؤادِ لَهُ *** شَوقاً يَفُلُّ شَباةَ الرَأيِ وَالهِمَمِ


إِذا تَذَكَّرتُهُ لاحَت مَخائِلُهُ *** لِلعَينِ حَتّى كَأَنّي مِنهُ في حُلُمِ


فَما عَلى الدَهرِ لَو رَقَّت شَمائِلُهُ *** فَعادَ بِالوَصل أَو أَلقى يَدَ السَلَمِ


تَكاءَدَتني خُطُوبٌ لَو رَمَيتُ بِها *** مَناكِبَ الأَرض لَم تَثبُت عَلى قَدَمِ


في بَلدَةٍ مِثلِ جَوفِ العَير لَستُ أَرى *** فيها سِوى أُمَمٍ تَحنُو عَلى صَنَمِ


لا أَستَقِرُّ بِها إِلّا عَلى قَلَقٍ *** وَلا أَلَذُّ بِها إِلّا عَلَى أَلَمِ


إِذا تَلَفَّتُّ حَولي لَم أَجد أَثَراً *** إِلا خَيالي وَلَم أَسمَع سِوى كَلِمي


فَمَن يَرُدُّ عَلى نَفسي لُبانَتَها *** أَو مَن يُجيرُ فُؤادِي مِن يَدِ السَّقَم


لَيتَ القَطا حِينَ سارَت غُدوَةً حَمَلَت *** عَنّي رَسائِلَ أَشواقي إِلى إِضَمِ


مَرَّت عَلَينا خِماصاً وَهيَ قارِبَةٌ *** مَرَّ العَواصِفِ لا تَلوي عَلى إِرَمِ


لا تُدركُ العَينُ مِنها حينَ تَلمَحُها *** إِلا مِثالاً كَلَمعِ البَرقِ في الظُّلَمِ


كَأَنَّها أَحرُفٌ بَرقِيَّةٌ نَبَضَت *** بِالسِّلكِ فَانتَشَرَت فِي السَّهل وَالعَلَمِ



لا شَيءَ يَسبِقُها إِلّا إِذا اِعتَقَلَت *** بَنانَتي في مَديحِ المُصطَفى قَلَمِي
*****

=============

نهج البردة للشاعر المصري محمود سامي البارودي3

*****
مُحَمَّدٌ خاتَمُ الرُسلِ الَّذي خَضَعَت *** لَهُ البَرِيَّةُ مِن عُربٍ وَمِن عَجَمِ


سَميرُ وَحيٍ وَمَجنى حِكمَةٍ وَنَدى *** سَماحَةٍ وَقِرى عافٍ وَرِيُّ ظَمِ


قَد أَبلَغَ الوَحيُ عَنهُ قَبلَ بِعثَتِهِ *** مَسامِعَ الرُسلِ قَولاً غَيرَ مُنكَتِمِ


فَذاكَ دَعوَةُ إِبراهيمَ خالِقَهُ *** وَسِرُّ ما قالَهُ عِيسى مِنَ القِدَمِ


أَكرِم بِهِ وَبِآباءٍ مُحَجَّلَةٍ *** جاءَت بِهِ غُرَّةً في الأَعصُرِ الدُّهُمِ


قَد كانَ في مَلَكوتِ اللَهِ مُدَّخراً *** لِدَعوَةٍ كانَ فيها صاحِبَ العَلَمِ


نُورٌ تَنَقَّلَ في الأَكوانِ ساطِعُهُ *** تَنَقُّلَ البَدرِ مِن صُلبٍ إِلى رَحِمِ


حَتّى اِستَقَرَّ بِعَبدِ اللَهِ فَاِنبَلَجَت *** أَنوارُ غُرَّتِهِ كَالبَدرِ في البُهُمِ


وَاِختارَ آمِنَةَ العَذراءَ صاحِبَةً *** لِفَضلِها بَينَ أَهلِ الحِلِّ وَالحَرَمِ


كِلاهُما فِي العُلا كُفءٌ لِصاحِبِهِ *** وَالكُفءُ في المَجدِ لا يُستامُ بِالقِيَمِ


فَأَصبَحَت عِندَهُ في بَيتِ مَكرُمَةٍ *** شِيدَت دَعائِمُهُ في مَنصِبٍ سِنمِ


وَحِينما حَمَلَت بِالمُصطَفى وَضَعَت *** يَدُ المَشيئَةِ عَنها كُلفَةَ الوَجَمِ


وَلاحَ مِن جِسمِها نُورٌ أَضاءَ لَها *** قُصُورَ بُصرى بِأَرضِ الشَّأمِ مِن أمَمِ


وَمُذ أَنى الوَضعُ وَهوَ الرَّفعُ مَنزِلَةً *** جاءَت بِرُوحٍ بِنُورِ اللَهِ مُتَّسِمِ


ضاءَت بِهِ غُرَّةُ الإِثنَينِ وَاِبتَسَمَت *** عَن حُسنِهِ في رَبيعٍ رَوضَةُ الحَرَمِ


وَأَرضَعَتهُ وَلَم تَيأَس حَليمَةُ مِن *** قَولِ المَراضِعِ إِنَّ البُؤسَ في اليَتَمِ


فَفاضَ بِالدرِّ ثَدياها وَقَد غَنِيَت *** لَيالياً وَهيَ لَم تطعَم وَلَم تَنَمِ


وَاِنهَلَّ بَعدَ اِنقِطاعٍ رِسلُ شارِفِها *** حَتّى غَدَت مِن رَفِيهِ العَيشِ في طُعَمِ


فَيَمَّمَت أَهلَها مَملُؤَةً فَرَحاً *** بِما أُتيحَ لَها مِن أَوفَرِ النِّعَمِ


وَقَلَّصَ الجَدبُ عَنها فَهيَ طاعِمَةٌ *** مِن خَيرِ ما رَفَدَتها ثَلَّةُ الغَنَمِ


وَكَيفَ تَمحَلُ أَرضٌ حَلَّ ساحَتَها *** مُحَمَّدٌ وَهوَ غَيثُ الجُودِ وَالكَرَمِ


فَلَم يَزَل عِندَها يَنمُو وَتَكلَؤُهُ *** رِعايَةُ اللَهِ مِن سُوءٍ وَمِن وَصَمِ


حَتّى إِذا تَمَّ مِيقاتُ الرَّضاعِ لَهُ *** حَولَينِ أَصبَحَ ذا أَيدٍ عَلَى الفُطُمِ


وَجاءَ كَالغُصنِ مَجدُولاً تَرِفُّ عَلى *** جَبِينِهِ لَمحاتُ المَجدِ وَالفَهَمِ


قَد تَمَّ عَقلاً وَما تَمَّت رَضاعَتُهُ *** وَفاضَ حِلماً وَلَم يَبلُغ مَدى الحُلُمِ


فَبَينَما هُوَ يَرعى البَهمَ طافَ بِهِ *** شَخصانِ مِن مَلَكوتِ اللَهِ ذي العِظَمِ


فَأَضجَعاهُ وَشَقّا صَدرَهُ بِيَدٍ *** رَفِيقَةٍ لَم يَبِت مِنها عَلى أَلَمِ


وَبَعدَ ما قَضَيا مِن قَلبِهِ وَطَراً *** تَوَلَّيا غَسلَهُ بِالسَّلسَلِ الشَّبِمِ


ما عالَجا قَلبَهُ إِلّا لِيَخلُصَ مِن *** شَوبِ الهَوى وَيَعِي قُدسِيَّةَ الحِكَمِ



فَيا لَها نِعمَةً لِلّهِ خَصَّ بِها *** حَبيبَهُ وَهوَ طِفلٌ غَيرُ مُحتَلِمِ
*****

==========

نهج البردة للشاعر المصري محمود سامي البارودي4

*****
وَقالَ عَنهُ بُحَيرا حِينَ أَبصَرَهُ *** بَأَرضِ بُصرى مَقالاً غَيرَ مُتَّهَمِ


إِذ ظَلَّلَتهُ الغَمامُ الغُرُّ وَانهَصَرَت *** عَطفاً عَلَيهِ فُروعُ الضَّالِ وَالسَّلَمِ


بِأَنَّهُ خاتَمُ الرُّسلِ الكِرامِ وَمَن *** بِهِ تَزُولُ صُرُوفُ البُؤسِ وَالنِّقَمِ


هَذا وَكَم آيَةٍ سارَت لَهُ فَمَحَت *** بِنُورِها ظُلمَةَ الأَهوالِ وَالقُحَمِ


ما مَرَّ يَومٌ لَهُ إِلّا وَقَلَّدَهُ *** صَنائِعاً لَم تَزَل فِي الدَّهرِ كَالعَلَمِ


حَتّى اِستَتَمَّ وَلا نُقصانَ يَلحَقُهُ *** خَمساً وَعِشرِينَ سِنُّ البارِعِ الفَهِمِ


وَلَقَّبَتهُ قُرَيشٌ بِالأَمينِ عَلى *** صِدقِ الأَمانَةِ وَالإِيفاءِ بِالذِّمَمِ


وَدَّت خَديجَةُ أَن يَرعى تِجارَتَها *** وِدادَ مُنتَهِزٍ لِلخَيرِ مُغتَنِمِ


فَشَدَّ عَزمَتَها مِنهُ بِمُقتَدِرٍ *** ماضِي الجِنانِ إِذا ما هَمَّ لَم يخمِ


وَسارَ مُعتَزِماً لِلشَّأمِ يَصحَبُهُ *** في السَّيرِ مَيسُرَةُ المَرضِيُّ فِي الحَشَمِ


فَما أَناخَ بِها حَتّى قَضى وَطَراً *** مِن كُلِّ ما رَامَهُ في البَيعِ وَالسَّلَمِ


وَكَيفَ يَخسَرُ مَن لَولاهُ ما رَبِحَت *** تِجارَةُ الدِّينِ في سَهلٍ وَفِي عَلَمِ


فَقَصَّ مَيسُرَةُ المَأمونُ قِصَّتَهُ *** عَلَى خَديجَةَ سَرداً غَيرَ مُنعَجِمِ


وَما رَواهُ لَهُ كَهلٌ بِصَومَعَةٍ *** مِنَ الرَّهابينِ عَن أَسلافِهِ القُدُمِ


في دَوحَةٍ عاجَ خَيرُ المُرسَلينَ بِها *** مِن قَبل بعثَتِهِ لِلعُربِ وَالعَجَمِ


هَذا نَبِيٌّ وَلَم يَنزِل بِساحَتِها *** إِلّا نَبيٌّ كَريمُ النَّفسِ وَالشِّيَمِ


وَسِيرَةَ المَلَكَينِ الحائِمَينِ عَلى *** جَبِينِهِ لِيُظِلّاهُ مِنَ التّهَمِ


فَكانَ ما قَصَّهُ أَصلاً لِما وَصَلَت *** بِهِ إِلى الخَيرِ مِن قَصدٍ وَمُعتَزَمِ


أَحسِن بِها وصلَةً في اللَّهِ قَد أَخَذَت *** بِها عَلى الدَّهرِ عَقداً غَيرَ مُنفَصِمِ



فَأَصبَحا في صَفاءٍ غَير مُنقَطِعٍ *** عَلى الزَّمانِ وَوِدٍّ غَير مُنصَرِمِ
*****

===============

جزء من قصيدة طويلة في الرد على اليهود النصارى للإمام ال

جزء من قصيدة طويلة في الرد على اليهود النصارى للإمام البوصيري رحمه الله تعالى



جاء المسيح من الإله رسولا فأبى أقل العالمين عقولا

قوم رأوا بشرا كريما فادعوا من جهلهم – بالله – فيه حلولا

وعصابة ما صدقته .. وأكثرت بالإفك والبهتان فيه القيلا

لم يأت فيه مُفرَِط بالحق تجريحاً ولا تعديلا

فكأنما جاء المسيح إليهم ليكذبوا التوراة والإنجيلا

فاعجب لأمته التى قد صيرت تنزيهها لإلهها : التنكيلا

وإذا أراد الله فتنة معشر وأضلهم . رأوا القبيح جميلا

هم . يجلوه بباطل فابتزه أعداؤه بالباطل التبجيلا

وتقطعوا أمر العقائد بينهم زمراً . ألم تر عقدها محلولا ؟

هو آدم فى الفضل . إلا أنه لم يعط حال النفخة التكميلا

***

أسمعتم أن الإله لحاجة يتناول المشروب والمأكولا

وينام من تعب . ويدعو ربه ويرود من حر الهجير مقيلا

ويمسه الألم الذى لم يستطع صرفا له عنه ولا تحويلا ؟

ياليت شعرى حين مات بزعمهم من كان بالتدبير عنه كفيلا ؟

هل كان هذا الكون دبر نفسه من بعده . أم آثر التعطيلا ؟

زعموا الإله فدى العبيد بنفسه وأراه كان القاتل المقتولا

إجزوا اليهود بصلبه خيراً ، ولا تجزوا الآخذ البرطيلا

أيكون قوم فى الجحيم ويصطفى منهم كليماً ربنا وخليلا ؟

وأجل روحاً قامت الموتى به عن أن يُرى بيد اليهود قتيلا

فدعوا حديث الصلب عنه دونكم من كتبكم ما وافق التنزيلا

***

شهد الزبور بحفظه ونجاته أفتجعلون دليلا مدخولا ؟

أيكون من حفظ الإله مضيّعاً أو من أشيد بنصره مخذولا ؟

أيجوز قول منزه لإلهه : سبحان قاتل نفسه . فأقولا ؟

أو جلّ عن جعل اليهود بزعمكم شوك القتاد لرأسه إكليلا

ومضى لحبل صلبه مستسلما للموت مكتوف اليدين ذليلا ؟

كم ذا أبكتكم . ولم تستنكفوا أن تسمعوا التبكيت والتخجيلا

ضل النصارى فى المسيح وأقسموا لا يهتدون إلى الرشاد سبيلا

جعلوا الثلاثة واحدا . ولو اهتدوا لم يجعلوا العدد الكثير قليلا

عبدوا إلها من إله . كائنا ذا صورة . ضلوا بها ، وهيولا

لُعن اليهود مع النصارى لا تكن بهم على طريق الهدى مدلولا

فالمُدّعو التثليث . لا تحفل بهم قد خالفوا المنقول والمعقولا
والعابدون العجل قد فتنوا به ودّوا اتخاذ المرسلين عجول

==================

البث المباشر للدروس والاذكار من دار المصطفى





http://www.alhabibomar.com/Broadcast.aspx?SectionID=11&RefID=1

--------------------------------

البردة من ألبوم قمر بني هاشم الإخوة ابو شعر.wmv

اتفضلو الرابط






http://www.youtube.com/watch?v=I89_hDLnrIE&feature=related

============

الدرس المباشر على الانترنت في كتاب الوصايا النافعة للإمام الحداد يبدأ في تمام الرابعة والنصف عصر هذا اليوم بتوقيت مكة المكرمة ..

يمكن المتابعة وتنزيل كتاب الوصايا من خلال هذا الرابط



http://www.alhabibomar.com/NewsItem.aspx?SectionID=2&RefID=176

=====================

ذكر المنتقل إلى رحمة الله الحبيب سعد بن علوي العيدروس

محاضرة للحبيب عمر في مصلى أهل الكساء بدار المصطفى ليلة الجمعة 9 ذي القعدة 1432هـ . ضمن دروس إرشادات السلوك بعنوان : ذكر المنتقل إلى رحمة الله الحبيب سعد بن علوي العيدروس.

http://www.alhabibomar.com/Lecture.aspx?SectionID=8&RefID=1492

===============

ذكر المنتقل إلى رحمة الله الحبيب سعد بن علوي العيدروس

محاضرة للحبيب عمر في مصلى أهل الكساء بدار المصطفى ليلة الجمعة 9 ذي القعدة 1432هـ . ضمن دروس إرشادات السلوك بعنوان : ذكر المنتقل إلى رحمة الله الحبيب سعد بن علوي العيدروس.

http://www.alhabibomar.com/Lecture.aspx?SectionID=8&RefID=1492