ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Kamis, 28 Februari 2013

al-Habib Lutfi Bin Yahya: Benarkah tarekat itu bid'ah

=============

al-Habib Lutfi Bin Yahya: Benarkah tarekat itu bid'ah

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya pernah membaca buku yang menyatakan sesatnya tarekat dan mengharamkan membaca sholawat. Saya bingung, bagaimana mungkin sebuah komunitas zikir disebut sesat. Alasannya, tak ada tuntunan Rasulullah. Saya semakin bingung lagi. Pertanyaan saya, begitu sempitkah ajaran Islam itu sehingga semuanya harus mengikuti Rasulullah? Menurut saya, tarekat juga membaca wirid yang diajarkan Rasulullah. Dan menurut sebuah hadist, Allah swt dan malaikat pun bersholawat kepada Rasulullah saw. Hanya karena dikelompokkan dan kemudian berzikir secara bersamaan dalam sebuah kelompok disebut sesat dan bid'ah? Mohon penjelasan, apa batasan bid'ah itu? Apakah juga untuk semua hal, termasuk wirid secara bersama-sama? Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Jabir Ibnu Hayyan

Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Islam adalah agama yang universal. Ini dapat dibuktikan dengan keuniversalan Al-Qur'an. Orang yang mempelajari Al-Qur'an atas dasar keuniversalannya justru akan selalu melihat bahwa manusia perlu dimodernisasikan. Untuk itu paling tidak diperlukan dan dibekali ilmu yang cukup dalam mempelajari Al-Qur'an.
Islam itu luwes. Sebab kejadian yang tidak terjadi di zaman Rasulullah bisa saja terjadi di zaman para sahabat. Demikian pula, kejadian yang tidak terjadi di zaman sahabat, bisa terjadi di zaman tabi'in yaitu orang-orang yang hidup pada generasi setelah para sahabat Nabi (saw), dan begitupun seterusnya.

Mestinya para ulama itu dapat memberikan jawaban sesuai dengan generasinya karena adanya sebuah perkembangan zaman. Namun itu bukan berarti bahwa Al-Qur'an tidak bisa menjawab persoalan. Al-Qur'an siap menjawab persoalan sepanjang masa. Tapi siapakah yang sanggup memberi penjelasan jika tanpa dibekali ilmu Al-Qur'an yang cukup.

Misalnya saja, pada zaman Rasulullah, pencangkokan mata, ginjal dan sebagainya belum terjadi. Namun, kemungkinan ilmu-ilmu untuk mencangkok sudah ada. Tapi peristiwa itu secara syariat di zaman Rasul belum ada. Mungkin saja terjadi di suatu zaman, contohnya ada seseorang memerlukan kornea mata, dan ahli medis siap untuk melakukannya sebagai sebuah ikhtiar. Untuk orang yang bersangkutan, apakah ini tidak dibenarkan?

Untuk masalah zikir, siapa yang bilang tidak ada ajaran tentang zikir dari Rasulullah. Misalnya, satu Hadist Qudsi -Hadist yang diyakini sebagai firman Allah, bukan ucapan Nabi (saw)- menyebutkan, diriwayatkan oleh Imam Ali Ridha, "Kalimat La ilaha Illallah itu benteng-Ku. Barang siapa mengucapkan kalimat La ilaha Illallah berarti orang itu masuk ke dalam pengayoman-Ku (dalam benteng-Ku). Dan barang siapa yang masuk ke dalam benteng-Ku, berarti amanlah mereka dari siksa-Ku." Apakah ini tidak bisa dianggap sebagai tuntunan?

Selanjutnya, mohon maaf, sebelum Anda ikut-ikutan mengatakan bahwa tarekat itu sesuatu yang bid'ah, ada baiknya Anda mempelajari dulu perihal tarekat. Setelah itu melaksanakan ajaran dalam tarekat tersebut dalam kehidupan Anda sehari-hari. Jadi bukan hanya bersumberkan pada pertanyaan tadi. Lebih dari itu, melaksanakan tarekat sesuai ajaran dan kaidah yang ada dalam tarekat. Nanti Anda akan langsung mengetahui, termasuk siapa ulama-ulama itu, tepat atau tidak bila seorang ulama itu telah mengatakannya sebagai bid'ah. Apakah sejauh itu prasangka kita pada ulama-ulama? Seolah-olah ulama-ulama itu tidak mengerti dosa, dan hanya kita sendiri yang mengerti bid'ah?

Harap diingat, melihat figur jangan sampai dijadikan ukuran. Sebab sebuah figur belum merupakan orang yang alim. Makanya syarat orang yang mengikuti tarekat itu, haruslah mengetahui arkan al-iman (rukun iman) dan Islam. Mengetahui batalnya shalat, rukun shalat, rukun wudhu, batalnya wudhu, dan sebagainya. Juga mengetahui sifat-sifat Allah yang wajib dan yang jaiz, juga tahu sifat para rasul, membedakan barang halal dan haram.

Setelah itu baru dipersilahkan mengikuti tarekat. Itulah dasar kita masuk tarekat. Bukan suatu yang bersifat ikut-ikutan. Sedangkan orang yang masuk terkadang tertarik oleh sebuah ritus, termasuk mendekatkan diri pada ulama. Tetapi di dalam dirinya masih ada banyak kekurangan, sehingga apa yang sebenarnya bukan merupakan ajaran sebuah tarekat, terpaksa dilakukan. Seperti, kita menjalankan tarekatnya namun justru meninggalkan yang wajib. Sekali lagi harus diingat, tarekat adalah buah shalat. Bukan sebaliknya.

Al-Habib Luthfi Bin Yahya: Amalan Bertemu Nabi Khidir AS

============

Al-Habib Luthfi Bin Yahya: Amalan Bertemu Nabi Khidir AS

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya senang dapat berkonsultasi. Saya mohon penjelasan tentang beberapa hal.
Pertama, benarkah ada wirid dan amalan agar dapat bertemu dengan Nabi Khidhir dan Wali Sanga? Jika benar, apa wirid dan amalan tersebut? Kedua, ada beberapa orang yang katanya dapat bertemu dengan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Benarkah yang mereka temui untuk berkonsultasi itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga?
Ketiga, bolehkah penganut tarekat belajar menjadi paranormal? Samakah paranormal dengan Kahin yang disebutkan dalam Hadist Rasulullah (saw)?
Keempat, bolehkah seseorang berbaiat kepada dua orang mursyid sekaligus, misalkan Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah dan Sadziliyah? Demikian pertanyaan kami. Atas penjelasannya, kami haturkan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Taufiq S.
Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Amalan atau wirid yang bisa mengantar atau membantu kita agar bertemu Nabi Khidhir dan Nabi Muhammad itu memang betul ada. Tapi masalah bertemu dengan para Wali Sembilan atau bertemu dengan para wali lainnya itu adalah bagian dari nilai tambah membaca amalan itu. Beberapa wirid yang insya Allah bisa membantu maksud dan tujuan Anda, antara lain dengan membaca al-Ismu al-A'zham yang tertera dalam kitab Sa'adatu Ad-Darrayn. Shalawat tersebut adalah milik Syekh Muhammad Taqiyyudin al-Hambali. Bunyi shalawat itu cukup panjang dan dimulai dengan kata-kata "Allahumma Inni as'aluka bismika al-a'zham" yang artinya, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan berkat nama-Mu Yang Maha Agung." Atau bacaan lain berupa kalimat shalawat. Beberapa wirid itu dapat membantu mempermudah untuk bertemu dengan Baginda Nabi Muhammad (saw) atau Nabi Khidir (as).

Masalah bertemu dengan para wali Allah, seperti pertanyaan Anda yang kedua, bisa dikatakan mudah. Para wali Allah yang sudah sempurna kedudukan dan kewaliannya adalah bagian dari para pewaris Nabi. Sedangkan setan tidak bisa menyerupai Nabi. Makanya para wali Allah yang benar-benar mencapai derajat yang tinggi adalah bagian dari pewaris Nabi, yang tidak mampu diserupai oleh setan.

Masalahnya, orang yang bertemu itu sendiri harus bisa memahami, ilmu tauhidnya harus benar, bisa membedakan mana Sunan Bonang yang sebenarnya dan mana yang mengaku sebagai Sunan Bonang (bukan menyerupai). Mengaku berbeda dengan menyerupai. Kalau menyerupai, setan dijamin tidak bisa menyerupai para wali Allah. Kebenarannya, semua berpulang kepada apa yang diberikan oleh beliau, melanggar syariah atau tidak.

Perlu dicatat, pertama, yang membedakan antara zat yang sekadar mengaku dan yang sebenarnya, terletak pada apa yang diperintahkan. Kedua, bila sudah bertemu, bagaimanakah orang tersebut, apakah ia semakin kuat dalam agamanya atau tidak. Kalau semakin tekun terhadap agamanya, itulah yang disebut khaddam. Tapi, kalau maksiatnya semakin menjadi-jadi, berarti yang datang itu sekadar mengaku. Belajar untuk memenuhi kewajiban dalam menuntut ilmu, termasuk belajar menjadi paranormal, itu tidak ada persoalan. Yang jadi masalah kalau seorang ahli tarekat yang sudah benar mau belajar menjadi paranormal. Alasannya pertama karena, pembukaan hijab (tirai) paranormal itu sudah ada dalam tarekat. Kalau paranormal hanya enam buah hijab, sedangkan tarekat itu ada sebelas buah. Makanya, sesungguhnya malah tidak masuk akal dan tidak akan terurai sebenarnya, di mana seorang ahli tarekat belajar menjadi paranormal (yang derajatnya lebih rendah).

Mengapa para ahli tarekat enggan mempelajari ilmu paranormal. Karena ada batasan atau koridor bahwa ahli tarekat itu tidak mau mendahului kehendak Allah. Ada paranormal yang bisa dikatakan sebagai seorang Kahin, dan ada yang tidak. Perbedaannya adalah bagaimana memulainya. Kalau pemahaman agamanya kuat, maka ia merupakan seorang yang beretika, beradab, dan hanya tunduk kepada-Nya. Dengan keahlian batinnya, justru akan menambah keimanan, karena ia tahu berbagai rahasia yang diberikan kepada hamba-Nya.

Tidak ada masalah kalau berbaiat terhadap dua orang mursyid, asalkan memahami benar koridor yang harus diperhatikan. harus diperhatikan bahwa baiat yang pertama itu sifatnya mutlak. Persoalannya, setelah menjalani baiat yang kedua, apakah dia menanggalkan baiat yang pertama atau tidak. Kalau sampai meninggalkan, itu berbahaya, karena bisa terkena dosa.

Selanjutnya, kenapa banyak mursyid yang tidak memperkenankan dua kali baiat, karena ada asrar (rahasia) yang berbeda dari kedua tarekat yang diikutinya. Ini bisa sangat berbahaya bagi orang yang dibaiat, apalagi kalau dia belum mengetahuinya. Satu orang mengikuti dua tarekat sekaligus bisa diumpamakan satu rumah dengan dua mesin listrik yang berasal dari mesin diesel dan listrik PLN. Diesel digunakan untuk menggantikan listrik sewaktu padam. Tapi bagaimana bisa dibayangkan kalau diesel dan listrik itu dinyalakan secara bersama-sama. Demikian, semoga Anda puas.

Sumber : Majalah Al Kisah

Al-Habib Luthfi Bin Yahya: Benarkah Tasawwuf Hanya Amalan Wali?

=============

Al-Habib Luthfi Bin Yahya: Benarkah Tasawwuf Hanya Amalan Wali?

Tanya Jawab dengan Habib Lutfi,- Al Kisah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya bersyukur dapat berdialog karena dapat mengobati kerinduan saya sebagai pengamal tarekat Junaidi al-Bagdadi.

Di daerah saya ada penceramah yang mengatakan, shalat, puasa, zikir, shalawat dan lain-lain adalah tarekat atau jalan mendekat kepada Allah. Seolah kita tidak perlu mengambil salah satu tarekat yang muktabarah seperti yang kita kenal. Benarkah demikian? Beberapa penceramah pernah juga mengatakan, kita sebenarnya cukup belajar ilmu fikih. Karena amalan tarekat atau ilmu tasawuf adalah amalan wali. Sedangkan kita orang awam, bukan wali. Karena itu kami memohon petunjuk.

Lalu apa hukumnya bertarekat? Apa beda antara tarekat yang berbaiat dan amalan yang diambil dari kitab atau buku tanpa baiat? Apakah boleh mengamalkan tarekat lebih dari satu? Atas jawaban, kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Saleh

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Ananda dan keluarga dilindungi Allah (Swt). Perlu Ananda ketahui, tarekat itu sangat luas. Saya tekankan, tarekat tidak bisa dilepaskan dengan syariat. Shalat, zakat dan haji adalah syariat Allah. Dalam tarekat itu disebut menjalankan syariat Allah. Yang dimaksud di sini adalah thariqat al-ihsan atau tarekat yang mengajarkan jalan kebajikan. Jangan salah membedakan syariat dan tarekat. Suatu hari, bertanya Sayyidina Ali kepada Baginda Nabi, "Ya Rasulullah, ajari kami jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah." Kata Rasulullah, "Bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Bila tidak mampu melihat, merasalah dilihat dan didengar oleh Yang Mahakuasa." Sekarang, mampukah kita menumbuhkan perasaan yang demikian di hati kita?

Saya tidak mau mengatakan orang lain, tapi saya katakan diri saya sendiri. Saya itu kalau membaca takbiratul ihram pada waktu itu saja ingat sedang berhadapan dengan Allah, tapi setelah membaca Iftitah atau surah Al-Fatihah, terkadang hati dan pikiran terbang melayang. Tidak merasa bahwa kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah (Swt).

Menurut syariat, shalat seperti itu sudah sah. Sebab syariat hanya mengatur batal atau tidaknya berwudhu, sah atau tidaknya pakaian yang dikenakan. Itu cukup memenuhi syariat. Sedangkan tarekat tidak. Tarekat mengatur bagaimana hati kita pada waktu menghadap Allah, harus bersih dari yang lain. Sehingga merasa betul-betul bersih untuk bersembah sujud. Mampukah kita waktu sujud itu merasa sebagai hamba yang fakir? "Tiada yang wajib aku sembah melainkan Engkau." Dan waktu bersembah sujud kita merasakan kekurangan yang ada pada diri kita. Nah, itulah tarekat. Itulah yang dimaksud ihsan. Sehingga Sayidina Ali diajarkan Baginda Nabi, pada waktu menanyakan cara mendekat kepada Allah. Rasulullah bersabda, "Pejamkan matamu, duduk yang baik dengan bersila." Lalu ia ditalkin oleh Baginda Nabi, "La ilaha illallah, la ilaha illallah, la ilaha illallah, Muhammadur-rasulullah." Dari situ lahirlah ijazah zikir, seperti yang diajarkan Nabi. Jika menjalankan ilmu syariat saja sudah dianggap cukup, mana mungkin Rasulullah mengajarkan hal itu pada Sayidina Ali? Padahal kita tahu siapa sebenarnya Sayidina Ali maupun sahabat yang lain. Jadi harus dipisah, mana yang merupakan syariat dan mana yang merupakan tarekat. Jadi berwudhu yang hanya sampai sebatas berwudhu—seperti menjaga agar tidak keluar angin dari belakang, tidak bersentuhan selain muhrimnya—itu baru dianggap memenuhi syarat saja.

Tarekat tidak. Anda dituntut menggunakan wudhu, bukan sekadar untuk mendirikan shalat. Tapi bagaimanakah akhlak orang yang berwudhu. Ketika kita sedang mengambil wudhu itu ada akhlaknya, ada adabnya. Bisakah wudhu membuat kita malu kepada Allah bila bermaksiat. Sedangkan tidak wudhu saja kita malu bermaksiat, apalagi menggunakan air wudhu. Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-Muktabarah adalah tarekat yang asalnya dari Baginda Rasulullah (saw).

Ada jalurnya, ada sanad atau silsilahnya. Ada mata rantainya, yang kesemua berasal dari Baginda Nabi, sahabat, lalu kepada para wali.

Untuk pertanyaan yang terkait dengan ilmu fikih, harus diketahui bahwa ilmu fikih harus dipelajari oleh orang yang mau belajar ilmu tasawuf. Mereka ini hendaklah belajar ilmu syariat dulu dengan matang. Setelah itu baru melangkah ke dunia tarekat, terus tasawufnya. Tarekat tasawuf dan tarekat zikir itu berbeda. Kita harus mencapai tarekat zikir agar meraih ihsan. Karena tarekat tasawuf memerlukan orang yang alim betul dan cukup ilmunya. Kalau kita tidak mampu memahami dunia tasawuf, akibatnya bisa menyimpang. Terutama untuk memahami perkataan orang yang dekat kepada Allah. Mereka ini kerap memakai bahasa yang tinggi, yang sukar dicapai.

Tarekat akan menuntun kita memahami ihsan. Dari sinilah kita belajar ilmu tarekat. Dan tidak harus mengatakan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu para wali. Itu tarekat tasawuf, jadi tasawufnya dahulu. Kita harus mencapai ihsan-nya dahulu.

Agar tidak tergolong sebagai manusia yang lalai kepada Allah (Swt), termasuk untuk menyambung hubungan antara shalat Subuh dan shalat Zuhur, shalat Zuhur dan shalat Asar, shalat Asar dan shalat Magrib, Magrib dan Isya, kita harus bertanya, di tengah-tengah antara shalat-shalat itu ada apa, kita harus berbuat apa? Perbuatan kita itulah yang mengindikasikan apakah kita tergolong lalai atau tidak. Nah, tarekat berperan di situ. Yaitu, agar ada keterkaitan, misalnya antara Subuh dan Zuhur, lalu menerapkannya pada realitas perbuatan kita dengan sesama. Jangan sampai kita hanya merasa dilihat dan didengar oleh Allah saat mengucap takbiratul ihram.

Kalau Anda bertanya apa hukum bertarekat, jawabannya ada dua. Pertama, kalau bertarekat dengan dasar supaya banyak berzikir, itu sunnah. Tapi kalau dasarnya untuk menjauhkan hati dari sifat yang tidak terpuji, seperti lalai kepada Allah hingga menimbulkan takabur, sombong, hasut dan dengki, dalam hal ini hukumnya wajib. Yang dimaksud dengan baiat dalam tarekat adalah mengambil janji. Sebagaimana sahabat mengambil janji terhadap Nabi (saw). Yaitu janji meninggalkan perbuatan dosa besar, dan mengurangi dosa kecil. Mengapa kita mengurangi dosa kecil? Karena dosa kecil bermula dari kelalaian dan menganggap enteng. Sehingga disebut mengurangi, supaya kita betul-betul tidak lalai, walaupun sekecil apa pun. Kedua, janji taat kepada Allah dan Rasul-Nya, para wali dan para ulama, menaati Al-Qur'an dan Hadist, menaati negara dan pemerintahan. Ini yang disebut baiat. Baik antara pribadi dan Tuhannya, maupun pribadi dan Rasul-Nya.

Mengamalkan serangkaian wirid sebaiknya yang sudah diijazahkan, tidak secara ikhbar atau pemberitaan. Apalagi tidak melalui talkin (pengajaran langsung) dan baiat, dan tidak melalui seorang guru yang jelas. Sedangkan suatu ijazah, doa, ataupun membaca kitab tanpa seorang guru, terkadang akan salah memaknainya, termasuk tujuan yang ada di dalam kitab. Karena kita hanya memahami secara otodidak, sebatas kemampuan sendiri. Maka sebaiknya melalui seoarang guru.

Kalau dasarnya ada kemampuan, mengamalkan dua tarekat sekaligus dipersilakan saja. Kalau tidak, sebaiknya hanya satu saja, karena itu lebih baik. Sebab tarekat mempunyai madad (pertolongan) dan asrar (rahasia) yang berbeda. Dikhawatirkan, dua magnet yang berbeda ini menimbulkan ketidakstabilan. Itulah maksud para ulama melarang menduakan tarekat. Di sinilah masalahnya. Semoga Anda puas.

Cinta Itu Satu Perkenalan

============

Cinta Itu Satu Perkenalan

Kalam Al Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al Jufri

Assalamu`alaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat salam semoga selalu terlimpahkan kepada Baginda Rasulullah SAW, keluarga dan Shahabatnya.
Ibnu Abbas RA menjelaskan tentang firman Allah SWT:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menjadikan Jin dan Manusia melainkan untuk menyembah-Ku”.(Q.S. Adh Dhariyat: 56) Yaitu mengenali Alah SWT.

Ibrahim bin Adham RA telah berkata: “Kasih sayang itu merupakan hasil dari sebuah perkenalan, barang siapa yang mengenal Allah SWT maka dia akan mencintai-Nya dan barang siapa mencintai Allah SWT maka dia akan mencintai Baginda Rasulullah SAW, barang siapa yang kenal Baginda Rasulullah SAW, pasti dia akan mencintainya”.
Kita pernah mendengar sebuah ungkapan menarik yang mengatakan bahwa; Tidak wajar hubungan kita dengan Baginda Rasulullah SAW jika hanya sekedar melakukan suatu amalan dan hanya cukup seperti itu, sepatutnya hubungan tersebut akan membuahkan cinta kepada Habibana Muhammad SAW dan cinta itu terus hidup mekar didalam hati kita dan beliau SAW pasti akan hidup didalam hati kita.

Baginda Rasulullah SAW adalah seorang Nabi yang datang kepada kita sebagai seorang manusia, namun Nabi SAW bukanlah seperti insan biasa. Baginda Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara memandang kepada sebuah kehidupan dengan pandangan yang mempunyai makna, bukan pandangan yang sebaliknya. Perbedaan diantara kedua pandangan yang tidak mempunyai makna ialah, seseorang yang melihat dirinya dan semata-mata tertumpu untuk memenuhi kepuasan nafsu dirinya. Pandangan yang mempunyai makna ialah, melihat kepada kehidupan mengikuti pandangan yang telah dibawa Baginda Rasulullah SAW, dimana ia bertujuan untuk mengembalikan kekhalifahan diatas muka bumi ini kepada manusia yang termaktub didalam Al Quran: “sesungguhnya Aku telah jadikan diatas muka bumi ini khalifah”. Pandangan tersebut itu merangkumi kepada hewan, benda-benda tidak bernyawa dan tumbuh-tumbuhan, karena pandangan itu bukan hanya melibatkan pandangan kepada manusia saja tetapi merangkumi semua.
Baginda Rasulullah SAW memandang kepada gunung yang terdiri dari batu dan tanah, dengan suatu pandangan yang membangkitkan perasaan cinta. Sabda beliau SAW: “Uhud adalah bukit yang mencintai kita dan kita juga mencintainya”.

Pandangan yang ditunjukkan Baginda SAW kepada yang tidak bernyawa itu menyebabkan ia begerak dan cenderung kepada Baginda Rasulullah SAW. Dalam suatu peristiwa, bukit Uhud bergetar ketika Baginda Rasulullah SAW mendaki bukit tersebut, kemudian Baginda Rasulullah SAW bersabda: “Tetaplah kamu wahai Uhud, sesungguhnya yang diatas kamu ini ialah seorang Nabi”. Maka bukit Uhudpun berhenti bergetar dan disaksikan oleh shahaabat Abu Bakar As Shidiq dan dua orang lainnya. Pandangan yang ditunjukkan Baginda Nabi Muhammad SAW kepada benda-benda yang tidak bernyawa itu, menyebabkan ia datang kepada Baginda Nabi SAW dan menerimanya.

Sepertu sebuah kisah pelepah kurma yang tidak bernyawa, dimana Baginda Nabi SAW sering memegang pelepah kurma tesebut ketika sedang khutbah Jumat di Masjidnya, hari demi hari bilangan manusia semakin bertambah maka Baginda Nabi SAW menggunakan Mimbar. Suatu ketika Baginda Nabi SAW pun datang ke Masjid untuk khutbah, ketika itu Baginda Nabi SAW telah melepasi pelepah kurma yang dibawanya tersebut, dimana jarak Baginda Nabi SAW dengan pelepah kurma tersebut kurang lebih sekitar 8 langkah. Baginda Nabi SAW melangkah menaiki mimbar dan memulai khutbahnya, semasa khutbah Baginda Nabi SAW, para shahabat mendengar suara tangisan yang teramat sedih dan menyayat hati. Semakin lama suara tangisan itu semakin nyaring terdengar, para shahabat mulai berpaling kekiri dan kekanan mencari-cari dari mana arah datang suara tangisan tersebut, akhirnya mereka dapati suara tangisan itu datang dari pelepah kurma. Apabila benda yang tidak bernyawa ini telah dapati Baginda Nabi SAW berkomunikasi dengannya dan mengandung makna kehidupan yang dibawa Baginda Nabi SAW, maka beliau SAW telah menggerakkan makna kehidupan pada pelepah kurma itu.

Oleh karena itu ia amat menyukai untuk menggambarkan rasa cintanya kepada Baginda Rasulullah SAW. (Hadits ini bertahap mutawatir mengikuti ke Shahihannya)
Para Shahabat berkata: Apabila pelepah kurma itu mulai merengek seperti kehilangan anak, ia menyebabkan kami hampir tidak bisa mendengar suara Baginda Nabi SAW. Kemudian Baginda Nabi SAW turun dari mimbar dan sekali lagi Baginda Nabi SAW telah mengajar kami suatu pengajaran bahwa; Baginda Nabi SAW datang dengan mempunyai pengetahuan tentang rahasia sebuah kehidupan untuk membujuk pelepah kurma itu, kemudian beliau SAW meletakkan tangannya diatas pelepah kurma itu lalu membujuknya seperti seorang ibu yang membujuk anaknya sedang menangis sehingga pelepah kurma itupun terus diam. Lalu Baginda Nabi SAW memberi pilihan kepadanya, kekal hidup sehingga hari kiamat dan kembali kepada Nabi SAW seperti sedia kala atau berada bersama Baginda Nabi SAW didalam Surga. Pelepah kurma itupun memilih untuk bersama Baginda Nabi SAW di Surga.

Baginda Nabi SAW apabila datang kepada hewan, telah mengajar kita bagaimana cara untuk bermuamalah dengan hewan dengan mempunyai nilai ubudiyah kepada Allah SWT. Ketika Baginda Nabi SAW berangkat kemedan jihad di Perang Badar, berulangkali Baginda Nabi SAW turun dari hewan tunggangannya tersebut supaya dapat beristirahat, demikianlah Baginda Nabi SAW terus menerus lakukan pada tunggangannya.

Baginda Nabi SAW telah mengajar kita cara bermuamalah kepada yang telah berkhidmat untuk kita walau ia hanya seekor hewan. Muamalah ini mestilah mempunyai nilai rasa menghargai, bahwa yang dihadapanku ini mempunyai hak sewajarnya untuk dipelihara.
Hasil dari sebuah kecintaan ini juga dapat dilihat, apabila seekor hewan berada dipuncak kemarahan sekalipun, ia mau merasai hubungan dengan orang yang dapat berkomunikasi dengannya dimana orang itu memahami rahasia sebuah kehidupan. Terdapat sebuah kisah tentang seekor unta dan orang Arab tahu apabila unta tersebut membahayakan bahkan bisa membunuh orang, mereka pasti akan mengikatnya. Baginda Nabi SAW melalui kawasan tersebut dan bertanya: “Apa yang berlaku kepada kamu?”, mereka menjawab; “Unta ini bahaya”, Baginda Nabi SAW bersabda; “Bukalah ikatan unta itu”, mereka menjawab, “kami takut ada hal-hal yang tidak baik menimpamu, disebabkan unta ini ya Rasulullah?”, Baginda Nabi SAW bersabda; “Bukakanlah ikatan itu”. Merekapun membuka ikatan tersebut.

Kemudian Baginda Nabi SAW mendekati unta itu, lantas iapun diam sebagaimana diriwayatkan oleh hadits shahih, unta itu datang kepada Baginda Nabi SAW dalam keadaan tunduk. Seorang perawi telah meriwayatkan: “Unta itu mendekati kaki Baginda Nabi SAW dan menciuminya, kemudian ia mengangkat kepalanya, Nabi SAW mendekati dan berbicara dengannya. Lantas unta itu angkat kepalanya dan mendekati Nabi SAW sekali lagi, ia membisikkan sesuatu ketelinga Nabi SAW, seterusnya Baginda Nabi SAW kembali berkata-kata kepadanya dan ia pun melakukan perkara yang sama.

Setelah itu Baginda Nabi SAW memandang ke arah orang yang mempunyai Unta tersebut dan berkata; “Sesungguhnya unta ini telah mengad kepadaku bahwa ia telah diberikan kerja-kerja yang membebankannya dan kamu juga tidak memberi makan yang baik kepada unta itu”. Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, demi karenamu ia akan diberi sebaik-baik makanan untuk unta dan kami tidak akan membebankan selama-lamanya”.

Unta ini berbicara begitu karena Baginda Nabi SAW datang kepadanya dengan membawa makna kehidupan hewannya. “Tidak diutuskanmu melainkan membawa rahmat seluruh alam”. Begitulah akhlak Baginda Nabi SAW bersama unta dan benda-benda yang tidak bernyawa.
Maka bagaimana muamalah Baginda Nabi SAW dengan manusia? Dimana beliau SAW ditugaskan mengangkat martabat manusia serta mengembalikan sifat manusia kepada sifat kemanusiaannya. Pada hari ini kita dapat belajar satu pengajaran; kita hidup sebagai umat Baginda Rasulullah SAW mengetahui bahwa berbicara dengan alam yang mengelilingi kita, dengan konsep kenabian yang mulia akan menimbulkan keadaan yang lain pada alam ini serta menjadikan alam ini merasai rahasia sebuah kehidupan yang dianugerahkan Baginda Rasulullah SAW untuk memahaminya, ini merupakan penganugerahan cinta, diadakan untuk menggerakkan hati kita sebelum orang lain. Untuk menyadarkan kita sebagai kelompok muslim tentang wujudnya hubungan dengan Baginda Rasulullah SAW. Ia membuat kita berlomba-lomba dalam perlombaan, disana kita mampu untuk berbicara dengan alam ini dari mula bahwa Baginda Rasulullah SAW diutus untuk mengembalikan rasa hormat manusia kepada dirinya sendiri sebagai manusia dan hormat kepada alam disekelililngnya sehingga alam ini juga kembali hormat kepada manusia itu. Jika kita kembali pada konsep komunikasi dengan yang berada disekeliling kita dan sebaliknya dengan berpandukan ajaran Baginda Rasulullah SAW, banyak perkara akan berubah kepada suatu keadaan yang lebih baik karena kita adalah umat Baginda Rasulullah SAW.

Aku mohon kepada Allah SWT, agar hidupkan kita dengan makna ini, ya Allah..hidupkanlah makna hubungan dengan Baginda Rasulullah SAW didalam jiwa kami, gerakkanlah dalam diri kami dengan semangat ini, satukanlah kami dengan orang yang Engkau cintai dan ridha dengan rahmat-Mu wahai Tuhan yang Maha pengasih dan penyayang dan segala puji bagi Allah SWT Tuhan sekalian alam.

Wallahu A`lam…
http://ahlulkisa.com

Ahli Al-suffah, Generasi Sufi Pertama

==============

Ahli Al-suffah, Generasi Sufi Pertama

Banyak yang menyebut bahwasanya Ahl al-Suffah adalah generasi sufi pertama dalam Islam. Istilah ‘sufi’ sendiri ada yang berpendapat berasal dari kata Ahl al-Suffah. Al-suffah adalah bangku yang dijadikan alas tidur mereka dengan berbantal pelana.

Mereka adalah sekelompok sahabat yang mendiami bilik-bilik yang disediakan Rasulullah SAW di sekitar Masjid Nabawi. Seluruh waktu mereka dipergunakan sebanyak-banyaknya untuk hal-hal yang bermanfaat dan seluas-luasnya untuk memahami ajaran Islam. Keperluan dan kebutuhan hidup sehari-hari mereka diambil dari dana bantuan kaum Muslimin sesuai kemampuan masing-masing.

Ahl al-Suffah bukanlah sekelompok umat yang istimewa atau diistimewakan, mereka juga bekerja, berperang, bahkan diantara mereka adalah panglima perang dan periwayat hadis. Sikap yang menonjol pada Sahabat dan Ahl al-Suffah adalah zuhud. Zuhud atau al-zuhd secara harfiah bermakna keadaan meninggalkan kehidupan dunia yang bersifat materi dan menekuni hal-hal yang bersifat rohani.

Tapi jangan disalahtafsirkan, perilaku yang meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi, misalnya tidak peduli terhadap keluarga, pekerjaan dan lain sebagainya, bukan merupakan bagian dari zuhud.

Walaupun menjauhi kesenangan duniawi dan memilih hidup sederhana, mereka berbahagia bersama Rasululah SAW, berjihad mendampingi Rasululah SAW, bersikap zuhud dan qana’ah dalam menghadapi hidup. Mereka merasa lebih bahagia bila berada di sisi Rasululah SAW, menimba ilmu dari setiap wahyu yang diterima Rasululah SAW, dengan ikhlas dan penuh kegembiraan.

Dalam khalwah, mereka pergunakan untuk shalat, membaca Al-Qur’an, mengkaji ayat demi ayat secara bersama dan memusatkan diri untuk berdzikir. Sebagian mereka belajar menulis. ‘Ubadah ibn al-Samit merupakan salah seorang yang sering mengajar mereka menulis dan membaca. Bahkan salah seorang dari mereka ada yang terkenal karena pengetahuan dan hafalannya tentang hadis-hadis Nabi, seperti Abu Hurayrah yang meriwayatkan banyak hadis Nabi SAW.

Petarung Ulung

Selain menjadi orang-orang yang mengkhususkan diri untuk mempelajari dan mengembangkan ajaran Islam, Ahl as-Suffah juga merupakan pasukan yang mumpuni yang sewaktu-waktu siap dikirim ke medan perang menghadapi orang-orang kafir. Mereka terkenal sebagai pasukan yang sangat berani.

Ketika pertempuran dan perang berkecamuk dengan silih berganti mereka memimpin pasukan menjadi laskar Islam yang tangguh. Di kala damai mereka sering mendapat tugas dari Rasululah SAW sebagai duta umat ke negeri-negeri yang ditaklukkan pasukan Islam dan sekaligus menjadi da’i yang menyampaikan dakwah dan mengajarkan Islam di sana.

Sebagian mereka yang syahid di Badar, antara lain; Safwan ibn Bayda, Zayd ibn Khattab, Kharim ibn Fatik al-Asadi, Khubayh ibn Yasaf, Salim ibn Umair, dan Haritsah ibn Nu’man al-Ansari.

Yang syahid di Uhud; Hanzhalah al-Ghazil. Syahid dalam Perang Hudaibiyah; Jurhad ibn Khuwa’ad dan Abu Suraybah al-Ghifari. Syahid di Khaibar; Tariq ibn Amr. Syahid di Tabuk; Abd Allah Dzu al-Bijadam. Syahid di Yamamah; Salim dan Zayd ibn al-Khattab. Dengan demikian, mereka menghabiskan malam hari untuk ibadah dan siang hari untuk berperang.

Jumlah mereka bervariasi dari waktu ke waktu. Mereka bertambah saat delegasi berdatangan ke Madinah. Penghuni permanen kira-kira 70 orang, tetapi jumlah mereka bertambah setiap saat. Suatu ketika Sa’ad ibn Ubadah menjamu sekitar 80 orang.

Abu Nu’aim adalah ulama pertama yang membuat daftar nama-nama mereka di kalangan Ahl al-Suffah. Ia mengutip dari sumber-sumber terdahulu tanpa menyebut referensinya. Barangkali dari buku Abu Abd al-Rahman al-Sulami (wafat 412 H) yang menulis tentang Ahl as-Suffah. Diantara sahabat yang termasuk ke dalam golongan Ahl as-Suffah yang ditulis Abu Nu’aim, ditambah lagi dengan nama-nama yang disebut dalam sumber-sumber lain ada 55 orang.

Salah satu Ahl al-Suffah yang tertulis sebagai Mursyid dalam silsilah Tarekat Naqsyabandiyah adalah Sayyidina Salman al-Farisi RA. Beliau inisiator strategi pertahanan dalam ‘Perang Parit’ yang belum pernah dikenal sebelumnya di Jazirah Arab. Sayyidina Salman al-Farisi RA mendapat ilmu yang menjadi amalan para sufi ini berasal dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, yang mendapat langsung dari Nabi Muhammad SAW, seperti diterangkan Nabi sendiri:

“Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar.

Referensi :
http://baitulamin.org
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Angkasa – Bandung (2008).

Terapi Musik dalam Peradaban Islam

==================

Terapi Musik dalam Peradaban Islam

Seni musik yang berkembang begitu pesat di era keemasan Islam, tak hanya sekedar mengandung unsur hiburan. Para musisi Islam legendaris seperti Abu Yusuf Yaqub ibnu Is?aq al-Kindi (801873 M) dan al-Farabi (872950 M) telah menjadikan musik sebagai alat pengobatan atau terapi.Lalu sebenarnya apa yang disebut dengan terapi musik? Terapi musik merupakan sebuah proses interpersonal yang dilakukan seorang terapis dengan menggunakan musik untuk membantu memulihkan kesehatan pasiennya. Sejak kapan peradaban Islam mengembangkan terapi musik? Dan benarkah musik bisa menjadi alat terapi untuk menyembuhkan penyakit?R Saoud dalam tulisannya bertajuk The Arab Contribution to the Music of the Western World menyebut al-Kindi sebagai psikolog Muslim pertama yang mempraktikkan terapi musik. Menurut Saoud, pada abad ke-9 M, al-Kindi sudah menemukan adanya nilai-nilai pengobatan pada musik







Seni musik yang berkembang begitu pesat di era keemasan Islam, tak hanya sekedar mengandung unsur hiburan. Para musisi Islam legendaris seperti Abu Yusuf Yaqub ibnu Is?aq al-Kindi (801873 M) dan al-Farabi (872950 M) telah menjadikan musik sebagai alat pengobatan atau terapi.

Lalu sebenarnya apa yang disebut dengan terapi musik? Terapi musik merupakan sebuah proses interpersonal yang dilakukan seorang terapis dengan menggunakan musik untuk membantu memulihkan kesehatan pasiennya. Sejak kapan peradaban Islam mengembangkan terapi musik? Dan benarkah musik bisa menjadi alat terapi untuk menyembuhkan penyakit?

R Saoud dalam tulisannya bertajuk The Arab Contribution to the Music of the Western World menyebut al-Kindi sebagai psikolog Muslim pertama yang mempraktikkan terapi musik. Menurut Saoud, pada abad ke-9 M, al-Kindi sudah menemukan adanya nilai-nilai pengobatan pada musik.

''Dengan terapi musik, al-Kindi mencoba untuk menyembuhkan seorang anak yang mengalami quadriplegic atau lumpuh total,'' papar Saoud. Terapi musik juga dikembangkan ilmuwan Muslim lainnya yakni al-Farabi (872-950 M). Alpharabius begitu peradaban Barat biasa menyebutnya menjelaskan tentang terapi musik dalam risalah yang berjudul Meanings of Intellect .

Amber Haque (2004) dalam tulisannya bertajuk Psychology from Islamic Perspective: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges to Contemporary Muslim Psychologists", Journal of Religion and Health mengungkapkan, dalam manuskripnya itu, al-Farabi telah membahas efek-efek musik terhadap jiwa.

Terapi musik berkembang semakin pesat di dunia Islam pada era Kekhalifahan Turki Usmani berkuasa. Prof Nil Sari, sejarawan kedokteran Islam dari Fakultas Kedokteran University Cerrahpasa Istanbul mengungkap perkembangan terapi musik di masa kejayaan Turki Usmani.

Menurut Prof Nil Sari, gagasan dan pemikiran yang dicetuskan ilmuwan Muslim seperti al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina tentang musik sebagai alat terapi dikembangkan para ilmuwan di zaman kejayaan Turki Usmani. ''Mereka antara lain; Gevrekzade (wafat 1801), Suuri (wafat 1693), Ali Ufki (1610-1675), Kantemiroglu (1673-1723) serta Hasim Bey (abad ke-19 M).

''Para ilmuwan Muslim di era kejayaan Ottoman itu telah melakukan studi mengenai musik sebagai alat untuk pengobatan,'' papar Prof Nil Sari. Menurut dia, para ilmuwan dari Turki Usmani itu sangat tertarik untuk mengembangkan efek musik pada pikiran dan badan manusia.

Tak heran, jika Abbas Vesim (wafat 1759/60) dan Gevrekzade telah mengusulkan agar musik dimasukan dalam pendidikan kedokteran. Keduanya berpendapat, seorang dokter yang baik harus melalui latihan musik. Usulan Vesim dan Gevrekzade itu diterapkan di universitas-universitas hingga akhir abad pertengahan. Sekolah kedokteran pada saat itu mengajarkan musik serta aritmatika, geometri serta astronomi kepada para mahasiswanya.

Teori Terapi Musik

Menurut Prof Nil Sari, masyarakat Turki pra-Islam meyakini bahwa kosmos diciptakan oleh Sang Pencipta dengan kata ''ku'' / ''kok'' (suara). Mereka meyakini bahwa awal terbentuknya kosmos berasal dari suara. Menurut kepercayaan Islam, seperti yang tertulis dalam Alquran, Allah SWT adalah Pencipta langit dan bumi.

''...Dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: 'Jadilah'. Lalu jadilah ia.'' (QS: al-baqarah:117). Setelah Islam bersemi di Turki, masyarakat negeri itu, masih tetap meyakini kekuatan suara. Inilah yang membuat peradaban Islam di era Turki Usmani menyakini bahwa musik dapat menjadi sebuah alat terapi yang dapat menyeimbangkan antara badan, pikiran dan emosi sehingga terbentuk sebuah harmoni pada diri seseorang.

Prof Nil Sari mengungkapkan, para ahli terapi musik di zaman Ottoman menyakini bahwa pasien yang menderita penyakit tertentu atau emosi seseorang dengan temperamen tertentu dipengaruhi oleh ragam musik tertentu. ''Para ahli musik di era Turki Usmani menyatakan, makam (tipe melodi) tertentu memiliki kegunaan pengibatan tertentu juga,'' papar Prof Nil Sari.

Ada sekitar 80 ragam tipe melodi yang berkembang di masyarakat Turki Usmani. Sebanyak 12 diantaranya bisa digunakan sebagai alat terapi. Menurut Prof Nil Sari, dari teks-teks tua dapat disimpulkan bawa jenis musik tertentu dapat mengobati penyakit tetentu atau perasaan tertentu.

Pada era kejayaan Kesultanan Turki Usmani, terapi musik biasanya digunakan untuk beberapa tujuan, seperti; pengobatan kesehatan mental; perawatan penyakit organik, perbaikan harmoni seseorang yakni menyeimbangkan kesehatan antara badan, pikiran dan emosi. Musik juga diyakini mampu menyebabkan seseorang tertidur, sedih, bahagia dan bisa pula memacu intelijensia.

Prof Nil Sari mengungkapkan, para ilmuwan di era Turki Usmani meyakini bahwa musik memiliki kekuatan dalam proses alam,. Musik dapat berfungsi meningkatkan mood dan emosi secara keseluruhan. Uniknya, para ilmuwan di era Ottoman sudah mampu menetapkan jenis musik tertentu untuk penyekit tertentu. Misalnya, jenis musik huseyni dapat mengobati demam. Sedangkan, jenis musik zengule dan irak untuk mengobati meningitis.

Masyarakat Barat baru mengenal terapi musik pada abad ke-17 M. Adalah Robert Burton lewat karya klasiknya berjudul The Anatomy of Melancholy yang mengembangkan terapi musik di Barat. Menurut Burton, musik dan menari dapat menyembuhkan sakit jiwa, khususnya melankolia.

Malah, masyarakat Amerika Serikat (AS) baru mengenal terapi musik sekitar 1944. Pada saat itu, Michigan State University membuka program sarjana teapi musik. Sejak 1998, di Amerika telah berdiri The American Music Therapy Association (AMTA). Organisasi ini merupakan gabungan dari National Association for Music Therapy (NAMT, berdiri tahun 1950) dan the American Association for Music Therapy (AAMT, berdiri 1971).

Terapi musik merupakan salah satu kontribusi peradaban Islam dalam dunia kesehatan dan kedokteran. Di era modern ini, musik tetap menjadi salah satu alat untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Terapi musik menjadi salah satu bukti pencapaian para ilmuwan Muslim di era keemasan. N heri ruslan


Musisi Muslim Pencetus Terapi Musik

Al-Kindi
al-Kindi atau al-Kindus adalah ilmuwan jenius yang hidup di era kejayaan Islam Baghdad. Saat itu, panji-panji kejayaan Islam dikerek oleh Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya, yakni al-Amin (809-813), al-Ma'mun (813-833), al-Mu'tasim, al-Wasiq (842-847), dan Mutawakil (847-861).

Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan. Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani.

Ketika Khalifah al-Ma'mun tutup usia dan digantikan putranya, al-Mu'tasim, posisi al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi putranya. Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan.

Menurut al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya itu telah dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.

Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik, dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.


Al-Farabi
Second teacher alias mahaguru kedua. Begitulah Peter Adamson pengajar filsafat di King's College London, Inggris, menjuluki al-Farabi sebagai pemikir besar Muslim pada abad pertengahan. Dedikasi dan pengabdiannya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan telah membuatnya didaulat sebagai guru kedua setelah Aristoteles: pemikir besar zaman Yunani.

Sosok dan pemikiran al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filosof Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam. Sehingga, bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh besar terhadap dunia Barat.

''Ilmu Logika al-Farabi memiliki pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa,'' ujar Carra de Vaux. Tak heran, bila para intelektual merasa berutang budi kepada Al-Farabi atas ilmu pengetahuan yang telah dihasilkannya. Pemikiran sang mahaguru kedua itu juga begitu kental mempengaruhi pikiran-pikiran Ibnu Sina dan Ibnu Rush.

Al-Farabi atau masyarakat Barat mengenalnya dengan sebutan Alpharabius memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn al-Farakh al-Farabi. Tak seperti Ibnu Khaldun yang sempat menulis autobiografi, Al-Farabi tidak menulis autobiografi dirinya.

Tak ada pula sahabatnya yang mengabadikan latar belakang hidup sang legenda itu, sebagaimana Al-Juzjani mencatat jejak perjalanan hidup gurunya Ibnu Sina.Tak heran, bila muncul beragam versi mengenai asal-muasal Al-Farabi. Ahli sejarah Arab pada abad pertengahan, Ibnu Abi Osaybe'a, menyebutkan bahwa ayah Al-Farabi berasal dari Persia. Mohammad Ibnu Mahmud Al-Sahruzi juga menyatakan Al-Farabi berasal dari sebuah keluarga Persia

Sumber : Republika Newsroom


Hukum alat Musik Rebana di Mesjid

=============

Hukum alat Musik Rebana di Mesjid

Habib Munzir Al Musawa
Kenalilah Aqidahmu


Didalam madzhab syafii bahwa Dufuf (rebana) hukumnya Mubah secara Mutlak (Faidhulqadir juz 1 hal 11). Diriwayatkan pula bahwa para wanita memukul rebana menyambut Rasulullah saw disuatu acara pernikahan, dan Rasul saw mendengarkan syair mereka dan pukulan rebana mereka, hingga mereka berkata : bersama kami seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi”, maka Rasul saw bersabda : “tinggalkan kalimat itu, dan ucapkan apa – apa yang sebelumnya telah kau ucapkan” (Shahih Bukhari hadits No.4852),
juga diriwayatkan bahwa rebana dimainkan saat hari Asyura di Madinah dimasa para sahabat radhiyallahu ‘anhum (Sunan Ibn Majah hadits No.1897) Dijelaskan oleh Imam Ibn Hajar bahwa Duff (rebana) dan nyanyian pada pernikahan diperbolehkan walaupun merupakan hal yang Lahwun (melupakan dari Allah), namun dalam pernikahan hal ini (walau lahwun) diperbolehkan (keringanan syariah karena kegembiraan saat nikah), selama tak keluar dari batas - batas mubah.
Demikian sebagian pendapat ulama (Fathul Baari Almasyhur Juz 9 hal 203)
Menunjukkan bahwa yang dipermasalahkan mengenai pelarangan rebana adalah karena hal
yang Lahwun (melupakan dari Allah), namun bukan berarti semua rebana haram, karena
Rasul saw memperbolehkannya, bahkan dijelaskan dengan Nash Shahih dari Shahih Bukhari.
Namun ketika mulai makna syairnya menyimpang dan melupakan dari Allah swt maka Rasul
saw melarangnyaDemikianlah maksud pelarangannya di masjid, karena rebana yang mengarah pada musik lahwun, sebagian ulama membolehkannya di masjid hanya untuk nikah walaupun Lahwun, namun sebagian lainnya mengatakan yang dimaksud adalah diluar masjid, bukan didalam masjid. Pembahasan ini semua adalah seputar hukum rebana untuk gembira atas akad nikah dengan lagu yang melupakan dari Dzikrullah.

Berbeda dengan rebana dalam maulid, karena isi syairnya adalah shalawat, pujian pada Allah dan Rasul-Nya saw, maka hal ini tentunya tak ada khilaf padanya, karena khilaf adalah pada lagu yang membawa lahwun.Sebagaimana Rasul saw tak melarangnya, maka muslim mana pula yang berani mengharamkannya, sebab pelarangan di masjid adalah membunyikan hal yang membuat lupa dari Allah didalam masjid,Sebagaimana juga syair yang jelas – jelas dilarang oleh Rasul saw untuk dilantunkan di masjid, karena membuat orang lupa dari Allah dan masjid adalah tempat dzikrullah, namun justru syair pujian atas Rasul saw diperbolehkan oleh Rasul saw di masjid. Demikian dijelaskan dalam beberapa hadits shahih dalam Shahih Bukhari, bahkan Rasul saw menyukainya dan mendoakan Hassan bin Tsabit seraya melantunkan syair di masjid, tentunya syair yang memuji Allah dan Rasul-Nya.

Saudaraku, rebana yang kita pakai di masjid itu bukan lahwun dan membuat orang lupa dari Allah, justru rebana - rebana itu membawa muslimin untuk mau datang dan tertarik hadir ke masjid, duduk berdzikir, melupakan lagu - lagu non muslimnya, meninggalkan alat – alat musiknya, tenggelam dalam dzikrullah dan Nama Allah Swt, asyik ma’syuk menikmati rebana yang pernah dipakai menyambut Rasulullah saw, mereka bertobat, mereka menangis, mereka asyik duduk di masjid, terpanggil ke masjid, betah di masjid, perantaranya adalah rebana itu tadi dan syair – syair pujian pada Allah dan Rasul Nya, dengan meniru perbuatan para sahabat yaitu kaum Anshar radhiyallahu’anhum yang perbuatan itu sudah diperbolehkan oleh Rasul saw.
Dan sebagaimana majelis kita telah dikunjungi banyak ulama, kita lihat bagaimana Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidh, justru tersenyum gembira denganhadroh majelis kita, demikian pula Al Allamah Alhabib Zein bin Smeth (Pimpinan Ma’had Tahfidhul Qur’an Madinah Almunawwarah). Demikian pula Al Allamah Al Habib Salim bin Abdullah Asyatiri (Pimpinan Rubat Tarim, Hadramaut) juga menjadi Dosen di Universitas Al Ahqaf Yaman. Demikian Al Allamah Alhabib Husein bin Muhamad Alhaddar, Mufti wilayah Baidha, mereka hadir di majelis kita dan gembira, tentunya bila hal ini mungkar niscaya mereka tak tinggal diam dan akan melarang kemungkaran di masjid, bahkan mereka memuji majelis kita sebagai majelis yang sangat memancarkan cahaya keteduhan melebih banyak majelis – majelis lainnya.
Mengenai pengingkaran yang muncul dari beberapa ulama adalah karena mereka belum
mentahqiq masalah ini, karena tahqiq dalam masalah ini adalah tujuannya, sebab alatnya telah dimainkan dihadapan Rasulullah saw yang bila alat itu merupakan hal yang haram mestilah Rasul saw telah mengharamkannya tanpa membedakan ia membawa manfaat atau tidak. Namun Rasul saw tak melarangnya, dan larangan Rasul saw baru muncul pada saat syairnya mulai menyimpang, maka jelaslah bahwa hakikat pelarangannya adalah pada tujuannya. Nah.. para ulama atau kyai ahlussunnah waljamaah yang melarangnya mungkin dimasa kehidupan mereka rebana dipakai hal yang mungkar dengan sorak - sorai dan tawa terbahak - bahak didalam masjid, maka mereka melarangnya

Kemuliaan(“Hanya bagi Alloh-lah kemuliaan, dan bagi Rasul-Nya serta bagi sekalian orang-orang yang beriman.”)

=============

Kemuliaan

www.sufinews.com

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily


Sulthanul Auliya’ al-Syeikh Abul Hasan Ali asy-Syadzily mengatakan: Alloh Swt. berfirman: “Hanya bagi Alloh-lah kemuliaan, dan bagi Rasul-Nya serta bagi sekalian orang-orang yang beriman.”

Kemuliaan orang yang beriman adalah pencegahan Allah terhadap dirinya untuk menghamba kepada hawa nafsu, syetan dan dunia atau segala yang ada di jagad ini baik yang ghaib maupun yang tampak, baik itu dunia maupun akhirat.

Sedangkan orang munafik tidak mengerti keagungan kecuali melalui kausalitas (sebab akibat) serta penyembahan terhadap tuhan-tuhan yang banyak.
“Adakah Tuhan (yang lain) disamping Allah? Maha Luhur Allah dari apa yang mereka sekutukan. Apakah mereka menyekutukan melalui (tuhan-tuhan) yang tak bisa mencipta sesuatu pun, sedangkan mereka itu diciptakan, dan mereka (tuhan-tuhan) tidak mampu menolong mereka, juga menolong diri mereka sendiri. Apabila engkau mengajak mereka kepada petunjuk, mereka tidak akan mengikutimu, baik mereka engkau ajak atau engkau diam saja.”

Sebagian Sufi berkata, “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan dunia akhirat maka masuklah dalam mazhab kami ini dalam dua hari.”

Ada seseorang bertanya, “Bagaimana caranya untukku?”.

Dijawab, “Pisahkan berhala-berhala dari hatimu, dan ringankanlah tubuhmu dari kepentingan duniawi, baru kemudian jadilah dirimu semaumu. Sebab Allah tak akan meninggalkanmu. Apabila setelah itu ada sesuatu dari dunia yang datang kepadamu, jangan engkau pan¬dang dengan mata hasrat kesenangan, jangan pula Anda menyertai dunia itu dengan gembira. Jangan pula Anda duduk bersamanya kecuali dengan kewajiban ilmu dalam mendistribusikan dan menahan¬nya.

Apabila suatu hari Anda masih mencari duniawi, maka saksi kanlah bahwa Allah telah mencarimu dalam pencarianmu pada dunia itu. Dan engkau sebenarnya dicari melalui pencarian. Kalau engkau keluar menuju upaya pencarian dunia melalui jalan ridha, maka masuklah jalan itu. Hati Anda jangan bergantung padanya, dengan tetap bergantung pada Allah, dan memang harus begitu. Sebab engkau tidak tahu apakah engkau akan mendapatkannya atau tidak?

Kalau engkau telah mendapatkannya, engkau tidak tahu apakah itu milik Anda atau milik orang lain? Kalau itu milik Anda engkau tidak tahu apakah di dalamnya mengandung unsur kebaikan atau keburukan? Kalau itu bukan milik Anda, maka Anda tidak berhak mengetahuinya, apakah itu untuk kekasihmu atau musuhmu?

Kesimpulannya: Bagaimana hati bisa tenang manakala masih singgah kepada seuatu yang membingungkan yang terilustrasikan dari semua ini, bahkan lebih banyak lagi? Karena itu carilah dunia itu, tetapi Anda tetap bergantung kepada-Nya dan memandang-Nya.

Bersyukurlah manakala Anda berhasil, dan bersabar serta ridhalah jika belum berhasil. Bahkan memuji kepada Allah itu lebih layak indahnya. Sebab Allah tidak menghalangimu dari sukses duniawi itu, karena Allah bakhil. Tidak demikian! Tetapi Allah menghalangimu karena Dia memandang kepadamu. Artinya, apabila Allah menghalangimu dari sukses itu, Allah sebenarnya telah memberi anugerah kepadamu. Namun pemberian anugerah dalam ketidaksuksesan itu hanya dipahami oleh orang-orang shiddiqun.

Sebaliknya, apabila Anda mendapatkan jalan keluar usaha dari Allah melalui jalan kebencian, yang mengganti pengetahuan (yang benar) atau yang mendekatinya, maka cepat-cepatlah kembali kepada Allah, larilah kepada-Nya hingga Dia sendiri yang member sihkan Anda, dan (Allah bertindak sebagaimana kehendak-Nya -- sedangkan akibat baik hanya bagi orang-orang yang bertakwa).”

Maqam Orang Menangis

==============

Maqam Orang Menangis

ww.sufinews.com
Syeikh Ahmad ar-Rifa’y


Rosullullah SAW bersabda: “Siapa pun anak yang dilahirkan, kemudian diberi nama Muhammad dalam rangka mendapatkan berkah darinya, maka ia dan anaknya berada di syurga.

Hadits mulia ini mengandung rahasia cinta kepada Rasulullah Saw, yang bisa difahami oleh kalangan khusus yang dekat dengan Allah Swt. Mereka senantiasa menyebut namanya yang penuh berkah, yang kemudian memberikan hasrat untuk berakhlaq dengan akhlaq beliau yang suci, dalam rangka bersiteguh dengan jejak langkahnya. Sehingga anda tidak melihat mereka berhenti dalam stasiun dunia, ketika mereka menempuh jalan napak tilas Rasul Saw. Bahkan mereka senantiasa sadar dan [penuh] khusyu’, senantiasa takut kepada Allah Swt, mengikuti jejak Nabi mereka, mengamalkan sunnah Nabinya, dan merekalah yang disebut para ‘arifun.

Anak-anak sekalian. Ketahuilah kaum arifin senantiasa menangis, ketika kaum yang alpa sedang tertawa. Dan mereka sedang susah ketika kaum yang terpedaya dunia sedang gembira. Allah Swt, berfirman:

“Wajah-wajah mereka hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya terus memandang.”
“Wajah-wajah mereka berseri, riang penuh gembira.”

Ragam orang menangis:

Sesungguhnya Allah Swt, telah menyebutkan bukti-bukti menuju ma’rifat. Dan diantara tanda kaum arifin senantiasa lebih banyak menangis dan mengalir air matanya karena Allah Ta’ala. Sebagaimana firmanNya: “Dan mereka sujud gelisah dengan menangis.”

Allah Swt mencerca kaum alpa, karena mereka lebih banyak bersendagurau dan tidak pernah menangis.
“Apakah dari kisah ini mereka heran dan mereka tertawa-tawa dan tidak menangis?”

Menangis itu ada kalanya:

Menangis mata
Menangis hati
Menangis rahasia batin.

Menangis mata adalah tangisan kaum ma’rifat yang kembali hatinya kepada Allah Swt.
Menangis hati adalah tangisan kaum ma’rifat yang sedang menempuh jalan menuju Allah Swt.
Menangis rahasia batin, adalah kaum ma’rifat yang menangis karena mereka menjadi pecinta Allah Swt.

Perlu diketahui, bahwa kalangan ahli ma’rifat mempunyai kesusahan yang tersembunyi di bawah rahasia batin mereka, tertutupi oleh pemikiran mereka, maka, ketika rahasia batinnya memuncah, berhembuslah angina rasa takut penuh cinta karena Kharisma Ilahi. Sedangkan hatinya begolak jilatan api kegelisahan, yang membakar seluruh remuk redamnya kealpaan dan kelupaan kepada Tuhannya Azza wa-Jalla.

Derajat Tangis

Tangisan itu terdiri enam arah:
Menangis karena malu, seperti tangisan Nabi Adam as.
Menangis karena kesalahan, seperti tangisan Nabi Dawud as.
Menangis karena takut, seperti tangisan Nabi Yahya bin Zakaria.
Menangis karena kehilangan, seperti tangisan Nabi Ya’qub as.

Menangis karena Kharisma Ilahi, seperti tangisan seluruh para Nabi as, yaitu dalam firmanNya: “Ketika dibacakan ayat-ayat Sang Rahman kepada mereka, maka mereka bersujud dan menangis.” (Maryam: 58)

Menangis karena rindu dan cinta, seperti tangisan Nabi Syu’aib as, ketika beliau menangis sampai matanya buta, kemudian Allah Swt, mengembalikan menjadi sembuh, lalu beliau menangis lagi hingga buta kembali sampai tiga kali. Lalu Allah Swt, memberikan wahyu kepadanya: “Wahai Syu’aib, bila tangisanmu karena engkau takut neraka, Aku sudah benar-benar mengamankan dirimu dari neraka. Dan jika tangismu karena syurga, Aku telah mewajibkan dirimu syurga.” Ayub menjawab, “Tidak Ya Tuhan, namun aku menangis karena rindu ingin memandangmu…”

Kemudian Allah Swt, menurunkan wahyu kepadanya, ”Sungguh wahai Syu’aib! Sangat benar orang yang menghendakiKu, menangis dari dalam rindu kepadaKu. Untuk penyakit ini tidak ada obatnya, kecuali bertemu denganKu.”

Diriwayatkan bahwa Nabi Saw, bersabda: “Bila seorang hamba menangis karena takut kepada Allah atas masalah ummat, sungguh Allah Swt memberikan rahmat bagi ummat itu, karena tangisan hamba tadi.”

Rabi’ah ra, berkata, “Aku menangis selama sepuluh tahun karena merasa jauh dari Allah Swt, dan sepuluh tahun lagi menangis karena bersama Allah Swt, kemudian sepuluh tahun menangis karena menuju kepada Allah Swt. Menangis karena bersama Allah, disebabkan sangat berharap padaNya. Sedangkan menangis jauh dari Allah Swt, karena takut kepadaNya. Adapun menangis karena menuju Allah Swt, karena sangat rindu kepadaNya.”

Salah satu Sufi berkata, “Aku masuk ke rumah abi’ah al-Bashriyah, ketika itu ia sedang sujud. Lalu aku duduk di sisinya, hingga ia bangun mengangkat kepalanya. Kulihat ditempat sujudnya menggenang air matanya. Aku bersalam kepadanya, dan ia jawab salamku. Ia berkata, “Apa kebutuhanmu?” tanyanya.

“Aku ingin datang kepadamu..” kataku.

Lalu ia menangis, dan memalingkan wajahnya dariku. Ketika ia menangis, ia mengatakan, “Sejuknya matahatiku harus datang dariMu? Sungguh mengherankan orang yang mengenalMu, bagaimana ia bisa sibuk dengan selain DiriMu? Mengherankan sekali! Orang yang menghendakiMu, bagaimana ia menginginkan selain DiriMu?”

Atha’ as-Sulamy ra, ketika menagis banyak berungkap: “Oh Tuhan, kasihanilah diriku yang putus menujuMu, kasihanilah berpalingku dari selain DiriMu, kasihanilah keterasinganku di NegeriMu, kasihanilah rasa takutku pada hamba-hambaMu dan berhentinya diriku di hadapanMu.”

Al-Fudhail bin Iyadh menegaskan, “Ketika aku sedang thawaf, aku bertemu seseorang yang roman mukanya berubah dan tubuhnya kurus kering, ia menangis dengan menderu, lalu aku dekati ia. Tiba-tiba ia berkata, “Oh Tuhanku!betapa mesranya hati para pecinta,betapa ringannya hati para airfin, sungguh tak akan putus harapan perindumu.”
Tiba-tiba kudengar bisikan suara mengatakan, “Wahai Waliyullah, sungguh tujuh langit ikut menangis. Diam! Sekarang apa yang kamu pinta!.”

Diriwayatkan bahwa Nabi Adam as, ketika diturunkan dari syurga, ia menangis sampai airmatanya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, lalu Allah Swt, mewahyukan padanya, “Tangisan ini karena kehilangan syurga, lalu mana tangisan karena meninggalkan khidmah bakti padaKu?”

Lalu Nabi Adam as, terkejut, hingga sampai pada kalimat ikhlas. Lalu berucap”Laa Ilaaha Illa Anta Subhanaka…” (Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau!)
Allah Swt, berfirman, : “Maka Adam mendapatkan kalimat-kalimat dari Tuhannya, lalu ia taubat kepadaNya.”

Dzun Nuun al-Mishry –semoga Allah Swt, merahmatinya– mengatakan, “Aku melihat lelaki di Makkah sedang menangis dengan tangisan ahli ma’rifat, lalu aku mendekat,

“Apakah engkau punya kekasih?” tanyaku.
“Betul!” jawabnya.
“Jauh apa dekat kekasihmu itu?”
“Dekat,” katanya.
“Selaras denganmu apa tidak?”
“Sungguh selaras denganku.”
“Subhanallah! Lalu kenapa engkau menagis?”
“Ketahuilah, siksaan karena dekat dan serasi itu lebih pedih, ketimbang siksaan karena jauh dan kontra…!”

Dikisahkan bahwa Rabiah –Rahimahallahu Ta’ala– suatu hari sedang lewat di salah satu jalan di Bashrah. Tiba-tiba ada tetesan yang menetes dari kesdihan, lalu ia bertanya, “Tetesan apakah itu?” Lalu dijawab, “Itu dari tangisan Hasan.” Rabi’ah lalu berkata, “Katakanj semua ya pada Hasan, seandainya airmata bertambah terus hingga sampai ke Arasy sana, sebagai rasa cinta kepada Allah Swt, sungguh airmata itu sangat sedikit sekali.”

Abbad bin Syumaid bin Ujlan berkata:”Apakah orang munafiq itu menmangis?”
Lalu dijawab, “Menangis dari mata kepala, memang. Tapi tangisan dari hati, tidak!”

Fudhail ra, mengatakan, “Bila anda melihat seseorang menangis tapi hatinya alpa, maka itulah tangisan munafiq. Tangisan yang sesungguhnya adalah tangisan qalbu.”

Malik bin Dinar ra, ditanya, “Tidakkah engkau datang dengan seorang qari’ yang membaca di hadapanmu?”

“Kematian kekasih tidak butuh pada peratap tangisan.”

Ka’b al-Ahbar ra, menandaskan, “Suatu tangisanku setets karena takut kepada Allah Ta’ala, lebih kucintai disbanding sedekah segunung emas.”

Dalam tangisan Malik bin Dinar ra, seringkali munajat, “Duh diriku! Engkau ingin bersanding pasa Sang Maha Jabbar, dan menjadi orang yang terpilih, lalu mana engkau tinggalkan syahwat nafsumu? Sudah sejauh mana engkau mendekat kepada Allah? Wali mana yang engkau cintai karena Allah? Musuh mana yang engkau benci karena Allah? Menahan diri yang mana yang engkau lakukan karena Allah? Tidak! Jika semua itu tidak karena ampunan dan rahmat Allah!”. Tiba-tiba ia pingsan.

Diriwayatkan, bahwa Allah Swt, berfirman kepada Nabi Musa as,: “Tak ada yang lebih dekat kepadaKu dibanding orang-orang yang menangis karena takut dan cinta kepadaKu.”

Tsabit an-Nasaj, ra berkata, “Nabi Dawud as, tidak pernah minum setegukpun setelah berbuat kesalahan, melainkan ia hanya menyerap airmatanya, hingga beliau menemui Allah Azza wa-Jalla (wafat).”
Ketika suatu hari melihat airmatanya banyak yang mengalir, ia berkata, “Ya Ilahi, apakah Engkau tidak kasihan atas tangisanku?”
Lalu ada suara dari langit, “Hai Dawud! Engkau masih ingat airmatamu, sedangkan engkau tidak mengingat dosa-dosamu?!”
Lantas Nabi Dawud as mengambil debu yang dipanaskan, lalu mengusap-usap kepalanya dengan debu pasir itu, sembari berkata, “Duh hilanglah air mukaku di hadapan Tuhanku.”

Di masa Hasan al-Bashry ra ada seorang lelaki yang punya anak perempuan sedang menangis, hingga matanya buta. Lelaki itu datang kepada Hasan agar didoakan dan dinasehatinya, siapa tahu ia menyadari dirinya. Lalu Hasan mendatangi gadis itu, dan berkata, “Kasihanilah dirimu!”
“Oh, guru! Mataku tidak lepas dari dua wajah, apakah layak untuk memandang Tuhanku atau tidak. Jika tidak layak maka sudah benar kalau mataku buta! Jika benar layak, maka ribuan seperti mataku ini pantas menjadi tebusan untuk memandangNya,” jawabnya.
“Aku datang untuk mengobati, malah aku yang diobati. Aku datang untuk jadi dokternya, malah aku menemukan dokterku.”

Salamah bin Khalid al-Makhzumy ra mengatakan, “Suatu hari perempuan dari Syam ada di Baitullah al-Haram, ia bisaa dipanggil Khazinah (Sang duka), karena selamanya menangis akibat rindunya kepada Allah Swt. Saat ia memandang pintu Ka’bah, selalu ia berucap, “Oh rumah Tuhanku, oh, rumah Tuhanku…”
Suatu saat pintu Ka’bah dibuka, lalu wanita itu melihat orang-orang sedang thawaf sembari menangis, dan berucap, “Diraja kami dan matahati kami…betapa panjang rindu kami kepadaMu…Kapan kami bertemu?” Wanita itu mendengarkan ucapan itu, lalu menjerit pingsan, hingga membuatnya mati.

Yahya bin Ashfar menandaskan, “Kami masuk bersama jamaah kami ke rumah Ufairah, perempuan ahli ibadah –semoga Allah Ta’ala merahmatinya-. Ia seorang yang buta karena banyaknya menangis, lalu salah satu dari kami mengatakan, “Betapa sedihnya kebutaan setelah sebelumnya bisa melihat!”.
Rupanya ia mendengar ucapan itu, dan berkata, “Hai hamba Allah! Butanya hati dari Allah Swt lebih pedih ketimbang butanya mata kepala! Aku sangat senang jika Allah memberikan kenyataan cintaNya kepadaku, dan sama sekali aku tidak ada kesedihan melainkan Allah Ta’ala mengambilnya dariku.”

Malam gelap gulita
Sedang pemaksiat lelap tidurnya.
Sang Arifun berdiri di hadap Tuhannya
Membacakan Ayat-ayat hidayah
Airmata mereka mengalir bercucuran
Tak sabar sedetik pun untuk tidak mengingatNya
Deru rindu bergelora
Sungguh pecinta tak pernah tidur.

Kebutuhan Zaman Yang Mendesak Tasawuf

=============

Kebutuhan Zaman Yang Mendesak Tasawuf

Zaid bin Abdurrahman bin Yahya
www.sufinews.com

Sesungguhnya kebutuhan dunia dengan berbagai ragam kepada dimensi kesucian tasawuf terus silih berganti dibawa dan diselami oleb orang-orang yang benar, sepanjang zaman tak bisa dipungkiri.

Hal ini karena arus syetan dan pembangkangan telah menghanyutkan banyak sekali manusia menuju fenomena buruk dan sifat kebinatangan melalui seni dalam industri senjata yang mematikan seperti senjata nuklir dan senjata biologi serta senjata-senjata lainnya dan mengabaikan sisi-sisi ruhani manusianya. Peran keluarga tidak berfungsi, orang tua, kerabat dan handai taulan tidak berada pada posisi yang sebenarnya. Munculnya fenomena sekumpulan manusia yang tercerabut dari kemanusiaannya menuju pengkultusan materi, yang menjadi dasar peradabannya.


Dan, betapa manusia sangat butuh untuk mendengarkan pencerahan penyucian diri (tasawuf) yang harum seperti firman Allah Swt:

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.“ (QS. Asy-Syams(91):7-1O)

Mereka butuh pencerahan dan penjelasan lewat lisan, yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Mereka butuh curahan dan tegukan nafa-nafas ahli ma’rifat seperti ucapan Shofiyuddin bin Ulwan yang menuliskankannya di papan, yang ia sampaikan kepada ahli thariqah.

Pandangan seorang kekasih kepada kekasihnya adalah kedamaian
Diam di antara orang-orang yang arif adalah ucapan.
Mereka ungkapan dengan isyarat yang ada di antara mereka
Lalu pemahaman mereka sama
Mereka saling mengulangi dengan hati, bukan lisan
Karenanya jiwa mereka meraih Ilham
Di sana ada, disana pula, ketika engkau lihat
Rahasianyau melalui rahasia isyarat yang ada
Saling menyambut, saling merindukan dan saling berpelukan
Batin mereka, walau jasad berpisah
Ia akan katakan ini, dari ini, dan ini berasal dari ini, dengan sesuatu
Yang dilontarkankan kepadanya, lalu ditetapkan oleh pena
Perbedaan dan hal-hal yang menyertainya lenyap dari ungkapan mereka
Dan dengan huruf kesirnaan mereka ungkapkan
Mereka saling berkinasih, bersahut padu dan menyatu
Karena tidak, dan tak ada kemuliaan yang dilarang
Panji-panjinya, akhlak mereka
Adalah akhlak kenabian
Merekalah Robbaniyyun yang mulia
Hawa nafsu, kesenangan dan selera-selera sudah ditinggalkan
Di depan hanyalah tindak kebajikan
Mereka bentangkan kebaikan dengan pemberian
Dengan langkah yang teguh
Perjalanan adalah ilmu, akal yang menunjukkan
Tuhan adalah tujuan dan Rasul adalah pemimpinnya

Barangkali hal ini yang mendorong saya dalam revolusi akhlaq sebagai tanggung jawab besar dalam menghadapai seluruh kawasan, apalagi ia telah mengetuk kehausan bagi setiap orang yang memiliki hubungan dalam membangkitkan jiwa yang telah disiapkan bagi metode-metode ruhani agar ia dapat tersebar Iuas. Hal ini karena kondisi kekeringan ruhani telah memalingkan jiwa untuk mendalami, dalam menyingkap kerusakan metode-metode modern dengan segala kekurangannya, dan tasawuf sangat membantu mengatasi hambatan dan gangguan itu semua.

Bahwa tasawuf memang mendapat serangan yang membabi buta berupa klaim buruk terhadap misi, konten dan tujuannya, tetapi hal ini justru menambah daya sensitifitas kita terhadap kewajiban menampakkan kebenaran, meluruskan pemahaman-pemahaman yang salah dan membersihkannya dari hal-hal serupa agar semua orang melihat, agar sampai kepada mereka yang menyerang, yaitu orang-orang yang memusuhi tasawuf. Karena mereka pada umumnya tidak beretika dan karena kebodohan mereka tentang hakikat tasawuf.

Sebaiknya kita tidak perlu malu dengan istilah tasawuf, yang didalamnya ada metoden keagamaan yang telah disepakati di muka bumi, baik prinsip dan substansinya. Apalagi tasawuf adalah ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, bersumber dari biografi keluarga nabi, para sahabatnya yang mulia dan para pengikutnya yang baik, bahkan keberadaan tasawuf yang baik ini yang dijelaskan di dalam hadits shahih merupakan keagungan dan puncak Risalah Muhammad Saw dengan tidak memandang asal kata dari tasawuf itu sendiri, sekaligus sebagai tempat tumbuhnya orang-orang yang memiliki sifat yang baik.

Memperhatikan substansi dan inti (yang ada di dalam tasawuf) jauh lebih besar (manfaatnya) dari hanya sekedar memperhatikan asal kata dan bungkusnya. Banyak hati yang menempel pada ilmu ini hanya yang hanya berupa cacian dan tipuan dan bantahan yang tajam dan sebagian kita tidak memberikan buahnya.

Kekuasaan Allah Swt yang besar ini telah banyak menggiring banyak orang yang tidak beragama Islam untuk berhubungan dan menerima nilai-nilai ruhani yang luhur ini melalui buku-buku terjemahan yang dilakukan oleh sebagian ahli tasawuf khususnya Syaikh Jalaludin Rumi yang karya-karyanya mendapatkan sambutan luar bisaa yang tidak pernah ada sebelumnya di Dunia Barat, bahkan sambutan ini melebihi karya-karya tulis modern. Hal ini barangkali merupakan pengantar dan mukaddimah untuk memindahkan penerimaan, kekaguman dan kelembutan menuju keistiqamahan yang sempurna melalui masuk mereka ke dalam agama Islam.

Marilah kita singgung klaim buruk yang menimpa dunia tasawuf, tariqah-tariqahnya, serta orang-orang yang berhubungan dengan dunia sufi, sehingga tasawuf seakan merupakan suatu kesalahan atau kejahatan di dalam pandangan sebagian orang. Dan tasawuf juga merupakan sulap, sihir atau perbuatan makar di dalam pandangan sebagian yang lainnya. Akan tetapi serangan ini merupakan bagian dari upaya klaim buruk terhadap risalah agama Islam secara keseluruhan sehingga agama Islam menjadi agama yang identik dengan kekerasan, pertumpahan darah, keterbelakangan serta agama yang bersinggungan dengan peradaban serta klaim buruk lainnya. Hal ini merupakan dorongan lain yang membawa kita untuk menampakkan hakikat sebenarnya mengenai apa itu tasawuf dengan jiwa-jiwa pengikutnya yang harum, akhlak mereka yang suci serta sifat-sifat para malaikat yang melekat pada mereka, bahkan sifat pengabdian pada Tuhan ini merupakan bentuk pembenaran dan pemahaman terhadap agama Islam (secara keseluruhan) sebelum pembenaran terhadap pemahaman tasawuf itu sendiri.

Saya ingin di sini menyinggung upaya-upaya reformatif yang dilakukan oleh para ahil tasawuf di banyak penjuru dunia di antaranya:

Perhatian ahli tasawuf terhadap penyebaran ilmu-ilmu keislaman melalui pembangunan sarananya yang terdiri dari serambi, asrama, sekolah, dan masjid-masjid, membiayai serta memberikan wakaf demi keberlangsungan perannya dan ini pasti dirasakan oleh salah seorang dari kita sekarang.

Keterikatan kaum Sufi pada prinsip-prinsip kerakyatan lebih besar dibanding ikatan mereka pada penguasa.

Para ahli tasawuf telah memberikan rasa aman kepada masyarakat di mana mereka hidup di dalamnya dari berbagai macam masalah pemikiran dan tenggelam di dalamnya karena mereka tidak mengajak masyarakat untuk menebarkan pemikiran filsafat melainkan mereka mengajak masyarakat untuk meluhurkan jiwa, dan membebaskan sifat kemanusiaan mereka yang sempit.

Para ahli tasawuf telah melakukan tindakan nyata dalam mencegah permusuhan dan ini merupakan syiar terbesar dari risalah agama Islam.

Perhatian para ahli tasawuf terhadap kaum papa, anak-anak yatim dan janda-janda serta orang-orang sejenisnya melalui pemberian wakaf dan amal jarlyah mereka yang banyak.

Para ahli tasawuf telah melaksanakan perbuatan amar ma’ruf dan nahi munkar di mana saja mereka melanglang buana dan di mana saja mereka bertempat tinggal.

Para ahli tasawuf memiliki perhatian khusus terhadap kaum wanita yang merupakan bagian anggota masyarakat sekaligus sebagai partner bagi kaum laki-laki melalui pendidikan dan pengajaran dan setelah itu kaum wanita juga lah yang melaksanakan peran amar ma’ruf nahi mungkar tersebut di dalam ruang lingkup mereka.

Saya juga ingin menyinggung beberapa pandangan pemikiran dan pembaharuan yang dilSayakan oleh para ahli tasawuf di antaranya:

Para ahli tasawuf mengikat sisi ilmiah syari’ah mereka dengan sisi penyucian diri (tariqah), etika dan dakwah sehingga seakan-akan sisi-sisi ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berdiri sendiri. Oleh karena itu mereka menamakan tempat kajian mereka dengan arbithah (ikatan-ikatan) untuk menunjukkan keterikatan jihad (fisik) dan suluk (jihad ruhani). Dengan demikian sesungguhnya mereka telah terlebih dahulu menggunakan pemahaman mcngenai keterkaitan antara pendidikan, dan pengajaran yang diserukan di masa-masa terakhir ini.

Keyakinan para ahli tasawuf dengan internasionalisasi dakwah dan prakteknya. Oleh karena itu mereka pergi melanglang buana ke kawasan timur dan barat membawa obor cahaya dan hidayah. Sekarang mereka melanjutkan perjalanan tersebut di negara-negara Barat, Amerika, Australia di samping negara-negara lain yang telah mereka jelajahi sebelumnya.

Para ahli tasawuf telah menanamkan dan mempraktekkan kehidupan kemasyarakatan yang baik dengan orang lain. Mereka telah menciptakan suri tauladan yang terbaik di dalam kehidupan bersama dengan para pemeluk agama samawi dan agama non samawi Iainnya di Indonesia, India dan Thailand. Hal yang sama juga terjadi di bagian Timur Afrika yang menjadikan mereka diyakini memiliki sisi-sisi kebaikan, kehormatan dan manfaat dari semua pihak dan dapat melepaskan masyarakat dari pertikaian kelompok yang dikeluhkan oleh sebagian masyarakat.

Para ahli tasawuf memandang kelompok-kelompok yang ada di dalam agama Islam dengan pandangan sebagai kelompok-kelompok yang saling menyempurnakan satu sama lainnya. Dengan asumsi bahwa kelompok-kelompok ini semua adalah umat Islam dan masing-masing kelompok ini akan mengerti isi-isi yang ada pada agama ini dan mereka membangun pengertian bahwa seorang muslim harus mengagungkan kemuliaan kalimat (Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Saw adalah Rasulullah Saw) lalu mereka mengetahui kehormatan dan kedudukan mereka masing-masing.

Keengganan mereka dan kehausan untuk berada di belakang kursi pemerintahan karena perhatian mereka dengan tugas yang lebih agung dan lebih besar di mata dan hati mereka. Ia adalah tugas pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat disertai dengan keyakinan mereka terhadap pentingnya pelaksanaan hukum Islam. Oleh karena itu mereka memiliki kontribusi terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka sendiri yang terdiri dari para pejabat pemerintah dengan memberikan nasehat, arahan, petunjuk dan pembenaran terhadap apa yang telah ada pada mereka untuk menghasilkan apa yang mereka telah lontarkan kepada mereka untuk dilaksanakan di dalam masyarakat yang terdiri dari kebaikan dan amal shaleh tanpa memperdulikan pendeskriditan yang akan mereka alami di balik harta duniawi dan nafsu untuk menjabat di pemerintahan. Kebangkitan para ahli tasawuf di dalam membangun masyarakat melalui perbaikan individu, baik individu tersebut sebagai pemimpin atau sosok yang dipimpin. Seorang hakim menjadi obyek dakwah mereka dari sisi individunya di mana ia sebagai bagian dari anggota masyarakat dan bukan dari posisinya sebagai seorang hakim.

Sifat komprehensif dakwah para ahli tasawuf pada seluruh lapisan masyarakat bahkan dalam membangun panti-panti sosial. Para ahli tasawuf memiliki kontribusi dalam melakukan ekspansi pada daerah-daerah yang ada di mana mereka berdiam diri di sana dengan memiliki pandangan yang luas dalam kerangka paham akidah ahli sunnah wal jamaah melalui materi-materi pembelajaran dan karya-karya mereka yang memiliki perhatian penuh dalam menanamkan akidah yang bersumber dari ayat-ayat al-Quran dengan menjauhi problematika yang ada di dalam ilmu kalam dan filsafat. Contoh konkritnya adalah buku-buku akidah yang murni yang menjadi buku wajib dan dipelajari di banyak pesantren dan tempat pendidikan.

Para ahli tasawuf juga menanamkan masalah cinta kepada para sahabat, ahlul bait dan kepada para isteri mereka dengan tanpa memberikan pemahaman yang berlebihan atau meremehkan. Pemahaman terhadap realitas ini mirip dengan jalan di mana banyak orang tergelincir kepada perbaikan jalan tersebut (secara membabi buta) atau menolak perbaikan sama sekali.

Berprasangka baik terhadap para pemeluk agama Islam dan memberi peringatan agar tidak cepat-cepat mengungkapkan kata-kata kafir, fasik, bid’ah dan sejenisnya di mana mereka sangat memperhatikan penanaman penghormatan terhadap perbedaan dan penghormatan terhadap berbagai pandangan yang beragam serta penghormatan terhadap orang-orang yang memiliki hubungan dengan mereka dalam berbagai masalah dengan menyatakan bahwa sesuatu yang mereka pandang benar, maka pasti mengandung kesalahan dan apa yang dipandang oleh orang lain salah, maka ia mengandung kebenaran. Ini merupakan cara pandang mayoritas paham ahli Sunnah wal Jamaah di dalam masalah-masalah syariat pada umumnya didasarkan pada Dzon (asumsi).

Terakhir, sesungguhnya penjelasan mengenai keutuhan masyarakat kita sekarang ini terhadap hal-hal yang istimewa ini (baca:prinsip-prinsip tasawuf) dan nilai-nilai lainnya yang dibawa oleh tasawuf sulit dikumpulkan dalam kertas-kertas ini. Saya memohon kepada Allah Swt agar memberikan pertolonganNya kepada umat Islam untuk mendapatkan pembelajaran dan mengikuti para pendahulu mereka dengan baik. Sesungguhnya Allah Swt Maha Kuasa untuk mengabulkan doa ini. Semoga Allah Swt memberikan rahmatNya kepada nabi Muhammad Saw, keluarganya serta salam sejahtera dan segala puji bagi Allah SM Tuhan semesta alam.

Mengenal Sifat Lahiriyyah Bathiniyyah

=============

Mengenal Sifat Lahiriyyah Bathiniyyah

www.sufinews.com

HAWA NAFSU berasal dan napas api neraka. Ketika napas itu berembus dari api, syahwat terbawa ke pintu neraka tempat perhiasan dan kesenangan berada, lalu ia mendatangi nafsu.

Ketika nafsu mendapatkan kesenangan dan perhiasan, ia bergolak akibat kesenangan dan perhiasan yang diletakkan di sisinya dalam wadah itu, dan ia berupa angin panas. Ia lalu mengalir dalam urat-urat, sehingga semua saluran darah terisi olehnya dalam waktu lebih cepat daripada kedipan mata.

Saluran darah mengaliri seluruh tubuh dan kepala hingga kaki. Jika angin itu sudah berembus di dalamnya, lalu jiwa manusia merasakan embusannya dalam tubuh, kemudian ia merasa nikmat dan senang dengannya, itulah yang disebut dengan syahwat dan kenikmatannya.

Apabila nafsu serta syahwat berikut kenikmatannya sudah menempati seluruh tubuh, syahwat menyerang hati. Apabila syahwat sudah demikian hebat, ia menguasai hati, sehingga hati tertawan, yakni takluk kepada syahwat. Selanjutnya, syahwat dapat memainkannya. Kekuatan hawa nafsu dan syahwat ada bersama jiwa dan bertempat dalam perut, sedangkan kekuatan makrifat, akal, ilmu, pemahaman, hafalan, dan pikiran berada di dada. Makrifat ditempatkan di kalbu, pemahaman di fu’ad, serta akal di pikiran, dan hafalan menyertainya.

Syahwat diberi sebuah pintu yang menghubungkan tempatnya ke dada, sehingga asap syahwat yang bersumber dari hawa nafsu bergolak sampai ke dada. Ia menyelubungi fu’ad dan kedua mata fu’ad berada dalam asap itu. Asap tersebut adalah kebodohan. Ia menghalangi mata fu’ad untuk melihat cahaya akal yang dipersiapkan baginya.

Demikian pula amarah ketika bergolak. Ia seperti awan yang menutupi mata fu’ad, sehingga akal pun tertutup. Akal bertempat di otak dan cahayanya memancar ke dada. Ketika awan amarah keluar dari rongga ke dada, ia memenuhi dada dan menyelubungi mata fu’ad.

Karena cahaya akal terhalang, sementara awan menutupi fu’ad, fu’ad orang kafir berada dalam gelapnya kekafiran. Itulah tutup yang Allah sebutkan dalam Al-Quran:

Mereka berkata, “Hati kami tertutup.” (QS Al-Baqarah : 2)
Tetapi, hati orang-orang kafir dalam kesesatan terhadap hal ini. (QS Al-Mu’minun : 63)

Adapun fu’ad mukmin berada dalam asap syahwat dan awan kesombongan. Inilah yang disebut kelalaian.

Dari kesombongan itulah amarah berasal. Kesombongan bertempat dalam jiwa. Ketika jiwa manusia menyadari penciptaan Allah atasnya, kesombongan berada di dalamnya. Inilah sifat lahiriah dan batiniah manusia.

Allah Swt. memilih dan memuliakan manusia yang bertauhid. Dan setiap seribu orang, satu orang dipilih, sementara sembilan ratus sembilan puluh sembilan lainnya tidak dipedulikan. Dia hanya memerhatikan satu dari setiap seribu manusia. Dia mendistribusikan bagian pada Hari Penetapan dan menolak orang yang Dia abaikan, sehingga mereka tidak mendapat bagian.

Ketika mengeluarkan keturunan \[manusia] lewat sulbi, Dia menjadikan mereka berbicara, Manusia yang diperhatikan Allah mengakui-Nya secara sukarela saat Allah berfirman, “Bukankah Aku Tuhan kalian?” (QS Al-A’raf:172). Orang yang tidak mendapat bagian dan tidak mendapat perhatian Allah menjawab, “Ya, Engkau Tuhan kami” dengan terpaksa.

Itulah makna firman Allah Swt.: “Seluruh yang terdapat di langit dan di bumi berserah diri kepada-Nya baik dengan sukarela maupun terpaksa.” (QS Al-Imran:83)

Dia menjadikan mereka dalam dua kelompok: kelompok kanan dan kelompok kiri.

Allah Swt. kemudian berfirman, “Sebagian mereka berada di surga dan Aku tidak peduli; Aku tidak peduli ampunan-Ku tercurah kepada mereka. Sebagian lagi berada di neraka dan Aku pun tidak peduli; Aku tidak peduli ke mana kembalinya mereka.”

Dia lalu mengembalikan mereka ke sulbi Nabi Adam as. Dia mengeluarkan mereka pada hari-hari dunia untuk (memberi mereka kesempatan) melakukan amal dan menegakkan hujah. Manusia yang telah dipilih dan dimuliakan Allah, kalbunya dicelup dalam air kasih sayang-Nya sampai bersih. Allah Swt. berfirman, “Itulah celupan Allah, dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah?!” (QS Al-Baqarah:138)

Dia kemudian menghidupkannya dengan cahaya kehidupan setelah sebelumnya ia hanya berupa seonggok daging.

Ketika dihidupkan dengan cahaya kehidupan, ia pun bergerak dan membuka kedua mata di atas fu’dd. Ia lalu diberi-Nya petunjuk dengan cahaya-Nya yang tidak lain adalah cahaya tauhid dan cahaya akal. Ketika cahaya itu menetap di dadanya serta fu’ad dan kalbu merasa teguh dengannya, Ia pun mengenal Tuhan. Itulah maksud firman Allah Swt.: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Dia kami hidupkan ...“ (QS Al-Baqarah:138). Yaitu, dihidupkan dengan cahaya kehidupan.

Allah Swt. kemudian berfirman, “Lalu, Kami berikan untuknya cahaya yang dengan itu ia berjalan di tengah-tengah man usia.” (QS Al-An’am : 122) Yakni, cahaya tauhid.

Dengan cahaya itu, kalbunya menghadapkannya kepada Allah, sehingga jiwa menjadi tenteram dan mengakui bahwa tiada Tuhan selain Dia. Ketika itulah lisan mengungkapkan ketenteraman jiwanya dan kesesuaiannya dengan kalbu berupa ucapan: “laa ilaaha illaa Allah (tiada Tuhan selain Allah).” Itulah makna firman Allah Swt.: “Tidaklah jiwa seseorang beriman kecuali dengan izin Allah” Yunuus dan firman-Nya: “Wahai jiwa yang tenteram.” (QS Al-Fajr : 27)

Kala jiwa sudah merasa tenteram saat melihat perhiasan karena akal menghiasi mata fu’ad dengan tauhid, saat melihatnya itu jiwa merasakan kenikmatan cinta Allah yang meresap dalam kalbu bersama cahaya tauhid. Saat melihat perhiasan, ia merasakan kenikmatan cinta dalam cahaya tauhid. Ketika itulah jiwa menjadi tenang dan senang kepada tauhid. Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Firman-Nya, menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman indah dalam kalbu kalian.”135

Kala jiwa mendapatkan perhiasan itu, ia membenci kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.

Ketika seorang mukmin berbuat dosa, Ìa melakukan itu dengan syahwat dan nafsunya, padahal ia membenci kefasikan dan kekufuran. Karena benci, ia berbuat fasik dan bermaksiat dalam kondisi lalai. Ia sebenarnya tidak bermaksud kepada kefasikan dan kemaksiatan seperti halnya iblis.

Kebencian itu tertanam dalam jiwa, namun syahwat menguasai jiwa. Kebencian itu ada, karena tauhid terdapat dalam dirinya. Hanya saja, kalbu dikalahkan oleh sesuatu yang merasukinya, akal terhijab, dada dipenuhi asap syahwat, dan nafsu menguasai kalbu.

Ini terjadi lantaran akal kalah, makrifat tersudut, dan pikiran buntu, sementara hafalan dan akal terkurung dalam otak. Jiwa melakukan dosa karena kekuatan syahwat, sementara musuh menghiasi, membangkitkan angan, mengiming-imingi ampunan, serta mempertunjukkan tobat, sehingga hati berani berbuat dosa.