Membaca Shalawat Setelah Adzan
========================
Bila difahami
lebih mendalam seringkali sebuah laku ibadah memiliki nilai ganda. Satu
nilai spiritual yang berorientasi Yang Maha Kuasa (hablum minallah),
Sisi lain nilai social (hablum minan nas) menjadi syiar bagi Islam itu
sendiri. Misalnya shalat Jum’ah, ibadah haji, Adzan dan lain
sebagainya. Akan tetapi sebagian kaum muslim tidak dapat memahami hal
ini dengan baik. Malahan sebaliknya, laku ibadah itu menjadi sumber
perdebatan yang ujungnya bermuara pada pembelaan ego sebuah kelompok
tertentu. Sehingga yang terjadi adalah saling tuding bid’ah dan
klaim-klaim primordial
Sebut saja perdebatan mengenai hukum khatib memegang tongkat dalam shalat jum’at. Atau hukum berziarah ke tempat-tempat bersejarah di Makkah-Madinah ketika haji. Atau sekedar membaca shalawat setelah adzan dalam setiap shalat dan masih banyak lagi lainnya. Perdebatan semacam ini tidak harus terjadi apabila kaum muslimin memahami konteks sebuah laku ibadah.
Di sinilah perlunya klarifikasi hukum berdasar pada dalil hadits
maupun sunnah. Seperti dalil seputar pembacaan shalawat kepada Nabi
setelah adzan yang asal hukumnya adalah sunnah, dan tidak ada perbedaan
pendapat di dalamnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam
Muslim (hadits no. 384), dan Abu Dawud (hadis no. 523). Yaitu:
اِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَأَ فَقُوْلُوْا مَثَلُ مَا يَقُوْلُ ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ.
Artinya: Ketika kalian mendengarkan adzan maka jawablah, kemudian
setelah itu bacalah sholawat kepadaku. (H.R. Muslim dan Abu Dawud)
Pendapat di atas ini juga didukung oleh Imam Jalaludin as-Suyuthi,
Ibnu Hajar al-Haitsami, Syeikh Zakariya al-Anshari, dan lain lain.
Imam Ibnu Abidin dalam ‘hasyiyahnya’ mengatakan, bahwa pendapat yang
didukung oleh Madzhab Syafi’i dan Hanbali adalah pendapat yang
mengatakan shalawat setelah adzan adalah sunah bagi orang yang adzan dan
orang yang mendengarkannya.
Para ulama memberikan penjelasan bahwa, pada hakikatnya puji-pujian setelah adzan adalah dalam kategori bid’ah hasanah.
Sedangkan pengamalan puji-pujian secara popular baru mulai sekitar
tahun 781 H, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abidin dalam kitab
“Hasiyah” yang merujuk pada pendapat Imam as-Sakhawi.
Dalam kitab “taj al-jami” ada dijelaskan bahwa :
Dalam kitab “taj al-jami” ada dijelaskan bahwa :
اَلصَّلاَةُ
بَعْدَ اْلاَذنِ سُنَّةٌ لِلسَّامِعِ وَاْلمُؤَذّنُ وَلَوْ بِرَفْعِ
الصَّوْتِ, وَعَلَيْهِ الشَّافِعِيَّة وَاْلحَنَابِلَة وَهِيَ بِدْعَةٌ
حَسَنَةٌ .
Artinya : Membaca shalawat setelah adzan adalah sunah, baik bagi
orang yang adzan maupun orang yang mendengarkannya, dan boleh
mengeraskan suara. Pendapat inilah yang didukung oleh kalangan madzhab
Syafi’iyah, dan kalangan madzhab Hanbali.
Sumber "Tradisi Amalian NU dan Dalilnya", LTM-PBNU, Jakarta, 2011 (Redaktur: Ulil Hadrawi)
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,37595-lang,id-c,ubudiyyah-t,Membaca+Shalawat+Setelah+Adzan-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar