ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Kamis, 26 Desember 2013

KATEGORISASI ILMU VERSI IMAM AL-GHOZALI RA

=========

PENGERTIAN ILMU & PEMBAGIANNYA VERSI  IMAM AL-GHOZALI RA

Al-Ghozali telah mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Yang mendasari pemikirannya atas dua bidang ini adalah pandangannya yang memandang manusia dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan amal. Karena amaliyah tidak akan muncul dan kemunculannya tidak akan bermakna kecuali setelah adanya pengetahuan. Oleh karena itu, dalam kitab momumentalnya Al-Ghazali yakni “Ihya’ ‘Ulum al-Din”, mengupas ilmu pengetahuan secara panjang lebar, pembahasan ini dituangkan dalam bab tersendiri “Kitab al-Ilmi”.

Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Al-Ghozali membagi ilmu menjadi dua, yaitu:
Syar’iyah; ilmu yang diperoleh dari para Nabi Alloh yang tidak hadir melalui aktivitas nalar sebagaimana matematika, tidak melalui eksperimen sebagai imu pengeobatan (kedokteran), juga tidak melalui keterampilan pendengaran seperti bahasa.

Al-Ushul (dasar) meliputi: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ al-Ummah, Atsar al-Shahabah

Al-Furu’ (cabang), meliputi; ilmu kemashlahatan dunia seperti fiqh, ilmu kemashlahatan akhirat seperti mukasyafah, mu’amalah (ahwal al-Qulub)

Al-Muqaddimat (Pengantar), meliputi; ilmu yang merupakan alat seperti ilmu Bahasa dan tata bahasa Arab; nahwu sharaf. Karena keduanya merupakan alata untuk memahami isi kitab Allah dan Sunnah Rasul. Termasuk alat adalah ilmu Khat (menulis)

Al-Mutammimat (Suplemen), meliputi; ilmu Al-Qur,an seperti ilmu Qira’ah, dan tafsirnya,
Ghairu Syar’iyah atau aqliyah adalah berbagai ilmu yang diperoleh melalui intelektualitas manusia.

Baik yang diperoleh secara dharuri atau iktisabi. Yang dlaruri ialah yang diperoleh dari insting akal itu sendiri tanpa melalui indera, dari mana dan bagaimana datangnya manusia tidak tahu, misalnya pengetahuan bahwa seseorang tidak ada pada dua tempat dalam waktu yang sama. Inilah pengetahuan yang diperoleh manusia sejak kecil dan menjadi fitrah baginya.

Sedangkan yang iktisabi ialah yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan berfikir. Ilmu ada yang bersifat duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, politik, teknik, sosial, dan ilmu-ilmu keterampilan lainnya. Dan ada yang bersifat ukhrawi, seperti ilmu tentang Allah dan sifat dan af’al-Nya.


Mahmudah (terpuji), meliputi; Kedokteran, Aritmatika, dan lain sebagainya, hal ini untuk menambah kemampuan yang dibutuhkan.
Mubah (dibolehkan), seperti Sastra, Sejarah, dan lain-lain
Madhmumah (tercela), seperti ilmu sihir, ilmu tenung, dan ilmu-ilmu semacam itu

Al-Ghazali juga mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dalam perspektif keterikatan moral umat Islam ke dalam fardlu ‘ain dan beberapa disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh setiap individu umat Islam (fardlu’ ain). Di sisi lain juga terdapat disiplin ilmu pengetahuan yang tidak menuntut setiap individu untuk menguasainya, tetapi cukup diwakili oleh beberapa umat Islam saja (fardlu kifayah).

Dalam Ihya ‘Ulumuddin, al-Ghozali mengakui bahwa kategorisasi ilmu ke dalam fardlu ‘ain telah ada. Hanya saja hal itu dilakukan sesuai dengan kecenderungan seseorang terhadap suatu disiplin ilmu. Kaum Mutakallimin misalnya, akan menyatakan bahwa belajar ilmu kalam adalah fardlu ‘ain, dengan argumentasi ilmu kalam sebaga pengetahuan tentang Tuhan. Sedang ahli fiqh juga mengklaim bahwa mempelajari ilmu fiqih juga fardlu ‘ain, dengan pertimbangan untuk mengetahui hukum halal –haram dalam ibadah maupun muamalah. Kelompok ulama’ dari disiplun ilmu lain juga mengkalaim fardu ‘ain.

Al-Ghozali selanjutnya memberikan batasan dan menyebutkan kategori ilmu fardlu ‘ain yang meliputi ilmu agama, seperti al-Qur’an dan al-Hadits. Kemudian pokok-pokok ibadah, seperti salat, puasa, zakat dan lain-lain. Asumsinya, ilmu tentang tata cara salat merupakan fardlu ain bagi orang yang diwajibkan shalat. Demikian juga ilmu tentang zakat hukumnya fardlu ‘ain bagi yang telah berkewajiban zakat, seperti orang miskin, hukum mempelajari ilmu zakat akan berbeda.

Sedangkan ilmu yang tergolong fardlu kifayah adalah ilmu yang harus ada demi eksistensi dunia. Ilmu kedokteran sangat dibutuhkan manusia untuk menjaga kesehatan makhluk hidup. Begitu juga ilmu matematika memegang peranan penting dalam dunia perdagangan dan penentuan harta warisan. Ilmu semacam inilah yang harus dikuasai umat Islam, meskipun tidak harus melibatkan setiap individu umat Islam.

Sedangkan filsafat menurut Al-Ghazali bukanlah ilmu yang berdiri dengan sendiri akan tetapi terdiri dari empat bagian, yaitu:

Ilmu handasah dan hisab atau geometri dan aritmatika

Ilmu logika atau mantiq

Ilmu Ilahiyah atau metafisika

Al-Tabi’iyah atau fisika

Al-Ghazali telah berusaha mengklasifikasikan ilmu pengetahuan secara hirarkis. Ia juga menentukan nilainya sesuai dengan tingkat manfaat dan bahaya yang ditimbulkannya dalam hubungannya dengan tugas dan tujuan hidup manusia dalam mewujudkan tatanan kehidupan dunia untuk mencapai tujuan hidup manusia itu bahagia di dunia dan akhirat. Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia.Pemikiran ini setidak-tidaknya akan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk menguasai ilmu pengetahuan.

Dari prinsip-prinsip kalsifikasi ilmu menurut Al-Ghazali dapat diturunkan dalam konsep bangunan keilmuan (body of knowledge) yakni aksiologi, epistimologi dan ontologi.
Epistemologis, cabang filsafat yang mempelajari bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan dan bagaiaman ilmu pengetahuan itu.

Dan secara epistemologi ilmu itu terbagi menjadi duan, yaitu syar’iyah dan ghairu syar’iyah tau dalam bagian lain disebut aqliyah
Ontologis, yaitu cabang filsafat yang mempelajari yang nyata atau wujud.

Dan secara ontologis ilmu itu dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardlu kifayah
Aksiologis, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang nilai-nilai terhadap sesuatu.

Dan secara ontology ilmu itu dibagi menjadi ilmu terpuji (mahmudah), boleh (mubah), tercela (madhmudah)

Ushul
Furu’
Syar’iyyah
Muqaddimah
Epistemilogis Mutammimah

Dharuri
Aqliyah
Iktisabi

Fardlu Ain
ILMU Ontologis
Fardhu KIfayah


Terpuji

Aksiologis Mubah

Tercela



Dewasa ini banyak kritikus menuduh bahwa salah satu penyebabnya kemerosotan ilmu Islam adalah pemikiran sufistik Al-Ghazali sekaligus gagasannya tentang dikotomisasi ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sehingga masyarakat terbuai dengan ilmu-ilmu agama dan mengacuhkan kategori ilmu rasional. Padahal, sebenarnya pemikiran para cendikiawan muslim (termasuk Al-Ghazali) pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari kemajuan umat Islam yang ada di zamannya, bahkan merupakan motivasi dan etos kerja bagi umat Islam periode klasik. Masih sekitar empat abad kemudian setelah Al-Ghazali Meninggal, ternyata peradaban dan kemajuan umat Islam masih mendominasi peradaban dunia. Kalaulah pengaruh Al-Ghazali menjadi penyebab kemunduran umat Islam, bagaimanapun kemunduran itu akan terlihat sesudah ia meninggal, dan sulit bertahan sampai abad ke-15.

Dan kalau diilihat dari pendekatan sosiokulturalnya, umat Islam pada masa lalu dalam masa kejayaannya tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Seluruh pengetahuan berasal dari Tuhan, oleh karena itu harus dipelajari oleh umat Islam. Di antara ulama tidak ada yang membantah akan pentingnya ilmu kedua macam ilmu tersebut untuk selalu dipelajari. Baru setelah timbul kekhawatiran di kalangan umat Islam akan kecenderungan melupakan ilmu agama, para ulama seperti Al-Ghazali, seorang tasawuf mengkritik Ibnu Rusyd karena terlalu menggunakan rasio dari pada wahyu dalam proses menemukan yang hakiki.

Yakni pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran, dan prinsip kesatuan sumber ilmu pengetahuan.

ILMU & PEMBAGIANNYA VERSI IMAM AL-GHOZALI RA ( ILMU ADALAH PANGKAL KEBAHAGIAAN DI DUNIA DAN AKHIRAT )

==========

ILMU & PEMBAGIANNYA VERSI IMAM AL-GHOZALI RA

==================
Menurut Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Ghozali memberikan kriteria-kriteria terhadap nilai ilmu yang dipaparka secara urut, yaitu:

1-Sejauhmana manfa'atnya bagi manusia adalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, dari segi penyucian diri, perbaikan akhlak, pendekatan diri kepada Allah serta persiapan-persiapam menuju kehidupan alam akhirat, seperti ilmu Al-Qur’an, dan ilmu-ilmu agama.

2-Sejauhmana bagi manusia dapat memberikan kemudahan dan dukungan kepada manusia untuk mempelajari ilmu agama, seperti ilmu bahasa, gramatika, dan lainnya.

3-Sejauhmana bagi manuisa dalam manfaatnya untuk bekal kehidupan dunia, seperti kedokteran, ilmu hitung dan beberapa keahlian lainnya.

4-Sejauahmana bagi manuisa dalam memberikan manfaat dalam membangun kebudayaan dan peradaban, seperti sejarah, sastra, politik dan lainnya.

Oleh karena itu, Al-Ghazali sendiri tidak menolak pentingnya mempelajari segala macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Ia hanya menekankan perlunya manusia membuat skala prioritas pendidikan dengan menempatkan ilmu agama dalam posisi paling urgens. Hal ini terlihat dari pendapat Al-Ghazali dalam menentukan materi pendidikan secara hirarkis. Tingkat pertama, Al-Qur’an dan ilmu agama, seperti fiqh, ilmu hadits, dan lainnya. Tingkat kedua, ilmu bahasa dan gramatika, termasuk juga ilmu tajwid. Tingkat ketiga, ilmu dalam kategori fardlu kifayah, seperti kedokteran, ilmu hitung, politik dan lainnya. Tingkat keempat, ilmu tentang kebudayaan, seperti sastra, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.

Dengan demikian, Al-Ghazali dalam menyusun kurikulum memberi perhatian khusus terhadap ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. dengan kata lain, ia mementingkan sisi faktual dalam kehidupan, yaitu sisi-sisi yang tak dapat tidak harus ada. Ia juga menekankan sisi-sisi budaya, tetapi ia tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifatnya yang dikuasai oleh tasawuf dan zuhud. Disamping itu, ia juga tidak mengajarkan pentingnya pengajaran keterampilan, sekalipun ia menekankan pentingnya pengajaran berbagai keahlian esensial dalam kehidupan masyarakat.

Pengertian ini juga dapat kita pahami dari ungkapan Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, yaitu:

ومعنى المهم ما يهمك ولايهمك إلا شأنك في الدنيا والأخرة, وإذا لم يمكنك الجمع بين ملاذ الدنيا ونعيم الآخرة كما نطق به القرآن وشهد له من النور البصائر ما يجر مجرى العليان فالأهم مايبقى به الآباد

Pengertian penting adalah sesuatu yang penting bagimu dan tidaklah penting bagimu kecuali urusanmu mengenai dunia dan akhirat, apabila tidak memungkinkan bagimu untuk menggabung antara kelezatan dunia dan kenikmatan akhirat sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan disaksikan oleh pandangan hati seperti apa yang berjalan dengan perjalanan yang nyata maka yang lebih penting adalah sesuatu yang tinggal selama-lamanya (akhirat).

Dalam surat Al-Qashah ayat 77, yaitu:

وابتغ فيما أتك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد فى الأرض إن الله لا يحب المفسدين

(Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepadamu kebahagian di akhirat dan jagan kamu melupakan bagian kamu (untuk mencari negeri akhirat) di dunia, berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu membuat kerusakn di muka bumi ini, sesungguhnya Allah tidak menyukai para perusak).

أن مقاصد الخلق مجموعة فىالدين والدنيا ولانظام للدين إلا بنظام الدنيا فإن الدنيا مزرعة للآخرة وهي الآلة الموصلة إلى الله عز وجل لمن التخذها آلة ومنزلا لا لمن يتخذها مستقرا ووطنا


Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisir selain dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Yaitu alat yang menyampaikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla bagi orang yang mengambilnya (dunia) sebagai alat dan persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat menetap dan tanah air.

ولن يتوصل إليها إلا بالعلم والعمل ولا يتوصل إلى العمل إلا بالعلم بكيفية العمل فأصل السعادة فى الدنيا والأخرة وهو العلم

Manusia tidak akan mencapai tujuan hidupnya kecuali melalui ilmu dan amal. Dan tidak akan beramal kecuali dengan mengetahui cara pelaksanaan amal, dengan demikian pangkal kebahagian di dunia dan akhirat, sebagai tujuan hidup adalah ilmu.

Dengan demikian pula, diyakini bahwa ilmu agama bukanlah satu-satunya ilmu yang dapat mengantarkan manusia menjadi lebih dekat kepada Tuhan. Ilmu pengetahuan apapun adalah sarana menuju Tuhan jika manusia sejak dini telah menyadari bahwa eksistensinya di dunia menuntutnya untuk berorientasi kepada kehidupan di akhirat. Pada akhirnya segala ilmu pengetahuan yang memberikan kebaikan di duna dan akhirat itu penting untuk dipelajari.

Sejalan dengan pendapatnya Muhaimin dan Abdul Mujib, bahwa konsep Al-Ghazali merupakan konsep Islamisasi sains yang dirintis ketika menghadapi polemik dengan golongan filsafat dan ilmu-ilmu, sebagaimana dalam bukunya “Tahafut Al-Falasifah” dan “Al-Munqiz min al-Dalal”.

Akan tetapi dalam menyusun keilmuan, Al-Ghazali mempunyai dua kecenderungan:

1-Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat beliau menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya, dan memandangnya sebagai alat penyucian diri dan membersihkan diri dari karat-karat dunia. Ia juga mementingkan ilmu etika, menurut beliau pendidikan etika terkait erat dengan pendidikan agama. Terkesan bahwa Al-Ghazali dalam waktu tertentu menggunakan ungkapan-ungkapan Plato, Filosuf dan pendidik Yunani kuno. Memang dikenal luas, bahwa Al-Ghazali mempelajari secara cermat tentang filosuf Yunani untuk seterusnya membantah pandangan filsafat dan teori mereka.

2-Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak jelas di dalam berbagai karya tulisnya. Beliau seringkali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya kepada manusia, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral yang tak digunakan oleh pemiliknya untuk hal yang bermanfaat, maka ilmu tersebut tidak mempunyai nilai. Bagi dia ilmu harus disertai pengamalan, dan amal harus disertai dengan kesungguhan dan ketulusan.
 
 

Para 'Ulama' yang mengkritik Syekh Al-Albani, Diantaranya: Habib al-Rahman al-A‘zami telah menulis buku yang berjudul al-Albani Shudhudhuh wa Akhta’uh (Kekhilafan dan Kesalahan Al-Albani)

=========

Para 'Ulama' yang mengeritik Syekh Al-Albani ini ,yang kami dapati dari situs internet, diantaranya adalah sebagai berikut:

Sarjana ahli hadits India yang bernama Habib al-Rahman al-A‘zami telah menulis buku yang berjudul al-Albani Shudhudhuh wa Akhta’uh (Kekhilafan dan Kesalahan Al-Albani) dalam empat jilid. 

Sarjana Syria yang bernama Muhammad Sa‘id Ramadan al-Buuti menulis dalam dua buku klasiknya yang berjudul al-Lamadhhabiyya Akhtaru Bid‘atin Tuhaddidu al-Shari‘a al-Islamiyya (“Not Following A School of Jurisprudence is the Most Dangerous Innovation Threatening Islamic Sacred Law”) dan al-Salafiyya Marhalatun Zamaniyyatun
Mubaraka La Madhhabun Islami (“The ‘Way of the Early Muslims’ Was A Blessed Historical Epoch, Not An Islamic School of Thought”).

Sarjana hadits dari Marokko yang bernama ‘Abd Allah ibn Muhammad ibn al-Siddiq al-Ghumari buku-bukunya yang berjudul e Irgham al-Mubtadi‘ al-Ghabi bi Jawaz al-Tawassul bi al-Nabi fi al-Radd ‘ala al-Albani al-Wabi;  (“The Coercion of the Unintelligent Innovator with the Licitness of Using the Prophet as an Intermediary in Refutation of al-Albani the Baneful”), al-Qawl al-Muqni‘ fi al-Radd ‘ala al-Albani al-Mubtadi‘ (“The Persuasive Discourse in Refutation of al-Albani the Innovator”), dan Itqan al-Sun‘a fi Tahqiq Ma‘na al-Bid‘a (“Precise Handiwork in Ascertaining the Meaning of Innovation”).

Sarjana hadits dari Marokko yang bernama ‘Abd al-‘Aziz ibn Muhammad ibn al-Siddiq al-Ghumari bukunya berjudul Bayan Nakth al-Nakith al-Mu‘tadi (“The Exposition of the Treachery of the Rebel”). 

Sarjana Hadits dari Syria yang bernama ‘Abd al-Fattah Abu Ghudda bukunya yang berjudul Radd ‘ala Abatil wa Iftira’at Nasir al-Albani wa Sahibihi Sabiqan Zuhayr al-Shawish wa Mu’azirihima (“Refutation of the Falsehoods and Fabrications of Nasir al-Albani and his Former Friend Zuhayr al-Shawish and their Supporters”).

Sarjana hadits dari Mesir yang bernama Muhammad ‘Awwama  bukunya berjudul  Adab al-Ikhtilaf  (“The Proper Manners of Expressing Difference of Opinion”).

Sarjana Mesir yang bernama Mahmud Sa‘id Mamduh buku-bukunya berjudul Wusul al-Tahani bi Ithbat Sunniyyat al-Subha wa al-Radd ‘ala al-Albani (“The Alighting of Mutual Benefit and Confirmation that the Dhikr-Beads are a Sunna in Refutation of al-Albani”) dan Tanbih al-Muslim ila Ta‘addi al-Albani ‘ala Shohih Muslim (“Warning to the Muslim Concerning al-Albani’s Attack on Shohih Muslim”).

Sarjana hadits dari Saudi Arabia yang bernama  Isma‘il ibn Muhammad al-Ansar buku-bukunya yang berjudulTa‘aqqubat ‘ala “Silsilat al-Ahadith al-Da‘ifa wa al-Mawdu‘a” li al-Albani (“Critique of al-Albani’s Book on Weak and Forged Hadiths”), Tashih Sholat al-Tarawih ‘Ishrina Rak‘atan wa al-Radd ‘ala al-Albani fi Tad‘ifih(“Establishing as Correct the Tarawih Sholat in Twenty Rak‘as and the Refutation of Its Weakening by al-Albani”), dan Ibahat al-Tahalli bi al-Dhahab al-Muhallaq li al-Nisa’ wa al-Radd ‘ala al-Albani fi Tahrimih (“The Licitness of Wearing Gold Jewelry for Women Contrary to al-Albani’s Prohibition of it”).

Sarjana Syria Badr al-Din Hasan Diab bukunya berjudul Anwar al-Masabih ‘ala Zulumat al-Albani fi Sholat al-Tarawih (“Illuminating the Darkness of al-Albani over the Tarawih Prayer”).

Direktur dari Pensubsidian Keagamaan (The Director of Religious Endow- ments) di Dubai, yang bernama ‘Isa ibn ‘Abd Allah ibn Mani‘ al-Himyari buku bukunya yang berjudul al-I‘lam bi Istihbab Shadd al-Rihal li Ziyarati Qabri Khayr al-Anam (“The Notification Concerning the Recommendation of Travelling to Visit the Grave of the Best of Creation) dan al-Bid‘a Al-Hasana Aslun Min Usul al-Tashri‘ (“The Excellent Innovation Is One of the Sources of Islamic Legislation”).

Menteri Agama dan Subsidi dari Arab Emiraat (The Minister of Islamic Affairs and Religious Endowments in the United Arab Emirates) yang bernama Shaykh Muhammad ibn Ahmad al-Khazraji yang menulis artikel al-Albani: Tatarrufatuh  (“Al-Albani’s Extremist Positions”)  

Sarjana dari Syria yang bernama Firas Muhammad Walid Ways dalam edisinya yang berjudul  Ibn al-Mulaqqin’s Sunniyyat al-Jumu‘a al-Qabliyya (“The Sunna Prayers That Must Precede Sholat al-Jumu‘a”).

Sarjana Syria yang bernama Samer Islambuli bukunya yang berjudul  al-Ahad, al-Ijma‘, al-Naskh.

Sarjana Jordania yang bernama As‘ad Salim Tayyim bukunya yang berjudul Bayan Awham al-Albani fi Tahqiqihi li Kitab Fadl al-Sholat ‘ala al-Nabi.

Sarjana Jordania Hasan ‘Ali al-Saqqaf menulis dua jilid yang berjudul Tanaqudat al-Albani al-Wadiha fi ma Waqa‘a fi Tashih al-Ahadith wa Tad‘ifiha min Akhta’ wa Ghaltat (“Albani’s Patent Self-Contradictions in the Mistakes and Blunders He Committed While Declaring Hadiths to be Sound or Weak”), dan tulisan-tulisannya yang lain ialah Ihtijaj al-Kha’ib bi ‘Ibarat man Idda‘a al-Ijma‘ fa Huwa Kadhib (“The Loser’s Recourse to the Phrase: ‘Whoever Claims Consensus Is a Liar!’”), al-Qawl al-Thabtu fi Siyami Yawmal-Sabt (“The Firm Discourse Concerning Fasting on Saturdays”), al-Lajif al-Dhu‘af  li al-Mutala‘ib bi Ahkam al-I‘tikaf (“The Lethal Strike Against Him Who Toys with the Rulings of I‘tikaf), Shohih Sifat Sholat al-Nabi Sallallahu ‘alayhi wa Sallam (“The Correct Description of the Prophet’s Prayer “), I‘lam al-Kha’id bi Tahrim al-Qur’an ‘ala al-Junub wa al-Ha’id (“The Appraisal of the Meddler in the Interdiction of the Qur’an to those in a State of Major Defilement and Menstruating Women”),Talqih al-Fuhum al-‘Aliya (“The Inculcation of Lofty Discernment”), dan Shohih Sharh al-‘Aqida al-Tahawiyya (“The Correct Explanation of al-Tahawi’s Statement of Islamic Doctrine”). 

Dan masih banyak ulama berbeda madzhab yang mengeritik kekhilafan dan kesalahan Syekh Al-Albani dan pengikut madzhab Wahabi ini yang tidak tercantum disini.

Kalau kita teliti, banyak ulama dari bermacam-macam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali) mengeritik kekhilafan dan kesalahan ulama madzhab Wahabi, khususnya Syeikh al-Albani, maka kita akan bertanya sendiri apakah bisa beliau ini dikatagorikan sebagai Imam Muhadditsin (Imamnya para ahli hadits) pada zaman sekarang ini sebagaimana yang dijuluki oleh sebagian golongan Salafi/Wahabi? Memang ada ulama-ulama yang memuji Syekh Al- Albani ini dan memuji ulama gologan Salafi/Wahabi lainnya, tapi ulama-ulama yang memuji ini semuanyasemadzhab dan sejalan dengan golongan Wahabi/Salafi ! 

Sudah tentu kita tidak jujur kalau mengatakan bahwa  semua pendapat/ faham golongan Salafi/Wahabi yang mengaku sebagai penerus akidah dari Ibnu Taimiyyah atau Muhammad Ibnul Wahhab ini salah dan disangkal oleh ulama pakar lainnya, tapi ada juga pendapat mereka mengenai syariat Islam yang sepaham dengan madzhab lainnya. Yang sering disangkal tidak lain pendapatnya mengenai tajsim dan tasybih Allah swt.(akidah tauhid) dengan makhluk-Nya, yang mana hal ini bertentangan dengan firman-firman Allah swt. dan sunnah Rasulallah saw.. Disamping itu yang sering disangkal juga oleh para ulama madzhab sunnah mengenai akidah dan pendapat mereka yang membid’ahkan sesat, sampai-sampai berani mensyirikkan tawassul, tabarruk pada pribadi orang baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, ziarah kubur peringatan keagamaan, kumpulan majlis dzikirdan lain sebagainya (baca keterangan tersendiri mengenai bab-bab ini). Padahal semuanya ini mustahab untuk diamalkan serta tidak keluar dari syariat agama malah banyak dalil shohih baik secara langsung maupun tidak secara langsung yang menganjurkan amalan-amalan tersebut. Setiap Muslim boleh memohon pertolongan dan bertawassul, bertabarruk kepada para Nabi, wali Allah didalam setiap urusan, baik yang gaib maupun yang materi, dengan menjaga dan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya atau akan diuraikan lebih rinci.

Sekali lagi kami cantumkan sebagian judul buku dan nama-nama ulama yang mengeritik akidah atau keyakinan golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya, bukan ingin mencari kesalahan lawan atau ingin membongkar rahasia kekurangannya, tapi yang kami sesalkan dan sayangkan bahwa golongan Wahabi/Salafi ini sangat fanatik kepada ulama kelompoknya sendiri, sehingga sering mensesatkan, mencela, mengkafirkan para ulama atau muslimin selain madzhabnya.  Mereka merasa yang paling pandai, murni dan.....dalam syari’at Islam !. 

Kita cukupkan sampai disini pembahasan mengenai seputar paham/ke yakinan golongan Wahabi/Salafi. Diskusi dengan mereka memerlukan waktu yang panjang dan membutuhkan kitab yang tersendiri. Para ulama telah membantah ajaran golongan Wahabi/Salafi didalam berpuluh-puluh kitab dan makalah yang mereka tulis. ‘Allamah Muhsin Amin telah membantah keyakinan-keyakinan Wahabi melalui syairnya yang panjang, yang terdiri dari 546 bait. Silahkan Anda rujuk di dalam kitabnya yang berjudul Kasyf al-Irtiyab fi atba ‘i Muhammad bin Abdul Wahhab.Banyak sekali kitab ulama dari berbagai madzhab (Hanafi, Malik Syafii dan lain lain) yang menyangkal golongan Wahabi/Salafi. Sanggahan para ulama mengenai akidah para ulama golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya para pembaca bisa membuka situs bahasa Indonesia: www.abusalafy.wordpress.com  ;  www.majlisrasulallah.com., www.salafytobat dan lain sebagainya dan dalam bahasa Inggriswww.ummah.net/Al_adaab/radd_ul_salafiyya.html. 

Semoga Allah swt. memberi hidayah dan taufiq kepada kaum muslimin serta diampunkan dosa-dosa kaum muslimin terutama kaum muslimin yang telah wafat. Amin.
 
sumber:http://sanggarislamik.blogspot.com/2011/04/bab-2tpara-ulama-yang-mengeritik-syekh.html

Tidak Semua Lafadz: كُلُّ Dapat Diartikan Semua/Setiap, Tapi Bisa Berarti Sebagian (Kajian Masalah Bid'ah)

========

Dalil-dalil yang membantah masalah Bid'ah dan jawabannya 

======

Bahwa golongan pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual, oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka. Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulallah saw. ,berikut ini, secara tekstual:
  
                                                         كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ

Artinya:"Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.

Juga hadits Nabi saw.:

      مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)                   

Artinya: 'Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.

Hadits-hadits tersebut oleh golongan pengingkar dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalahyang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, yakni  dholalah/sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits tersebut, mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasulallah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw adalah bi’dah dholalah. Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulallah saw. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.

Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut: 
“Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi'in dan tabi'ut-tabi'in. Dan kalausekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulallah, sahabat dan para tabi'in?"

Atau ucapan mereka : Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
           
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/ hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlil/yasinan, peringatan Maulid Nabi saw dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’,  tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
           
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnyashohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamalkannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlil/yasinan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya).
Sedangkan yang batil/salah atau fasid adalah penghukuman mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya. Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerjakan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan ber- dasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Dengan demikian tidak bisa suatu perbuatan diharamkan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya. 
Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid'ah yang diada-adakan para sahabat, yang belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapinya. Cara penanggapan Rasulallah saw. inilah yang harus kita contoh !

Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para pakar Islam yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama hadits dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama hadits lainnya.Kedua kelompok ulama ini sama-sama berdalil kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penguraiannya. Dengan demikian status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya.Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpulan; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!

Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulallah saw., umpamanya;  Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.  

Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjurkan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulallah saw. yang dalilnya/riwayatnya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw. Dimana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi'il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya. Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulallah saw. yang menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulallah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus berenang !!

Sunnah Fi'liyah ialah sunnah yang ada dalilnya dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulallah saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian meriwayatkannya kepada kita.

Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.

Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlil/yasinan dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulallah saw. yang menganjur kan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala bacaan, hadiah pahala bacaan  dan lain sebagainya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya, semuanya baik untuk diamalkan, asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.  
Apalagi didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlil/yasinan, Istighotsah dll.) yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulallah saw. ,yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semuanya ini tidak lain bertujuan untuk mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah swt.!!

Firman Allah swt. dalam ayat Al-Hasyr : 7):

وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا                                                            

Artinya: ‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamudilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakan- nya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !

Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan : 

وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا                                                      
                                                     
Artinya: Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah(mengerjakannya)’.

Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:

               فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
             
Artinya:‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmumelakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘ 

Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:

                                    وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
                                  
Artinya: ‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’

Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan, 'Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah..dst.nya. dan hadits Barangsiapa yang didalam agama..dst.nya.' adalah tidak benar. Karena adanya beberapa keterangan dari Rasulallah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik kesimpulan bahwabid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah swt. (QS Asy-Syura :21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik yang termaktub dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulallah saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melakukan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’atdan lain sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulallah saw. diatas yang mengatakan,  mengada-adakan sesuatu itu.... adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Kami ambil perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.

Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini, yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :

                                     ...... وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
 وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ           
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا                              
 وَاِنْ سَألَنِي أعْطَيْتهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُ عيْذَنَّهُ.   (رواه البخاري)                                    

Artinya: “.... HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”. 
Dalam hadits qudsi ini Allah swt. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.

Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu, yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.

- Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah swt.berfirman,  yang artinya:
[Angin taufan] itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.

- Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah swt.berfirman yang artinya:
 “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.

- Begitupun juga dalam surat An-Najm ayat 39 Allah swt.berfirman, yang artinya:
“Bahwasanya setiap manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘selain apa yang telah diusahakannya’ pada ayat ini bersifat umum, namun keumumannya itu tidak terpakai, karena banyak sekali hadits shohih yang menunjukkan bahwa seorang muslim yang telah wafat masih dapat memperoleh kebaikan dan manfaat dari muslim yang masih hidup,seperti sholat jenazah, do’a, sedekah dan lain-lain.

- Dalam surat Thoha ayat 15 Allah swt. berfirman, yang artinya:
Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah swt. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).

- Dalam surat Aali 'Imran : 173 Allah swt. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud, yang artinya: 
"Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang...." Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, yang memerangi Rasulallah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.

- Dalam surat Al-Anbiya : 98, yang artinya:
"Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..".  Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi 'Isa as dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menjadi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.

- Dalam surat Aali 'Imran : 159, yang artinya:
 "Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan...". Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan  termasuk urusan agama dan urusan akhirat ,  yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.

- Dalam surat Al-An'am : 44, yang artinya:
'Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu'. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus. 

- Dalam surat Al-Isra : 70, yang artinya:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam....dan seterusnya ". Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah swt. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu bagaikanbinatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A'raf : 179). Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat. 

- Firman Allah swt dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), yang artinyasebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.

Ayat ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).

- Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :

                      وَجَعَلْنَا مِنَ الْْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُونَ

Artinya: “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air.

- Dalam ayat al-Qur’an Ar-Rahman:15:

                          وَخَلَقَ الْْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
  
Artinya: “Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS.

Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.

- Hadits riwayat Imam Ahmad :

عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ

Artinya: Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah saw bersabda: “setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)

Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada wanita ajnabiyah (yang bukan muhrim).

Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy ,rahimahullah, berkata: ”Mengenai hadits ‘Bid’ah Dhalalah’ ini bermakna ‘Aammun makhsush’, [sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya], seperti firman Allah: ‘… yang menghancurkan segala sesuatu’ [QS Al-Ahqaf 25] dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (atau ayat: ‘Sungguh telah kupastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya’QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim--.pen) atau hadits: ‘Aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini ’ [dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw.] (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Masih banyak lagi ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman, namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk semua hal atau masalah. !!

Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulallah saw. bersabda, yang artinya: "Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka".
Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !

Ibnu Hajar mengatakan; ' Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang mutlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksanakan'. 

Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulallah saw. yang menyatakan bahwajasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu 'Abdul Birr ,rahimahullah, dalam At-Tamhid  mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulallah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan di makan tanah (hancur) !

Dengan demikian hadits nabi saw. “kullu bid’atin dholalah’ itu bersifat umum, namun demikian tidak semua dalil –baik dari Al-Qur’an maupun hadits– yang bersifat umum itu akan otomatis terpakai diatas keumumannya. Hal itu sangat ditentukan oleh ada tidaknya dalil-dalil lain atau qoroo’inul ahwal (indikasi-indikasi) yang menolak keumumannya.

Golongan pengingkar ada yang mengajukan firman Allah swt berikut ini:
كُلّ نفس ذَا ئٍقَة  المَوْتِ                              
Artinya: ‘Setiap yang bernyawa itu akan merasakan mati’.

Mereka mengatakan bahwa kata ‘kullu’ pada firman Allah diatas harus diartikan dengan ‘setiap’ yakni bersifat umum, karena kalau arti kullu itu diartikan dengan ‘sebagian’, maka akan timbullah makna bahwa ‘sebagian yang bernyawa akan merasakan mati dan sebagiannya lagi tidak’. Kata mereka selanjutnya, begitu pula halnya makna kullu pada hadits ‘kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin fin naar’. Mereka yang mengajukan ayat diatas sebagai alasan untuk menguatkan tuduhan-tuduhan bid’ahnya, jelas termasuk orang yang berwawasan keagamaan sempit dan tidak mengetahui kaidah-kaidah mantiq. Kami katakan berwawasan sempit karena mereka hanya mengandalkan ayat yang diajukan nya itu, yang menunjukkan bahwa Al-qur’an dan hadits kalau memang mengandung kata-kata umum (seperti kullu), maka haruslah dipakai keumumannya.
Dan ,sebagai kebiasaan golongan ini, mereka mengabaikan ayat-ayat Al-qur’an maupun hadits-hadits lainnya, yang mengandung kata-kata umum tapi tidak terpakai keumuman nya, seperti yang telah kami kemukakan contoh-contohnya. Begitu juga dikatakan tidak mengetahui kaidah-kaidah mantiq, karena bagi mereka kata-kata kullu itu harus bermakna ‘setiap’ dan tidak ada yang bermakna ‘sebagian’. Padahal menurut ilmu mantiq, kullu itu ada dua macam, yaitu: Kullu majmu’ dan Kullu jami’.  

Kullu majmu’ adalah kullu yang berarti sebagian atau sekumpulan, bukan berarti setiap atau keseluruhan. Dialah yang dimaksud dengan bab: Kulli. Sebagian contohnya telah kami kemukakan. Begitu juga contoh lainnya ialah:

كُلّ رَجُل مِن  بِنى تَمِيْم يحمِل الَصُّخْرَةً الْعَظيْمَةً                                               

Artinya:Sebagian atau sekumpulan orang dari bani Tamim membawa batu yang besar’.

Pada contoh diatas, kata kullu itu harus diartikan dengan sebagian atau sekumpulan orang, bukan setiap orang. Karena pada kenyataannya ada saja orang dari bani tamim yang tidak ikut membawa membawa batu besar itu.

Sedangkan Kullu jami’ adalah kullu yang berarti setiap atau keseluruhan, artinya melibatkan semua orang. Dan dialah yang dimaksud dengan bab: Kulliyah. Contohnya ialah ayat ‘Kullu nafsin dzaaiqotul maut’. Karenanya kullu disitu diartikan dengan setiap atau keseluruhan yang bernyawa. Tidak bisa kullu diayat ini dijadikan sebagai kullu majmu’, karena pada kenyataannya dan juga didukung oleh ayat-ayat Al-qur’an yang lain, bahwa memang semua yang bernyawa akan mati.

Untuk membuktikan adanya dua macam makna ‘kullu’ ini, kami ketengahkan dua bait syair yang tercantum dalam kita mantiq ‘Sullamul Munauruq’ oleh Imam Al-Akhdhori yang telah diberi syarah oleh Syeikh Ahmad al-Malawi dan diberi Hasyiah oleh Syeikh Muhamad bin Ali as-Shobban: 

 الَكُلّ  حكمنَا عَلَى الْمجْموْع      ككل ذَاكَ لَيْسَ  ذَا وقَوْع                                                                                          
حيْثمَا لكُلّ فَرْد حُكمَا        فَإنَّهُ كُلّيّة قَدْ علمَا              

Artinya: Kullu itu kita hukumkan untuk majmu’ (sebagian atau sekelompok) seperti ‘Sebagian itu tidak pernah terjadi’. Dan jika kita hukumkan untuk tiap-tiap satuan, maka dia adalah kulliyyah (jami’atau keseluruhan) yang sudah dimaklumi.

Sebagaimana ucapan Nabi saw ketika ditanya oleh Zulyadain pada waktu beliau sholat dhohor dan melakukan salam ketika baru mendapat dua rakaat. Saat itu Zulyadain bertanya: ’Apakah shalat ini telah diringkas ataukah engkau lupa wahai Rasulallah’?

Mendengar itu Nabi saw menjawab: كُلٌّ ذَالِكَ لَمْ يَكُنْ    

Artinya: ‘Sebagian yang engkau tanyakan itu tidak terjadi’.                                                                                 

Dengan demikian maka kullu pada jawaban Nabi saw itu tidak bermakna ’setiap atau semua’ melainkan dia bermakna‘sebagian’, karena kullu disitu adalah kullu majmu’, bukan kullu jami’. Alasannya sebagai kullu majmu’ ialah karena pada kenyataannya ada yang terjadi pada diri Nabi saw, yakni lupa. Adapun sholat dhuhur tetap empat rakaat karena memang tidak diringkas. 
Namun demikian, menurut penafsiran yang lain kata kullu pada jawaban Nabi saw itu bisa juga dijadikan kullu jami’, sehigga menimbulkan arti ‘Setiap yang demikian (diringkas atau kelupaan) tidak pernah terjadi’. Hal ini karena dua alasan, yaitu:
1.Pertanyaan Zulyadain yang menggunakan kalimat ‘am nasiita’ itu berfungsi untuk ta’yin (penentuan) salah satu dari dua perkara atau untuk menafikan semuanya yakni kedua-dua perkara itu. Karena Nabi saw tidak menjawab dengan ta’yin, maka jadilah jawabannya itu untuk menafikan semuanya.

2. Adanya riwayat bahwa Nabi saw sesudah menjawab dengan ‘kullu zaalika lam yakun’, Zulyadain lalu berkata kepada beliau:بَعْض ذَالِكَ قَدْ كَانَ    artinya Sebagian itu telah terjadi’. Ini menunjukkan bahwa kata kullu pada jawaban Nabi saw itu adalah kullu jami’ (menafikan keseluruhan) atau termasuk bab Kulliyah. Karena kalau tidak demikian, maka apa arti nya ucapan Zulyadain dengan بَعْض ذَالِكَ قَدْ كَانَ    .
Dengan demikian dapat kita pahami berdasarkan penafsiran ini bahwa walaupun kullu disitu termasuk kullu jami’ yakni bersifat  umum, namun tidak lama sesudah itu dia di takhsish dengan ucapan Zulyadain berikutnya ‘sebagian yang demikian itu telah terjadi’. Maka termasuklah dia itu ‘am makhsush’ yakni umum yang sudah dikhususkan.

Kesimpulannya ialah bahwa kullu itu ada yang majmu’, ada pula yang jami’. Kalau dia majmu’, maka jelas yang ditunjuk adalah sebagian atau sekelompok, bukan keseluruhan. Sedangkan kalau dia jami’, maka adakalanya dia ditakhsish, adakalanya pula tidak. Kalau dia ditakhsish, maka jadilah dia ‘am makhsush dan kalau tidak, maka terpakailah dia diatas keumumannya yakni bermakna keseluruhan.
Kata kullu pada hadits ‘kullu bid’atin dholalah’ bisa saja sebagai kullu jami’ yang telah ditakhsish oleh dalil-dalil lainnya ––sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan bisa juga sebagai kullu majmu’ sehingga artinya adalah ‘sebagian bid’ah itu sesat’ dan itulah dia bid’ah yang sayyiah. Namun demikian kata kullu pada ‘wa kullu dholalatin fin naar’  tidak bisa dijadikan sebagai kullu majmu’melainkan dia tetap sebagai kullu jami’, sehingga artinya adalah ‘dan setiap yang sesat itu didalam neraka’. Sebabnya demikian karena tidak terdapat dalil-dalil lain yang mentakhsish keumumannya.

Ada lagi orang yang mengatakan bahwa kalau kullu pada  “kullu bíd’atin dholalah” itu diartikan dengan sebagian, maka begitulah pula halnya dengan kullu pada hadits ‘wa kullu dhoalatin fin naar’  sehingga menimbulkan arti “dan sebagian kesesatan itu didalam neraka”. Orang yang mengatakan hal ini jelas-jelas tidak mengetahui perbedaan antara kulli dan kulliyah, tidak juga tahu bahwa kullu itu ada yang majmu’ dan ada pula yang jami’. Terhadap orang seperti ini tidak perlu banyak dikomentari, kami persilahkan belajar ilmu mantiq terlebih dahulu. Banyak sekali ayat Ilahi dan hadits yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat atau hadits yang lain di khususkan maksud dan maknanya. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; 'Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya'. Begitu juga halnya dengan hadits Nabi  ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat !
Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah swt. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi'i dan lain-lain. Wallahua'lam. 
Insya Allah dengan keterangan singkat masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang hasanah/baik.
 
 
 
sumber:http://sanggarislamik.blogspot.com/2011/04/bab-4cdalil-dalil-yang-membantah.html