Cara Syekh Yasin Mengader Kiai Sahal
====================
Tidak banyak kiai
pesantren yang telaten menuangkan gagasannya secara rinci menjadi satu
kitab berbahasa Arab. KH Sahal Mahfudh, Rois Aam PBNU adalah salah satu
diantara yang tidak banyak itu. Syekh Yasin Al-Fadani adalah seorang
gurunya yang tidak hanya mengajar dan menemaninya menulis, tetapi juga
memberikan motivasi.
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh adalah santri kelana biasa yang
berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain, berdiskusi dengan
banyak kiai. Saat mondok di Pesantren Bendo, Pare, ia seringkali
bermalam di Kedunglo Kediri dan berdiskusi secara intensif dengan
seorang kiai di sana. Ia juga sering menghabiskan waktu dengan Kiai
Bisri Syansuri di Jombang.
Perkelanaannya dilanjutkan ke Pesantren Sarang, berguru kepada Kiai Zubair. Salah satu kitab yang didiskusikan adalah Ghoyatul Wushul
karya Syekh Zakariya Al-Anshori ulama syafiiyah abad 9 Hijriyah.
Diskusi berlangsung secara intensif. Di sela menerima tamu ia diajak
berdiskusi. Saat bepergian keluar kota, mereka mengendarai dokar dan
diskusi pun berlanjut. Kiai Zubair juga senang membuat pancingan.
Terjadilah perbincangan dan Kiai Sahal pun rajin membuat catatan (ta’liqat) dalam bahasa Arab.
Hobi menulis dilanjutkan dengan mengirimkan surat (murosalah) kepada Syekh Muhammad Yasin Padang, seorang kiai pesohor dari Indonesia
yang menjadi ulama besar dan menetap di Tanah Suci. Kiai Sahal
mengomentari tulisan Syekh Yasin dalam satu kitab, membantahnya dengan
argumentasi berdasarkan kitab yang beredar di Jawa. Satu surat berisi
sekitar 3-4 lembar, berbahasa Arab.
Kiai Sahal terkejut, ternyata Syekh Yasin membalas surat secara serius.
“Saya ini santri, berkirim surat, mengomentari pendapat beliau. Tidak
dimarahi saja sudah untung,” katanya. Namun nyatanya surat Kiai Sahal
dibalas oleh Syeh Yasin, dan Kiai Sahal pun mengirim surat lagi. Syekh
Yasin membalas lagi. Terjadi dialog intensif jarak jauh. Surat-surat
yang dikirimkan cukup panjang dan serius. Sepertinya ada perdebatan
menarik dalam surat-surat itu. Dan saling kirim surat itu berlangsung
sampai sekitar satu setengah tahun.
Syahdan, ketika turun dari kapal, saat Kiai Sahal menginjakkan kaki
di Mekkah, seseorang tak dikenal langsung memeluknya dan menariknya ke
sebuah warung. Seseorang itu tidak lain adalah Syekh Yasin sendiri.
Mungkin dalam surat terakhir Kiai Sahal menuliskan bahwa dirinya akan
menunaikan ibadah haji. Dan dalam pertemuan pertama itu pun mereka
langsung akrab.
Kiai Sahal diminta tinggal di rumah Syekh Yasin. Setiap pagi ia
bertugas berbelanja ke pasar membeli kebutuhan Syekh Yasin. Dan setelah
itu Kiai Sahal berkesempatan belajar dengan seorang ulama besar yang
diseganinya itu selama dua bulanan.
Dalam diskusi dan perdebatan, Syekh Yasin mendudukkan Kiai Sahal
seperti teman diskusi. Barangkali ini tidak seperti kebiasaan
kiai-santri di Jawa. Syekh Yasin sangat otoritatif tetapi pada satu sisi
cukup egaliter.
Dua bulan pertemuan, Syekh Yasin mengijazahkan banyak kitab yang menginspirasi Kiai Sahal menulis banyak kitab. Dan ta’liqot
yang ditulisnya saat belajar bersama Syekh Zubair dirapikan kembali.
Terkumpul 500-an halaman dan belakangan dibukukan menjadi satu kitab
bertajuk “Thoriqatul Husul”. Kitab ini sudah sampai ke Al-Azhar Mesir, menjadi rujukan para pengkaji ushul fiqih.
A. Khoirul Anam
Disarikan dari Gus Rozin, putra Kiai Sahal dalam satu sesi kajian kitab ulama Nusantara
di ruang redaksi NU Online, Kamis 21 November 2013
Disarikan dari Gus Rozin, putra Kiai Sahal dalam satu sesi kajian kitab ulama Nusantara
di ruang redaksi NU Online, Kamis 21 November 2013
SUMBER:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,7-id,48609-lang,id-c,fragmen-t,Cara+Syekh+Yasin+Mengader+Kiai+Sahal-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar