ILMU & PEMBAGIANNYA VERSI IMAM AL-GHOZALI RA
==================
Menurut Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Ghozali memberikan kriteria-kriteria terhadap nilai ilmu yang dipaparka secara urut, yaitu:
1-Sejauhmana manfa'atnya bagi manusia adalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, dari segi penyucian diri, perbaikan akhlak, pendekatan diri kepada Allah serta persiapan-persiapam menuju kehidupan alam akhirat, seperti ilmu Al-Qur’an, dan ilmu-ilmu agama.
2-Sejauhmana bagi manusia dapat memberikan kemudahan dan dukungan kepada manusia untuk mempelajari ilmu agama, seperti ilmu bahasa, gramatika, dan lainnya.
3-Sejauhmana bagi manuisa dalam manfaatnya untuk bekal kehidupan dunia, seperti kedokteran, ilmu hitung dan beberapa keahlian lainnya.
4-Sejauahmana bagi manuisa dalam memberikan manfaat dalam membangun kebudayaan dan peradaban, seperti sejarah, sastra, politik dan lainnya.
Oleh karena itu, Al-Ghazali sendiri tidak menolak pentingnya mempelajari segala macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Ia hanya menekankan perlunya manusia membuat skala prioritas pendidikan dengan menempatkan ilmu agama dalam posisi paling urgens. Hal ini terlihat dari pendapat Al-Ghazali dalam menentukan materi pendidikan secara hirarkis. Tingkat pertama, Al-Qur’an dan ilmu agama, seperti fiqh, ilmu hadits, dan lainnya. Tingkat kedua, ilmu bahasa dan gramatika, termasuk juga ilmu tajwid. Tingkat ketiga, ilmu dalam kategori fardlu kifayah, seperti kedokteran, ilmu hitung, politik dan lainnya. Tingkat keempat, ilmu tentang kebudayaan, seperti sastra, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.
Dengan demikian, Al-Ghazali dalam menyusun kurikulum memberi perhatian khusus terhadap ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. dengan kata lain, ia mementingkan sisi faktual dalam kehidupan, yaitu sisi-sisi yang tak dapat tidak harus ada. Ia juga menekankan sisi-sisi budaya, tetapi ia tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifatnya yang dikuasai oleh tasawuf dan zuhud. Disamping itu, ia juga tidak mengajarkan pentingnya pengajaran keterampilan, sekalipun ia menekankan pentingnya pengajaran berbagai keahlian esensial dalam kehidupan masyarakat.
Pengertian ini juga dapat kita pahami dari ungkapan Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, yaitu:
ومعنى المهم ما يهمك ولايهمك إلا شأنك في الدنيا والأخرة, وإذا لم يمكنك الجمع بين ملاذ الدنيا ونعيم الآخرة كما نطق به القرآن وشهد له من النور البصائر ما يجر مجرى العليان فالأهم مايبقى به الآباد
Pengertian penting adalah sesuatu yang penting bagimu dan tidaklah penting bagimu kecuali urusanmu mengenai dunia dan akhirat, apabila tidak memungkinkan bagimu untuk menggabung antara kelezatan dunia dan kenikmatan akhirat sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan disaksikan oleh pandangan hati seperti apa yang berjalan dengan perjalanan yang nyata maka yang lebih penting adalah sesuatu yang tinggal selama-lamanya (akhirat).
Dalam surat Al-Qashah ayat 77, yaitu:
وابتغ فيما أتك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد فى الأرض إن الله لا يحب المفسدين
(Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepadamu kebahagian di akhirat dan jagan kamu melupakan bagian kamu (untuk mencari negeri akhirat) di dunia, berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu membuat kerusakn di muka bumi ini, sesungguhnya Allah tidak menyukai para perusak).
أن مقاصد الخلق مجموعة فىالدين والدنيا ولانظام للدين إلا بنظام الدنيا فإن الدنيا مزرعة للآخرة وهي الآلة الموصلة إلى الله عز وجل لمن التخذها آلة ومنزلا لا لمن يتخذها مستقرا ووطنا
Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisir selain dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Yaitu alat yang menyampaikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla bagi orang yang mengambilnya (dunia) sebagai alat dan persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat menetap dan tanah air.
ولن يتوصل إليها إلا بالعلم والعمل ولا يتوصل إلى العمل إلا بالعلم بكيفية العمل فأصل السعادة فى الدنيا والأخرة وهو العلم
Manusia tidak akan mencapai tujuan hidupnya kecuali melalui ilmu dan amal. Dan tidak akan beramal kecuali dengan mengetahui cara pelaksanaan amal, dengan demikian pangkal kebahagian di dunia dan akhirat, sebagai tujuan hidup adalah ilmu.
Dengan demikian pula, diyakini bahwa ilmu agama bukanlah satu-satunya ilmu yang dapat mengantarkan manusia menjadi lebih dekat kepada Tuhan. Ilmu pengetahuan apapun adalah sarana menuju Tuhan jika manusia sejak dini telah menyadari bahwa eksistensinya di dunia menuntutnya untuk berorientasi kepada kehidupan di akhirat. Pada akhirnya segala ilmu pengetahuan yang memberikan kebaikan di duna dan akhirat itu penting untuk dipelajari.
Sejalan dengan pendapatnya Muhaimin dan Abdul Mujib, bahwa konsep Al-Ghazali merupakan konsep Islamisasi sains yang dirintis ketika menghadapi polemik dengan golongan filsafat dan ilmu-ilmu, sebagaimana dalam bukunya “Tahafut Al-Falasifah” dan “Al-Munqiz min al-Dalal”.
Akan tetapi dalam menyusun keilmuan, Al-Ghazali mempunyai dua kecenderungan:
1-Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat beliau menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya, dan memandangnya sebagai alat penyucian diri dan membersihkan diri dari karat-karat dunia. Ia juga mementingkan ilmu etika, menurut beliau pendidikan etika terkait erat dengan pendidikan agama. Terkesan bahwa Al-Ghazali dalam waktu tertentu menggunakan ungkapan-ungkapan Plato, Filosuf dan pendidik Yunani kuno. Memang dikenal luas, bahwa Al-Ghazali mempelajari secara cermat tentang filosuf Yunani untuk seterusnya membantah pandangan filsafat dan teori mereka.
2-Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak jelas di dalam berbagai karya tulisnya. Beliau seringkali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya kepada manusia, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral yang tak digunakan oleh pemiliknya untuk hal yang bermanfaat, maka ilmu tersebut tidak mempunyai nilai. Bagi dia ilmu harus disertai pengamalan, dan amal harus disertai dengan kesungguhan dan ketulusan.
1-Sejauhmana manfa'atnya bagi manusia adalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, dari segi penyucian diri, perbaikan akhlak, pendekatan diri kepada Allah serta persiapan-persiapam menuju kehidupan alam akhirat, seperti ilmu Al-Qur’an, dan ilmu-ilmu agama.
2-Sejauhmana bagi manusia dapat memberikan kemudahan dan dukungan kepada manusia untuk mempelajari ilmu agama, seperti ilmu bahasa, gramatika, dan lainnya.
3-Sejauhmana bagi manuisa dalam manfaatnya untuk bekal kehidupan dunia, seperti kedokteran, ilmu hitung dan beberapa keahlian lainnya.
4-Sejauahmana bagi manuisa dalam memberikan manfaat dalam membangun kebudayaan dan peradaban, seperti sejarah, sastra, politik dan lainnya.
Oleh karena itu, Al-Ghazali sendiri tidak menolak pentingnya mempelajari segala macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Ia hanya menekankan perlunya manusia membuat skala prioritas pendidikan dengan menempatkan ilmu agama dalam posisi paling urgens. Hal ini terlihat dari pendapat Al-Ghazali dalam menentukan materi pendidikan secara hirarkis. Tingkat pertama, Al-Qur’an dan ilmu agama, seperti fiqh, ilmu hadits, dan lainnya. Tingkat kedua, ilmu bahasa dan gramatika, termasuk juga ilmu tajwid. Tingkat ketiga, ilmu dalam kategori fardlu kifayah, seperti kedokteran, ilmu hitung, politik dan lainnya. Tingkat keempat, ilmu tentang kebudayaan, seperti sastra, sejarah, dan beberapa cabang filsafat.
Dengan demikian, Al-Ghazali dalam menyusun kurikulum memberi perhatian khusus terhadap ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. dengan kata lain, ia mementingkan sisi faktual dalam kehidupan, yaitu sisi-sisi yang tak dapat tidak harus ada. Ia juga menekankan sisi-sisi budaya, tetapi ia tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifatnya yang dikuasai oleh tasawuf dan zuhud. Disamping itu, ia juga tidak mengajarkan pentingnya pengajaran keterampilan, sekalipun ia menekankan pentingnya pengajaran berbagai keahlian esensial dalam kehidupan masyarakat.
Pengertian ini juga dapat kita pahami dari ungkapan Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, yaitu:
ومعنى المهم ما يهمك ولايهمك إلا شأنك في الدنيا والأخرة, وإذا لم يمكنك الجمع بين ملاذ الدنيا ونعيم الآخرة كما نطق به القرآن وشهد له من النور البصائر ما يجر مجرى العليان فالأهم مايبقى به الآباد
Pengertian penting adalah sesuatu yang penting bagimu dan tidaklah penting bagimu kecuali urusanmu mengenai dunia dan akhirat, apabila tidak memungkinkan bagimu untuk menggabung antara kelezatan dunia dan kenikmatan akhirat sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan disaksikan oleh pandangan hati seperti apa yang berjalan dengan perjalanan yang nyata maka yang lebih penting adalah sesuatu yang tinggal selama-lamanya (akhirat).
Dalam surat Al-Qashah ayat 77, yaitu:
وابتغ فيما أتك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك ولا تبغ الفساد فى الأرض إن الله لا يحب المفسدين
(Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepadamu kebahagian di akhirat dan jagan kamu melupakan bagian kamu (untuk mencari negeri akhirat) di dunia, berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu membuat kerusakn di muka bumi ini, sesungguhnya Allah tidak menyukai para perusak).
أن مقاصد الخلق مجموعة فىالدين والدنيا ولانظام للدين إلا بنظام الدنيا فإن الدنيا مزرعة للآخرة وهي الآلة الموصلة إلى الله عز وجل لمن التخذها آلة ومنزلا لا لمن يتخذها مستقرا ووطنا
Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisir selain dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Yaitu alat yang menyampaikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla bagi orang yang mengambilnya (dunia) sebagai alat dan persinggahan, bukan bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat menetap dan tanah air.
ولن يتوصل إليها إلا بالعلم والعمل ولا يتوصل إلى العمل إلا بالعلم بكيفية العمل فأصل السعادة فى الدنيا والأخرة وهو العلم
Manusia tidak akan mencapai tujuan hidupnya kecuali melalui ilmu dan amal. Dan tidak akan beramal kecuali dengan mengetahui cara pelaksanaan amal, dengan demikian pangkal kebahagian di dunia dan akhirat, sebagai tujuan hidup adalah ilmu.
Dengan demikian pula, diyakini bahwa ilmu agama bukanlah satu-satunya ilmu yang dapat mengantarkan manusia menjadi lebih dekat kepada Tuhan. Ilmu pengetahuan apapun adalah sarana menuju Tuhan jika manusia sejak dini telah menyadari bahwa eksistensinya di dunia menuntutnya untuk berorientasi kepada kehidupan di akhirat. Pada akhirnya segala ilmu pengetahuan yang memberikan kebaikan di duna dan akhirat itu penting untuk dipelajari.
Sejalan dengan pendapatnya Muhaimin dan Abdul Mujib, bahwa konsep Al-Ghazali merupakan konsep Islamisasi sains yang dirintis ketika menghadapi polemik dengan golongan filsafat dan ilmu-ilmu, sebagaimana dalam bukunya “Tahafut Al-Falasifah” dan “Al-Munqiz min al-Dalal”.
Akan tetapi dalam menyusun keilmuan, Al-Ghazali mempunyai dua kecenderungan:
1-Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat beliau menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya, dan memandangnya sebagai alat penyucian diri dan membersihkan diri dari karat-karat dunia. Ia juga mementingkan ilmu etika, menurut beliau pendidikan etika terkait erat dengan pendidikan agama. Terkesan bahwa Al-Ghazali dalam waktu tertentu menggunakan ungkapan-ungkapan Plato, Filosuf dan pendidik Yunani kuno. Memang dikenal luas, bahwa Al-Ghazali mempelajari secara cermat tentang filosuf Yunani untuk seterusnya membantah pandangan filsafat dan teori mereka.
2-Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak jelas di dalam berbagai karya tulisnya. Beliau seringkali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya kepada manusia, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral yang tak digunakan oleh pemiliknya untuk hal yang bermanfaat, maka ilmu tersebut tidak mempunyai nilai. Bagi dia ilmu harus disertai pengamalan, dan amal harus disertai dengan kesungguhan dan ketulusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar