Toleransi, Tenggangrasa dan Ucapan Selamat Natal
================
Tidak ada
seorangpun di dunia ini yang dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang
lain. Manusia selalu memerlukan orang lain guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sebab itulah manusia dijuluki sebagai makhluk sosial. Demikian
padatnya kebutuhan manusia sehingga persinggungan diantara mereka tidak
mungkin terelakkan. Bahkan di dunia yang semakin mengglobal ini,
persinggungan itu telah menembus batas. Batas ruang, waktu, budaya,
agama dan juga ideologi.
Persinggungan ini harus dikelola dengan baik, agar
tidak berubah menjadi gesekan yang akan menghanguskan harmonisme
kehidupan. Untuk menjaga ritem ini diperlukan sebuah konsep saling
mengerti, yang dalam bahasa kita dikenal dengan teposeliro atau tenggangrasa. Yaitu sikap saling
menghormati dan saling menghargai perasaan orang lain. Karena hanya
dengan sikap inilah keselarasan hidup bersama orang lain akan tetap
terseleggara. Apalagi jika mengingat keberadaan negara Indonesia
yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama dan juga bahasa. Maka
memiliki sikap tenggangrasa menjadi sebuah kewajiban bagi saiapapun yang
hidup di Indonesia.
Bagi umat Islam sendiri perbedaan ini bukanlah sebuah masalah. Karena
memang demikianlah Allah swt menciptakan kehidupan di dunia ini,
sebagaimana firmannya dalam al-Hujarat ayat 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal…
Memang mengelola perbedaan bukanlah hal yang mudah, hanya muslim yang
berkwalitas iman dan taqwanya yang dititipi oleh Allah swt kemampuan
menjaga keseimbangan ini. Karena sejatinya perbedaan itu merupakan
kasunyatan yang sengaja dihadirkan Allah swt sebagai cobaan bagi umat
muslim. Sebagaimana diandaikan Allah sendiri dalam surat al-Maidah 48.
وَلَوْ شَاءَ
اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا
آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ
جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Seandainya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu,
Ayat di atas
merupakan sebuah petunjuk bagi umat muslim, bahwasannya persamaan dan
kesatuan hanyalah sekedar pengandaian adapaun kenyataannya sesungguhnya
adalah perbedaan, dan sekaligus Allah swt menjadikan yang nyata itu
sebagai ‘soal’ ujian bagi manusia. Karena Allah swt mengetahui bahwa
manusia tidak akan mampu menjawab soal ujian yang bersifat pengandaian
seperti di atas. Dengan kata lain manusia tidak akan mampu bertahan
hidup jika Allah swt menciptakan manusia dalam satu macam saja.
Dalam rangka mempermudah manusia menemukan jawaban dari soal ujian
tentang perbedaan ujian ini, Allah swt perintahkan Rasulullah saw turun
ke bumi untuk mengajar umatnya. Sayangnya persinggungan Rasulullah saw
dengan pemeluk agama lain (yahudi dan nasrani) tidak tergambar dengan
komplit dalam hadits-haditsnya kecuali sangat sedikit sekali.
Diantaranya adalah hadits riwayat Abu Hurairah;
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ r قَالَ لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ
النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ
فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kamu memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, dan bila kamu berjumpa dengan mereka di jalan maka desaklah mereka ke tempat yang lebih sempit.” (HR. Muslim)
Melalui hadits di atas Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya
bagaimana cara memperlakukan pemeluk agama lain ketika berpapasan di
tengah jalan. Demikian pula seharusnya ajaran ini diqiyaskan secara
aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Hendaknya seorang muslim tetap
menyediakan ‘ruang sosial’ untuk menghormati mereka, tetapi ruang itu
harus lebih sempit adanya dibandingkan dengan ruang sosial yang kita
sediakan sesama muslim. Hal ini sebagai bukti keteguhan hati dalam
beragama Islam.
Ruang itupun harus jelas batasannya. Imam Nawawi dalam Tafsir Munir
menjelaskan bahwa penghormatan itu hanya boleh dilakukan dalam batas
urusan duniawi (sosial saja) tidak menyinggung soal aqidah. Itupun harus
disertai dengan keyakinan bahwa hanya Islamlah agama yang paling haq,
adapun yang lain adalah bathil. Jikalau penghormatan itu terlalu
berlebihan hingga melahirkan rasa simpati kepada agama lain, maka hal
itu dilarang. Karena dapat menyebabkan kekufuran.
واعلم أن كون المؤمن
مواليا للكافر يحتمل ثلاثة اوجوه احدها ان يكون راضيا بكفره ويتولاه لأجله
وهذا ممنوع لان الرضى بالكفر كفر. وثانيها المعاشرة الجميلة فى الدنيا
بحسب الظاهر وذلك غير ممنوع. وثالثها الركون الى الكفر والمعونة والنصرة
اما بسبب القرابة اوبسبب المحبة مع اعتقاد ان دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر
الا انه منهى عنه لان الموالة هذا المعنى قد تجره الى استحسان طريقه
والرضى بدينه وذلك يخرجه عن الاسلام
Demikian pula pendapat Imam ar-Razi yang termaktub dalam tafsirnya
Mafathul Ghaib. Meski demikian keterangan dalam Hasyiyah al-Bujairami
alal Khatib memberikan pengecualian bahwa berhubungan dengan pemeluk
agama lain sangat dianjurkan apabila dirasa mampu memberikan maslahah
secara syar’i atau dapat menghindarkan diri dari bahaya
قَوْلُهُ (تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ) أَيْ الْمَحَبَّةُ
وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ
فَمَكْرُوهَةٌ ... الخ أما معاشرتهم لدفع ضرر يحصل منهم أو جلب نفع فلاحرمة
فيه ا هـ
Pembahasan mengenai hubungan dengan agama lain menjadi sangat
kontekstual ketika musim natal dan tahun baru tiba. Apalagi kalau tidak
soal hukum mengucapkan natal dan tahun baru kepada pemeluk agama lain?
Beranjak dari keterangan teks di atas, memang tidak ada satupun kata
yang menunjuk pada ucapan selamat natal ataupun tahun baru. Mungkin saja
tradisi semacam itu tidak terdapat dalam kehidupan penulis pada zaman
dan dilingkungannya. Akan tetapi teks tersebut bisa menjadi sumber
simpulan melarang mengupkan selamat natal dan tahun baru kepada pemeluk
agama lain, kecuali hanya sebagai basa-basi saja. Bukan diniatkan
sebagai do’a apalagi sebagai rasa simpati dengan aqidahnya.
Demikialah tradisi saling berucap selamat ini dilakukan oleh umat
bergama di Indonesia. Mereka saling mengucap selamat di hari raya dan
tahun baru sebagai mujamalah dhahriyah (basa-basi saja) tanpa
ada rasa dalam hati. Ini merupakan salah satu nilai yang terkandung
dalam konsep tenggangrasa. Yaitu saling menjaga perasaan antara satu dan
lainnya yang diejawantahkan dalam bentuk basa-basi dan kesopanan. Ini
sangatlah penting karena ‘yang lain’ itu pada dasarnya adalah bagian
dari keluarga besar Indonseia juga. Tenggangrasa tidak pernah meganggap
yang lain adalah benar-benar orang lain. Tenggangrasa melihat perbedaan
sebagaimana adik-kakak yang berbeda pendirian, berbeda selera dan
keinginan tetapi mereka adalah satu keluarga. Sesuai dengan firman Allah
swt
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً
فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ
مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا
اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ
بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ
Manusia itu adalah umat yang satu.
(setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai
pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang
benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang
mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan
orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang
kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata,
Hal ini sungguh berbeda dengan konsep toleransi yang memandang orang
lain adalah benar-benar orang lain, bukan bagian dari keluarga. Sehingga
harus dihormati dan diberi kesempatan selayaknya menghormati seorang
tamu bukan saudara. Diantaranya dengan membiarkan (tolere)
apapun yang mereka lakukan meskipun itu berbeda dengan kita. Terasa
sekali adanya unsur ‘agak memaksa’ dalam memberikan penghormatan menurut
konsep toleransi. Dalam toleransi tersirat adanya kepentingan dalam
‘menghormati’ orang lain, penghormatan yang tidak lahir dari tulusnya
hati tapi karena seuatu hadirnya sesutau yang lain.
Sesungguhnya jika diangan lebih dalam berbagai masalah yang timbul
seputar wacana hubungan antar pemeluk agama (mulai dari ucapan selamat
natal, valentine day, tahun baru, dll) itu muncul berbarengan dengan
munculnya konsep toleransi itu sendiri. Walhasil apakah kita
masih ingin melanjutkan keterjebakan kita dalam goa toleransi yang
selalu menghadirkan permasalahan? Atau menggeser diri keluar dari
kegelapan goa toleransi dan kembali pada terang tenggangrasa?
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,48857-lang,id-c,syariah-t,Toleransi++Tenggangrasa+dan+Ucapan+Selamat+Natal-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar