KH. Ali Maksum Krapyak Yogya : Kiai Reformis yang Rendah Hati
KH Ali Maksum |
“Sesungguhnya Aku diberikan kepercayaan atas
kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, jika
kalian melihatku melenceng, maka luruskanlah aku, hindarkanlah aku dari
kesalahan, dan tegurlah aku sampai ke tempat yang baik....”
Dengan
berlinangan air mata pesan ini disampaikan oleh almarhum KH. Ali Maksum di saat
dirinya menerima mandat sebagai Rais Am Syuriah PBNU pada 1981 menggantikan
posisi KH. Bisri Syamsuri. KH. Ali Maksum diajukan atas usul KH. Achmad Shidiq
yang disampaikan dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) ‘Alim Ulama dan Konbes
(Konferensi Besar) NU pada 30 Agustus sampai dengan 3 September 1981 di
Kaliurang, Yogyakarta.
Dengan
kerendahan hatinya beliau hendak menyampaikan rasa tidak cakapnya menempati
jabatan tersebut. Karena menganggap masih banyak kiai yang lebih pantas, lebih
alim dan berpengalaman dibanding dirinya. Tetapi para kiai terus mendesaknya
dan berharap beliau bersedia menerimanya. Dengan harapan dan semangat itulah
Gus Dur dan Gus Mus rela menanti di kediaman beliau agar sampai beliau
menyatakan kesediaan. Akhirnya beliau menerima keputusan itu dan maqolah di
atas adalah pengiringnya. Sedangkan Ketua Umum PBNU diisi oleh KH. Idham
Chalid.
“Aku
mau jabatan, tetapi agama melarangku menghindari tanggung jawab....” lanjut
Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta ini.
Juru Damai dan Khitthah
Kiai
Ali Maksum dipercaya menjadi Rais Am selama empat tahun, sejak 1981-1984.
Masa-masa itu dilalui bukan tanpa hambatan yang serius, sebab masa itu
percaturan politik begitu kental di internal kepengurusan NU. “Perseteruan”
terjadi pada tahun1982 antara kelompok politik yang dimotori KH. Idham Chalid
yang berbasis di Cipete, Jakarta Selatan dengan suara yang menyerukan Khitthah
dipimpin oleh KH. As’ad Syamsul Arifin yang dikenal sebagai kelompok Situbondo.
Komflik ini dilatarbelakangi dari hiruk pikuk politik waktu itu yang
bertepatan pula dengan momentum Pemilu. Tak ingin keadaan ini menjadi bom waktu
yang justru menjadi bumerang bagi NU di masa mendatang, KH. Ali Maksum pun
bertindak tegas untuk menyudahi komflik yang mencuat ini. Bersama KH. Mahrus
Ali, KH. As’ad Syamsul Arifin, beliau meminta KH. Idham Chalid untuk mundur
dari jabatannya. Akan tetapi upaya itu kandas. Maka beliaupun mencari jalan
lain untuk mempertemukan kutub yang berbeda itu dengan melakukan upaya islah
sebagai langkah persuasif.
Ternyata
upaya terakhir itu tak mampu untuk meleburkan keduanya. KH. Ali Maksum
mengambil langkah dengan me-nonaktif-kan ketua umum tanfidziyah. Dirasa keadaan
cukup kondusif, maka kubu KH. As’ad atau yang dikenal dengan kelompok Khitthah
menggelar Munas Alim Ulama yang dilaksanakan di Situbondo pada 1983.
Disana dirumuskan konsep kembali ke khitthah 1926. Rumusan reformis yang dinanti
pun tercetus pada Muktamar ke-27 pada 1984 dengan kembalinya NU ke Khitthah
1926. Sehingga NU menjadi organisasi kemasyarakatan yang meninggalkan baju
politiknya dengan penegasan bahwa NU tidak mempunyai hubungan apapun dengan
partai politik manapun. Dari Muktamar ke-27 itu pula beliau diamanahi jabatan
sebagai Mustasyar PBNU. Sedangkan Rais Am diamanahkan kepada KH Achmad Shidiq
dan ketua Tanfidziyah disematkan kepada KH. Adurrahman Wahid.
Pengembara Ilmu
KH.
Ali Maksum mempunyai nama lengkap Ali bin Maksum bin Ahmad. Beliau
lahir di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada 15 Maret 1915. Terlahir dari
pasangan KH. Maksum Ahmad dan Nyai Hj. Nuriyah binti Zainuddin. Ayahnya adalah
pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Soditan. Lasem. Lahir di lingkungan
pesantren membuatnya tak bisa lepas dari khazanah ilmu. Pendidikannya pun ia
mulia dari ayahnya sendiri yang memang seorang ulama besar.
Ketika
mencapai umur 12 tahun beliau dikirim untuk menimba ilmu di pondok pesantren
Termas, Pacitan Jawa Timur. Di pesantren besar pimpinan Syaikh Dimyati
At-Tarmasi itulah gelagat keilmuan yang menonjol sudah nampak dari dirinya.
Pengajian Bandongan yang khusus diikuti oleh santri senior pun ia ikuti, pelbagai
kitab karangan ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh, Ibnu Taimiyah dll yang tidak biasa dibaca
oleh santri ia kaji secara mendalam. Hal ini justru dapat perhatian khusus dari
Syaikh Dimyati, karena Ali Maksum muda dianggap mempunyai keilmuan yang mumpuni
sehingga kajian kontemprer yang beliau pelajari tidak akan merubah akidah
pemahaman agamanya. Sebaliknya hal itu dianggap mampu memberikan spektrum yang
luas akan keilmuan Ali Maksum muda.
Dengan
kapasitas kelimuan yang beliau miliki akhirnya beliau juga diamanahi untuk
mengajar dan melakukan pembaharuan pada sistem pengajarnan pesantren Termas.
Selama delapan tahun menimba ilmu di pesantren Termas dengan bekal kelimuan
yang cukup mapan beliau kembali ke pesantren Lasem untuk membantu ayahandanya.
Tak lama setelah itu, beliau diambil menantu oleh pengasuh pondok pesantren
Al-Munawwir Krapyak, KH. Muhammad Moenawwir al-Hafidz al-Mukri.
Sebulan
setelah pernikahannya dengan Hasyimah Binti Moenawwir, beliau mendapat tawaran
untuk pergi haji dari salah satu seorang saudagar yang dermawan. Kesempatan ini
tidak disia-siakan oleh Kiai Ali Maksum. Beliau berangkat haji sekaligus
berguru kepada para ulama Makkah. Diantaranya Sayyid Alwy Al-Maliki, Syaikh
Umar Hamdan, dan Syaikh Masyayikh Hamdi Mannan. Setelah pengembaran itu beliau kembali
ke tanah Jawa.
Disiplin Tinggi
Sekembalinya
dari Makkah beliau meneruskan perjuangan ayahnya dengan memimpin pesantren
Lasem. Baru dua tahun memimpin, beliau diminta untuk kembali ke Krapyak untuk
memimpin pesantren Krapyak sepeninggalnya KH. Moenawwir. Bersama dengan
saudara-saudara iparnya, beliau memimpin dan mengembangkan pesantren Krapyak
dengan berbasis kajian Al-Qur’an dan Qiro’ah Sab’ah.
Pada
kurun waktu beliau mengasuh pesantren, para santri dididik dengan semangat dan
disiplin tinggi. Mereka tidak bisa belajar semaunya, waktu belajar sangat
ketat, dari subuh hingga jam sembilan malam. Selain itu, mereka juga harus
hafal bait-bait kitab tertentu. Bila tidak sanggup maka sang guru akan
menghukumnya sehingga hafal. Begitu juga dengan pelajaran-pelajaran yang sudah
diajarkan harus mampu dipahami oleh para santri.
Dari
sinilah pesantren Krapyak berkembang dan nama beliau menggema sebagai ulama
besar dengan gagasan reformis dan moderat yang terus disosialisasikan ke
masyarakat melalui forum-forum pengajian. Dari kepiyawaiannyalah kitab hasil
karangan beliau pun hadir untuk menghiasi khazanah keilmuan. Di antaranya
Hujjah Ahlussunah Wal Jama’ah, Tasriful Kalimah, Asshorful Wadlih, Risalatus
Siyam, Ilmu Mantiq dan beberapa kitab lainnya.
Beberapa hari sebelum beliau wafat,
pesantren Krapyak mendapat kehormatan untuk menjadi tuan rumah Muktamar NU
ke-28 pada 25-28 November 1989. Seminggu berikutnya, tapatnya 7 Desember 1989 di
usia 74 tahun, kiai kharismatik ini berpulang ke rahmatullah. Dengan dihantar
ribuan pelayat beliau dikebumikan di peristirahatan terakhir di pemakaman
Dongkelan, Bantul Yogyakarta. Meski raganya sudah tiada, tapi ghirah perjuangan
dan pengabdiannya sangat dikenang oleh para santri maupun warga NU. (Aula)
----------------------------------
Sumber : diedit kembali dari http://pwnudiy.or.id/content/kh-ali-maksum-kiai-reformis-yang-rendah-hati
sumber:http://alumnikrapyakberbagi.blogspot.com/2013/12/kh-ali-maksum-kiai-reformis-yang-rendah.html?spref=fb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar