PENGERTIAN ILMU & PEMBAGIANNYA VERSI IMAM AL-GHOZALI RA
==========
Al-Ghozali telah mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Yang mendasari pemikirannya atas
dua bidang ini adalah pandangannya yang memandang manusia dapat
memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian
banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan
pendidikan, karena ilmu dan amal. Karena amaliyah tidak akan muncul dan
kemunculannya tidak akan bermakna kecuali setelah adanya pengetahuan.
Oleh karena itu, dalam kitab momumentalnya Al-Ghazali yakni “Ihya’ ‘Ulum
al-Din”, mengupas ilmu pengetahuan secara panjang lebar, pembahasan ini
dituangkan dalam bab tersendiri “Kitab al-Ilmi”.
Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Al-Ghozali membagi ilmu menjadi dua, yaitu:
Syar’iyah; ilmu yang diperoleh dari para Nabi Alloh yang tidak hadir melalui aktivitas nalar sebagaimana matematika, tidak melalui eksperimen sebagai imu pengeobatan (kedokteran), juga tidak melalui keterampilan pendengaran seperti bahasa.
Al-Ushul (dasar) meliputi: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ al-Ummah, Atsar al-Shahabah
Al-Furu’ (cabang), meliputi; ilmu kemashlahatan dunia seperti fiqh, ilmu kemashlahatan akhirat seperti mukasyafah, mu’amalah (ahwal al-Qulub)
Al-Muqaddimat (Pengantar), meliputi; ilmu yang merupakan alat seperti ilmu Bahasa dan tata bahasa Arab; nahwu sharaf. Karena keduanya merupakan alata untuk memahami isi kitab Allah dan Sunnah Rasul. Termasuk alat adalah ilmu Khat (menulis)
Al-Mutammimat (Suplemen), meliputi; ilmu Al-Qur,an seperti ilmu Qira’ah, dan tafsirnya,
Ghairu Syar’iyah atau aqliyah adalah berbagai ilmu yang diperoleh melalui intelektualitas manusia.
Baik yang diperoleh secara dharuri atau iktisabi. Yang dlaruri ialah yang diperoleh dari insting akal itu sendiri tanpa melalui indera, dari mana dan bagaimana datangnya manusia tidak tahu, misalnya pengetahuan bahwa seseorang tidak ada pada dua tempat dalam waktu yang sama. Inilah pengetahuan yang diperoleh manusia sejak kecil dan menjadi fitrah baginya.
Sedangkan yang iktisabi ialah yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan berfikir. Ilmu ada yang bersifat duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, politik, teknik, sosial, dan ilmu-ilmu keterampilan lainnya. Dan ada yang bersifat ukhrawi, seperti ilmu tentang Allah dan sifat dan af’al-Nya.
Mahmudah (terpuji), meliputi; Kedokteran, Aritmatika, dan lain sebagainya, hal ini untuk menambah kemampuan yang dibutuhkan.
Mubah (dibolehkan), seperti Sastra, Sejarah, dan lain-lain
Madhmumah (tercela), seperti ilmu sihir, ilmu tenung, dan ilmu-ilmu semacam itu
Al-Ghazali juga mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dalam perspektif keterikatan moral umat Islam ke dalam fardlu ‘ain dan beberapa disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh setiap individu umat Islam (fardlu’ ain). Di sisi lain juga terdapat disiplin ilmu pengetahuan yang tidak menuntut setiap individu untuk menguasainya, tetapi cukup diwakili oleh beberapa umat Islam saja (fardlu kifayah).
Dalam Ihya ‘Ulumuddin, al-Ghozali mengakui bahwa kategorisasi ilmu ke dalam fardlu ‘ain telah ada. Hanya saja hal itu dilakukan sesuai dengan kecenderungan seseorang terhadap suatu disiplin ilmu. Kaum Mutakallimin misalnya, akan menyatakan bahwa belajar ilmu kalam adalah fardlu ‘ain, dengan argumentasi ilmu kalam sebaga pengetahuan tentang Tuhan. Sedang ahli fiqh juga mengklaim bahwa mempelajari ilmu fiqih juga fardlu ‘ain, dengan pertimbangan untuk mengetahui hukum halal –haram dalam ibadah maupun muamalah. Kelompok ulama’ dari disiplun ilmu lain juga mengkalaim fardu ‘ain.
Al-Ghozali selanjutnya memberikan batasan dan menyebutkan kategori ilmu fardlu ‘ain yang meliputi ilmu agama, seperti al-Qur’an dan al-Hadits. Kemudian pokok-pokok ibadah, seperti salat, puasa, zakat dan lain-lain. Asumsinya, ilmu tentang tata cara salat merupakan fardlu ain bagi orang yang diwajibkan shalat. Demikian juga ilmu tentang zakat hukumnya fardlu ‘ain bagi yang telah berkewajiban zakat, seperti orang miskin, hukum mempelajari ilmu zakat akan berbeda.
Sedangkan ilmu yang tergolong fardlu kifayah adalah ilmu yang harus ada demi eksistensi dunia. Ilmu kedokteran sangat dibutuhkan manusia untuk menjaga kesehatan makhluk hidup. Begitu juga ilmu matematika memegang peranan penting dalam dunia perdagangan dan penentuan harta warisan. Ilmu semacam inilah yang harus dikuasai umat Islam, meskipun tidak harus melibatkan setiap individu umat Islam.
Sedangkan filsafat menurut Al-Ghazali bukanlah ilmu yang berdiri dengan sendiri akan tetapi terdiri dari empat bagian, yaitu:
Ilmu handasah dan hisab atau geometri dan aritmatika
Ilmu logika atau mantiq
Ilmu Ilahiyah atau metafisika
Al-Tabi’iyah atau fisika
Al-Ghazali telah berusaha mengklasifikasikan ilmu pengetahuan secara hirarkis. Ia juga menentukan nilainya sesuai dengan tingkat manfaat dan bahaya yang ditimbulkannya dalam hubungannya dengan tugas dan tujuan hidup manusia dalam mewujudkan tatanan kehidupan dunia untuk mencapai tujuan hidup manusia itu bahagia di dunia dan akhirat. Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia.Pemikiran ini setidak-tidaknya akan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk menguasai ilmu pengetahuan.
Dari prinsip-prinsip kalsifikasi ilmu menurut Al-Ghazali dapat diturunkan dalam konsep bangunan keilmuan (body of knowledge) yakni aksiologi, epistimologi dan ontologi.
Epistemologis, cabang filsafat yang mempelajari bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan dan bagaiaman ilmu pengetahuan itu.
Dan secara epistemologi ilmu itu terbagi menjadi duan, yaitu syar’iyah dan ghairu syar’iyah tau dalam bagian lain disebut aqliyah
Ontologis, yaitu cabang filsafat yang mempelajari yang nyata atau wujud.
Dan secara ontologis ilmu itu dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardlu kifayah
Aksiologis, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang nilai-nilai terhadap sesuatu.
Dan secara ontology ilmu itu dibagi menjadi ilmu terpuji (mahmudah), boleh (mubah), tercela (madhmudah)
Ushul
Furu’
Syar’iyyah
Muqaddimah
Epistemilogis Mutammimah
Dharuri
Aqliyah
Iktisabi
Fardlu Ain
ILMU Ontologis
Fardhu KIfayah
Terpuji
Aksiologis Mubah
Tercela
Dewasa ini banyak kritikus menuduh bahwa salah satu penyebabnya kemerosotan ilmu Islam adalah pemikiran sufistik Al-Ghazali sekaligus gagasannya tentang dikotomisasi ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sehingga masyarakat terbuai dengan ilmu-ilmu agama dan mengacuhkan kategori ilmu rasional. Padahal, sebenarnya pemikiran para cendikiawan muslim (termasuk Al-Ghazali) pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari kemajuan umat Islam yang ada di zamannya, bahkan merupakan motivasi dan etos kerja bagi umat Islam periode klasik. Masih sekitar empat abad kemudian setelah Al-Ghazali Meninggal, ternyata peradaban dan kemajuan umat Islam masih mendominasi peradaban dunia. Kalaulah pengaruh Al-Ghazali menjadi penyebab kemunduran umat Islam, bagaimanapun kemunduran itu akan terlihat sesudah ia meninggal, dan sulit bertahan sampai abad ke-15.
Dan kalau diilihat dari pendekatan sosiokulturalnya, umat Islam pada masa lalu dalam masa kejayaannya tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Seluruh pengetahuan berasal dari Tuhan, oleh karena itu harus dipelajari oleh umat Islam. Di antara ulama tidak ada yang membantah akan pentingnya ilmu kedua macam ilmu tersebut untuk selalu dipelajari. Baru setelah timbul kekhawatiran di kalangan umat Islam akan kecenderungan melupakan ilmu agama, para ulama seperti Al-Ghazali, seorang tasawuf mengkritik Ibnu Rusyd karena terlalu menggunakan rasio dari pada wahyu dalam proses menemukan yang hakiki.
Yakni pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran, dan prinsip kesatuan sumber ilmu pengetahuan.
Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Al-Ghozali membagi ilmu menjadi dua, yaitu:
Syar’iyah; ilmu yang diperoleh dari para Nabi Alloh yang tidak hadir melalui aktivitas nalar sebagaimana matematika, tidak melalui eksperimen sebagai imu pengeobatan (kedokteran), juga tidak melalui keterampilan pendengaran seperti bahasa.
Al-Ushul (dasar) meliputi: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ al-Ummah, Atsar al-Shahabah
Al-Furu’ (cabang), meliputi; ilmu kemashlahatan dunia seperti fiqh, ilmu kemashlahatan akhirat seperti mukasyafah, mu’amalah (ahwal al-Qulub)
Al-Muqaddimat (Pengantar), meliputi; ilmu yang merupakan alat seperti ilmu Bahasa dan tata bahasa Arab; nahwu sharaf. Karena keduanya merupakan alata untuk memahami isi kitab Allah dan Sunnah Rasul. Termasuk alat adalah ilmu Khat (menulis)
Al-Mutammimat (Suplemen), meliputi; ilmu Al-Qur,an seperti ilmu Qira’ah, dan tafsirnya,
Ghairu Syar’iyah atau aqliyah adalah berbagai ilmu yang diperoleh melalui intelektualitas manusia.
Baik yang diperoleh secara dharuri atau iktisabi. Yang dlaruri ialah yang diperoleh dari insting akal itu sendiri tanpa melalui indera, dari mana dan bagaimana datangnya manusia tidak tahu, misalnya pengetahuan bahwa seseorang tidak ada pada dua tempat dalam waktu yang sama. Inilah pengetahuan yang diperoleh manusia sejak kecil dan menjadi fitrah baginya.
Sedangkan yang iktisabi ialah yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan berfikir. Ilmu ada yang bersifat duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, politik, teknik, sosial, dan ilmu-ilmu keterampilan lainnya. Dan ada yang bersifat ukhrawi, seperti ilmu tentang Allah dan sifat dan af’al-Nya.
Mahmudah (terpuji), meliputi; Kedokteran, Aritmatika, dan lain sebagainya, hal ini untuk menambah kemampuan yang dibutuhkan.
Mubah (dibolehkan), seperti Sastra, Sejarah, dan lain-lain
Madhmumah (tercela), seperti ilmu sihir, ilmu tenung, dan ilmu-ilmu semacam itu
Al-Ghazali juga mengklasifikasikan ilmu pengetahuan dalam perspektif keterikatan moral umat Islam ke dalam fardlu ‘ain dan beberapa disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh setiap individu umat Islam (fardlu’ ain). Di sisi lain juga terdapat disiplin ilmu pengetahuan yang tidak menuntut setiap individu untuk menguasainya, tetapi cukup diwakili oleh beberapa umat Islam saja (fardlu kifayah).
Dalam Ihya ‘Ulumuddin, al-Ghozali mengakui bahwa kategorisasi ilmu ke dalam fardlu ‘ain telah ada. Hanya saja hal itu dilakukan sesuai dengan kecenderungan seseorang terhadap suatu disiplin ilmu. Kaum Mutakallimin misalnya, akan menyatakan bahwa belajar ilmu kalam adalah fardlu ‘ain, dengan argumentasi ilmu kalam sebaga pengetahuan tentang Tuhan. Sedang ahli fiqh juga mengklaim bahwa mempelajari ilmu fiqih juga fardlu ‘ain, dengan pertimbangan untuk mengetahui hukum halal –haram dalam ibadah maupun muamalah. Kelompok ulama’ dari disiplun ilmu lain juga mengkalaim fardu ‘ain.
Al-Ghozali selanjutnya memberikan batasan dan menyebutkan kategori ilmu fardlu ‘ain yang meliputi ilmu agama, seperti al-Qur’an dan al-Hadits. Kemudian pokok-pokok ibadah, seperti salat, puasa, zakat dan lain-lain. Asumsinya, ilmu tentang tata cara salat merupakan fardlu ain bagi orang yang diwajibkan shalat. Demikian juga ilmu tentang zakat hukumnya fardlu ‘ain bagi yang telah berkewajiban zakat, seperti orang miskin, hukum mempelajari ilmu zakat akan berbeda.
Sedangkan ilmu yang tergolong fardlu kifayah adalah ilmu yang harus ada demi eksistensi dunia. Ilmu kedokteran sangat dibutuhkan manusia untuk menjaga kesehatan makhluk hidup. Begitu juga ilmu matematika memegang peranan penting dalam dunia perdagangan dan penentuan harta warisan. Ilmu semacam inilah yang harus dikuasai umat Islam, meskipun tidak harus melibatkan setiap individu umat Islam.
Sedangkan filsafat menurut Al-Ghazali bukanlah ilmu yang berdiri dengan sendiri akan tetapi terdiri dari empat bagian, yaitu:
Ilmu handasah dan hisab atau geometri dan aritmatika
Ilmu logika atau mantiq
Ilmu Ilahiyah atau metafisika
Al-Tabi’iyah atau fisika
Al-Ghazali telah berusaha mengklasifikasikan ilmu pengetahuan secara hirarkis. Ia juga menentukan nilainya sesuai dengan tingkat manfaat dan bahaya yang ditimbulkannya dalam hubungannya dengan tugas dan tujuan hidup manusia dalam mewujudkan tatanan kehidupan dunia untuk mencapai tujuan hidup manusia itu bahagia di dunia dan akhirat. Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia.Pemikiran ini setidak-tidaknya akan memberikan dorongan kepada masyarakat untuk menguasai ilmu pengetahuan.
Dari prinsip-prinsip kalsifikasi ilmu menurut Al-Ghazali dapat diturunkan dalam konsep bangunan keilmuan (body of knowledge) yakni aksiologi, epistimologi dan ontologi.
Epistemologis, cabang filsafat yang mempelajari bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan dan bagaiaman ilmu pengetahuan itu.
Dan secara epistemologi ilmu itu terbagi menjadi duan, yaitu syar’iyah dan ghairu syar’iyah tau dalam bagian lain disebut aqliyah
Ontologis, yaitu cabang filsafat yang mempelajari yang nyata atau wujud.
Dan secara ontologis ilmu itu dibagi menjadi dua macam, yaitu ilmu fardu ‘ain dan ilmu fardlu kifayah
Aksiologis, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang nilai-nilai terhadap sesuatu.
Dan secara ontology ilmu itu dibagi menjadi ilmu terpuji (mahmudah), boleh (mubah), tercela (madhmudah)
Ushul
Furu’
Syar’iyyah
Muqaddimah
Epistemilogis Mutammimah
Dharuri
Aqliyah
Iktisabi
Fardlu Ain
ILMU Ontologis
Fardhu KIfayah
Terpuji
Aksiologis Mubah
Tercela
Dewasa ini banyak kritikus menuduh bahwa salah satu penyebabnya kemerosotan ilmu Islam adalah pemikiran sufistik Al-Ghazali sekaligus gagasannya tentang dikotomisasi ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sehingga masyarakat terbuai dengan ilmu-ilmu agama dan mengacuhkan kategori ilmu rasional. Padahal, sebenarnya pemikiran para cendikiawan muslim (termasuk Al-Ghazali) pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari kemajuan umat Islam yang ada di zamannya, bahkan merupakan motivasi dan etos kerja bagi umat Islam periode klasik. Masih sekitar empat abad kemudian setelah Al-Ghazali Meninggal, ternyata peradaban dan kemajuan umat Islam masih mendominasi peradaban dunia. Kalaulah pengaruh Al-Ghazali menjadi penyebab kemunduran umat Islam, bagaimanapun kemunduran itu akan terlihat sesudah ia meninggal, dan sulit bertahan sampai abad ke-15.
Dan kalau diilihat dari pendekatan sosiokulturalnya, umat Islam pada masa lalu dalam masa kejayaannya tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Seluruh pengetahuan berasal dari Tuhan, oleh karena itu harus dipelajari oleh umat Islam. Di antara ulama tidak ada yang membantah akan pentingnya ilmu kedua macam ilmu tersebut untuk selalu dipelajari. Baru setelah timbul kekhawatiran di kalangan umat Islam akan kecenderungan melupakan ilmu agama, para ulama seperti Al-Ghazali, seorang tasawuf mengkritik Ibnu Rusyd karena terlalu menggunakan rasio dari pada wahyu dalam proses menemukan yang hakiki.
Yakni pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran, dan prinsip kesatuan sumber ilmu pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar