ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Minggu, 31 Maret 2013

Unpolitical Politic: Arah Politik Nahdlatul Ulama'

========
Unpolitical Politic: Arah Politik Nahdlatul Ulama'
============================

Peran Nahdhatul Ulama tidak bisa dilepas dari sejarah bangsa Indonesia. Organisasi masyarakat Islam ini telah memberikan sumbangsih besar terhadap bangsa dan negara Indonesia.
Walaupun NU pada awalnya berdiri sebagai organisasi keagamaan, namun ia tidak hanya bergerak dalam bidang agama. Sejarah mencatat, perjalanan Negara Indonesia banyak diwarnai oleh peran politik NU. Bahkan sampai detik ini NU masih berjuang melalui jalur-jalur politik.

Perjuangan politik NU selain karena gagasan-gagasan yang perlu dipertahankan, juga karena politik adalah jalur perjuangan yang paling legal dalam kehidupan bernegara. Sejak dahulu banyak tokoh-tokoh muda NU yang bersemangat untuk masuk di dalamnya. Bahkan mereka lebih cenderung berkecimpung dalam dunia politik daripada bergiat memperjuangkan agama. Hal ini terlihat dari perjalanan politik NU sebagai ormas Islam yang kurang diimbangi dengan prestasi keagamaan dan sosial.

Bagai lilin di tengah kegelapan, dengan modal yang sangat sederhana, organisasi yang belum benar-benar kuat, ketimpangan, perselisihan dan banyak hiruk pikuk di dalam tubuh NU, ia mampu memperlihatkan keseriusannya memperjuangkan bangsa. Mulai dari fenomena tanah Hijaz, menjaga kemurnian Indonesia dari kolonial Belanda, perjuangan kemerdekaan, piagam Jakarta, hingga memasukkan nilai-nilai kearifan islam ke dalam hukum positif Negara.

Kemudian setelah sekian lama berjibaku dengan politik, prestasi politik NU kini tidak terlihat menggembirakan lagi. Jika ditahun 1930-1960-an NU memperjuangkan banyak hal fundamental, kemudian di tahun-tahun berikutnya adalah masa lesu politik hingga hari bersejarah dalam perjalanan politik, Kembali ke Khittah 1926. Sekalipun sudah menyatakan bercerai dengan politik praktis, namun NU secara implisit berhasil meloloskan Gus Dur menjadi Presiden. Menurut adiknya, Gus Sholah  prestasi ini memberikan harapan besar yang tidak proporsional (Salahuddin Wahid, 2002). Lengsernya beliau seakan menutup cerita NU.

Sejauh perjalanannya, NU telah banyak makan asam garam sebagai bagian dari Negara. Dari situ sebenarnya NU sudah mampu membaca apa yang harus ia lakukan ke depan. Baik dari segi tujuan maupun prosesnya. Tentu saja masih banyak yang perlu dikaji ulang agar siap menhadapi tantangan-tantangan di depan.

Sejak awal hingga ahir decade ini NU masih bertahan dengan model theokrasi. Hampir seluruh capaian bertujuan untuk melancarkan misi keagamaan. Hebatnya NU tidak serta-merta menghilangkan nilai kebangsaan. NU tetap memahami bahwa ia terlahir dari Rahim Indonesia yang bhineka. Itulah mengapa NU masih tetap bertahan hingga kini, artinya NU diterima oleh bangsa Indonesia. Bukan hanya karena sumbangsihnya terhadap Negara saja tapi juga karena keberadaan NU dinilai sebagai warna yang dominan.

Model politik NU tidak lepas dari latar belakangnya. NU terlahir dari pesantren, lembaga pendidikan agama Islam yang terkesan konservatif. Kolot, ulet, sangat menjaga tradisi keislaman. Nah, yang terahir ini adalah salah satu sisi positif dari pesantren yang kebanyakan dimaknai secara tekstual. Memang benar sikap apa adanya, sederhana, mengalah, tidak neko-neko adalah sikap yang yang luhur. Akan tetapi jika itu secara berlebihan dianggap sebagai sebuah kesempurnaan hidup dan dibawa ke medan pertempuran politik maka yang terjadi adalah ketertinggalan yang amat sangat jauh.

Bagi NU, Indonesia dengan pancasilanya adalah bentuk final dari khidupan bernegara. Gus Dur menyatakan bahwa kehidupan bernegara adalah suatu yang tidak bisa ditawar lagi. Maka kewajiban penduduk Negara adalah mentaati pemerintah sebagai upaya penataan sebuah Negara (Salahuddin, 2002; Wahid, 1982:156).

Negara Indonesia juga dibentuk atas sumbangan pemikiran dari ideology NU yaitu Islam. Konsep Negara dalam Ialam juga bersifat fleksibel, tidak harus theolitik bukan juga skularis namun masih dalam tataran kemaslahatan. Sejauh ada maslahah yang dominan dipandang baik menurut agama. Tentu dengan pertimbangan dari semua sisinya.

Jika sampai sekarang NU mentaati system pemerintahan dan politik berarti NU masih memandang belum sepenuhnya salah. NU membawa warganya untuk sadar hukum, melek politik dan bersikap demokratis terhadap pemerintah. Mengajak untuk menjadi warga Negara yang loyal dan bertanggung jawab. Tidak mengancam persatuan bangsa. Baik dalam kepentingan kelompok ataupun agama. NU tidak hanya berkepentingan untuk agamanya sendiri tapi juga menyeluruh semua kalangan. Untuk itu semua diperlukan sikap yang terbuka, jujur, komunikatif dan mnjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika yang berlaku.

NU Berpolitik, Pantaskah? Tolok Ukur Politik NU

Bicara pantas dan tidak pantas berpolitik bagi NU bukanlah seperti membicarakan nilai moral. Akan tetapi bagi organisasi sekaliber NU, ia perlu total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. NU sangat pantas bahkan harus melakukan semua hal demi mewujudkan kehidupan yang adil, makmur termasuk melalui jalur politik. Politik yang “pantas” bagi NU adalah politik yang elit, elegan,  penuh wibawa. Bukan sekedar berebut kepentingan dan memainkan siasat papan catur.

Lebih lanjut, NU harus mempersiapkan kehidupannya dengan matang. Artinya, NU harus melihat dari semua sudut kehidupan bernegara. Mulai dari komponen negara, kultur bangsa dan tentunya kapabilitas dirinya sendiri yang luar biasa itu. Ketiga hal tersebut yang harus menjadi fokus perjuangan NU ke depan. Juga tidak kalah penting yaitu bersiap diri dalam menghadapi berbagai tantangan di depan. Perjuangan besar memang selalu menghadapi tantangan yang besar pula.

Panling penting dan mendesak adalah penguatan organisasi. Penguatan diri bagi sebuah ormas mempunyai sudut pandang yang luas. Struktural yang kuat sangatlah menentukan kuat tidaknya sebuah organisasi. Tidak diragukan lagi kualitas SDM elit NU. Kebanyakan mereka berada pada alam pesantren, suasana akademik khas kaum tradisionalis yang kental.

Namun banyaknya cendekiawan dan ulama bukan sepenuhnya ukuran kuat tidaknya NU. Yang lebih penting dari itu adalah penyatuan visi-misi antar cendekiawan dan ulama NU.

Selanjutnya mengimplementasikan amanah yang terkandung dalam hittah1926. Yaitu perumusan terhadap acuan politik yang dirangkum menjadi sembilan pedoman berpolitik warga NU. Yaitu politik yang sehat, bewawasan kebangsaan, bertanggung jawab, menjunjung tinggi etika dan nilai moral, komunikatif, harmonis dan mandiri.

Kemajemukan Indonesia adalah mutlak harus dijaga keharmonisannya. Sebagai organisasi kerakyatan,  NU sudah melakukan itu sejak jaman dahulu. Dalam sejarahnya, NU telah banyak berdialog dengan kultural bangsa. Bagi NU, berjuang di jalan agama adalah prioritas, dan membuat agama itu diterima semua kalangan juga prioritas. Inilah inti ajaran NU, amar ma’ruf nahi munkar .

Menurut Kacung Marijan, upaya itu pada ahirnya akan mendorong tumbuh dan berkembangnya “organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan (Hikam, 2010).

Jika seluruh warga NU memaknai secara mendalam amanat Hittah 1926 yaitu nilai-nilai Mabadi’ Khairu Ummah. Sebagai upaya memperkuat civil society yang sesungguhnya adalah implementasi dari nilai-nilai ke-Islam-an (Thoha,2003). Dalam upaya merealisasikan itu semua NU harus inovatif. Termasuk mengawal aspirasi rakyat terhadap pemerintah. Artinya NU tetap harus berhubungan secara baik dengan pemerintahan.

Dalam hubungannya dengan pemerintahan, NU harus menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, memberikan kritik yang membangun terhadap pemerintah. Sebagai basic kekuatan sipil NU harus berada di depan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Pematangan kader-kadernya yang potensial untuk berpolitik secara total dengan membawa nilai-nilai diatas. Tentunya ini harus seimbang dengan langkah-langkah lain. Kader-kader NU dalam bidang lain juga harus dipersiapkan secara matang. Artinya NU sebagai rumah yang menyediakan apa saja termasuk politik. Mengingat potensi NU bukan hanya di bidang politik dan kepentingan warga NU juga bukan hanya dalam bidang politik saja. Penguatan ekonomi, keagamaan dan lain-lain juga penting diupayakan secara serius dan mendesak melalui kader-kadernya.

Sebagai catatan besar, kususnya bagi pemuda NU, bahwa NU bukanlah kendaraan politik, bukan juga ladang bisnis, bukan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. NU secara struktural harus tetap menjaga jarak dengan politik praktis.

Untuk itu NU perlu melakukan perubahan revolusioner dengan tahapan sebagai berikut: menguatkan struktural organisasinya, mempersiapkan kader-kader yang dididik secara militan dalam bidang keilmuannya.

Sementara itu, NU fokus pada perjuangan kebangsan dan kerakyatan: memberdayakan ekonomi kerakyatan. Meningkatkan gerakan sosial. Tidak kalah penting, meningkatkan kualitas pendidikan dan memfasilitasinya.

Tidak mudah memeng melakukan itu semua. Sebagai organisasi masyarakat yang besar, NU juga akan menemui berbagai tantangan antara lain tantangan internal sruktural,  tantangan kehidupan bernegara, tantangan dalam mengoptimalkan potensinya juga kapasitas SDM.

Unpolitical Politic

Tawaran ini yang penulis sebut dengan unpolitical politic. Dengan harapan NU ke depan semakin mendapat momennya dan menjadi ormas Islam yang bermanfaat penuh  hatta yaumil qiyamah, Amiin.

Pertama, yang paling penting dan mendesak: mengobati tubuh NU dalam struktural. Penguatan fondasi organisasi dari SDM, kaderisasi, pengembangan asset organisasi dan kerapian administrasinya. Kedua, mempersiapkan kader-kader yang masing-masing terfokus dalam satu bidang. Semua bidang-bidang ilmu yang nantinya akan berjuang membangun bangsa yang bermartabat.

Ketiga, revitalisasi peran politik. Dengan jalan merevisi pandangan politik NU harus berbasis kultural kemandirian tanpa terintervensi oleh kekuatan penguasa, dan bukan politik praktis. Keempat, Fokus membangun nilai sosial agama terutama pendidikan dan penguatan ekonomi kerakyatan. Dari sini akan nampak posisi NU sebagai basis kekuatan sipil. Salah satunya melalui optimalisasi banom, lembaga dan lajnah NU yang masing-masing mempunya garapannya sendiri, mempunyai tupoksi sendiri.

Ada catatan yang harus dipersiapkan, bahwa kehidupan kini sangatlah luas cakupannya. Tidak hanya Indonesia atau satu agenda pembangunan saja. Namun sudah selayaknya kebangkitan itu menjadi sebuah gerakan zaman. Artinya jika NU fokus dengan nilai sosial agama, konomi, dan kemanusiaan maka mau tidak mau NU juga harus mengglobal.



Referensi:
Salahuddin Wahid, Menggagas Peran Politik NU, PIS, 2002.
Abdurrahman Wahid, Islam dan Masyarakat Bangsa, Jurnal Pesantren No.31 Vol. VI/1982.
M. AS. Hikam, Gus Dur, NU dan masyarakat sipil, LKiS, 2010

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,43130-lang,id-c,kolom-t,Unpolitical+Politic++Arah+Politik+Nahdlatul+Ulama-.phpx

Kepemimpinan Ideal: Penggalian Ilmu Sharaf dan Falsafah Jawa

============
Kepemimpinan Ideal: Penggalian Ilmu Sharaf dan Falsafah Jawa
=========================

Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masalah kepemimpinan. Ada beberapa hadits yang dapat dirujuk untuk memperkuat argumentasi ini, antara lain:
“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti” (HR. Bukhari-Muslim). Dan, “Jika ada tiga orang yang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” (HR. Bukhari-Muslim).

Konsep dan praktik kepemimpinan dalam Islam sangat penting untuk menjaga umat agar tetap satu suara, satu langkah dan satu visi untuk mewujudkan tata kehidupan yang lebih membahagiakan di dunia dan akhirat. Di samping kepemimpinan juga sangat penting untuk menjaga keutuhan serta harmoni kehidupan seluruh umat manusia.

Dalam konteks kehidupan bernegara misalnya, konsep kepemimpinan yang terejawantahkan dalam sebuah bentuk  pemerintahan yang modern dan demokratis, diharapkan mampu membawa rakyatnya menuju masyarakat sejahtera yang aman, berkeadilan dan tentu saja berke-Tuhanan. Atau dengan kata lain, konsep dan praktik kepemimpinan dalam konteks kenegaraan pada gilirannya diharapkan mampu mewujudkan apa yang disebut sebagai welfare state atau al-madinah al-fadhilah sebagaimana pernah diintrodusir oleh al-Farabi.

Oleh karenanya, untuk merealisasikan hal tersebut penting untuk menjadi dan/atau memilih pemimpin-pemimpin yang kredibel dan berkualitas, yang mampu mengantarkan masyarakat yang dipimpinnya sampai pada tujuan yang berkebahagiaan dan berkemakmuran. Menurut Al-Farabi, pemimpin yang dapat mewujudkan hal itu adalah pemimpin yang memiliki karakter seperti halnya Nabi dan para filsuf. Karakter itu antara lain: adil, shiddiq, amanah, fathanah, tabligh, mampu berjihad dan berijtihad, peduli terhadap rakyat kecil dan lain-lain.

Agak berbeda dengan pandangan Al-Farabi, penulis memiliki pandangan tersendiri tentang karakter sosok pemimpin yang ideal. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan sebagai indikator bahwa calon pemimpin tersebut ideal, kredibel dan berkualitas. Penulis sengaja mengambil beberapa indikator yang diderivasi dan dimodifikasi secara filosofis dari ilmu sharaf dengan kombinasi filsafat bahasa Jawa.

Di dalam bahasa Arab selain kata imam dan sulthan, pemimpin juga disebut dengan menggunakan kata Maalik, Malik atau Mulk yang berasal dari wazan atau kata dasar ma la ka yang berarti Pemimpin, Penguasa, Raja, Presiden, atau Kerajaan dan yang semisal dengan itu.

Misalnya dalam al-Quran ada beberapa ayat yang menunjukkan makna kata tersebut, antara lain ayat yang berbunyi: ”Maaliki yaumid dîn.” Penguasa Hari Pembalasan (QS. Al-Fatihah: 4). ”Malikin Naas” .Rajanya Umat Manusia (QS: An-Naas: 2).

Dalam surat Ali Imran (26) disebutkan, ”Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan (Mulk), Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Sehingga, jika sighat tersebut dikombinasikan dengan falsafah bahasa Jawa yang se-wazan dengan kata ma la ka, penulis menemukan bahwa seorang pemimpin atau Mâlik itu haruslah memiliki beberapa sifat pinilih berikut, antara lain:

Melek, selain berarti melek dalam makna leterlijk sebagaimana pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a yang selalu blusukan di malam hari melihat kondisi riil rakyatnya, dalam hal ini melek juga berarti seorang pemimpin harus tahu dan mengerti betul kondisi dan problem yang dihadapi rakyatnya, sehingga ia mampu mencarikan solusi yang efektif dan presisif;

Milik, yang berarti seorang pemimpin harus benar-benar merasa memiliki tumpah darah dan rakyatnya. Jika sudah memiliki kesadaran akan hal itu, maka seorang pemimpin harus habis-habisan dalam menjaga keutuhan tanah airnya, demikian pula dengan harta-benda; harkat-martabat; bahkan nyawa rakyat yang dipimpinnya.

Muluk, dalam bahasa Jawa sehari-hari ia berarti gerakan ‘mengangkat’ makanan dengan menggunakan ‘tangan kosong’ yang bertujuan memenuhi  salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling vital, yaitu makan. Sehingga secara filosofis, muluk  berarti seorang pemimpin haruslah mampu mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan dan penderitaan menuju kesejahteraan yang utama; serta dari kebodohan dan keterbelakangan menuju pijar keberadaban yang mulia. Lebih dari itu ia juga harus mampu mengangkat derajat dan martabat bangsanya di mata bangsa-bangsa lain di dunia;

Melok, artinya bahwa seorang pemimpin haruslah mampu menyuarakan, mengikuti dan merealisasikan aspirasi rakyat yang dipimpinnya. Hal ini sebangun dengan filosofi kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro bahwa ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani, bahwa seorang pemimpin haruslah mampu menjadi tauladan yang baik, bahu-membahu bersama yang dipimpinnya membangun karsa, serta mampu menyerap, mengimbangi dan mewujudkan aspirasi yang dipimpinnya;

Serta, Meluk yang artinya seorang pemimpin haruslah memiliki perasaan dan perilaku cinta-kasih yang tulus-mendalam terhadap rakyatnya, serta mampu menghadirkan rasa nyaman, aman dan tenteram bagi mereka, bagaimanapun caranya. Seperti yang pernah ditandaskan oleh Nabi Muhammad s.a.w bahwa ia adalah cinta-kasih yang ‘dihadiahkan’ oleh Allah s.w.t untuk semesta.

Selain kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin sebagaimana telah disebutkan, setidak-tidaknya ada 3 (tiga) hal yang tidak boleh ada dalam diri seorang pemimpin yang juga diderivasi dari wazan kata ma la ka versi Jawa, yaitu:

Molak-malik, yang berarti seorang pemimpin tidak boleh mencla-mencle, inkonsisten dan tidak tepat janji; Muluk-muluk, terlalu berlebihan dalam segala hal, tidak bisa mensinkronkan antara idealitas dan realitas; dan yang terakhir adalah, Malak, artinya bahwa seorang pemimpin harus terhindar dari sikap mental koruptif, tidak boleh merampok harta Negara dan rakyatnya, atau dalam tataran yang paling sederhana, tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.

Di samping itu, tidak seharusnya juga kita memilih pemimpin hanya berdasarkan molek-nya praupan serta dunyo-brono dari si calon pemimpin. Artinya, jangan memilih hanya karena bagusnya tampang dan besarnya mahar yang bisa ia berikan atau bahkan hanya ia janjikan.

Oleh karena itu, sebagai rakyat yang mendamba pemimpin dan kepemimpinan yang pinilih, setidak-tidaknya kriteria-kriteria di atas dapat kita jadikan sebagai tolok ukur untuk memilih penguasa yang akan memimpin kita semua, mulai dari tingkatan yang paling kecil nan sederhana sampai dengan yang paling besar dan penuh kompleksitas. Jika penguasa yang memimpin kita adalah orang-orang yang melek, muluk, milik, melok dan meluk serta tidak suka muluk-muluk, molak-malik, dan malak, ditambah lagi kita memilihnya tidak berdasarkan molek-nya saja, niscaya target kepemimpinan untuk mengantarkan rakyat sejahtera dunia tembus akhirat akan tercapai.

Inilah yang penulis maksud sebagai pemimpin setengah malaikat. Perlu diketahui, kata ‘malaikat’ juga berasal dari wazan yang sama dengan kata ma la ka dan kata-kata dalam bahasa Jawa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Nilai filosofis dari sebutan ‘malaikat’ adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diberi ‘kuasa’ oleh Allah s.w.t untuk menjalankan tugas dalam bidang tertentu dan yang terpenting ia tidak pernah mengecewakan apalagi mengkhianati Sang Pemberi Mandat. Sehingga, spirit kepemimpinan setengah malaikat dalam timbangan ilmu sharaf dan falsafah Jawa tersebut adalah spirit kepemimpinan yang tidak akan mengecewakan apalagi mengkhianati konsensus cita dan cinta dari yang memberi mandat, yakni rakyatnya. Wa Allahu ‘alamu bi al-shawwab.
 
KURDI MUHAMMAD** Penulis adalah Kepala Madrasah Diniyah Al-Muniroh Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,43229-lang,id-c,kolom-t,Kepemimpinan+Ideal++Penggalian+Ilmu+Sharaf+dan+Falsafah+Jawa-.phpx

Pesantren dalam Pusaran Tsunami Informasi

==========
Pesantren dalam Pusaran Tsunami Informasi
======================
Derasnya arus informasi saat ini merupakan kelanjutan dari evolusi budaya komunikasi massa yang berlangsung sejak berabad-abad lalu. Jika sebelumnya media (baca Kitab Suci) merupakan hal sakral yang menerjemahkan ‘titah’ dan ‘firman’ Tuhan yang disampaikan melalui orang-orang terpercaya (Nabi dan Rasul), saat ini media menjadi alat propaganda, agitasi bahkan terkadang menjadi fitnah bagi orang atau kelompok tertentu.
Dalam sejarah Islam, kita mengenal hadits shahih dan dhaif, mungkin inilah era bertebarannya hadits-hadits dha’if. Bill Kovach menyebutnya dengan istilah tsunami informasi. Di mana informasi begitu mudah tersebar, tanpa saringan yang jelas, sebab media telah menjadi alat politik. Pertarungan ideologis juga berlangsung panas di ranah media. Masyarakat disuguhi beragam informasi yang datang dari berbagai arah.

Satu sisi, kondisi ini membuat masyarakat bebas memilih informasi yang diinginkan. Masyarakat juga leluasa menafsirkan dan menyebarkan sebuah kabar yang terkadang diragukan validitasnya. Masyarakat yang cerdas mungkin bisa menyaring dan memilah informasi yang tepat. Masyarakat yang paham dengan kondisi juga mengalami krisis kepercayaan terhadap media. Politisasi media memperbesar krisis kepercayaan tersebut.

Di sisi lain, maraknya berita yang tak disaring secara serius bisa jadi membuat masyarakat terbodohi, atau bahkan menjadi acuan masyarakat kelas bawah untuk melakukan imitasi kriminalitas dan tindakan asusila yang banyak disuguhkan media.

Kurangnya kepekaan dan niat baik para pemilik media dalam menyejahterakan para jurnalis, juga turut berperan melahirkan berita yang kurang mendidik, valid dan layak baca. Tak jarang hal itu membuat para jurnalis menggadaikan idealismenya, melanggar kode etik demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat.

Siapkah Pesantren Bertarung di Media?
Pesantren sebagai salah satu basis intelektual muslim di negeri ini tak bisa menghindari perang informasi ini. Dengan jutaan santri yang ada, pesantren juga menjadi pasar utama bagi para pelaku media. Minimnya santri yang bergelut di dunia jurnalistik, membuat kaum santri kemudian menjadi mudah diprovokasi, dan selalu dijadikan obyek penderita. Pesantren juga telah sejak lama menjadi magnet media, politik dan penelitian. Namun terkadang, berita tentang pesantren kerap ditulis secara serampangan oleh para penulis yang tak mengerti dunia pesantren.

Salah siapa jika beberapa waktu lalu, ada Majalah terkenal yang dengan gagahnya mengungkapkan bahwa kalangan pesantren paling bertanggungjawab terhadap peristiwa penumpasan Partai Komunis Indonesia. Salah siapa jika sejumlah koruptor di negeri ini diberi label politisi santri? Salah siapa jika ruang dakwah di media kini kian terbatas atau bahkan kadang harus dikombinasikan dengan ruang hiburan.

Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Sa’id Ali mengungkapkan prediksi terjadinya perang terbuka antara kalangan pesantren, dalam hal ini kaum Nahdliyin, dengan kelompok lain yang kini disinyalir sedang mencari titik lemah pesantren. Awalnya saya menilai ungkapan mantan Wakil Ketua Badan Intelejen Negara itu sebagai pernyataan emosional menyikapi sejumlah serangan terhadap NU. Atau sebuah sikap phobia, yang bermula dari kepercayaan pada teori konspirasi.

 Tetapi setelah dikaji lebih lanjut, ternyata prediksi Pak As’ad itu bisa jadi benar adanya. Dilihat dari sejumlah berita yang menyudutkan pesantren, karya sastra atau sejumlah film yang seakan menguliti pesantren. Sebut saja misalnya berita tentang penjualan santri puteri di Karawang dan Garut kepada Bupati Garut, Aceng FIkri. Atau berita tentang Peristiwa 30 September PKI, yang dimuat Tempo secara eksklusif, dan isinya menjustifikasi bahwa kalangan pesantren bertanggung jawab pada pelanggaran Hak Asasi Manusia di era 60-an.

Sejumlah novel juga ada yang mengulas tentang cerita meiril, homoseksualitas dan lesbianism pesantren. Pun dengan sejumlah film, sebut saja misalnya Perempuan berkalung sorban, yang menempatkan puteri kiai sebagai pemberontak, atau sinetron pesantren Rock N Roll yang isinya justru jauh dari nilai pesantren. Satu sisi sejumlah berita, karya sastra dan film tersebut berhasil menggaungkan pesantren di khalayak masyarakat. Namun di sisi lain, tafsir kehidupan pesantren yang disuguhkan itu justru menyudutkan pesantren.

Mengapa hal ini terjadi, saya melihat karena kalangan pesantren abai terhadap perlunya penguasaan media. Media tak melulu Koran, Majalah atau Televisi, tetapi juga penguasaan media popular, semacam film, novel, atau bahkan media virtual dan media sosial, semacam Facebook dan Twitter.

Disadari atau tidak, media di negeri ini masih banyak dikuasai oleh pemodal yang minim kepedulian terhadap nilai moral dan agama. Kalau pun agama disuguhkan, biasanya dalam bentuk hiburan tontonan, bukan bersifat tuntunan.

Padahal sejatinya, kalangan pesantren memiliki sumberdaya mumpuni untuk ikut menyumbangkan ide dan gagasan demi melahirkan jurnalis handal, beretika dan berintegritas. Semangat pesantren yang terangkum dalam manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamaah, adalah benteng terakhir bagi perbaikan bangsa ini, juga perbaikan arus informasi yang beredar.

Jurnalisme Persfektif Aswaja?
Jurnalis berpersfektif Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) tak berarti jurnalis hanya memberitakan seputar keislaman dan keaswajaan. Tetapi bagaimana seorang jurnalis dalam melakukan proses reportase dan pemberitaan berpegang teguh pada asas jurnalistik dan prinsip keaswajaan.

Aswaja dalam metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr) berpegang pada prinsip tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan i'tidal (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap keberagaman yang non-tatharruf atau ekstrim kiri dan kanan.

Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan segala situasi dan kondisi. Maka mereka yang bermanhaj Aswaja selalu dinamis menghadapi setiap perkembangan zaman. Sikap Tawasuth Pesantren sering dimaknai sebagai prilaku oportunis, pragmatis, atau bahkan plin-plan oleh mereka yang tak mengerti pesantren. Simak saja Clifford Gertz dalam teori politik jawa terkenalnya, tentang Kaum Santri Abangan dan Priayi.

Padahal, sikap adaptif tak selalu berujung pada pragmatisme dan oportunisme. Sebab di internal pesantren, sikap Tawasuth bermakna fleksibel, tak jumud, tak kaku, tak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim.

Jurnalis berpersfektif Aswaja ini dalam impian saya mungkin bisa menjadi alternatif solusi bagi carut-marut media yang kini lebih banyak berpihak pada pemilik modal, politisi atau kelompok ideologis tertentu.

Idealisme jurnalis yang diidamkan Bill Kovach atau yang dirumuskan Dewan Pers dalam Kode Etik Jurnalistik, rasanya hanya akan menjadi hafalan belaka. Sebab pada praktiknya, kini tak sedikit media mengabaikan nilai keberimbangan berita, Idealisme jurnalis terpasung oleh kepentingan politik atau kepentingan ekonomi pemilik media. Kini integritas jurnalis pun banyak dipertanyakan oleh masyarakat.

Jurnalisme Aswaja, atau jurnalisme yang digeluti para alumni pesantren diharapkan bisa menjadi jawaban atas kegalauan sejumlah kalangan terhadap dekadensi integritas jurnalis. Sebab kalangan santri, khususnya mereka yang menjiwai semangat keaswajaan, tentu akan bertindak sesuai doktrin pesantren, yang mengutamakan prinsip keadilan, kesetaraan, membela kaum lemah, dan sikap moderat.

Lebih menjanjikan lagi, ketika karakter santri yang rela sengsara demi meneguhkan prinsip kesantrian, serta terbiasa diajarkan untuk bertindak ikhlas lillahi ta’ala itu dimiliki oleh para jurnalis. Sebab di tengah godaan yang tinggi, para jurnalis saat ini sulit mempertahankan independensi dan idealismenya. Wallahu A’lam.



A MALIK MUGHNI*Penulis adalah jurnalis di Harian Duta Masyarakat, Pengelola laman www.pmii.or.id dan Sekretaris Biro Ekonomi, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII). Makalah pernah disampaikan dalam Seminar bertajuk Peran Media dalam Dakwah Islamiah, yang digelar dalam rangkaian Haul pendiri Pondok Pesantren Assalafie, Babakan Ciwaringin, Cirebon, dan Pelatihan Jurnalistik di PC PMII Sukabumi.
 
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,43358-lang,id-c,kolom-t,Pesantren+dalam+Pusaran+Tsunami+Informasi-.phpx

OBITUARI Selamat Jalan Syekh Ramadhan Al-Buthi

============
OBITUARI
Selamat Jalan Syekh Ramadhan Al-Buthi
==============================
Dunia Islam lagi-lagi kehilangan seorang sosok pemikir Islam moderat, al-syaikh al-alim al-allamah Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi. Beliau wafat Kamis malam (21/3) akibat serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh teroris-ekstrem ketika sedang memberikan pengajian mingguan di Masjid Jami' Al-Iman, Mazraa, Damaskus.
Dalam kejadian yang menelan banyak korban itu, cucu Dr. Buthi—demikian beliau akrab disapa—yang bernama Ahmad juga ikut menjadi korban pengeboman.
Perihal kepergian Dr. Buthi ini, kurang lebih sekitar dua minggu sebelum kejadian tersebut, Habib Ali Al-Jufri ketika menelpon Dr. Buthi seakan sudah mendapat isyarat akan kwafatannya. Di akhir pembicaraan itu, Dr. Buthi berkata kepada Habib Ali: "Tidak akan tersisa umurku kecuali hanya beberapa hari lagi. Sungguh aku telah mencium bau surga di belakangnya. Maka jangan lupa untuk mendoakanku".
Dr. Al-Buthi adalah figur ulama yang mengabdikan hidupnya sebagai seorang pembimbing dan dai sembari terus menampilkan sikap zuhud di dunia yang fana. Orang yang berprinsip tegas jika memang benar itu adalah benar, tanpa peduli tindakannya nanti akan dicerca orang ataupun sebaliknya.
Beliau juga merupakan seorang pemikir Islam moderat sekaligus penulis yang sangat produktif. Karyanya mencapai bilangan tujuh puluh lima buku. Karya-karyanya juga banyak diterjemahkan  ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya, al-Hub fil Qur'an (Al-Qur'an Kitab Cinta), La ya'thil Bathil (Takkan Datang Kebathilan terhadap Al-Qur'an),  Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah (Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasul Saw) dan masih banyak yang lainnya. Dalam konteks kepesantrenan, terutama pesantren salaf, bukunya yang berjudul Dhowabitul Maslahah merupakan referensi primer dalam kajian Bahtsul Masail (BM).
Tokoh yang paling berpengaruh di Timur Tengah ini juga termasuk barisan ulama yang getol membendung radikalisme Islam. Paham radikal adalah suatu paham yang anti dengan tradisi bermazhab, menyerukan pentingnya ijtihad, intoleran, cenderung eksklusif dan menganggap kebenaran hanya ada pada kelompok mereka. Kegigihannya dalam membendung paham radikal ini terekam dalam bukunya yang berjudul As-Salafiyyah; Marhalah Zamaniyyah Mubarokah la Mazhab Islamiyun dan al-La Mazhabiyyah: Akhtoru Bid'atin Tuhaddidus Syariah Islamiyyah.
Selain hal itu, beliau juga salah satu ulama yang menjadi rujukan kalangan Ahlussunnah Waljamaah dalam bidang akidah. Bahkan ada menyebut beliau sebagai ghazaliyu-l-ashr  atau Imam Ghozali masa kini. Sebutan ini sebetulnya tidaklah berlebihan. Toh nyatanya beliau dapat membuktikan dengan menulis buku yang berjudul Kubra al-Yaqiniyyat al-Kauniyyah.
Sesuatu yang sama sekali baru dalam buku itu adalah, bahwa kerangka aqoid diletakkan sebagai basis penangkal aliran pemikiran yang sedang meruyak di era modern ini, seperti teori evolusi Darwin, filsafat dialektika, dan lain sebagainya.
Jadi ketika membaca buku ini, pembaca akan disuguhkan banyak pencerahan yang baru. Tak heran, jika salah seorang muridnya yang juga dai beken di kawasan Eropa, Habib Ali Al-Jufri pernah berujar: "Saya belum pernah menjumpai pembaharuan dasar-dasar agama (ushuluddin) yang benar-benar komprehensif di era sekarang ini kecuali dalam buku Kubra al-Yaqiniyyah karangan Dr. Buthi.
Dalam bidang tasawuf pun, juga tidak bisa diragukan lagi kemampuan intelektual-spiritual Dr. Buthi ini. Syarah kitab Al-Hikam karangan Ibnu 'Athoillah al-Iskandary yang terdiri dari lima jilid dengan ketebalan rata-rata 400-an halaman menjadi saksi bisu akal hal itu. Alkisah, ketika Dr. Buthi mempunyai keinginan untuk mensyarahi kitab tersebut, beliau tidak bisa memulai menulis sebelum berziarah ke makam Imam Ibnu 'Athoillah dan memohon kepada Allah Swt. supaya diberi jalan mudah dalam mensyarai kitab itu.
Ketika sedang merebak isu penyelewengan jihad atas nama agama, Dr. Buthi juga sangat tanggap dalam menyikapi masalah ini. Konsep jihad, menurutnya, telah ada semenjak Rasulullah Saw. berada di Kota Mekah. Landasan teologis yang dijadikan pijakan oleh Dr. Buthi di antaranya adalah QS Al-Furqan [25]: 52 yang berbunyi:
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar”
Menurut sebagian besar ulama tafsir, seperti Ibnu Zubayr, Hasan al-Bashri, ‛Ikrimah, ‛Atha’ dan Jabir ayat ini turun di kota Mekah. Sedangkan maksud kata "jihad" dalam ayat itu ialah perintah Allah Saw. kepada Rasul-Nya untuk berjihad dengan memperkenalkan Al-Quran serta menyampaikan segenap isinya kepada kafir Quraisy, berdakwah kepada mereka untuk masuk Islam dengan tanpa rasa takut atas akibat yang akan ditanggungnya nanti dan tabah dalam menghadapai segala macam siksaan. Jihad yang seperti inilah yang menjadi spirit hadits: “Afdlolul jihâd an-tujâhid nafsaka wa hawâka fî dzâtillâhi ta‛âlâ” (jihad yang paling utama adalah jihad melawan hawa nafsu dalam jalan menuju Allah SWT) (HR. Al-Dailamî).
Masih menurut Dr. Buthi, jihad disyariatkan tidak untuk memberangus kekafiran di muka bumi ini. Akan tetapi,  alasan (ʻillat) diperanginya orang-orang kafir itu adalah karena kemakarannya. Uraian yang mendalam seputar jihad ini bisa ditemui dalam salah satu bukunya yang berjudul al-Jihad fil Islâm Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numârisuhu.
Tidak dapat dipungkiri, akhir-akhir ini Dr. Buthi memang terlihat pro dengan pemerintah dan anti terhadap pemberontak. Beliau melakukan hal itu semata-mata karena tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Bukan karena membela Asad ataupun pro dengan Syiah.
Terlepas dari semua itu, Al-Buthi tetaplah seorang ulama yang berwawasan luas, mempunyai ilmu yang dalam, dipadu dengan hati yang ikhlas dan bersih menempatkannya sebagai ulama berpengaruh yang dicintai masyarakat dan disegani penguasa.  Selamat jalan syech Al-Buthi, semoga Allah Swt. mempertemukanmu dengan tokoh-tokoh pujaanmu, Muhammad Saw. dan para sahabatnya, Imam As-Syafi'i, Imam Abu Hasan al-Asy'ari, Imam Al-Ghozali dan Imam Ibnu 'Athoillah al-Iskandari.

ZA Fanani
Kader muda NU di Yaman; mahasiswa Al-Ahgaff University, Hadramaut Yaman
 
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,43306-lang,id-c,kolom-t,Selamat+Jalan+Syekh+Ramadhan+Al+Buthi-.phpx

Mbah Wahab, NU, dan Khilafah: Sebuah Koreksi

========
Mbah Wahab, NU, dan Khilafah: Sebuah Koreksi
=============================
Ide tentang penegakan kembali khilafah, sebagaimana saya jelaskan dalam disertasi, disuarakan dengan sangat lantang dan nyaring oleh kelompok Islam kanan, utamanya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Secara berulang-ulang kelompok ini, lewat tulisan, orasi, dan lainnya, menyuarakan pentingnya menegakka khilafah. Khilafah menjadi mainstream perjuangan, bahkan ideologi politiknya, dengan klaim sebagai solusi atas seluruh problem manusia di dunia ini.

Kelompok ini dengan semangat militan berupaya merekrut kader sebanyak-banyaknya, tak terkecuali kader dari ormas-ormas keagamaan baik NU maupun Muhammadiyah. Dalam upaya merekrut kader dari kalangan NU, mereka menggunakan berbagai argumen yang diharapkan agar kader-kader NU yang tulus dan lugu ini tertarik menjadi pengikutnya. Nampaknya, argumen-argumen yang dikemukakan oleh aktivis HTI juga dapat memikat kader NU, terbukti beberapa kader NU menjadi anggota Hizbut Tahrir (termasuk penulis yang dulu juga pernah menjadi anggota Hizbut Tahrir).
Argumen yang dijadikan pijakan oleh aktivis HTI untuk menundukkan kader dan warga NU paling tidak ada dua: pertama; argumen historis kelahiran NU. Salah seorang aktivis HTI, Irkham Fahmi dalam tulisannya, “Membongkar Proyek Demokrasi ala PBNU abad 21” menjelaskan bahwa cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama adalah cita-cita agung para ulama nusantara yang tertuang dalam komite khilafah Indonesia.
Selanjutnya Irkham Fahmi menegaskan bahwa KH. Sholahuddin Wahid mengakui keabsahan sejarah ini, sekalipun Gus Sholah menolak relevansi khilafah dengan Indonesia. Masih banyak lagi tulisan-tulisan sejenis apabila kita berselancar di internet seperti judul, “KH. Abdul Wahab Hasbullah, Tokoh NU & Inisiator Konferensi Khilafah 1926,” atau judul, “NU, NKRI dan Khilafah,” demikian pula judul, “Warga NU Rindu Syariah dan Khilafah,” judul lain, “Respon NU atas Runtuhnya Khilafah,” bahkan tidak hanya mencatut NU, tapi juga ormas Islam lain seperti judul, “Generasi Awal Muhammadiyah & NU Ternyata Pendukung Khilafah.” Basis argumen dari semua judul di atas adalah masalah komite khilafah.
Untuk menjawab argumen di atas, secara historis memang pernah terbentuk apa yang disebut komite khilafah atau CCC (Central Comite Chilafah). Namun yang perlu diklarifikasi adalah, komite ini bukan dibentuk Mbah Wahab, tapi bentukan berbagai kelompok Islam (SI, Muhammadiyah, al-Irsyad, PUI, dll) yang pada waktu itu mempunyai suara mayoritas. Sekalipun bisa jadi Mbah Wahab dan ulama lain dari kalangan pesantren pernah diajak untuk masuk komite ini. Bukti bahwa komite khilafah bukan bentukan Mbah Wahab dan para ulama pesantren adalah pada kongres-kongres selanjutnya para ulama ini tidak mengikutinya.
Justru yang perlu ditegaskan, selain ada komite khilafah, terdapat komite Hijaz yang memang genuine atau asli bentukan para ulama pesantren yang nantinya bergabung dengan NU. Komite Hijaz ini lahir, selain tidak sepahamnya Mbah Wahab dengan misi komite khilafah, juga karena kurang aspiratifnya komite ini, juga semangat memperjuangkan tradisi ala ulama seperti ziarah kubur, merayakan maulid Nabi, berislam dengan cara bermazhab agar tidak diberangus oleh kelompok al-Saud atau Wahhabi yang saat itu sampai sekarang berkuasa di Hijaz dan sekitarnya.
Komite Hijaz inilah salah satu cikal bakal kelahiran NU. Akhirnya menjadi tidak benar kalau cikal bakal kelahiran NU adalah dari komite khilafah yang berusaha melakukan pertemuan internasional untuk membahas runtuhnya Turki Utsmani.
Argumen kedua diambilkan dari teks-teks khilafah dalam kitab kuning. Para aktivis HTI memahami bahwa ulama dan kader NU sangat mencintai kitab kuning yang ini dibuktikan dengan diajarkannya kitab-kitab tersebut di pesantren-pesantren NU, sekaligus kitab-kitab ini menjadi rujukan dalam bahtsul masail NU ketika menghadapi suatu masalah baru dalam keagamaan. Salah seorang penulis dan aktivis HTI, Musthafa A. Murtadlo menulis sebuah buku saku untuk memperkuat argumentasi khilafah dengan mengumpulkan pendapat-pendapat para ulama salaf tentang hal tersebut. Inti dari buku saku tersebut adalah semua ulama salaf dalam kitab kuning yang menjadi rujukan NU mendukung ide khilafah. Lihat Musthafa A. Murtadlo, Aqwal Para Ulama’ Tentang Wajibnya Imamah (Khilafah).
Argumen kedua ini kalau tidak dicermati secara jeli, maka para kader NU yang tulus dan bergelut dengan kitab kuning akan sangat mempercayainya kemudian mengapresiasi atau bahkan ikut HTI. Namun yang perlu diketahui bahwa konsep atau pemikiran tentang kepemimpinan umat Islam dari para ulama salaf tersebut tidak sama persis dengan yang ditelorkan oleh Hizbut Tahrir.
Selain itu, dalam kitab-kitab klasik tersebut hampir semua tema besarnya menyebut kata al-imamah atau al-imam al-a’zhom. Penyebutan khilafah lebih jarang, hal ini berbeda dengan Hizbut Tahrir yang lebih sering menyebut khilafah sebagai jargón perjuangannya. Bisa diambil contoh dalam kitab-kitab klasik mazhab al-Syafi’i seperti kitab al-Umm juz 1/188 karya al-Syafi’i, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 5 karya al-Mawardi, Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muttaqin juz 10/42 karya al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin juz 1/292 karya al-Nawawi, Asna al-Mathalib juz 19/352 karya Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab juz 2/187 karya Zakariya al-Anshari, Minhaj al-Thullab juz 1/157 karya Zakariya al-Anshari, Tuhfat al-Muhtaj juz 9/74 karya Ibn Hajar a-Haytami, Mughni al-Muhtaj juz 5/409 karya Ahmad al-Khathib al-Syarbini, Nihayat al-Muhtaj juz 7/409 karya al-Ramli.
Terakhir dan yang terpenting, untuk menjawab argumen yang kedua sekaligus memperkuat bantahan untuk argumen yang pertama. Kalau para kader NU yang hidup sekarang ini ketika memahami teks-teks kitab kuning tentang imamah atau imam a’zhom tidak melewati model pemahaman sekaligus “bertawassul” lewat Mbah Wahab (KH. Wahab Hasbullah), maka akan mudah tertarik untuk ikut memperjuangkan khilafah ala HTI.
Perlu diketahui, Mbah Wahab dalam pidatonya di parlemen pada tanggal 29 Maret 1954 yang dimuat dalam majalah Gema Muslimin (copy arsip ada di penulis) dengan judul, “Walijjul Amri Bissjaukah” mengatakan,
“Saudara2, dalam hukum Islam jang pedomannja ialah Qur’an dan Hadits, maka di dalam kitab2 agama Islam Ahlussunnaah Waldjama’ah jang berlaku 12 abad di dunia Islam, di situ ada tertjantum empat hal tentang Imam A’dhom dalam Islam, jaitu bahwa Imam A’dhom di seluruh dunia Islam itu hanja satu. Seluruh dunia Islam jaitu Indonesia, Pakistan, Mesir, Arabia, Irak, mupakat mengangkat satu Imam. Itulah baru nama Imam jang sah, jaitu bukan Imam jang darurat. Sedang orang jang dipilih atau diangkat itu harus orang jang memiliki atau mempunyai pengetahuan Islam jang semartabat mudjtahid mutlak. Orang jang demikian ini sudah tidak ada dari semendjak 700 tahun sampai sekarang…. Kemudian dalam keterangan dalam bab jang kedua, bilamana ummat dalam dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom jang sedemikian kwaliteitnja, maka wadjib atas ummat Islam di-masing2 negara mengangkat Imam jang darurat. Segala Imam jang diangkat dalam keadaan darurat adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti bung Karno misalnja, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah Walijjul Amri.”
Pidato Mbah Wahab di atas setidaknya dapat ditarik tiga pemahaman: pertama, bahwa mengangkat kepemimpinan tunggal dalam dunia Islam baik yang disebut dengan imamah maupun khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak menurut Mbah Wahab sudah tidak ada lagi semenjak 700 tahun sampai sekarang. Kedua, dari pidato tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa presiden Indonesia berikut NKRI adalah sah secara hukum Islam. Ketiga, pidato ini sekaligus menafikan pendapat bahwa Mbah Wahab bercita-cita menegakkan kembali khilafah dengan membentuk komite khilafah, karena terbukti Mbah Wahab menjelaskan bahwa sudah 700 tahun tidak ada orang yang setingkat mujtahid untuk menduduki kursi sebagai Imam atau khalifah.
Lantas, apa ratio legis Mbah Wahab dengan mengajukan argumen bahwa khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi sejak 700 tahun. Kalau kita membuka lembaran kitab kuning semisal al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi, di situ dijelaskan bahwa ahlul imamah (orang yang berkualifikasi menjadi imam) harus memenuhi syarat adil, berilmu yang mampu untuk berijtihad, selamatnya pancaindera dan fisik dari kekurangan, wawasan kepemimpinan yang luas, keberanian dan nasab Quraisy. Poin tentang berilmu yang mampu untuk berijtihad inilah nampaknya yang dijadikan pijakan Mbah Wahab.
Menarikanya lagi, dalam pidato tersebut, Mbah Wahab menjelaskan lebih lanjut bahwa karena syarat menjadi imam a’dhom (seperti dalam al-Mawardi) sudah tidak terpenuhi, maka Soekarno absah menjadi pemimpin RI dengan gelar waliyyul amri ad-daruri bissyaukah. Artinya syarat pemimpin yang ideal diturunkan menjadi syarat minimal realistis. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan lain bahwa Gus Dur yang mempunyai kekurangan fisik juga absah menjadi presiden, karena memang presiden tidak sama dengan imam a’dhom sehingga syarat ideal seperti dalam al-Mawardi tidak diperlukan.
Dari uraian singkat di atas, warga dan kader NU sudah tidak perlu lagi terlibat dengan ikut memperjuangkan ide khilafah. Justru yang penting adalah mengisi NKRI supaya bersih dari korupsi dan menjadi negara yang adil dan sejahtera.  Di luar itu, soal kepemimpinan akhir zaman yang mengglobal, kita serahkan saja kepada a waited savior yang dipercaya oleh semua agama dengan berbagai sebutannya: al-Mahdi (Islam), Christos/Christ (Kristen), Ha-Mashiah (Yahudi), Buddha Maytreya (Budha), Kalki Avatar (Hindu), atau Shousyant (Majusi/Zoroaster). Terlebih hadis yang menjelaskan tentang Imam Mahdi ini mutawatir tidak seperti hadis tentang khilafah (Lihat kitab Nazhmul Mutanatsir minal Haditsil Mutawatir karya Syekh Muhammad bin Ja'far Al- Kattani, dan Asy-Syaukani yang berjudul At-Taudhih Fi Tawaturi Maa Ja-a Fil Mahdil Muntazhor wad-Dajjal wal-Masih). Dengan cara demikian, rakyat Indonesia tidak akan terpecah pikiran dan energinya untuk membongkar NKRI, tapi justru membangunnya demi keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian untuk semua warga bangsa. Wallahu a’lam.


AINUR ROFIQ AL-AMIN*Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya; pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur; penulis buku Membongkar Proyek Khilafah ala HTI di Indonesia.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,43446-lang,id-c,kolom-t,Mbah+Wahab++NU++dan+Khilafah++Sebuah+Koreksi-.phpx

Jumat, 22 Maret 2013

Shalat Witir

==========
Shalat Witir
==========

Diantara shalat sunnah yang sangat dianjurkan adalah shalat witir. Witir secara bahasa berarti ‘ganjil’. Karena shalat ini memang harus dilaksanakan dalam jumlah ganjil.
Shalat witir tidak dianjurkan berjama’ah kecuali witir pada bulan Ramadhan. Meskipun witir boleh dilaksankan hanya satu raka’at (sebagai jumlah minimal) tetapi yang utama dilakukan tiga rakaat dan paling utama adalah lima raka’at, kemudian tujuh raka’at dan lalu sembilan raka’at dan yang paling sempurna adalah sebelas raka’at (sebagai jumlah maksimal). Tidak diperbolehkan shalat witir lebih dari jumlah tersebut.
Jika seseorang melaksanakan witir lebih tiga raka’at, maka dilakukan setiap dua raka’at salam dan ditutup dengan satu raka’at. Bila melaksanakan tiga raka’at boleh dilakukan langsung raka’at seperti shalat maghrib. Tetapi sebagian ulama melihat bahwa dipisah lebih utama, yaitu dua rakaat salam lalu satu rakaat, sebagaimana keterangan hadits "Janganlah menyamakan witirmu dengan Maghrib". Namun demikian tiga raka’at berturu-turut lebih utama dibandingkan hanya satu rakaat.
Pada dasarnya witir merupakan shalat penutup bagi shalat malam. Artinya, witir sebaiknya dilaksanakan setelah melakukan berbagai shalat sunnah malam misalkan shalat tahajjud, hajat, istikharah dan lain sebagainya. Itulah fungsi longgarnya waktu shalat witir semenjak usai shalat Isya’ hingga menjelang waktu subuh, dengan harapan menjadikan witir sebagai pungkasan segala shalat malam.  Sebagaimana perintah Rasulullah saw dalam haditsnya:
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم اجعلوا أخرصلاتكم بالليل وترا
Kerjakanlah shalat witir sebagai shalat malam terakhirmu
Namun demikian, bagi mereka yang merasa khawatir tidak mampu melaksanakan witir di tengah atau akhir malam, hendaklah melaksanakannya setelah salat Isya', atau setelah salat Tarawih pada bulan Ramadhan dengan bilangan ganjil (3, 5, atau 7). Dan jikalau ternyata di tengah malam kemudian mereka melaksanakan shalat malam lagi (tahajjud, hajat dll) maka hendaklah menutupnya dengan shalat witir dalam jumlah genap (2 atau 4) sehingga tetap terjaga keganjilannya. Begitulah pesan Rauslullah saw. dalam sabdanya "Tidak ada witir dua kali dalam semalam", karena jikalau shalat witir (ganjil) di tambah witir (ganjil) lagi  maka akan menjadi genap.
Adapun niat shalat witir untuk dua rakaat adalah:
 أصلى سنة من الوتر ركعتين لله تعالى
ushollii sunnatam minal witri rok'ataini lillaahhi ta'aalaa.
"Aku niat sholat sunnat witir 2 roka'at karena Allah Ta'ala".
Dan  Niat yang 1 roka'at:
أصلى سنة من الوتر ركعة لله تعالى
ushollii sunnatal witri rok'atal lillaahhi ta'aalaa.
"Aku niat sholat sunnat witir satu roka'at karena Allah Ta'ala".

Adapun Surat yang disunnahkan dibaca sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw dalam witir yang tiga raka’at adalah Sabbih-isma Rabiika pada rekaat pertama dan Al-Kafiruun pada rekaat kedua. Sedangkan untuk satu reka’at yang terpisah adaah surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-nas.
Sedangkan setelah sholat witir disunnahkan membaca do'a sesuai hadist sahih riwayat Abu  Dawud:
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ 3 X
اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِرِضَاك مِنْ سَخَطِك وَبِمُعَافَاتِك مِنْ عُقُوبَتِك وَأَعُوذُ بِك مِنْك لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْك أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْت عَلَى نَفْسِك .
Allahumma inni a'udzu biridhaka min sakhathika wa bi mu'afatika min 'uqubatika wa a'udzubika minka la uhshi tsana'an 'alaika anta kama atsnaita 'ala nafsika
Demikianlah keterangan tentang shalat witir.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,42630-lang,id-c,syariah-t,Shalat+Witir-.phpx

Shalat Dluha

=============
Shalat Dluha
===============
Shalat dhuha adalah shalat sunat yang dikerjakan pada waktu dhuha. Yaitu waktu ketika matahari terbit hingga terasa panas menjelang shalat Dzuhur. Mungkin dapat diperkirakan sekitar pukul tujuh sampai pukul sebelas. Shalat dhuha sebaiknya dilakukan setelah melewati seperempat hari. Artinya, jika satu hari (12 jam, terhitung dari pukul 5 pagi – pukul 5 sore) dibagi empat maka shalat dhuha sebaiknya dilakukan pada seperempat kedua dalam sehari, atau sekitar pukul sembilan. Sehingga setiap seperempat hari selalu ada shalat. Terhitung dari shubuh sebagai shalat pertama mengisi waktu paling dini. Kemudian shalat dhuha sebagai shalat kedua. Ketiga shalat dhuhur dan keempat shalat ashar. Jika demikian maka dalam satu hari keidupan kita tidak pernah kososng dari shalat.
Shalat dhuha memiliki beberapa fadhilah yang pertama adalah mengikuti sunnah Rasulullah saw. sebagaimana beliau berwasiat kepada Abu Hurairah, ia berkata
 عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال : " أوصاني خليلي بثلاثٍ : صيامِ ثلاثةِ أيامٍ من كل شهر ، وركعتي الضحى ، وأن أوتر قبل أن أنام " ( رواه البخاري 
Rasulullah saw, kekasihku itu berwasiat padaku tiga hal pertama puasa tiga hari setiap bulan, kedua dua rakaat dhuha (setiap hari), ketiga shalat witir sebelum tidur.
Diantara fadhilah yang lain adalah menjadikan diri bersih dari dosa yang memungkinkan terkabulnya segala do’a. Sebagaimana hadits Abu Hurairoh 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : " مَنْ حَافَظَ عَلَى سُبْحَةِ الضُّحَى غُفِرَتْ ذُنُوبُهُ ، وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبَدِ الْبَحْرِ "
Barang siapa menjaga shalat dhuha, maka Allah akan mengampunin segala dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.
Dan yang tidak kalah penting adalah fadhilah yang langsung ditegaskan oleh Allah melalui Rasulullah saw dalam hadits Qudsi
 عن أبي الدرداء وأبي ذرِّ ( رضي الله عنهما ) عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : عن الله تبارك وتعالى أنه قال : ابن آدم ، اركع لي أربع ركعاتٍ من أول النهار أكفك آخره " ( رواه الترمذي )
Dari Abi Darda’ dan Abi Dzar dari Rasulullah saw (langsung) dari Allah Tabaraka wa Ta’ala “ruku’lah untukku empat rakaat di permulaan hari (pagi), maka Aku akan mencukupimu di sisa harimu”  
Shalat dhuha minimal dilaksanakan dua raka’at, dan yang baik adalah empat rekaat sedangkan sempunanya adalah enam raka’at, dan yang paling utama adalah ukuran maksimal yaitu delapan rakaat.Shalat dhuha sebaiknya dilakukan dua rakaat untuk satu kali salam, walaupun boleh melangsungkannya dalam empat raka’at sekaligus. Untuk dua rakaat shalat dapat dimulai dengan niat أصلى سنة الضحى ركعتين لله تعالى  Ushalli sunnatad dhuha rak’ataini lillahi ta’ala. Aku niat shalat dua dua raka’at karena Allah.
Kemudian dilanjutkan dengan bacaan al-Fatihah dan disusul kemudian surat was-Syamsi wa dhuhaha untuk raka’at pertama dan qul ya ayyuhal kafirun  untuk raka’at kedua. Demikianlah selanjutnya diulang dengan bacaan surat semampunya.Adapun bacaan do’a dalam shalat dhuha sangatlah beragam akan tetapi yang masyhur adalah
 اللَّهُمَّ إنَّ الضُّحَى ضَحَاؤُك وَالْبَهَا بَهَاؤُك وَالْجَمَالُ جَمَالُك وَالْقُوَّةُ قُوَّتُك وَالْقُدْرَةُ قُدْرَتُك وَالْعِصْمَةُ عِصْمَتُك اللَّهُمَّ إنْ كَانَ رِزْقِي فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَيَسِّرْهُ وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضَحَائِكَ وَبِهَائِك وَجَمَالِك وَقُوَّتِك وَقُدْرَتِك آتِنِي مَا آتَيْت عِبَادَك الصَّالِحِينَ
allahumma innad dhuhaa dhuha uka, wal bahaa bahaa-uka, wal jamaala jamaa-luka, wal quwwaata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ishmata ishmatuka. allahumma inkaana rizqi fis-samaa-i fa-anzilhu, wainkaana fil-ardli fa akhrijhu, wainkaana mu’siron fayassirhu, wainkaana charooman fathohhirhu, wainkaana ba’iidan faqorribhu, bichaqqi dhuhaaika, wajaamalika, wabahaaika, waqudrotika, waquwwatika, waishmatika, aatini maa’ataita ‘ibaadakash-sholichiin. 
(ya allah sesungguhnya waktu dhuha adalah dhuha-mu, dan keindahan adalah keindahan-mu, dan kebagusan adalah kebagusan-mu, dan kemampuan adalah kemampuan-mu, dan kekuatan adalah kekuatan-mu, serta perlindungan adalah perlindungan-mu. ya allah apabila rizqiku berada dilangit maka mohon turunkanlah, bila di bumi mohon keluarkanlah, bila sulit mudahkanlah, bila jauh dekatkanlah, dan bila haram bersihkanlah, dengan haq dhuha-mu, keindahan-mu, kebagusan-mu, kemampuan-mu, kekuatan-mu dan perlindungan-mu, berikanlah kepadaku apa saja yang engkau berikan kepada hamba-hambamu yang sholeh).

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,42881-lang,id-c,syariah-t,Shalat+Dhuha-.phpx

Shalat Sunnah Isyraq

==========
Shalat Sunnah Isyraq
===============
Shalat sunnah isyraq adalah shalat sunnah dua raka’at yang dikerjakan setelah matahari terbit sekitar satu tombak, atau kira-kira lima belas menit setelah matahari terbit. Shalat ini memiliki nilai keistimewaan tersendiri jika pra syaratnya dipenuhi yaitu shalat shubuh berjamaa’h yang diteruskan dengan berdzikir hingga menjelang waktu syuruq (matahari terbit). Sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ  تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
"Siapa yang shalat Shubuh dengan berjamaah, lalu duduk berdzikir kepada Allah sehingga matahari terbit, kemudian shalat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala haji dan umrah sempurna (diulang tiga kali)." (HR. Al-Tirmidzino. 971).
Hadits ini menerangkan kesunnahan shalat dua rekaat setelah matahari terbit. Hanya saja siapa yang mengerjakan sunnah shalat sunnah syuruq tanpa melengkapinya dengan prasyarat tersebut (jamaah subuh dan dzikir) maka pahala yang ada hanya pahala shalat sunnah tanpa pahala haji dan umrah.
Adapun niatnya sebagaimana diterangkan Syaikh Nawawi dalam NIhayatuz Zain adalah;
أصلى سنة الإشراق ركعتين لله تعالى
Ushalli sunnatal isyraqi rak’ataini lillahi ta’ala.
Aku niat shalat sunnah isyraq dua rakaat karena Allah.
Kemudian pada rakaat pertama setelah alfatihah, sebaiknya membaca surat Wad-Dhuha dan pada rakaat kedua membaca  Alam Nasyrakh. Sebaiknya shalat ini dilakukan sesegera mungkin mengingat waktu yang terbatas. Karena setelah matahari kelihatn mulai meninggi, maka tibalah saatnya waktu shalat dhuha.
Adapun bacaan do’a-nya sebagaimana termaktub dalam Nihayatuz Zain adalah sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ يَا نُوْرَ النُّوْرِ بِالطُّوْرِ وَكِتَابٍ مَسْطُوْرٍ فِيْ رِقٍّ مَنْشُوْرٍ وَالبَيْتِ المَعْمُوْرِ أَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَنِيْ نُوْرًا أَسْتَهْدِيْ بِهِ إِلَيْكَ وَأَدُلُّ بِهِ عَلَيْكَ وَيَصْحَبُنِيْ فِيْ حَيَاتِيْ وَبَعْدَ الْاِنْتِقَالِ مِنْ ظَلاَم مِشْكَاتِيْ وَأَسْأَلُكَ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَنَفْسِ مَا سِوَاهَا أَنْ تَجْعَلَ شَمْسَ مَعْرِفَتِكَ مُشْرِقَةً بِيْ لَا يَحْجُبُهَا غَيْمُ الْأَوْهَامِ وَلَا يَعْتَرِيْهَا كُسُوْفُ قَمَرِ الوَاحِدِيَّةِ عِنْدَ التَّمَامِ بَلْ أَدِمْ لَهَا الْإِشْرَاقَ وَالظُهُوْرَ عَلَى مَمَرِّ الْأَيَّامِ وَالدُّهُوْرِ وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتِمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ اللهم اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَلِإِخْوَاِننَا فِي اللهِ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا أَجْمَعِيْنَ

 "Ya Allah, Wahai Cahayanya Cahaya, dengan wasilah  bukit Thur dan Kitab yang ditulis  pada lembaran yang terbuka, dan dengan wasilah  Baitul Ma'mur, aku memohon padamu atas cahaya yang dapat menunjukkanku kepada-Mu. Cahaya yang dapat mengiringiku hidupku dan menerangiku setelah berpindah (ke alam lain; bangkit dari kubur) dari kegelapan liang (kubur) ku. Dan aku meminta padaMu dengan wasilah matahari beserta cahayanya di pagi hari, dan kemulyaan yang wujud pada selain matahari, agar Engkau menjadikan matahari ma'rifat padaMu (yang ada padaku) bersinar menerangiku, tidak tertutup oleh mendung-mendung keraguan, tidak pula terlintasi gerhana pada rembulan kemaha-esaan dikala purnama. Tapi jadikanlah padanya selalu bersinar dan selalu tampak, seiring berjalannya hari dan tahun. Dan berikanlah rahmat ta'dzim Wahai Allah kepada junjungan kami Muhammad, sang pamungkas para nabi dan Rasul. Dan segala Puji hanya milik Allah tuhan penguasa alam. Ya Allah ampunilah kami, kedua Orang tua kami serta kepada saudara-saudara kami seagama seluruhnya, baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal".

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,43198-lang,id-c,syariah-t,Shalat+Sunnah+Isyraq-.phpx

Kisah Masjid Dliror

============
Kisah Masjid Dliror
===============

Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, beliau merasakan pentingnya membangun rumah ibadah yang dapat digunakan umat Islam bersama-sama. Oleh sebab itu, ditemani para sahabat, Rasulullah membangun masjid pertama dalam sejarah Islam yang kemudian dikenal dengan nama masjid Quba’.

Sebagaimana digambarkan oleh para sejarawan, Masjid Quba’ memiliki arsitektur yang sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari tanah liat, tiang dan atap dari pohon dan pelepah kurma serta hanya berlantaikan tanah. Ketika kaum Muhajirin berniat memugar masjid tersebut Rasulullah menolaknya.

Walaupun secara lahiriah masjid Quba’ sangat sederhana namun Allah menyebut masjid ini sebagai masjid yang dibangun atas dasar ketakwaan sejak awal berdirinya. Sementara orang-orang yang berada di dalamnya adalah orang-orang yang selalu membersihkan diri mereka (QS. Attaubah [9]:  108).

Setelah masjid Quba’ berdiri dan menjadi pusat kegiatan umat Islam mulailah orang-orang munafik merasa tidak tenang atas persaudaraan yang erat di kalangan umat Islam. Mereka lantas membangun masjid Dhirar yang bagus di Madinah untuk memecah belah persaudaraan dan melemahkan persatuan umat Islam.

Allah melukiskan motivasi dibalik didirikannya masjid Dhirar tersebut dalam firman-Nya: “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang Mukmin) dan karena kekafiran-(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang Mukmin, serta menunggu/mengamat-amati kedatangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.” (QS. At-Taubah [9]: 107).

Mengetahui siasat buruk orang-orang munafik, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk meruntuhkan masjid tersebut. Kemudian Lokasi bangunan masjid Dhirar dijadikan tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang.

Demikian akhir dari masjid yang didirikan atas dasar kemunafikan dan niat yang tidak baik, niat untuk memecah belah umat Islam, melakukan propaganda-propaganda yang memicu permusuhan di antara sesama muslim.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,43242-lang,id-c,hikmah-t,Kisah+Masjid+Dhirar-.phpx

Ketika Harun ar-Rasyid Ngaji ke Imam Malik

==========
Ketika Harun ar-Rasyid Ngaji ke Imam Malik
=========================
Khalifah Harun ar-Rasyid termasuk pemimpin yang sangat dihormati rakyatnya. Tentu wibawa ini tak dicapainya secara gratis. Prestasi dalam pembangunan ekonomi, politik, budaya, dan pengetahuan tergolong gemilang.

Puncak kekuasaan dan kharisma kepribadiannya membuat setiap perintah sang khalifah dipatuhi semua orang. Hanya orang-orang khusus yang berani membangkang dari keinginan-keinginannya. Selain Abu Nawas, Imam Malik adalah salah satu orang yang bernyali istimewa ini.

Khalifah suatu hari mengutus al-Barmaki menjemput Imam Malik untuk mengajar di istananya.
“Ilmu pengetahuan harus didatangi, bukan mendatangi,” jawab Imam Malik atas perintah tersebut. Utusan itu akhirnya pulang ke Iraq dan menyampaikan pesan ini kepada Khalifah.

Ketika menunaikan haji, Khalifah sempat berjumpa Imam Malik dan menyuruhnya membacakan kitab karangannya. Imam Malik tetap menolak dan memintanya hadir di majelis pengajiannya.

“Bagaimana jika di rumah Anda saja?” bujuk Khalifah.

“Rumah saya reyot, tak layak untuk seorang pemimpin besar seperti Baginda,” kata Imam Malik merendah.

Pada momen kunjungan Khalifah ke Madinah, pakar hadits ini sekali lagi dijemput untuk membacakan al-Muwaththa’ di istana. Dengan agak berat hati ia lalu memenuhi ajakannya.

“Saya berharap Baginda bukan orang pertama yang tidak menghormati ilmu. Sungguh, saya tak bermaksud menolak permintaan Baginda. Saya hanya minta Baginda menghargai ilmu agar Allah menghargai Baginda,” tutur Imam Malik.

Khalifah pun akhirnya ikut Imam Malik ke rumah. Khalifah duduk di kursi spesialnya. Ia sempat merasa terganggu dengan banyaknya peserta pengajian, namun Imam Malik berutur, “Jika orang lain tak boleh menyimak kitab ini maka Allah akan menjauhkan rahmat darinya.”

Pengajian dimulai. Imam Malik menyuruh muridnya membaca al-Muwaththa’. Sebelum kitab dibaca tiba-tiba keluar dari lisan Imam Malik: “Para pencinta ilmu sangat menghargai ilmu. Tak seorangpun dapat duduk lebih tinggi dari ilmu.”

Mendengar sindiran itu, Khalifah pun turun dari kursi dan duduk di lantai bersama peserta yang lain. 

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,43213-lang,id-c,hikmah-t,Ketika+Harun+ar+Rasyid+Ngaji+ke+Imam+Malik-.phpx

Berkah Ilmu Tampak Setelah Berkeluarga

==============
Berkah Ilmu Tampak Setelah Berkeluarga
=========================
“Kita sebagai orang tua jangan sampai ikut ikutan budaya yang tidak benar, jangan tinggalkan pesantren, karena pesantren merupakan gudang ilmu agama dan sebagai benteng syari’ah.”

Demikian disampaikan Pengasuh Pesantren API Tegalrejo Magelang KH Yusuf Khudori saat menyampaikan mauidloh hasanah pada acara haul KH Mashadi, Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin Desa Maliawan Weding Kecamatan Bonang Demak beberapa waktu lalu.

Gus Yusuf panggilan akrab KH Yusuf Khudlori juga menyitir pendapat Almarhum Hadrotussyaich KH Machrus Ali Lirboyo yang pernah menyatakan keberkahan ilmu akan tampak setelah berkeluarga.
“Saya teringat Hadrotussyaich KH Mahrus Ali saat mengatakan bahwa berkah ilmu itu akan tampak pada seseoran ketika sudah memiliki putra dan putri selaku orang tua yang alumnus pesantren itu anak anaknya dipondokkan di pesantren, maka itulah ciri khas berkahnya ilmu mereka, tetapi sebaliknya jika hanya disekolahkan di pendidikan umum saja maka tidak berkah”demikian nukilan kalimat Gus Yusuf lebih lanjut.

“Setelah di keluarga muncul, maka akan terjun di lingkungan masyarakat dan ada kesinambungan dengan pesantren. Di sini anak anak dan lingkungannya menjadi ketemu dengan keilmuan di pesantren tersebut begitu pula sebaliknya,” paparnya.

Selain dihadiri ribuan jamaah acara haul tersebut juga dihadiri Musytasar PCNU Demak dan pengasuh Pesantren Attaslim Demak KH.M Nurul Huda, Bupati Demak H Dachirin Sa’id, Ketua DPRD Demak KH Muchlasin Anggota Fraksi PKB DPRD Demak Ny Hj Ida Noor Sa’adah dan Muspika Kecamatan Bonang.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,46-id,41674-lang,id-c,pesantren-t,Berkah+Ilmu+Tampak+Setelah+Berkeluarga-.phpx

Membangun Sikap Kritis Santri ala KH Ali Maksum

============
Membangun Sikap Kritis Santri ala KH Ali Maksum
=============================
Yogyakarta, NU Online
“Cara dan semangat Almarhum KH Ali Maksum dalam mendidik santrinya itu sungguh luar biasa. Sebab, beliau sangat ingin agar santrinya jadi orang pintar,”

Demikian dikatakan KH Asyhari Abta, Rais Syuriyah PWNU DIY, dalam tausiyahnya acara haul ke-24 KH Ali Maksum di pelataran Asrama Sakan Thullab Pesantren Krapyak Yogyakarta, Rabu malam, 20 Maret 2013.

“Salah satu cara yang diterapkan Mbah Ali adalah metode yang saya sebut dengan metode paksaan. Maksudnya apa? Yaitu dengan mengutus santri senior untuk menggantikan beliau mengisi pengajian, dan pada saat itulah Mbah Ali memaksa santri-santri tersebut untuk mengajarkan kitab yang belum pernah mereka pelajari sebelumnya,” lanjut Kiai Asyhari.

“Coba kita bayangkan. Seorang santri yang belum pernah belajar kitab Nashoihul ‘Ibad, misalnya, tiba-tiba ditugaskan untuk mengajarkan kitab tersebut, apa yang akan terjadi? “ tanya Kiai Asyhari disambut senyum simpul para jama’ah.

Kiai Asyhari pun kemudian melanjutkan bahwa sebagai seorang santri yang juga pernah mengalami sendiri hal sedemikian, metode paksaan KH Ali Maksum itu mengharuskan dirinya untuk harus selalu mampir ke kamar beliau untuk menanyakan kandungan kitab yang belum dipahami.

Ia menuturkan dulu pernah disuruh mengisi pengajian menggantikan Kiai Ali di sebuah pesantren besar di Jawa Timur. Karena menjadi penceramah badal-nya Kiai Ali, ia pun sudah dikawal Banser di usia yang cukup muda. Sebelum berangkat, ia sudah mempersiapkan catatan meminta kesediaan Mbah Ali untuk men-tashhihnya. Tapi ia malah diminta merekam pengajian yang disampaikan di sana. Dan demikianlah, ia pun pulang dengan membawa oleh-oleh rekaman kaset pengajian.

“Ternyata, setelah saya haturkan kepada beliau, kaset rekaman itu lantas disetel tiap pagi di corong (pengeras suara—red.) milik pondok yang ada di ndalem beliau.”Allah yarhamhu, amiin.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,43228-lang,id-c,daerah-t,Membangun+Sikap+Kritis+Santri+ala+KH+Ali+Maksum-.phpx

Mbah Ali Ma'shum Krapyak Yogya di Mata Para Santri

==============
Mbah Ali di Mata Para Santri
=======================
KH Ali Maksum atau Mbah Ali, semasa hidupnya dikenal sebagai seorang kiai yang memiliki keunikan tersendiri dalam mendidik santri-santrinya. Bukan hanya dekat dengan santri, Mbah Ali juga dekat dengan masyarakat.

Hal tersebut diamini oleh KH. Habib Syakur, pengasuh Pondok Pesantren Al-Imdad, Bantul dalam acara haul Mbah Ali Maksum, Rabu (20/3) kemarin.

“Mbah Ali mendidik santrinya dengan cara yang berbeda dibandingkan kiai-kiai lainnya. Mbah Ali dekat dengan santri dan masyarakat,” Ungkap KH. Habib saat diminta menyampaikan Manaqib Mbah Ali Maksum.

“Sebagai contoh, Mbah Ali itu tak pernah menyuruh saya untuk jamaah Shalat Subuh. Tapi Mbah Ali hanya meminta saya untuk jadi teken (pegangan) waktu beliau naik dan turun masjid. Ya mau tidak mau saya pasti shalat subuh. Sebelum Mbah Ali turun dari masjid ya saya tetap berada di Masjid, menunggu Mbah Ali,” tambahnya lagi.

Dalam kesempatan itu juga, KH. Habib mengungkapkan, Mbah Ali memiliki firasat yang tajam. Ia bercerita, waktu itu dirinya meminta izin untuk pergi mengaji ke pesantren lain saat bulan puasa tiba.

“Ketika saya sowan dan belum mengatakan apa keinginan saya tersebut, Mbah Ali sudah bilang bahwa saya tidak boleh pergi. Malah saya ditugasi suruh buat jadwal pengajian di bulan puasa. ‘wes li, koe neng kene ae, ora oleh lungo. Saiki, taun iki, koe nggwe jadwal ngaji pondok” (sudah Bib, kamu di sini saja, tidak boleh pergi. Sekarang, tahun ini, kamu buat jadwal mengaji pondok),” ungkap KH. Habib menirukan perintah Mbah Ali. Sontak, ucapan KH. Habib tersebut disambut dengan tawa para hadirin.

Selain KH. Habib, dalam kesempatan haul tersebut, KH. Ikhsanudin, yang pernah nyantri kepada Mbah Ali selama sepuluh tahun juga menceritakan manaqib Mbah Ali. Menurutnya, ada tiga hal yang sangat berkesan tentang Mbah Ali.

“Jika hanya menceritakan tentang Mbah Ali saya rasa satu malam saja tidak cukup. Tiga tahun, bahkan bertahun-tahun pun tak akan cukup. Tapi bagi saya, tiga hal yang sangat berkesan di hati saya,” ujar KH. Ikhsan mengawali ceritanya.

“Mbah Ali itu orangnya disiplin. Kedisiplinan beliau itu luar biasa. Bayangkan saja, sebelum subuh, beliau sudah bangun. Lalu pergi keliling ke kamar-kamar santri dan membangunkannya. Beliau keliling sambil membawa semprotan air. Jadi kalau ada santri yang nggak bangun, maka akan disemprot air oleh Mbah Ali,” Ungkap KH Ikhsan.

Selain disiplin, beliau juga mengungkapkan bahwa Mbah Ali itu orangnya familier dan sangat menjaga kebersihan. “Jadi, an nadofahnya Mbah Ali itu luar biasa,” tambahnya.

Acara haul Mbah Ali yang dilaksanakan tiap tahun tersebut dilaksanakan di pondok pesantren Ali Maksum. Malam itu, ratusan jamaah yang berasal dari berbagai kalangan memenuhi depan pondok Ali Maksum.

Sebelum acara inti,  para jamaah diajak bershalawat bersama Gus Kelik. Krapyak pun berdendang menebarkan doa dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Acara haul  Mbah Ali yang dihadiri oleh ratusan jamaah, merupakan salah satu bukti kecintaan para jamaah terhadap sosok Mbah Ali. Mereka bersama-sama mengirimkan doa dan kerinduan mereka.
Semoga engkau tenang di alam sana Mbah! Kami merindukanmu selalu. 

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,46-id,43235-lang,id-c,pesantren-t,Mbah+Ali+di+Mata+Para+Santri-.phpx

Kedatangan Ketua Umum PBNU ke Istana Dianggap Wajar

=======
Kedatangan Ketua Umum PBNU ke Istana Dianggap Wajar
=========================
Jakarta, NU Online
kedatangan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj ke Istana Negara untuk bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), baik dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PBNU atau Ketua Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) dinilai sebagai sesuatu yang wajar.

“Kami tidak merasa keberatan dengan kedatangan Kiai Said ke Istana Negara," kata seorang aktivis NU Ahmad Joyo Bintoro di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (20/3). Kunjungan itu, menurutnya, merupakan bagian dari cara komunikasi pimpinan Ormas dan Kepala Negara.

Pernyataan ini disampaikannya terkait kritik Ketua Lembaga Kajian dan Survey Nusantara (LAKSNU) Gugus Joko Waskito atas kedatangan KH Said Aqil Siroj dan pimpinan 13 Ormas Islam ke Istana Negara.

"Jika saudara Gugus Joko mengatakan dirinya kader muda NU, saya juga kader muda NU. Menurut saya kunjungan itu adalah bentuk komunikasi pimpinan Ormas dengan pemimpin pemerintahan. Komunikasi antara Ormas yang mewakili masyarakat sebagai anggotanya dengan Presiden atas kedudukannya sebagai Kepala Negara. Itu hal wajar yang tidak perlu diperdebatkan," urai Bintoro.

Dalam keterangannya Bintoro juga meminta sesama aktivis NU untuk menyampaikan kritik dengan sopan santun. Ada adab yang harus diindahkan oleh setiap Nahdliyin, katanya.

Mengenai tudingan Kiai Said sudah mempolitisir NU melalui kedatangannya ke Istana Negara, dengan tegas Bintoro menyampaikan bantahannya.

"Saya menolak anggapan Kiai Said sudah mempolitisir NU. Sebaliknya, saya menganggap kritik atas kedatangan Kiai Said ke Istana penuh muatan politik," pungkas Bintoro.

Lebih lanjut Bintoro juga mengatakan, Ormas Islam itu tidak boleh tidak peduli dengan kondisi dan perkembangan pengelolaan Negara, karena terselenggaranya pemerintahan yang baik merupakan prasyarat terwujudknya penegakan hukum, terbinanya tertib sipil dan terjaminnya masyarakat dalam menjalankan syari’at agama.

Seperti diwartakan, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Kamis (14/3) kemarin memimpin pimpinan 13 Ormas Islam yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) memenuhi undangan Presiden SBY ke Istana Negara.

Dalam pertemuan tersebut selain dilaporkan keberadaan LPOI yang sudah mendapatkan pengakuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), juga disampaikan pernyataan sikap perihal penuntasan sejumlah kasus hukum, pemberantasan narkoba dan terorisme.


Foto: KH Said Aqil Siroj dan Presiden SBY saat menghadiri Munas-Konbes NU di Cirebon, September 2012 lalu.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,43221-lang,id-c,nasional-t,Kedatangan+Ketua+Umum+PBNU+ke+Istana+Dianggap+Wajar-.phpx

Rabu, 20 Maret 2013

Al-Syeikh Hatim Al-Ashomm

===========

Al-Syeikh Hatim Al-Ashomm.

Nama lengkapnya adalah Abu AbduRrahman Hatim bin Alwan, terkenal dengan gelar Al-Asham. Wafat pada tahun 237 H / 751 M, dia termasuk tokoh guru besar (syaikh) khurasan, murid Syaikh Syaqiq, guru Ahmad bin Khadrawaih. Hatim dijuluki Al-Asham (orang yang tuli) bukan karena ia tuli akan tetapi pernah ia berpura-pura tuli karena untuk menjaga kehormatan seseorang hingga ia dijuluki dengan Al-Asham.
Ustadz Abu Ali Ad-Daqaq – semoga Allah merahmatinya, pernah bercerita, “ Seorang wanita pernah datang kepada Hatim. Ia bermaksud menanyakan sesuatu kepadanya. Namun ditengah ia mengutarakan pertanyaan, wanita itu tiba-tiba buang angin (kentut) sehingga membuatnya ia sangat malu. Hatim tahu apa yang berada di balik perasaan tamunya. Dia tidak ingin tamunya bertambah malu karena pendengarannya. Karena itu mencoba menutupinya dengan mengatakan, ‘keraskan suaramu’. Ia berkata demikian karena berpura-pura tuli. Akibatnya, wanita itu senang dan tidak salah tingkah. Ia mengira Hatim tidak mendengarnya. Dan sejak saat itulah ia dijuluki dengan Al-Asham.
Diantara muitara hikmahnya :
1. tiada waktu pagi datang melainkan setan mencercaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggoda, “Apa yang akan kamu makan ?” Apa yang akan kamu pakai ? di manakah kamu akan tinggal.” Saya tidak ingin hanyut dalam jebakan pertanyaan itu, maka saya cukup menjawabnya, “Saya akan makan kematian, mengenakan kain kafan, dan tinggal di liang lahat.
2. pernah suatu hari saya ditanya, “Tidakkah kamu menginginkan sesuatu ?” Maka saya jawab, “Saya ingin selalu sehat dari pagi hingga malam hari”. Ditanyakan lagi, “Bukankah kamu sehat selama seharian ?”. saya jawab, “sehat menurutku adalah tidak menjalankan dosa dari pagi hingga malam”.
3. saya pernah dalam suatu pertempuran. Saya pernah ditangkap oleh seorang tentara turki, kemudian badan saya dilentangkan untuk disembelih. Hati saya tidak merasa takut sedikitpun, bahkan saya menunggu keputusan Allah untukku. Ketika prajurit itu menghunus pedangnya untuk menyembelih diriku, tiba-tiba meluncur sebuah anak panah menembusnya sampai mati sehingga ia terlempar dariku. Sayapun segera berdiri.
4. barang siapa memasuki mazhab kami, hendaklah bersedia menerima empat hal kematian. Mati putih karena lapar, mati hitam karena menanggung penderitaan dari manusia, mati merah karena berbuat ketulusan untuk melawan hawa nafsu, dan mati hijau karena fitnah.

 5. Di antaranya kata-kata hikmahnya lagi:
علمت أن رزقي لا يأكله غيري ، فاطمأنت به نفسي ، وعلمت أن عملي لا يعمله غيري ، فأنا مشغول به ، وعلمت أن الموت يأتي بغتة ، فأنا أبادره ، وعلمت أني لا أخلو من عين الله ، فأنا مستحي منه

 
Ada satu kisah tentang cara shalat HatimAl-Ashomm:
Hatim Al-Asham adalah seorang ahli ibadah dan  sa­ngat bertakwa. Pada suatu hari, ia kedatangan tamu bernama Ishom bin Yusuf. “Bagaimana anda melakukan sholat?” tanya tamunya.
“Apabila waktu shalat tiba, saya segera melakukan wudu lahir dan batin,” jawab Hatim.
“Apakah  perbedaan antara kedua wudu itu?”  tanya Isham bingung.
Sambil memperhatikan wajah tamunya, Hatim berkata, “Wudu  lahir adalah mencuci badan dengan air.  Sedangkan wudu batin adalah mencuci jiwa dengan tujuh sifat. Yaitu taubat, menyesali dosa-dosa masa lalu, melepaskan diri dari ketergantungan pada dunia, menanggalkan pujian  dan penghormatan  pada  selain Allah,melepaskan  diri dari kendali  benda,  membuang rasa dendam kesumat,  dan  me­nyingkirkan  kedengkian. Setelah itu aku menuju  mesjid dan bersiap melaksanakan salat sambil memusatkan panda­ngan  ke kiblat. Aku tampil sebagai pengemis  yang papa seakan-akan Allah di hadapanku, surga di sebelah  kanan­ku, neraka disebelah kiriku, Izrail, si pencabut nyawa, di belakangku, dan titian Shirat dibawah telapak  kakiku. Itulah shalatku yang terakhir. Setelah itu aku berni­at dan bertakbir lalu membaca surah  Al-Fatihah  dengan seksama seraya merenungkan arti setiap kata  dan  ayat. Kemudian aku lakukan rukuk dan sujud dengan penuh kekhusyukan dan kerendahan hati sambil menumpahkan air  mata. Tasyahhud  kulakukan dengan penuh pengharapan, lalu ku­ucapkan  salam dengan ikhlas sepenuhnya. Sejak tiga  ta­hun, salat yang demikianlah yang kulakukan.”
Isham tercengang mendengar jawaban Hatim.
“Hanya Andalah yang melakukan salat seperti itu,” komentarnya.
Tiba-tiba Isham menangis dan meraung sekuat-kuat­nya sambil berdo'a agar dibantu dan diberi kemampuan  me­lakukan ibadah seperti Hatim

Senin, 18 Maret 2013

Memutarbalikkan Sejarah

=============
Memutarbalikkan Sejarah
====================

Setiap menjelang bulan November orang kembali mengungkit sejarah sesuai dengan kepentingan masing-masing. Tetapi sayang penggalian sejarah itu sering kali sambil melakukan penguburan sejarah atau sedikitnya membelokkan  bahkan memutarbalikkan sejarah. Hal itu dilakukan untuk membenarkan tindakan yang keliru di masa lalu. Seterusnya mereka berharap untuk mendapatkan gelar kepahlawanan, seperti yang terjadi belakangan ini.

Sebelum M. Natsir dipromosikan sebagai pahlawan nasional, berbagai ulasan mengenai sejarah PRRI dipublikasikan besar-besaran, sehingga seolah gerakan itu bukan pemberontakan, tetapi semata gerakan kritik terhadap pemerintah pusat. Ketika PRRI-Permesta tidak lagi dianggap pemberontakan maka para pimpinannya seperti Natsir, Safruddin Prawiranegara dan Soemitro Jojohadikukumo, bukan pemberontak, tetapi pengkritik kebijakan pemerintah yang sentralistik. Karena itu mereka mendapat julukan tokoh demokratis, berhadapan dengan Bung Karno yang otoriter.

Ada beberapa inkonsistensi dalam persepsi semacam itu. Pertama, kalau PRRI itu sebuah gerakan kritik, bukan pemberontakan, mengapa melibatkan berbagai panglima daerah, dan menggunakan senjata dan dilakukan di hutan, dan didanai dengan cara membobol  Bank Indonesia dan asing, serta mendapat amunisi dan persenjataan dan personil tentara dari luar negeri?

Kedua, bukankah saat itu zaman demokrasi liberal atau demokrasi parlementer, di mana kekuasaan bukan di Presiden tapi di parlemen, sehingga kritik bisa dilakukan di parlemen, karena partai politik para pemberontak itu juga sebagai anggota Konstituante, anggota DPR dan anggota kabinet?

Ketiga, kalau mereka mengaku demokratis kenapa kritik dilakukan dengan kekerasan bahkan dengan pembantaian?

Dengan cara pandang semacam itu maka kambing hitam diarahkan pada Bung Karno, sebagai pemimpin yang otoriter dan sentralistik untuk itu harus dilawan. Dengan senjata maupun tanpa senjata, dengan opini. Para sejarawan pada umumnya sepakat dengan pemutarbalikan sejarah bangsa itu, sehingga para tokoh pemberontak, yang menyengsarakan rakyat, sehingga ratusan ribu warga Minang eksodus, ekonomi dan pendidikan setempat hancur lebur dan menjadikan orang Minang kehilangan kepercayaan diri selama beberapa dekade. Mereka yang mengacaukan negara dan menyengsarakan rakyat dielukan sebagai pahlawan demokrasi dan kebebasan.

Dengan cara pandang seperti itu maka Bung Karno ditempatkan sebagai orang yang salah, sehingga harus meminta maaf pada para pemberontak itu. Seperti disampaikan oleh Sekjen PKS Anis Matta bahwa Bung Karno melakukan Kesalahan dengan Memenjarakan Natsir, Syahrir dan sebagainya, termasuk Hamka. Padahal Bung karno telah berusaha mengampuni mereka yang terlibat pemberontakan asal meminta maaf, tetapi mereka tidak meminta maaf, hanya beberapa perwira seperti Husein dan Simbolon yang meminta maaf dan dimaafkan, karena mengaku bersalah mengangkat senjata melawan negara.

Bung Karno akhirnya tidak memanfaatkan pemberontak PRRI, sebab mereka telah membuat negara dalam negara. Dan Bung Karno melakukan serangan terhadap PRRI itu setelah mendapat restu dan dorongan dari Bung Hatta, yang dilaksanakan oleh Panglima perang Nasution dan dikomandani oleh Ahmad Yani.

Kenapa yang disalahkan hanya bung Karno tidak turut menyalahkan Hatta yang keras terhadap pemberontak, dan kenapa tidak melakukan serangan terhadap Nasution yang membasmi pemberontakan itu dengan persenjataan lengkap, dan terutama Ahmad Yani yang membasmi kekuatan PRRI di lapangan? Kalau Natsir dan Sjahrir dipenjara tanpa pengadilan hal itu dibenarkan secara hukum, karena saat itu negara sedang darurat militer, sehingga militer berhak menahan siapa saja yang dicurigai sebagai pelaku sebversi. Padahal Bung Karno sudah sangat berlapang dada, ketika PSI dan Masyumi hendak dibubarkan, para pemimpin kedua partai itu diundang ke istana. Tetapi karena tidak pernah ada klarifikasi baik dari Soekiman maupun dari Sjahrir maka terus dibubarkan dan para pemimpinnya yang terlibat di penjara.

Sebenarnya pemberian gelar pahlawan kepada siapapun tidak ada masalah apalagi pada orang orang yang jelas sumbangannya pada negara ini, seperti tokoh-tokoh di atas. Tetapi pemutarbalikan sejarah itu urusan lain lagi. Karena itu yang dilakukan  dalam rekonsiliasi adalah pengampunan atau dimaafkan kesalahannya, bukan melupakan tindakannya. Sejarah tidak boleh dilupakan kalau dilupakan orang akan tersesat dan akan terjerumus pada jurang yang sama. Itu yang utama.

Kenapa NU peduli dengan masalah ini, tidak lain karena sejak awal NU mengutuk tindakan PRRI-Permesta dan menyatakan sebagai bughat (pemberontakan), karenanya pemerintah dan segenap rakyat harus menghadapi pemberontakan seperti itu. Kalau sampai itu dikatakan bukan sebagai pemberontakan maka keputusan NU dan pemerintah itu dianggap salah, padahal keputusan NU itu merupakan sebuah pemikiran dan sikap logis dalam bernegara. Sebagaimana pemerintah, NU menghendaki adanya rekonsiliasi untuk memaafkan tindakan mereka, tetapi peristiwa itu tidak boleh dilupakan. Selama ini mereka tidak pernah minta maaf karena merasa tindakannya tidak salah.

Sayangnya kesadaran sejarah di kalangan NU juga masih rendah sehingga begitu gampang mengikuti pandangan sejarah orang lain, sehingga bukan membela kesejarahannya sendiri yang dibelokkan orang tetapi justru membela pembelokan sejarah yang dilakukan kelompok lain.

Seperti kelompok Imam Azis di yogya yang dianggap oleh para kiai terlalu bersemangat membela bekas PKI, menjadi seolah menyalahkan NU dalam peristiwa 1965. Padahal saat itu sedang terjadi konflik horizontal, sehingga terjadi penyerangan terhadap kedua belah pihak. PKI bukan korban tapi aktor, hanya saja kemudian kalah. Di sisi lain, di Jakarta, Lukman Hakim Syaifuddin yang dengan naifnya ikut membela PRRI dan merehabilitasi para tokohnya, padahal NU mengutuk pemberontakan itu.

Sementara kesejarahan NU yang menjadi pemeran utama dalam Revolusi November di Surabaya banyak digelapkan orang, mereka hanya diam saja. Selama peringatan Hari pahlawan itu beberapa tokoh dan sejarawan diwawancarai, tetapi beberapa tokoh seperti Rosihan Anwar maupun sejarawan Aminuddin Kasdi sama sekali tidak menyebut peran NU di sana. Padahal perang November itu terjadi akibat Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim As’ari yang kemudian dikobarkan melalui radio oleh Bung Tomo.

Demikian juga mereka menggelapkan tokoh pelaku penyobekan bendera Belanda yang berkibar di atas Hotel Oranye Surabaya itu. Padahal dengan jelas disaksikan banyak orang bahwa pelaku penyobekan bendera setelah berhasil memanjat puncak hotel itu adalah Cak Arie, seorang anggota Pemuda Ansor NU Cabang Surabaya.

Pembelokan sejarah itu terjadi seringkali karena kehilangan bukti. Karena itu pelurusan sejarah hanya bisa dilakukan dengan menghadirkan saksi sejarah, arsip-arsip dan dokumen serta berbagai artefak yang tersedia. Tetapi persoalannya sekarang ini saksi telah banyak yang meninggal, arsip tidak terawatt, bahkan berbagai dokumen penting telah dicuri oleh pihak lain. Maraknya perburuan naskah kuno baik naskah Melayu, Naskah Jawa, Naskah Bugis dan sebagainya, oleh bangsa lain merupakan ancaman bagi kelurusan sejarah. Tanpa adanya sejarah tidak mungkin suatu bangsa memiliki rasa percaya diri, tak memiliki identitas dan integritas.

Dengan memahami sejarah maka rekonsiliasi bisa dilaksanakan dengan lancar dan proporsional. Melakukan rekonsiliasi bukan asal-asalan, apalagi hanya sebagai politik dagang sapi untuk meraih kekuasaan. Dalam rekonsiliasi harus diungkapkan kebenaran yang sesungguhnya, bukan kebohongan, karena itu harus ada pengadilan, melalui pengadilan itulah ditentukan mana pihak yang salah dan pihak yang benar. Lalu di situ bisa saling memaafkan.

Disitulah rekonsiliasi itu tidak hanya mengandung kebenaran, tetapi juga memuat keadilan. Karena itu tidak bisa dilalui dengan memutarbalikkan sejarah, agar kesalahan kabur, dan disulap menjadi kebenaran, tetapi harus dilalui dengan pemahaman sejarah yang jujur dan adil. Dengan cara yang benar, adil dan prosedural itulah rekonsiliasi yang sebenarnya bisa dicapai dengan cara itu kerukunan dan persatuan nasional akan lebih kokoh.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,3-id,14781-lang,id-c,analisa+berita-t,Memutarbalikkan+Sejarah-.phpx