Pesantren dalam Pusaran Tsunami Informasi
======================
Derasnya arus
informasi saat ini merupakan kelanjutan dari evolusi budaya komunikasi
massa yang berlangsung sejak berabad-abad lalu. Jika sebelumnya media
(baca Kitab Suci) merupakan hal sakral yang menerjemahkan ‘titah’ dan
‘firman’ Tuhan yang disampaikan melalui orang-orang terpercaya (Nabi dan
Rasul), saat ini media menjadi alat propaganda, agitasi bahkan
terkadang menjadi fitnah bagi orang atau kelompok tertentu.
Dalam sejarah Islam, kita mengenal hadits shahih dan dhaif, mungkin inilah era bertebarannya hadits-hadits dha’if. Bill Kovach menyebutnya dengan istilah tsunami informasi. Di mana informasi begitu mudah tersebar, tanpa saringan yang jelas, sebab media telah menjadi alat politik. Pertarungan ideologis juga berlangsung panas di ranah media. Masyarakat disuguhi beragam informasi yang datang dari berbagai arah.
Satu sisi, kondisi ini membuat masyarakat bebas memilih informasi yang diinginkan. Masyarakat juga leluasa menafsirkan dan menyebarkan sebuah kabar yang terkadang diragukan validitasnya. Masyarakat yang cerdas mungkin bisa menyaring dan memilah informasi yang tepat. Masyarakat yang paham dengan kondisi juga mengalami krisis kepercayaan terhadap media. Politisasi media memperbesar krisis kepercayaan tersebut.
Di sisi lain, maraknya berita yang tak disaring secara serius bisa jadi membuat masyarakat terbodohi, atau bahkan menjadi acuan masyarakat kelas bawah untuk melakukan imitasi kriminalitas dan tindakan asusila yang banyak disuguhkan media.
Kurangnya kepekaan dan niat baik para pemilik media dalam menyejahterakan para jurnalis, juga turut berperan melahirkan berita yang kurang mendidik, valid dan layak baca. Tak jarang hal itu membuat para jurnalis menggadaikan idealismenya, melanggar kode etik demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Siapkah Pesantren Bertarung di Media?
Pesantren sebagai salah satu basis intelektual muslim di negeri ini tak bisa menghindari perang informasi ini. Dengan jutaan santri yang ada, pesantren juga menjadi pasar utama bagi para pelaku media. Minimnya santri yang bergelut di dunia jurnalistik, membuat kaum santri kemudian menjadi mudah diprovokasi, dan selalu dijadikan obyek penderita. Pesantren juga telah sejak lama menjadi magnet media, politik dan penelitian. Namun terkadang, berita tentang pesantren kerap ditulis secara serampangan oleh para penulis yang tak mengerti dunia pesantren.
Salah siapa jika beberapa waktu lalu, ada Majalah terkenal yang dengan gagahnya mengungkapkan bahwa kalangan pesantren paling bertanggungjawab terhadap peristiwa penumpasan Partai Komunis Indonesia. Salah siapa jika sejumlah koruptor di negeri ini diberi label politisi santri? Salah siapa jika ruang dakwah di media kini kian terbatas atau bahkan kadang harus dikombinasikan dengan ruang hiburan.
Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Sa’id Ali mengungkapkan prediksi terjadinya perang terbuka antara kalangan pesantren, dalam hal ini kaum Nahdliyin, dengan kelompok lain yang kini disinyalir sedang mencari titik lemah pesantren. Awalnya saya menilai ungkapan mantan Wakil Ketua Badan Intelejen Negara itu sebagai pernyataan emosional menyikapi sejumlah serangan terhadap NU. Atau sebuah sikap phobia, yang bermula dari kepercayaan pada teori konspirasi.
Tetapi setelah dikaji lebih lanjut, ternyata prediksi Pak As’ad itu bisa jadi benar adanya. Dilihat dari sejumlah berita yang menyudutkan pesantren, karya sastra atau sejumlah film yang seakan menguliti pesantren. Sebut saja misalnya berita tentang penjualan santri puteri di Karawang dan Garut kepada Bupati Garut, Aceng FIkri. Atau berita tentang Peristiwa 30 September PKI, yang dimuat Tempo secara eksklusif, dan isinya menjustifikasi bahwa kalangan pesantren bertanggung jawab pada pelanggaran Hak Asasi Manusia di era 60-an.
Sejumlah novel juga ada yang mengulas tentang cerita meiril, homoseksualitas dan lesbianism pesantren. Pun dengan sejumlah film, sebut saja misalnya Perempuan berkalung sorban, yang menempatkan puteri kiai sebagai pemberontak, atau sinetron pesantren Rock N Roll yang isinya justru jauh dari nilai pesantren. Satu sisi sejumlah berita, karya sastra dan film tersebut berhasil menggaungkan pesantren di khalayak masyarakat. Namun di sisi lain, tafsir kehidupan pesantren yang disuguhkan itu justru menyudutkan pesantren.
Mengapa hal ini terjadi, saya melihat karena kalangan pesantren abai terhadap perlunya penguasaan media. Media tak melulu Koran, Majalah atau Televisi, tetapi juga penguasaan media popular, semacam film, novel, atau bahkan media virtual dan media sosial, semacam Facebook dan Twitter.
Disadari atau tidak, media di negeri ini masih banyak dikuasai oleh pemodal yang minim kepedulian terhadap nilai moral dan agama. Kalau pun agama disuguhkan, biasanya dalam bentuk hiburan tontonan, bukan bersifat tuntunan.
Padahal sejatinya, kalangan pesantren memiliki sumberdaya mumpuni untuk ikut menyumbangkan ide dan gagasan demi melahirkan jurnalis handal, beretika dan berintegritas. Semangat pesantren yang terangkum dalam manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamaah, adalah benteng terakhir bagi perbaikan bangsa ini, juga perbaikan arus informasi yang beredar.
Jurnalisme Persfektif Aswaja?
Jurnalis berpersfektif Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) tak berarti jurnalis hanya memberitakan seputar keislaman dan keaswajaan. Tetapi bagaimana seorang jurnalis dalam melakukan proses reportase dan pemberitaan berpegang teguh pada asas jurnalistik dan prinsip keaswajaan.
Aswaja dalam metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr) berpegang pada prinsip tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan i'tidal (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap keberagaman yang non-tatharruf atau ekstrim kiri dan kanan.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan segala situasi dan kondisi. Maka mereka yang bermanhaj Aswaja selalu dinamis menghadapi setiap perkembangan zaman. Sikap Tawasuth Pesantren sering dimaknai sebagai prilaku oportunis, pragmatis, atau bahkan plin-plan oleh mereka yang tak mengerti pesantren. Simak saja Clifford Gertz dalam teori politik jawa terkenalnya, tentang Kaum Santri Abangan dan Priayi.
Padahal, sikap adaptif tak selalu berujung pada pragmatisme dan oportunisme. Sebab di internal pesantren, sikap Tawasuth bermakna fleksibel, tak jumud, tak kaku, tak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim.
Jurnalis berpersfektif Aswaja ini dalam impian saya mungkin bisa menjadi alternatif solusi bagi carut-marut media yang kini lebih banyak berpihak pada pemilik modal, politisi atau kelompok ideologis tertentu.
Idealisme jurnalis yang diidamkan Bill Kovach atau yang dirumuskan Dewan Pers dalam Kode Etik Jurnalistik, rasanya hanya akan menjadi hafalan belaka. Sebab pada praktiknya, kini tak sedikit media mengabaikan nilai keberimbangan berita, Idealisme jurnalis terpasung oleh kepentingan politik atau kepentingan ekonomi pemilik media. Kini integritas jurnalis pun banyak dipertanyakan oleh masyarakat.
Jurnalisme Aswaja, atau jurnalisme yang digeluti para alumni pesantren diharapkan bisa menjadi jawaban atas kegalauan sejumlah kalangan terhadap dekadensi integritas jurnalis. Sebab kalangan santri, khususnya mereka yang menjiwai semangat keaswajaan, tentu akan bertindak sesuai doktrin pesantren, yang mengutamakan prinsip keadilan, kesetaraan, membela kaum lemah, dan sikap moderat.
Lebih menjanjikan lagi, ketika karakter santri yang rela sengsara demi meneguhkan prinsip kesantrian, serta terbiasa diajarkan untuk bertindak ikhlas lillahi ta’ala itu dimiliki oleh para jurnalis. Sebab di tengah godaan yang tinggi, para jurnalis saat ini sulit mempertahankan independensi dan idealismenya. Wallahu A’lam.
A MALIK MUGHNI*Penulis adalah jurnalis di Harian Duta Masyarakat, Pengelola laman www.pmii.or.id dan Sekretaris Biro Ekonomi, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII). Makalah pernah disampaikan dalam Seminar bertajuk Peran Media dalam Dakwah Islamiah, yang digelar dalam rangkaian Haul pendiri Pondok Pesantren Assalafie, Babakan Ciwaringin, Cirebon, dan Pelatihan Jurnalistik di PC PMII Sukabumi.
Dalam sejarah Islam, kita mengenal hadits shahih dan dhaif, mungkin inilah era bertebarannya hadits-hadits dha’if. Bill Kovach menyebutnya dengan istilah tsunami informasi. Di mana informasi begitu mudah tersebar, tanpa saringan yang jelas, sebab media telah menjadi alat politik. Pertarungan ideologis juga berlangsung panas di ranah media. Masyarakat disuguhi beragam informasi yang datang dari berbagai arah.
Satu sisi, kondisi ini membuat masyarakat bebas memilih informasi yang diinginkan. Masyarakat juga leluasa menafsirkan dan menyebarkan sebuah kabar yang terkadang diragukan validitasnya. Masyarakat yang cerdas mungkin bisa menyaring dan memilah informasi yang tepat. Masyarakat yang paham dengan kondisi juga mengalami krisis kepercayaan terhadap media. Politisasi media memperbesar krisis kepercayaan tersebut.
Di sisi lain, maraknya berita yang tak disaring secara serius bisa jadi membuat masyarakat terbodohi, atau bahkan menjadi acuan masyarakat kelas bawah untuk melakukan imitasi kriminalitas dan tindakan asusila yang banyak disuguhkan media.
Kurangnya kepekaan dan niat baik para pemilik media dalam menyejahterakan para jurnalis, juga turut berperan melahirkan berita yang kurang mendidik, valid dan layak baca. Tak jarang hal itu membuat para jurnalis menggadaikan idealismenya, melanggar kode etik demi memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Siapkah Pesantren Bertarung di Media?
Pesantren sebagai salah satu basis intelektual muslim di negeri ini tak bisa menghindari perang informasi ini. Dengan jutaan santri yang ada, pesantren juga menjadi pasar utama bagi para pelaku media. Minimnya santri yang bergelut di dunia jurnalistik, membuat kaum santri kemudian menjadi mudah diprovokasi, dan selalu dijadikan obyek penderita. Pesantren juga telah sejak lama menjadi magnet media, politik dan penelitian. Namun terkadang, berita tentang pesantren kerap ditulis secara serampangan oleh para penulis yang tak mengerti dunia pesantren.
Salah siapa jika beberapa waktu lalu, ada Majalah terkenal yang dengan gagahnya mengungkapkan bahwa kalangan pesantren paling bertanggungjawab terhadap peristiwa penumpasan Partai Komunis Indonesia. Salah siapa jika sejumlah koruptor di negeri ini diberi label politisi santri? Salah siapa jika ruang dakwah di media kini kian terbatas atau bahkan kadang harus dikombinasikan dengan ruang hiburan.
Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Umum PBNU As’ad Sa’id Ali mengungkapkan prediksi terjadinya perang terbuka antara kalangan pesantren, dalam hal ini kaum Nahdliyin, dengan kelompok lain yang kini disinyalir sedang mencari titik lemah pesantren. Awalnya saya menilai ungkapan mantan Wakil Ketua Badan Intelejen Negara itu sebagai pernyataan emosional menyikapi sejumlah serangan terhadap NU. Atau sebuah sikap phobia, yang bermula dari kepercayaan pada teori konspirasi.
Tetapi setelah dikaji lebih lanjut, ternyata prediksi Pak As’ad itu bisa jadi benar adanya. Dilihat dari sejumlah berita yang menyudutkan pesantren, karya sastra atau sejumlah film yang seakan menguliti pesantren. Sebut saja misalnya berita tentang penjualan santri puteri di Karawang dan Garut kepada Bupati Garut, Aceng FIkri. Atau berita tentang Peristiwa 30 September PKI, yang dimuat Tempo secara eksklusif, dan isinya menjustifikasi bahwa kalangan pesantren bertanggung jawab pada pelanggaran Hak Asasi Manusia di era 60-an.
Sejumlah novel juga ada yang mengulas tentang cerita meiril, homoseksualitas dan lesbianism pesantren. Pun dengan sejumlah film, sebut saja misalnya Perempuan berkalung sorban, yang menempatkan puteri kiai sebagai pemberontak, atau sinetron pesantren Rock N Roll yang isinya justru jauh dari nilai pesantren. Satu sisi sejumlah berita, karya sastra dan film tersebut berhasil menggaungkan pesantren di khalayak masyarakat. Namun di sisi lain, tafsir kehidupan pesantren yang disuguhkan itu justru menyudutkan pesantren.
Mengapa hal ini terjadi, saya melihat karena kalangan pesantren abai terhadap perlunya penguasaan media. Media tak melulu Koran, Majalah atau Televisi, tetapi juga penguasaan media popular, semacam film, novel, atau bahkan media virtual dan media sosial, semacam Facebook dan Twitter.
Disadari atau tidak, media di negeri ini masih banyak dikuasai oleh pemodal yang minim kepedulian terhadap nilai moral dan agama. Kalau pun agama disuguhkan, biasanya dalam bentuk hiburan tontonan, bukan bersifat tuntunan.
Padahal sejatinya, kalangan pesantren memiliki sumberdaya mumpuni untuk ikut menyumbangkan ide dan gagasan demi melahirkan jurnalis handal, beretika dan berintegritas. Semangat pesantren yang terangkum dalam manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamaah, adalah benteng terakhir bagi perbaikan bangsa ini, juga perbaikan arus informasi yang beredar.
Jurnalisme Persfektif Aswaja?
Jurnalis berpersfektif Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) tak berarti jurnalis hanya memberitakan seputar keislaman dan keaswajaan. Tetapi bagaimana seorang jurnalis dalam melakukan proses reportase dan pemberitaan berpegang teguh pada asas jurnalistik dan prinsip keaswajaan.
Aswaja dalam metodologi berfikirnya (Manhaj Al-fikr) berpegang pada prinsip tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan i'tidal (keadilan). Setidaknya prinsip ini bisa mengantarkan pada sikap keberagaman yang non-tatharruf atau ekstrim kiri dan kanan.
Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan segala situasi dan kondisi. Maka mereka yang bermanhaj Aswaja selalu dinamis menghadapi setiap perkembangan zaman. Sikap Tawasuth Pesantren sering dimaknai sebagai prilaku oportunis, pragmatis, atau bahkan plin-plan oleh mereka yang tak mengerti pesantren. Simak saja Clifford Gertz dalam teori politik jawa terkenalnya, tentang Kaum Santri Abangan dan Priayi.
Padahal, sikap adaptif tak selalu berujung pada pragmatisme dan oportunisme. Sebab di internal pesantren, sikap Tawasuth bermakna fleksibel, tak jumud, tak kaku, tak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrim.
Jurnalis berpersfektif Aswaja ini dalam impian saya mungkin bisa menjadi alternatif solusi bagi carut-marut media yang kini lebih banyak berpihak pada pemilik modal, politisi atau kelompok ideologis tertentu.
Idealisme jurnalis yang diidamkan Bill Kovach atau yang dirumuskan Dewan Pers dalam Kode Etik Jurnalistik, rasanya hanya akan menjadi hafalan belaka. Sebab pada praktiknya, kini tak sedikit media mengabaikan nilai keberimbangan berita, Idealisme jurnalis terpasung oleh kepentingan politik atau kepentingan ekonomi pemilik media. Kini integritas jurnalis pun banyak dipertanyakan oleh masyarakat.
Jurnalisme Aswaja, atau jurnalisme yang digeluti para alumni pesantren diharapkan bisa menjadi jawaban atas kegalauan sejumlah kalangan terhadap dekadensi integritas jurnalis. Sebab kalangan santri, khususnya mereka yang menjiwai semangat keaswajaan, tentu akan bertindak sesuai doktrin pesantren, yang mengutamakan prinsip keadilan, kesetaraan, membela kaum lemah, dan sikap moderat.
Lebih menjanjikan lagi, ketika karakter santri yang rela sengsara demi meneguhkan prinsip kesantrian, serta terbiasa diajarkan untuk bertindak ikhlas lillahi ta’ala itu dimiliki oleh para jurnalis. Sebab di tengah godaan yang tinggi, para jurnalis saat ini sulit mempertahankan independensi dan idealismenya. Wallahu A’lam.
A MALIK MUGHNI*Penulis adalah jurnalis di Harian Duta Masyarakat, Pengelola laman www.pmii.or.id dan Sekretaris Biro Ekonomi, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII). Makalah pernah disampaikan dalam Seminar bertajuk Peran Media dalam Dakwah Islamiah, yang digelar dalam rangkaian Haul pendiri Pondok Pesantren Assalafie, Babakan Ciwaringin, Cirebon, dan Pelatihan Jurnalistik di PC PMII Sukabumi.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,43358-lang,id-c,kolom-t,Pesantren+dalam+Pusaran+Tsunami+Informasi-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar