Ketentuan dalam Mengadla' Shalat
==========================
Para mukallaf atau
orang-orang dibebani kewajiban-kewajiban agama harus mengganti atau
qadla shalat yang ditinggalkan dan dianjurkan dilaksanakan dengan
segera.
Para ulama memberikan penjelasan bahwa bila ia tidak melaksanakan shalatnya dengan segera tanpa adanya udzur, maka ia wajib melaksanakan dengan segera. Bahkan ia diharamkan melakukan kesunahan. Bila ia tidak melaksanakan shalat karena ada udzur maka mengadla dengan segera hukumnya sunnah saja.
Apakah wajib mengurutkan shalat yang ditinggalkan? Dalam hal ini para ulama merinci sebagai berikut: Pertama, sunah mentertibkan apabila tidak melakukannya karena ada udzur.
Contoh; seseorang tertidur sebelum masuk waktu dhuhur dan ia bangun pada waktu shalat isya', berarti ia meninggalkan shalat dhuhur, ashar dan maghrib, maka dalam mengadlanya ia sunah mendahulukan shalat dhuhur atas ashar dan mendahulukan shalat ashar atas shalat maghrib
Ketentuan kedua, wajib tertib bila shalat yang ditinggalkan tidak karena ada udzur. Contoh; seseorang meninggalkan shalat dhuhur dan ashar karena tanpa ada udzur, misalnya tidur sudah masuk waktu shalat atau karena malas, maka dalam mengqodlo'nya ia wajib mendahulukan shalat dhuhur atas shalat Ashar.
Namun Imam Romli berpendapat bahwa mentertibkan shalat yang ditinggalkan itu secara mutlak hukumnya sunah, baik meninggalkannya karena ada udzur atau tidak, atau sebagian karena ada udzur dan sebagian yang lain tidak ada udzur, dan pendapat inilah yang dipilih Syaikh Zainuddin Al-Mulaibari, pengarang kitab Qurratul Ain bi Muhimmatid Din.
Ketentuan lain dalam mengadla shalat adalah mendahulukan shalat fait atau shalat yang tidak dilakukan pada waktunya atas shalat hadlirah atau shalat yagn masih berada pada waktunya bila shalat yang tidak dilakukan pada waktunya itu karena ada udzur dan tidak khawatir shalat yang hadliroh itu keluar dari waktunya, walaupun ia khawatir kehilangan jama'ahnya shalat hadliroh.
Bila mendahulukan shalat fait ia khawatir shalat hadlirohnya keluar waktu, misalnya waktunya tinggal sedikit, maka wajib baginya mendahulukan shalat hadliroh. Adapun bila shalat yang ditinggalkan itu tanpa adanya udzur, maka wajib mendahulukan shalat hadlirah.
Bagaimana dengan orang meninggal dan masih memiliki tanggungan shalat? Para ulama' di kalangan Syafi'iyyah berbeda pendapat mengenai ini; Pendapat yang pertama, tidak wajib diqadla ataupun dibayar fidyah, karena urusan dia di dunia sudah selesai dan segala amalnya tinggal mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah.
Pendapat kedua, wajib dilakukan (qadla) sebagai ganti dari shalat mayit. Pendapat inilah yang paling banyak dipilih oleh para imam di kalangan Syafi'iyyah, termasuk yang dilakukan oleh Imam As-Subki atas sebagian kerabatnya yang telah meninggal dunia.
Para ulama memberikan penjelasan bahwa bila ia tidak melaksanakan shalatnya dengan segera tanpa adanya udzur, maka ia wajib melaksanakan dengan segera. Bahkan ia diharamkan melakukan kesunahan. Bila ia tidak melaksanakan shalat karena ada udzur maka mengadla dengan segera hukumnya sunnah saja.
Apakah wajib mengurutkan shalat yang ditinggalkan? Dalam hal ini para ulama merinci sebagai berikut: Pertama, sunah mentertibkan apabila tidak melakukannya karena ada udzur.
Contoh; seseorang tertidur sebelum masuk waktu dhuhur dan ia bangun pada waktu shalat isya', berarti ia meninggalkan shalat dhuhur, ashar dan maghrib, maka dalam mengadlanya ia sunah mendahulukan shalat dhuhur atas ashar dan mendahulukan shalat ashar atas shalat maghrib
Ketentuan kedua, wajib tertib bila shalat yang ditinggalkan tidak karena ada udzur. Contoh; seseorang meninggalkan shalat dhuhur dan ashar karena tanpa ada udzur, misalnya tidur sudah masuk waktu shalat atau karena malas, maka dalam mengqodlo'nya ia wajib mendahulukan shalat dhuhur atas shalat Ashar.
Namun Imam Romli berpendapat bahwa mentertibkan shalat yang ditinggalkan itu secara mutlak hukumnya sunah, baik meninggalkannya karena ada udzur atau tidak, atau sebagian karena ada udzur dan sebagian yang lain tidak ada udzur, dan pendapat inilah yang dipilih Syaikh Zainuddin Al-Mulaibari, pengarang kitab Qurratul Ain bi Muhimmatid Din.
Ketentuan lain dalam mengadla shalat adalah mendahulukan shalat fait atau shalat yang tidak dilakukan pada waktunya atas shalat hadlirah atau shalat yagn masih berada pada waktunya bila shalat yang tidak dilakukan pada waktunya itu karena ada udzur dan tidak khawatir shalat yang hadliroh itu keluar dari waktunya, walaupun ia khawatir kehilangan jama'ahnya shalat hadliroh.
Bila mendahulukan shalat fait ia khawatir shalat hadlirohnya keluar waktu, misalnya waktunya tinggal sedikit, maka wajib baginya mendahulukan shalat hadliroh. Adapun bila shalat yang ditinggalkan itu tanpa adanya udzur, maka wajib mendahulukan shalat hadlirah.
Bagaimana dengan orang meninggal dan masih memiliki tanggungan shalat? Para ulama' di kalangan Syafi'iyyah berbeda pendapat mengenai ini; Pendapat yang pertama, tidak wajib diqadla ataupun dibayar fidyah, karena urusan dia di dunia sudah selesai dan segala amalnya tinggal mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah.
Pendapat kedua, wajib dilakukan (qadla) sebagai ganti dari shalat mayit. Pendapat inilah yang paling banyak dipilih oleh para imam di kalangan Syafi'iyyah, termasuk yang dilakukan oleh Imam As-Subki atas sebagian kerabatnya yang telah meninggal dunia.
KH Abdul Nashir Fattah
Rais Syuriyah PCNU Jombang
Rais Syuriyah PCNU Jombang
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,19225-lang,id-c,ubudiyyah-t,Ketentuan+dalam+Mengadla+Shalat-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar