ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Kamis, 14 Maret 2013

Ulama' dan Umaro' Sebagai Sistem Kontrol

============
Ulama' dan Umaro' Sebagai Sistem Kontrol
===============
Bagi umat Islam tak diragukan  bahwa manusia terdiri dari dua unsur: jasad dan ruh. Kedua unsur ini agar tak mudah rusak dan merusak membutuhkan perawatan dan sistem kontrol. Sebab itu, Islam yang memang dimaksudkan untuk menata kehidupan manusia agar lebih baik datang dengan membawa dua sistem kontrol sekaligus: sistem kontrol jasmani dan sistem kontrol ruhani. Adanya hukum potong tangan bagi koruptor dan cambuk bagi pemabuk dan sejenisnya adalah representasi dari sistem kontrol jasmani. Sementara doktrin tentang ‘berdosa’, siksa kubur, siksa neraka dan pembalasan akhirat lainnya bagi yang tak taat peraturan bisa dikatakan sebagai sistem kontrol ruhani. Secara tegas kedua sitem kontrol ini bisa ditemui dalam ilmu fikih dan tawawuf.
Secara umum, kealpaan salah satu dari kedua sistem kontrol ini bisa menyebabkan kehidupan manusia, khususnya umat Islam, menjadi timpang dan bergejolak. Begitu pun ketika tak ada ke-sejalan-an antara kedua sistem tersebut, atau kurang fungsional salah satunya. Sebab itu, untuk menciptakan kehidupan lebih sehat dan tertata maka perlu mengaktifkan terus menerus kedua sistem kontrol ini secara integral. Dari uraian di atas ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab bersama bahwa, Indonesia adalah negeri dengan mayoritas MusliM, tapi mengapa sampai detik ini masih saja ‘bobrok’, koruptor bertebaran dimana-mana? Lalu bagaimana menjelaskan relasinya dengan keberadaan dua sistem kontrol tadi? Haruskan Indonesia dijadikan negara Islam?

Mari kita renungkan bersama. Sebenarnya, Indonesia telah memiliki kedua sistem kontrol tersebut. Sistem kontrol jasmani sedang berusaha dijalankan pemerintah dalam bentuk hukuman penjara, hukuman mati dan sejenis hukuman fisik lainya. Sementara sistem kontrol ruhani sedang berusaha dijalankan semisal oleh para kiai, ustaz, dsb. Jika demikian, maka dimana sebenarnya letak problemnya? Samapi di sini, terlintas praduga bahwa mungkin yang sedang terjadi adalah ketidaksejalanan antara kedua sistem kontrol tersebut. Atau belum difungsikannya kedua sistem ini secara fungsional dan sepenuhnya. Benarkan demikan?

Sejauh mana pengaruh sistem kontrol ini?

Perlu kita ketahui terlebih dahulu, sejauh mana sebenarnya pengaruh kedua sistem kontrol ini? Dalam buku Nuzum Islâmiyyah yang dijadikan mata kuliah Universitas Al-Azhar diuraikan cukup apik bagaimana pengaruh sitem kontrol ruhani. Diceritakan, disebabkan merajalelanya minuman keras di Amerika, pada tahun 1919 dibuatlah UU anti minuman keras. Demi suksesnya UU ini, tak tanggung-tanggung, pemerintah rela menggelontorkan dana senilai 60 juta US Dollar:  nominal yang fantastis untuk saat itu. Buku dan selebaran yang tak terbilang jumlahnya pun disebar-luaskan. Sekitar 300 jiwa melayang dan 532.335 tercatat masuk bui akibat kebijakan UU ini, dst. Namun itu semua mengalami kegagalan. Sehingga 14 tahun kemudian, pemerintah Amerika menghapus UU ini.

Disinyalir kegegalan tersebut lantaran kontrol ruhaninya yang tak aktif atau sangat lemah. Kondisi sebaliknya adalah yang terjadi di Dunia Islam. Islam, untuk menghindarkan umatnya dari minuman keras hanya membutuhkan beberapa kalimat saja dalam Al-Qur’an. Meskipun demikian, tapi pengaruhnya masih kentara kita rasakan hingga detik ini, dimana minuman keras tak semerajalela seperti di Barat, Amerika khususnya. Diantara kalimat tersebut adalah ayat 219 surat Al-Baqarah yang artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.”   

Tentu, keberhasilan Islam menghindarkan manusia dari minuman keras tak terlepas sistem kontrol ruhani yang dimilikinya. Dalam upaya tersebut Islam bukan hanya menempuh kontrol fisik, bahkan juga non-fisik, ruh, dengan cara mengaitkan dengan ‘berdosa’, siksa neraka dan hukuman akhirat lainya. Mereka pun cenderung meninggalkan dengan suka rela sebab kesadaran itu berangkat dari dalam dirinya, ruh, yang telah terkontrol. Namun, samapi di sini, jika memang terjadi yang sebaliknya di Dunia Islam maka faktornya adalah adanya ketidakberesan dengan kedua sistem kontrol tersebut.

Contoh lain adalah yang berkaitan langsung dengan konteks Indonesia dan tema yang sedang kita perbincangkan. Tak berjalannya hukum Indonesia, baik terkait kasus yang besar maupun yang kecil, bagi penulis, tak terlepas dari kedua sistem kontrol ini. Ada yang sedang tak beres. Yang kaitanya dengan kontrol ruhani adalah, misalkan masih ada sebagian orang yang tak segan-segan dan tanpa rasa takut sedikit pun melanggar aturan negara, UU. Dasarnya, menurutnya hukum Indonesia adalah hukum ciptaan manusia, bukan hukum Tuhan, yang apabila dilanggar tak mendapatkan dosa dan tak menyebabkan masuk neraka, hukumannya sangat ringan, tak seberapa beratnya dibanding hukuman Tuhan. Yang lebih parah lagi adalah disertai meyakini bahwa hukum Indonesia adalah hukum kafir. Sehingga bukan hanya tak segan melanggarnya bahkan cenderung menentangnya secara frontal. Dalam konteks ini sistem kontrol ruhani nampak sedang mati.

Bagaimana solusinya?

Yang penulis gambarkan di atas sekedar contoh kecil dan sederhana. Pada titik yang lebih dalam dan kompleks maka segala ‘keruwetan’ di Indonesia: seperti rusaknya hukum, merajalelanya korupsi dan kejahatan besar lainya, sangat erat kaitanya dengan kedua sistem tersebut. Ada yang sedang kurang berfungsi dari keduanya.

Solusinya, jelas, kedua sistem kontrol yang masing-masing diperankan oleh pemerintah (sebagai sistem kontrol jasmanai atau fisik) dan para ulama (sebagai sistem kontrol ruhani atau ruh) harus diaktifkan kebali dengan sepenuhnya, integral dan saling bersinergi. Masing-masing bergerak dibidangnya masing-masing. Agar keduanya lebih sejalan maka, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memetakan problematika besar bangsa Indonesia kemudian mensosialisasikannya kepada para ulama agar berikutnya bisa diatasi bersama-sama. Khusus bagi para ulama, sebagai sistem kontrol ruh, masukan Prof. Dr. Hasan Hanafi untuk Indonesia ketika penulis ikut wawancara bersamanya menarik untuk diungkap di sini. Intinya, rekonstruksi tasawuf perlu brangkat dari realitas problem bangsa Indonesia. Karena problem bangsa Indonesia adalah korupsi maka perlu memunculkan tasawuf anti-korupsi, misalkan, dsb. Tentu sebagai kontrol ruh.

Terkait lemahnya hukum dan berbagai pelangaran disebabkan masih adanya pemahaman bahwa hukum Indonesia adalah hukum manusisa yang bertentangan dengan syari’at maka harus dikontrol pula melalui sistem kontrol ruhani. Yakni dengan cara menghubungkan kembali hukum tersebut dengan yang gaib. Apakah dengan mendirikan negara Islam atau formalisasi syari’at Islam? Tentu tidak. Tapi dengan memberikan pemahaman masif bahwa hukum Indonesia sesuai dengan Islam, islami, meskipun tak bernama Isalam. Bagi Ibnul Qayim standarnya adalah yang penting sejalan dengan maqâshid syari’ah (tujuan syari’at) yang diantaranya berupa: keadilan, kesejahteran dst. Jadi, bagaiamana pun hukumnya jika sejalan dengan tujuan syari’at tersebut maka termasuk syari’at dan melanggarnya adalah melanggar titah Tuhan.

Dalam konteks ini, apa yang telah dilakukan oleh Masdar Farid Mas’udi dengan bukunya “Syarah Konstitusi” dan beberapa intelektual lainnya yang berusaha menjelaskan bahwa hukum Indonesia sesuai dengan hukum Islam perlu segera diikuti oleh para ulama secara besar-besarkan. Khususnya kalangan pesantren.

Bagaimana pun, membincang problematika Indonesia yang sangat kompleks tak cukup melalui artikel pendek ini. Tulisan ini hanya berusaha memberikan gagasan umum saja bahwa kedua sistem kontrol harus segera selalu diaktifkan dengan sepenuhnya. Untuk bagaimana detail sistem dan mekanismenya, itulah yang menjadi PR kita selanjutnya. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang separuh dirinya bertumpu pada yang gaib. Maka ketika dengan yang gaib itu dipisahkan ia pun akan ambruk. Dalam hal ini, tentu penyikapanya tak bisa disamakan dengan negara-negara yang ateis dan cenderung terlalu materialistik. Sampai di sini penulis katakan bahwa bangsa Indonesia sedang bergeser dari pondasinya.    

MUHAMMAD AMRULLAH** Mahasiswa Al-Azhar, ketua umum Lembaga Bahtsul Masail dan anggota Lakpesdam PCINU Mesir.       sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,42007-lang,id-c,kolom-t,Ulama+dan+Umara+Sebagai+Sistem+Kontrol-.phpx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar