ABDULLAH WONG
Nyanyian Alfiyah dan Tarian Mastodon
========================
: untuk Rendra dan Wahid
Rendra kecil, bercelana pendek dan berkalung salib
Ia keluar dari gapura pesantren sambil berlari
di ujung jalan, Rendra melesat dan raib
di persimpangan, Wahid berdiri dan menanti
Ia bersarung hijau bermotif kotak, tapi bukan salib
Rendra dan Wahid berpapasan di tengah perempatan jalan
tapi perempatan jalan itu bukan salib
Hei Rendra! Apa yang kamu bawa? Apakah kamu mencuri?
Ya, aku mencuri. Karena buku kecil ini hanya dihafal para santri
Lalu untuk apa kau mencuri kitab yang mustahil kau akan mengerti
Aku tak peduli untuk mengerti kitab ini, yang penting aku bisa mencuri
karena mencuri adalah peradaban agung yang telah lama dilupakan para santri
Rendra dan Wahid semakin mendekat
Mata keduanya saling beradu dan bersiasat
Rendra memegang erat Alfiyah
Wahid memegang erat Mastodon
Wahid merebut Alfiyah
Rendra merebut Mastodon
Tiba-tiba, keduduanya saling menampar
Rendra menampar Wahid dengan Mastodon, setelah Wahid memberikan pipi kirinya,
Wahid menampar Rendra dengan Alfiyah, setelah Rendra memberikan pipi kanannya,
Rendra!, setelah tamparan itu, sekarang kamu bisa menguasi Alfiyah yang kau curi
dan namamu sekarang adalah Alfiyah ibn Rendra
Wahid!, setelah tamparan tadi, kini kau bisa menyelenggarakan Mastodon di negeri ini
dan namamu sekarang adalah Jose Karosta Wahid
Kini keduanya duduk sambil menikmati Cendol di perempatan,
tapi bukan salib
Rendra, Cendol ini begitu lembut,
apakah kamu bisa mengerti Alfiyah itu dengan lembut?
Aku percaya jika Alfiyah ini begitu lembut, Wahid. Tapi Alfiyah bukan Cendol. Dan kenapa Alfiyah ibn Malik? Bukankah Alfiyah itu perempuan? Bukankah semestinya adalah Alfiyah bintu Malik?!
Dasar Cendol! Baru kutampar dengan Alfiyah saja kamu sudah mau mencari tahu siapa orangtua Alfiyah. Alfiyah memang feminin, tapi Alfiyah bukan perempuan. Alfiyah hanya nama yang membariskan seribu mantra untuk menelanjangi bahasa unta.
Lalu, harus aku apakan Alfiyah ini,
aku sudah kadung mencuri,
dan tak mungkin aku kembalikan kepada para santri
yang kini terlena dalam mimpi-mimpi menjadi wali.
Kau boleh membakar Alfiyah itu, Rendra
Karena kau sendiri telah menjadi Alfiyah
Kata-kata dan kalimatmu adalah mubtada yang menjadi khabar
Petikan syairmu adalah tasghir dari semua yang kau anggap akbar
Baiklah, Wahid. Hari ini juga engkau kubaptis untuk menjadi Jose Karosta dalam panggung Nusantara. Meski kau tak gondrong dan bercelana jeans, tapi kau lebih nyentrik dari Jose Karosta. Meski kau tak punya roti untuk melawan kesenian, tapi kau punya tahlil untuk melawan kesombongan.
Baiklah...
Kita akan tetap menulis, kita akan tetap bicara, kita akan tetap merdeka. Dunia lebih luas dari halaman pesantren. Kita akan mengadakan pembacaan sajak-sajak dan tahlil di Bukit Zaitun di luar kota.
Sebelum berpisah, aku akan meramalmu, Rendra
Kelak, kalung salibmu itu akan kau simpan di lemari tuamu
Sebelum berpisah, aku juga akan meramalmu, Wahid
Kelak, sarung hijaumu itu akan menjadi bendera bagi seluruh negeri yang tak bersarung
Rendra berlalu
Wahid berlalu
Mereka berpisah di perempatan jalan, tapi bukan salib
Mereka adalah lembaga, tapi mereka adalah pribadi
Seratus tahun kemudian,
Rendra berjalan mengenakan sarung hijau bermotif kotak, tapi seperti salib
Ia keluar dari gapura pesantren, tapi tak lagi berlari
Di perempatan jalan, Wahid bercelana pendek sedang sabar menunggu
Lalu keduanya bertemu, tapi tidak saling tampar
Karena keduanya tak lagi membawa Alfiyah atau Mastodon
Sambil menikmati Cendol hijau itu, Rendra berkata,
“Dimana naskah Mastodon itu?”
“Aku buang ke laut. Aku sudah selesai menjadi Jose Karosta. Lalu dimana Alfiyah itu?”
“Aku bakar di altar gereja. Karena aku tidak mau berbahasa unta. Bahasaku adalah Bahasa Indonesia.”
Lalu apa yang akan kau kerjakan?
Aku hanya ingin menikmati Cendol hijau ini.
Karena tak lama lagi Cendol ini akan punah menjadi Es Teler meski tidak memabukkan.
Lalu apa yang akan kau kerjakan?
Aku hanya ingin mencari tepung beras dan tepung kanji, agar aku masih punya kesempatan menikmati Cendol. Aku yakin, Cendol kita bisa dicampur dengan Es Teler yang tidak memabukkan.
Lalu dimana salibmu?
Telah lama salib itu aku gunakan untuk motif sarung-sarungku.
Lalu dimana sarungmu?
Telah lama sarung itu aku gunakan untuk menjadi selimut bagi mereka yang tertindas.
Keduanya terkekeh,
lalu melanjutkan menikmati Cendol hijau di perempatan jalan itu,
perempatan jalan yang mungkin seperti salib itu.
Jakarta, 5 Maret 2013
Seribu Mantra dalam Luka
: untuk seluruh santri
Jika kau pernah menghafal bait-bait mantra itu,
kau adalah anak zaman yang akan menjadi cahaya
seribu mantra itu bukan jumlah yang membuat takut para pelantun
seribu mantra itu hanya akan membuat jenuh para pelamun
itulah mengapa kau pantas menjadi cahaya.
Jika kau menjadi cahaya,
kau tak perlu takut berjalan dalam gelap kata-kata atau pun mantra-mantra
Denganmu yang mencahaya, kau akan menerangi kegelapan,
menelusuri harakat-harakat yang bersembunyi
dalam huruf-huruf yang manja.
Jika kau menjadi cahaya,
kau tak perlu mata
karena mata yang kau punya hanya menipu barisan mantra-mantra
karena mata yang kau punya selalu ingkar pada kesejatian makna.
Maka pejamkan saja matamu
bersama seribu mantra-mantra
semakin pejam dan pejam
biarkan luka-luka menganga dalam dada
Maka pejamkan saja matamu
bersama seribu mantra-mantra
semakin pejam dan pejam
biarkan nafas-nafas angkuh terlunta-lunta
Maka pejamkan saja matamu
bersama seribu mantra-mantra
semakin pejam dan pejam
biarkan bukan matamu yang mencandra
Maka pejamkan saja matamu
bersama seribu mantra-mantra
semakin pejam sepejam-pejamnya
biarkan dirimu semakin mencahaya
bukan cahaya kata, tapi cahaya makna
bukan cahaya tanda, tapi cahaya rasa
Jakarta, 7 Oktober 1998
Kesepian Air Terjun
Gerak adalah waktu yang mengisi ruang kemudian menjadi cahaya
Diam adalah ruang yang menguras waktu menjelma kegelapan
Jika kau diam dalam gerak, dan gerak dalam diam, maka kau adalah cahaya sekaligus kegelapan
Tapi kau terlalu bergerak sehingga lupa diam dalam gerakmu
Bahkan kau terlalu lama diam, membuat lumut dalam pantatmu makin rekat dan membius malasmu untuk bergerak
Cobalah kau merunduk seperti air terjun.
Ia terus menerus melompat turun tak peduli bebatuan yang menghadang di bawahnya.
Dan untuk apa kau menggenang dalam kubangan? Apakah kau berdalih menciptakan nyamuk dan lalat yang lincah menukik terbang? Kenapa kau masih menunggu lebat hujan demi singkirkan daki-daki lukamu dan luka sahabatmu? Selama dirimu larut dalam kubangan yang kau anggap wangi itu, sia-siakan saja dirimu. Karena dirimu telah lama menjadi sia-sia.
Kau terlalu berani tenggelam dalam ketakutan yang suram.
Kau juga terlalu takut melawan keberanianmu yang hampir padam.
Kemarilah segera. Lindungi dirimu dari lebat hujan yang membasah. Kau bukan batu yang mudah kering oleh hembus angin. Kau adalah bendera kusam yang penuh jahitan luka-luka. Kau adalah panah yang tak pernah berhenti menemukan sasaran. Kau bergerak namun terlalu bergerak. Dan kau terlalu diam, saat semesta memintamu bergerak dan berteriak.
Maret 2013
Kucari Ludah
Seribu mulut kusapa kutemui
Seribu liur kutelan kuhisapi
Seribu berkah karomah kudatang kudapati
Seribu rajah pusaka kusadap kujilati
Lenyap...
Seribu mulut
mulutku busuk
Seribu mulut
akalku lapuk
Seribu mulut
hatiku suntuk
Seribu mulut
tubuhku ambruk
ada kucari liur dan ludah
lebih dari sekedar berkah dan karomah
ada kumimpi maki dan serapah
lebih sakti dan bertuah
Ludah...
Ludahi aku, nabi
Nabi,
Aku tak peduli mimpi suamu
Aku hanya ingin ludahmu
Nabi,
Ludahmu
Satu riak saja darimu
darimu
Nabi,
Satu riak ludah darimu,
untukku
Nabi,
Ludahi aku...ludahi aku...
27 April 200 di Kali Pesanggrahan, Lebak Bulus
Hariku menyusuri sungai gelap tak bertepi
Hujan dalam gerimis
Gerimis menghujankan
Rendra kecil, bercelana pendek dan berkalung salib
Ia keluar dari gapura pesantren sambil berlari
di ujung jalan, Rendra melesat dan raib
di persimpangan, Wahid berdiri dan menanti
Ia bersarung hijau bermotif kotak, tapi bukan salib
Rendra dan Wahid berpapasan di tengah perempatan jalan
tapi perempatan jalan itu bukan salib
Hei Rendra! Apa yang kamu bawa? Apakah kamu mencuri?
Ya, aku mencuri. Karena buku kecil ini hanya dihafal para santri
Lalu untuk apa kau mencuri kitab yang mustahil kau akan mengerti
Aku tak peduli untuk mengerti kitab ini, yang penting aku bisa mencuri
karena mencuri adalah peradaban agung yang telah lama dilupakan para santri
Rendra dan Wahid semakin mendekat
Mata keduanya saling beradu dan bersiasat
Rendra memegang erat Alfiyah
Wahid memegang erat Mastodon
Wahid merebut Alfiyah
Rendra merebut Mastodon
Tiba-tiba, keduduanya saling menampar
Rendra menampar Wahid dengan Mastodon, setelah Wahid memberikan pipi kirinya,
Wahid menampar Rendra dengan Alfiyah, setelah Rendra memberikan pipi kanannya,
Rendra!, setelah tamparan itu, sekarang kamu bisa menguasi Alfiyah yang kau curi
dan namamu sekarang adalah Alfiyah ibn Rendra
Wahid!, setelah tamparan tadi, kini kau bisa menyelenggarakan Mastodon di negeri ini
dan namamu sekarang adalah Jose Karosta Wahid
Kini keduanya duduk sambil menikmati Cendol di perempatan,
tapi bukan salib
Rendra, Cendol ini begitu lembut,
apakah kamu bisa mengerti Alfiyah itu dengan lembut?
Aku percaya jika Alfiyah ini begitu lembut, Wahid. Tapi Alfiyah bukan Cendol. Dan kenapa Alfiyah ibn Malik? Bukankah Alfiyah itu perempuan? Bukankah semestinya adalah Alfiyah bintu Malik?!
Dasar Cendol! Baru kutampar dengan Alfiyah saja kamu sudah mau mencari tahu siapa orangtua Alfiyah. Alfiyah memang feminin, tapi Alfiyah bukan perempuan. Alfiyah hanya nama yang membariskan seribu mantra untuk menelanjangi bahasa unta.
Lalu, harus aku apakan Alfiyah ini,
aku sudah kadung mencuri,
dan tak mungkin aku kembalikan kepada para santri
yang kini terlena dalam mimpi-mimpi menjadi wali.
Kau boleh membakar Alfiyah itu, Rendra
Karena kau sendiri telah menjadi Alfiyah
Kata-kata dan kalimatmu adalah mubtada yang menjadi khabar
Petikan syairmu adalah tasghir dari semua yang kau anggap akbar
Baiklah, Wahid. Hari ini juga engkau kubaptis untuk menjadi Jose Karosta dalam panggung Nusantara. Meski kau tak gondrong dan bercelana jeans, tapi kau lebih nyentrik dari Jose Karosta. Meski kau tak punya roti untuk melawan kesenian, tapi kau punya tahlil untuk melawan kesombongan.
Baiklah...
Kita akan tetap menulis, kita akan tetap bicara, kita akan tetap merdeka. Dunia lebih luas dari halaman pesantren. Kita akan mengadakan pembacaan sajak-sajak dan tahlil di Bukit Zaitun di luar kota.
Sebelum berpisah, aku akan meramalmu, Rendra
Kelak, kalung salibmu itu akan kau simpan di lemari tuamu
Sebelum berpisah, aku juga akan meramalmu, Wahid
Kelak, sarung hijaumu itu akan menjadi bendera bagi seluruh negeri yang tak bersarung
Rendra berlalu
Wahid berlalu
Mereka berpisah di perempatan jalan, tapi bukan salib
Mereka adalah lembaga, tapi mereka adalah pribadi
Seratus tahun kemudian,
Rendra berjalan mengenakan sarung hijau bermotif kotak, tapi seperti salib
Ia keluar dari gapura pesantren, tapi tak lagi berlari
Di perempatan jalan, Wahid bercelana pendek sedang sabar menunggu
Lalu keduanya bertemu, tapi tidak saling tampar
Karena keduanya tak lagi membawa Alfiyah atau Mastodon
Sambil menikmati Cendol hijau itu, Rendra berkata,
“Dimana naskah Mastodon itu?”
“Aku buang ke laut. Aku sudah selesai menjadi Jose Karosta. Lalu dimana Alfiyah itu?”
“Aku bakar di altar gereja. Karena aku tidak mau berbahasa unta. Bahasaku adalah Bahasa Indonesia.”
Lalu apa yang akan kau kerjakan?
Aku hanya ingin menikmati Cendol hijau ini.
Karena tak lama lagi Cendol ini akan punah menjadi Es Teler meski tidak memabukkan.
Lalu apa yang akan kau kerjakan?
Aku hanya ingin mencari tepung beras dan tepung kanji, agar aku masih punya kesempatan menikmati Cendol. Aku yakin, Cendol kita bisa dicampur dengan Es Teler yang tidak memabukkan.
Lalu dimana salibmu?
Telah lama salib itu aku gunakan untuk motif sarung-sarungku.
Lalu dimana sarungmu?
Telah lama sarung itu aku gunakan untuk menjadi selimut bagi mereka yang tertindas.
Keduanya terkekeh,
lalu melanjutkan menikmati Cendol hijau di perempatan jalan itu,
perempatan jalan yang mungkin seperti salib itu.
Jakarta, 5 Maret 2013
Seribu Mantra dalam Luka
: untuk seluruh santri
Jika kau pernah menghafal bait-bait mantra itu,
kau adalah anak zaman yang akan menjadi cahaya
seribu mantra itu bukan jumlah yang membuat takut para pelantun
seribu mantra itu hanya akan membuat jenuh para pelamun
itulah mengapa kau pantas menjadi cahaya.
Jika kau menjadi cahaya,
kau tak perlu takut berjalan dalam gelap kata-kata atau pun mantra-mantra
Denganmu yang mencahaya, kau akan menerangi kegelapan,
menelusuri harakat-harakat yang bersembunyi
dalam huruf-huruf yang manja.
Jika kau menjadi cahaya,
kau tak perlu mata
karena mata yang kau punya hanya menipu barisan mantra-mantra
karena mata yang kau punya selalu ingkar pada kesejatian makna.
Maka pejamkan saja matamu
bersama seribu mantra-mantra
semakin pejam dan pejam
biarkan luka-luka menganga dalam dada
Maka pejamkan saja matamu
bersama seribu mantra-mantra
semakin pejam dan pejam
biarkan nafas-nafas angkuh terlunta-lunta
Maka pejamkan saja matamu
bersama seribu mantra-mantra
semakin pejam dan pejam
biarkan bukan matamu yang mencandra
Maka pejamkan saja matamu
bersama seribu mantra-mantra
semakin pejam sepejam-pejamnya
biarkan dirimu semakin mencahaya
bukan cahaya kata, tapi cahaya makna
bukan cahaya tanda, tapi cahaya rasa
Jakarta, 7 Oktober 1998
Kesepian Air Terjun
Gerak adalah waktu yang mengisi ruang kemudian menjadi cahaya
Diam adalah ruang yang menguras waktu menjelma kegelapan
Jika kau diam dalam gerak, dan gerak dalam diam, maka kau adalah cahaya sekaligus kegelapan
Tapi kau terlalu bergerak sehingga lupa diam dalam gerakmu
Bahkan kau terlalu lama diam, membuat lumut dalam pantatmu makin rekat dan membius malasmu untuk bergerak
Cobalah kau merunduk seperti air terjun.
Ia terus menerus melompat turun tak peduli bebatuan yang menghadang di bawahnya.
Dan untuk apa kau menggenang dalam kubangan? Apakah kau berdalih menciptakan nyamuk dan lalat yang lincah menukik terbang? Kenapa kau masih menunggu lebat hujan demi singkirkan daki-daki lukamu dan luka sahabatmu? Selama dirimu larut dalam kubangan yang kau anggap wangi itu, sia-siakan saja dirimu. Karena dirimu telah lama menjadi sia-sia.
Kau terlalu berani tenggelam dalam ketakutan yang suram.
Kau juga terlalu takut melawan keberanianmu yang hampir padam.
Kemarilah segera. Lindungi dirimu dari lebat hujan yang membasah. Kau bukan batu yang mudah kering oleh hembus angin. Kau adalah bendera kusam yang penuh jahitan luka-luka. Kau adalah panah yang tak pernah berhenti menemukan sasaran. Kau bergerak namun terlalu bergerak. Dan kau terlalu diam, saat semesta memintamu bergerak dan berteriak.
Maret 2013
Kucari Ludah
Seribu mulut kusapa kutemui
Seribu liur kutelan kuhisapi
Seribu berkah karomah kudatang kudapati
Seribu rajah pusaka kusadap kujilati
Lenyap...
Seribu mulut
mulutku busuk
Seribu mulut
akalku lapuk
Seribu mulut
hatiku suntuk
Seribu mulut
tubuhku ambruk
ada kucari liur dan ludah
lebih dari sekedar berkah dan karomah
ada kumimpi maki dan serapah
lebih sakti dan bertuah
Ludah...
Ludahi aku, nabi
Nabi,
Aku tak peduli mimpi suamu
Aku hanya ingin ludahmu
Nabi,
Ludahmu
Satu riak saja darimu
darimu
Nabi,
Satu riak ludah darimu,
untukku
Nabi,
Ludahi aku...ludahi aku...
27 April 200 di Kali Pesanggrahan, Lebak Bulus
Hariku menyusuri sungai gelap tak bertepi
Hujan dalam gerimis
Gerimis menghujankan
ABDULLAH WONG, lahir di Jatirokeh, Brebes. Penggiat
Lab. Teater Ciputat. Menulis sajak, novel, esai dan skenario. Selain
menjadi editor lepas, Wong juga menjadi kontributor di radio Kis FM.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,48-id,43124-lang,id-c,puisi-t,Nyanyian+Alfiyah+dan+Tarian+Mastodon-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar