ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Senin, 18 Maret 2013

Pengadilan Kolonial Tetap Berjalan

============
Pengadilan Kolonial Tetap Berjalan
========================

Tanpa adanya prinsip kebenaran, maka perbedaan kepentingan akan membawa pada perbedaan sikap dan tindakan yang sewenang-wenang dengan atas nama keadilan atau obyektivitas. Karena kepentingan merampas tanah Nusantara, maka seluruh kekuatan bangsa yang hendak menuntut kebebasasn dianggap sebagai perusuh atau teroris. Tokoh besar seperti Diponegoro, Mahatma Gandhi yang oleh bangsanya dianggap sebagai pahlawan pembawa keadilan, oleh colonial dianggap perusuh dan teroris yang harus dimusnahkan.

Tokoh seperti Soekarno, Ali Jinnah, Jawaharlal Nehru, semuanya teroris di mata kolonial, padahal mereka perang membela nasib bangsanya yang ditindas dan diperas oleh sistem kolonialime Barat. Kelakuan seperti itu terus berjalan dalam dunia kolonial Barat baik atas nama PBB, Mahkamah Internasional termasuk atas nama International Criminal Court (ICC). Kepentingan ekonomi selalu melatarbelakangi keputusan mereka.

Bisa anda bayangkan ketika Indonesia bisa membebaskan Timor Timur dari penjajahan Portugis, lalu membngunnya, mulai infrastruktur, pembangunan sistem pemerintahan modern dan membangun dunia Pendidikan. Tiba-tiba Indonesia dituduh melakukan pemerasan dan pelanggaran HAM di sana. Anehnya, Portugis yang menjajah negeri itu selama ratusan tahun dan menjarah kekayaan bangsa itu tidak pernah dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan. Ya, ini semua karena cara pandang lembaga-lembaga international itu masih bersifat kolonial. Dan setelah wilayah itu merdeka, juga menjadi ajang jarahan kekuatan internasional, sehingga kehidupan ekonomi semakin susah dan secara politik semakin kacau.

Sikap politiik semacam itu yang melatarbelakangi International Criminal Court yang menetapkan Presiden Sudan Omar Bashir sebagai penjahat yang harus ditangkap, karena dianggap melakukan kejahatan kemanusiaaan di Daftur. Mereka tidak mempertimbangkan sama sekali bahwa untuk mempertahankan kesatuan dan keamanan Negara, pemerintah harus berbuat tegas. Kalau tidak, Negara akan hancur dan ini masih dalam kekuasaaan sang presiden, sehingga tidak pada tempatnya memvonis seorang pimpinan yang menjalankan kepemimpinannya sebagai penjahat.

Banyak para pemimpin Negara Islam yang didakwa sebagai penjahat mulai dari Tokoh Suci seperti Ayatullah Khomeini, Muammar Qadafi, Saddam Hussein dan sebagainya.  Sementara para kolonial tidak melakukan hal serupa terhadap pemimpin yang jelas membasmi kemanusiaan seperti Simon Peres. Ketika dia menjabat sebagai perdana Menteri Israel dengan kejam ia melakukan penindasan terhadap rakyat Palestina. Jangankan mendapat tuduhan sebagai penjahat atau teroris, sebaliknya malah mendapatkan penghargaan tertinggi yaitu Nobel Perdamaian tahun 1994. Dengan penghormatan palsu itu, dia makin percaya diri dengan mendirikan Peres Centre for Peace. Sebagai tokoh perdamaian, perangai ganas Peres tidak hilang. Terbukti ketika menjadi Presiden Israel, ia memerintahkan pembasmian penduduk Gaza yang menewaskan ribuan rakyat dan menghancurkan seluruh bangunan di negeri itu.

Mengingat kenyataan seperti itu, maka sangat bijak sikap pemerintah Republik Indonesia yang mengusulkan untuk menunda eksekusi terhadap presiden Omar Bashir  itu dengan mengutamakan pursuit of peace (jalan damai) bukan sekadar promotion of justice (pencarian keadilan) yang tidak adil itu. Sementar NU lebih tegas lagi bahwa keputusan itu harus dikaji ulang, karena kalau data yang diperoleh tidak sahih (akurat), maka pengadilan internasional akan terjadi salah tangkap dan menjatuhkan keputusan berdasarkan asumsi data dan bukti-bukti yang keliru. Karena konflik di Daftur adalah konflik antra etnis, yang kemudian disulut oleh kekuatan asing untuk menguasai ladang minyak di kawasan itu. Karena itu, NU menolak internasionalisasi konflik di Daftur, sehingga berakibat mengganggu keamanan  di seluruh negeri, bahkan mengancam kepala negaranya karena semua ini sebuah persekongkolan jahat.

Langkah itu setidaknya mengajarkan agar seseorang tidak lekas percaya pada informasi dan berbagai opini yang disebarkan melalui forum ilmiah ataupun politik termasuk pengadilan yang berwatak kolonial, yang menetapkan keputusan tidak berdasarkan kebenaran dan keadilan yang hakiki, melainkan berdasarkan perebutan aset ekonomi, sumber daya alam yang ada di kawasan itu. Negara-negara Islam mesti memiliki kemandirian dan keberanian dalam mengelola politik dan sumber daya ekonominya sendiri.

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,3-id,16331-lang,id-c,analisa+berita-t,Pengadilan+Kolonial+Tetap+Berjalan-.phpx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar