Tahlil, Ajang Persatuan Masyarakat
======================
Ahad
(17/3) malam menjadi momen penting bagi Marzuki. Warga Ciganjur,
Jagakarsa, Jakarta Selatan ini sedang menggelar peringatan 40 hari
meninggal putra tercintanya Muhammad Fahrur Rozi (14). Ratusan jamaah
berjubel di ke rumahnya yang tak teralu besar.
Jamaah yang datang dari sekitar rumah dan beberapa desa tetangga ini serentak mengumandangkan surat Yasin, tahlil, shalawat, tashbih, istighfar, serta sejumlah ayat al-Qur’an lain. Serangkaian ritual yang kerap disebut ”tahlil” ini berlangsung khidmat selama kurang lebih satu jam.
”Saya ucapkan terima kasih kepada tetangga depan rumah saya, yang ikhlas rumahnya ditempati jamaah tahlil,” ujarnya saat memberi sambutan. Rumah Marzuki memang tergolong sempit, bahkan untuk menampung 50 orang saja. Sebagai gantinya, ia memanfaatkan pelataran dan rumah tetangganya.
Pendapat cukup unik disampaikan seorang penceramah dalam acara itu, KH Abdul Hadi. Menurut dia, tahlil adalah bagian dari pengamalan Pancasila karena segenap praktik di dalamnya mencerminkan nilai-nilai yang selaras dengan lima butir asas tersebut.
”Semua duduk setara di sini, dengan guyup, dan penuh kerukunan. Ini merupakan simbol persatuan masyarakat kita,” katanya mencontohkan.
Menurut Hadi, tahlil merupakan sarana ampuh untuk memupuk kebersamaan. Sebagaimana ditunjukkan malam itu, masyarakat terlihat antusias meluangkan waktu untuk mendoakan sesama. Kehadiran mereka menjadi tanda solidaritas dan sikap turut belasungkawa atas musibah tetangganya.
Usai memanjatkan doa dan mendapat nasehat tentang arti hidup dan kematian, jamaah bersiap pulang. Sebelum beranjak, mereka bersantap malam bersama dalam suasana keakraban.
Jamaah yang datang dari sekitar rumah dan beberapa desa tetangga ini serentak mengumandangkan surat Yasin, tahlil, shalawat, tashbih, istighfar, serta sejumlah ayat al-Qur’an lain. Serangkaian ritual yang kerap disebut ”tahlil” ini berlangsung khidmat selama kurang lebih satu jam.
”Saya ucapkan terima kasih kepada tetangga depan rumah saya, yang ikhlas rumahnya ditempati jamaah tahlil,” ujarnya saat memberi sambutan. Rumah Marzuki memang tergolong sempit, bahkan untuk menampung 50 orang saja. Sebagai gantinya, ia memanfaatkan pelataran dan rumah tetangganya.
Pendapat cukup unik disampaikan seorang penceramah dalam acara itu, KH Abdul Hadi. Menurut dia, tahlil adalah bagian dari pengamalan Pancasila karena segenap praktik di dalamnya mencerminkan nilai-nilai yang selaras dengan lima butir asas tersebut.
”Semua duduk setara di sini, dengan guyup, dan penuh kerukunan. Ini merupakan simbol persatuan masyarakat kita,” katanya mencontohkan.
Menurut Hadi, tahlil merupakan sarana ampuh untuk memupuk kebersamaan. Sebagaimana ditunjukkan malam itu, masyarakat terlihat antusias meluangkan waktu untuk mendoakan sesama. Kehadiran mereka menjadi tanda solidaritas dan sikap turut belasungkawa atas musibah tetangganya.
Usai memanjatkan doa dan mendapat nasehat tentang arti hidup dan kematian, jamaah bersiap pulang. Sebelum beranjak, mereka bersantap malam bersama dalam suasana keakraban.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,43149-lang,id-c,daerah-t,Tahlil++Ajang+Persatuan+Masyarakat-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar