ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Senin, 03 Agustus 2015

"GITU AJA KOK REPOT": Bermakna Luas&Bisa Multi Tafsir ....


"GITU AJA KOK REPOT": Bermakna Luas&Bisa Multi Tafsir ....

Ini Pasal Tatib Muktamar Paling Alot Dibahas Dalam MUKTAMAR KE-33 NU



MUKTAMAR KE-33 NU
Ini Pasal Tatib Muktamar Paling Alot Dibahas:
----------------
Sidang Pleno Pembacaan Tata Tertib Muktamar ke-33 NU di Jombang berlangsung sangat lama. Beberapa kali terjadi ketegangan. Beberapa kali dibacakan shalawat badar. Beberapa kali sidang diskorsing.

Sidang dimulai Ahad (3/8) pagi, dan hingga tengah malam baru menyelesaikan 18 pasal dari 23 pasal yang dibahas. Sidang dihentikan pada saat pembahasan pasal 19. Pasal ini terkait sistem Ahlul Halli wal Aqdi untuk pemilihan Rais Aam PBNU.

Pasal 19 yang berbunyi. "Pemilihan Rais Aam dilakukan secara musyawarah mufakat melalui sistem Ahlul Halli wal Aqdi." “Ini pasal yang kita tunggu-tunggu,” kata Ketua Sidang Pleno H Slamet Effendy Yusuf saat memulai pembahasan pasal 19.

Pantauan dari ruang sidang, para pimpinan sidang nampak harus memimpin muktamirin dengan ekstra sabar dan adil karena begitu pasal tersebut dibacakan ratusan interupsi dari para muktamirin bermunculan.

Slamet Efendi akhirnya harus mendata terlebih dahulu para peserta yang akan menyampaikan aspirasinya. Sekitar 131 peserta terdata mulai diberikan kesempatan satu persatu untuk bertanya ataupun memberikan usulan.

Namun belum genap 10 peserta menyampaikan keinginan, keadaan sudah tidak kondusif lagi. Hal ini dikarenakan beberapa isi yang disampaikan cenderung menyudutkan pihak pihak tertentu dan mengakibatkan respon emosional. Ditambah lagi dengan beberapa peserta yang menyampaikannya dengan nada tinggi. Hal inilah yang membuat suasana menghangat sehingga sidang harus diskors beberapa kali.

Terakhir, sidang diskors tengah malam tanpa ada pemberitahuan kapan akan dilanjutkan lagi. Informasi yang diterima NU Online, sidang baru akan dimulai pukul 13.00 siang ini.

Menanggapi kondisi ini Rais Syuriyah PCNU Pringsewu KH Ridwan Syueb mengajak kepada muktamirin yang akan menyampaikan pendapat untuk mengedepankan akhlak mulia yang diwujudkan dengan perkataan yang lembut.

"Berkatalah dengan santun, lembut dan jangan bernada tinggi dalam menyampaikan pendapat," ajaknya. "Sebenarnya apa yang disampaikan memiliki muatan yang bagus, namun cara penyampaiannya yang perlu diperbaiki," tambahnya.

Sementara Katib Syuriyah PCNU Tanggamus Lampung H. Syamsul Hadi mengatakan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang biasa. Hal ini menunjukkan bahwa Pengurus NU memiliki pola pikir yang kritis dalam menyikapi sesuatu.

"Inilah ciri khas NU. Dan jangan heran, dinamika seperti ini akan selesai dengan baik karena para kyailah yang akan memberikan kesejukan dalam penyelesaiannya," jelas Samsul yang juga menjadi Wakil Bupati Tanggamus.(nu.or.id)

GUS MUS (Rais Aam PBNU) Tampil Dalam Muktamar NU Ke-33, Persidangan Tatib Tuntas


GUS MUS (Rais Aam PBNU) Tampil Dalam Muktamar NU Ke-33, Persidangan Tatib Tuntas.
--------------
Pejabat Rais Aam PBNU KH A Mustofa Bisri atau Gus Mus akhirnya hadir dan berbicara di hadapan peserta Muktamar Ke-33 NU yang sebelumnya diwarnai perdebatan tajam antamuktamirin. Ia datang di persidangan tata tertib Muktamar setelah bermusyawarah dengan para rais syuriah dan para kiai sepuh NU, Senin (3/8).

Gus Mus yang mengaku terus menyimak tiap persidangan mengungkapkan keprihatinannya atas citra yang begitu buruk sebagaimana digambarkan media massa. Padahal, menurutnya, NU bukan hanya ormas keagamaan yang ditunggu perannya di Indonesia tapi juga dunia.

"Saya malu kepada Allah, malu kepada Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari, kepada KH Abdul Wahab Chasbullah, saya malu kepada KH Ramli Tamim, dan pendahulu-pendahulu kita," ujarnya dengan mata berkaca-kaca di forum yang digelar di alun-alun Jombang, Jawa Timur itu.

Gus Mus lalu menyampaikan hasil kesepakatan para kiai sepuh dan rais syuriyah yang bermusyawarah sejak siang. Poin yang disepakati adalah apabila ada pasal yang tidak disepakati muktamarin akan diselesaikan dengan pemungutan suara.

Persidangan langsung dilanjutkan begitu Gus Mus selesai memberikan pesan kepada muktamirin. Forum yang sebelumnya dihujani interupsi mendadak sangat tenang. Sidang yang dipimpin Ketua PBNU Slamet Effendi Yusuf itu berlangsung lancar tanpa disela pertanyaan dan interupsi apapun kecuali kata "setuju".

Pasal yang memuat tentang ahlul halli wal aqdi dihapus. Karena menyangkut pemilihan pemimpin baru yang diatur oleh AD/ART NU, maka pasal pemilihan rais aam dan ketua umum merujuk pada hasil sidang Komisi Organisasi yang digelar di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar.

Muktamirin serentak mengumandangkan shalawat begitu sidang ditutup oleh pimpinan sidang. Suasana haru menyelimuti arena muktamar.

Sebelumnya Gus Mus mengaku berat menanggung amanat sebagai pejabat rais aam yang sesungguhnya tidak ia kehendaki. Ia memohon maaf kepada muktamirin atas segala ketidaknyamanan yang terjadi. Sore ini juga para peserta muktamar menuju ke empat pesantren, antara lain di Tebuireng, Denanyar, Peterongan, dan Tambakberas, untuk melangsungkan sidang-sidang komisi. (nu.or.id)

Cuplikan pidato Pro Kontra GUS MUS Tentang Tatib Muktamar NU Ke-33 : SAYA MALU KEPADA ALLOH


Cuplikan pidato Pro Kontra GUS MUS Tentang Tatib Muktamar NU Ke-33 : SAYA MALU KEPADA ALLOH, malu pada KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri dan para pendahulu kita:
--------------
Akhirnya sidang pleno yang membahas tata tertib bisa dituntaskan. Ini antara lain berkat kehadiran pejabat Rais Aam KH Mustofa Bisri di arena sidang. Berikut cuplikan pidato beliau yang menyentuh.

Ketika saya ikuti ikuti persidangan-persidangan yang sudah lalu, saya menangis karena NU yang selama ini dicitrakan sebagai organisasi keagamaan, panutan penuh dengan akhlakul karimah, yang sering mengkritik praktik-praktik tak terpuji dari pihak lain ternyata digambarkan di media massa begitu buruknya. Saya malu kepada Allah, malu pada KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri dan para pendahulu kita. Lebih-lebih ketika saya disodori koran yang headlinenya ‘Muktamar NU Gaduh, Muktamar Muhammadiyah Teduh’.

Saya mohon sekali lagi, kita membaca surat Al-Fatihah dengan ikhlas, mohon syafaatnya (Nabi Muhammad SAW).
Rais Aam yang membikin saya menjadi punya posisi seperti ini, KH Sahal Mahfud, mengapa beliau wafat sehingga saya memikul beban ini. Saya pinjam telinga anda, doakan saya. Ini terakhir saya menjabat jabatan yang tidak pantas bagi saya.

Dengarkanlah saya sebagai pemimpin tertinggi anda. Mohon dengarkan saya, dengan hormat kalau perlu saya mencium kaki-kaki anda semua agar mengikuti akhlakuk karimah, akhlak KH Hasyim Asy’ari dan pendahulu kita.

Saya panggil kiai sepuh, rata-rata mereka prihatin semua, prihatin yang sangat mendalam. Di tanah ini terbujur kiai-kiai kita, di sini NU didirikan apa kita mau meruntuhkan di sini juga, naudzubillah. Saya mohon dengan kerendahan hati anda melepasksan semuanya, dan mem

Jadi, telah mempelajari situasi, maka para kiai yang berkumpul sampai tadi siang, di samping keprihatinan juga beberapa poin yang perlu dijadikan pedoman pembahasan selanjutnya. Cuma sedikit yang kita sepekati untuk solusi agar tidak sama dengan di Senayan.

Pertama, apabila ada pasal yang belum disepakati dalam muktamar tentang pemilihan Rais Aam, tak bisa melalui musyawarah mufakat, maka akan dilakukan pemungutan suara oleh para Rais Syuriah.

Kalau nanti anda-anda tidak bisa disatukan lagi, maka saya dengan para kiai memberikan solusi: kalau bisa musyawarah, kalau tak bisa pemungutan suara. Itu AD/ART kita. Karena ini urusan pemilihan Rais Aam, maka kiai-kiai akan memilih pemimpin kiai.

Dan tatib yang sudah disepakati perlu segara dilakukan. Kalau ini anda tetap tidak terima, maka saya yang terima, karena saya hanya Mustafa Bisri. Saya hanya orang yang ditimpa kecelakaan menjadi pengganti Kiai Sahal. Kalau tidak, lepaskan saya saja.

Doakan mudah-mudahan saya hanya sekian saja untuk jadi Rais Aam. Saya sejak belum tidur, bukan apa-apa, karena memikirkan anda-anda sekalian. Saya mohon maaf kepada semua muktamirin terutama yang dari jauh dan tua-tua, teknis panitia yang mengecewakan anda, maafkanlah mereka, maafkan saya. Itu kesalahan saya, mudah-mudahan anda sudi memaafkan saya.
ikirkan Allah dan pendiri kita.

Minggu, 02 Agustus 2015

Gus Dur: Islamku, Islam Anda, Islam Kita


Islamku, Islam Anda, Islam Kita
Oleh KH Abdurrahman Wahid.

Saat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.

Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.

Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

***

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.

Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan lain.

Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

***

Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.

Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.

Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?  (nu.or.id)


*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute).

Salahkah Jika Dipribumikan?


Salahkah Jika Dipribumikan? 
Oleh Abdurrahman WahidIslam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Bukan ajarannya, melainkan penampilan kesejarahan itu sendiri, meliputi kelembagaannya. Mula-mula seorang nabi membawa risalah (pesan agama, bertumpu pada tauhid) bernama Muhammad, memimpin masyarakat muslim pertama. Lalu empat pengganti khalifah meneruskan kepemimpinannya berturut-turut. Pergolakan hebat akhirnya berujung pada sistem pemerintahan monarki.
Begitu banyak perkembangan terjadi. Sekarang ada sekian republik dan sekian kerajaan mengajukan klaim sebagai ‘negara Islam’. Ironisnya dengan ideologi politik yang bukan saja saling berbeda melainkan saling bertentangan dan masing-masing menyatakan diri sebagai ‘ideologi Islam’. Kalau di bidang politik terjadi ‘pemekaran’ serba beragam, walau sangat sporadis, seperti itu, apalagi di bidang-bidang lain.
Hukum agama masa awal Islam kemudian berkembang menjadi fiqh, yurisprudensi karya korps ulama pejabat pemerintah (qadi, mufti, dan hakim) dan ulama ‘non-korpri’. Kekayaan sangat beragam itu lalu disistematisasikan ke dalam beberapa buah mazhab fiqh, masing-masing dengan metodologi dan pemikiran hukum (legal theory) tersendiri.
Terkemudian lagi muncul pula deretan pembaharuan yang radikal, setengah radikal, dan sama sekali tidak radikal. Pembaharuan demi pembaharuan dilancarkan, semuanya mengajukan klaim memperbaiki fiqh dan menegakkan ‘hukum agama yang sebenarnya’, dinamakan Syari’ah. Padahal kaum pengikut fiqh dari berbagai mazhab itu juga menamai anutan mereka sebagai syari’ah.
Kalau di bidang politik - termasuk doktrin kenegaraan - dan hukum saja sudah begitu balau keadaannya, apalagi dibidang-bidang lain, pendidikan, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya. Tampak sepintas lalu bahwa kaum muslimin terlibat dalam sengketa di semua aspek kehidupan, tanpa terputus-putus. Dan ini lalu dijadikan kambing hitam atas melemahnya posisi dan kekuatan masyarakat Islam.
Dengan sendirinya lalu muncul kedambaan akan pemulihan posisi dan kekuatan melalui pencarian paham yang menyatu dalam Islam, mengenai seluruh aspek kehidupan. Dibantu oleh komunikasi semakin lancar antara bangsa-bangsa muslim semenjak abad yang lalu, dan kekuatan petrodollar negara-negara Arab kaya minyak, kebutuhan akan ‘penyatuan’ pandangan itu akhirnya menampilkan diri dalam kecenderungan sangat kuat untuk menyeragamkan pandangan. Tampillah dengan demikian sosok tubuh baru: formalisme Islam. Masjid beratap genteng, yang sarat dengan simbolisasi lokalnya sendiri negeri kita, dituntut untuk ‘dikubahkan’. Budaya Wali Songo yang serba ‘Jawa’, Saudati Aceh,Tabut Pariaman, didesak ke pinggiran oleh kasidah berbahasa Arab dan juga MTQ yang berbahasa Arab: bahkan ikat kepala lokal (udeng atau iket di Jawa ) harus mengalah kepada sorban ‘merah putih’ model Yasser Arafat.
Begitu juga hukum agama, harus diseragamkan dan diformalkan: harus ada sumber pengambilan formalnya, Al-Qur’an dan Hadist, padahal dahulu cukup dengan apa kata kiai. Pandangan kenegaraan dan ideologi politik tidak kalah dituntut harus ‘universal’; yang benar hanyalah paham Sayyid Qutb, Abul A’la al-Maududi atau Khomeini. Pendapat lain, yang sarat dengan latar belakang lokal masing-masing, mutlak dinyatakn salah.
Lalu, dalam keadaan demikian, tidakkah kehidupan kaum muslimin tercabut dari akar-akar budaya lokalnya? Tidakkah ia terlepas dari kerangka kesejarahan masing-masing tempat? Di Mesir, Suriah, Irak, dan Aljazair, Islam ‘dibuat’ menentang nasionalisme Arab - yang juga masing-masing bersimpang siur warna ideologinya.
Di India ia menolak wewenang mayoritas penduduk yang beragama Hindu, untuk menentukan bentuk kenegaraan yang diambil. Di Arab Saudi bahkan menumpas keinginan membaca buku-buku filsafat dan melarang penyimakan literatur tentang sosialisme. Di negeri kita sayup-sayup suara terdengar untuk menghadapkan Islam dengan Pancasila secara konfrontatif - yang sama bodohnya dengan upaya sementara pihak untuk menghadapkan Pancasila dengan Islam.
Anehkah kalau terbetik di hati adanya keinginan sederhana: bagaimana melestarikan akar budaya-budaya lokal yang telah memiliki Islam di negeri ini? Ketika orang-orang Kristen meninggalkan pola gereja kota kecil katedral ‘serba Gothik’ di kota-kota besar dan gereja kota kecil model Eropa, dan mencoba menggali Aritektur asli kita sebagai pola baru bangunan gereja, layakkah kaum muslimin lalu ‘berkubah’ model Timur Tengah dan India? Ketika Ekspresi kerohanian umat Hindu menemukan vitalitasnya pada gending tradisional Bali, dapatkah kaum muslimin ‘berkasidahan Arab’ dan melupakan ‘pujian’ berbahasa lokal tiap akan melakukan sembahyang?
Juga mengapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?
Kesemua kenyataan di atas membawakan tuntutan untuk membalik arus perjalanan Islam di negeri kita, dari formalisme berbentuk ‘Arabisasi total’ menjadi kesadaran akan perlunya dipupuk kembali akar-akar budaya lokal dan kerangka kesejarahan kita sendiri, dalam mengembangkan kehidupan beragama Islam di negeri ini. Penulis menggunakan istilah ‘pribumisasi Islam’, karena kesulian mencari kata lain. ‘Domestikasi Islam terasa berbau politik, yaitu penjinakan sikap dan pengebirian pendirian.
Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka. Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan ‘Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa’. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya. Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan? (nu.or.id)

*) Tulisan ini pernah dimuat Tempo, 16 Juli 1983

Pribumisasi Islam Oleh Gus Dur





Pribumisasi Islam Oleh KH Abdurrahman Wahid.
Islam, Budaya dan Pribumisasi
Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Bisa dibandingkan dengan independensi antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak bisa berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Di antara keduanya terjadi tumpang tindih dan sekaligus perbedaan-perbedaan.

Agama (Islam) bersumberkan wahyu dan memiliki norma-normanya sendiri. Karena bersifat normatif, maka ia cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya adalah buatan manusia, karenanya ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Maka muncullah tari 'seudati', cara hidup santri, budaya menghormati kyai dan sebagainya, dengan wawasan budaya dari agama secara langsung diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat tanpa mempersoalkan dalilnya. Umat Islam abangan yang menjauhi 'ma lima' (mabuk, berjudi, mencuri, berbuat amoral, mengisap ganja) belum tentu dengan alasan keagamaan tetapi sangat boleh jadi karena alasan-alasan budaya, misalnya ketaatan kepada kyai atau orang tua.

Tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus-menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi budaya akan memungkinkan adanya persambungan antara berbagai kelompok atas dasar persamaan-persamaan, baik persamaan agama maupun budaya. Upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduanya, sebab kalau manusia dibiarkan pada fitrah rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan sendirinya.
Sebagai contoh adalah redanya semangat ulama dalam mempersoalkan rambut gondrong. Jika sebuah stadion sebaiknya mempunyai mushalla, meskipun kecil, bukan berarti untuk mencegah tabrakan antara shalat dengan sepak bola, akan tetapi karena pada kenyataannya pertandingan sepak bola hampir selalu diadakan ketika waktu shalat Asar masuk. Jadi akomodasi ini bukan dilakukan karena terpaksa akan tetapi adalah sesuatu yang timbul secara alami, menandai terjadinya proses pribumisasi.

Masjid Demak adalah sebuah contoh yang konkret dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masjid tersebut diambilkan dari konsep 'Meru' dari masa pra-Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, iman, islam dan ihsan. Pada mulanya orang baru beriman saja, kemudian ia melaksanakan islam ketika telah menyadari pentingnya syari'at. Barulah ia mamasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan mendalami tasawuf, hakekat dan ma'rifat.
Pada tingkat ini mulai disadari bahwa keyakinan tauhid dan ketaatan kepada syari'at mesti berwujud kecintaan kepada sesama manusia. Mengasihi diri sendiri dengan melepaskan kecintaan kepada materi dan menggantinya dengan kecintaan kepada Allah adalah bentuk rasa kasih yang tertinggi. Pada tahap berikutnya, datanglah bentuk masjid ala Timur Tengah, dengan bentuk kubah dan segala ornamennya. Terjadilah kemudian proses arabisasi, meskipun pada mulanya bentuk masjid baru ini ditolak oleh Masjid Ngampel dan Pakojan. Bentuk kubah lambat laun menjadi sesuatu yang normatif dan harus. Sedangkan semangat pribumisasi menganggap kedua model ini sama saja.

Bahaya dari proses Arabisasi atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya ini tidak hilang. Inti pribumisasi Islam adalah kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi demikian memang tak terhindarkan.

Sebagai titik tolak dari upaya rekonsiliasi ini adalah meminta agar wahyu difahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Dalam proses ini pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Al-Qur'an adalah harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini telah merupakan norma. Sedang terjemahan al-Qur'an hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan menggantikan al-Qur'an sendiri.

Pribumisasi Islam bukanlah 'jawanisasi' atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa menambah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada Ushul Fiqh dan Qaidah Fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan teologia atau sistem kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membuat bentuk panteisme. Sinkretisme hal ini bisa dicontohkan dengan kuil 1000 dewa di India, Iran dan Timur Tengah zaman dahulu. Setiap penjajah yang masuk menambahkan tuhan yang baru untuk disembah bersama-sama dengan tuhan-tuhan yang lama. Pada suatu tahap akhirnya manusia pun dipertuhan dan bahkan pula malaikat (seperti pada agama Kong Hu cu). Malaikat bisa didekati agar melakukan intervensi terhadap kekuasaan tuhan, sehingga ia pun lebih berkuasa dari tuhan sendiri.

Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah ini membentuk sebuah sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cabangan sehingga sungai ini semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang menambah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai ini mungkin terkena 'limbah industri' yang sangat kotor. Tapi toh, tetap merupakan sungai yang sama dan air yang lama. Maksud dari perumpamaan ini adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.

Sebagai contoh, pada mulanya ditetapkan haramnya berjabatan tangan antara laki-laki dan perempuan yang ajnabi. Ketentuan ini merupakan bagian dari keseluruhan perilaku atau akhlak orang Islam. Ketika ketentuan ini masuk ke Indonesia, masyarakatnya telah memiliki berbagai kebudayaan. Misalnya, adat Sunda mempunyai jabatan tangan 'ujung jari'. Setelah berjalan sekian abad, masuk pula budaya Barat dengan jabatan tangannya yang tegas dan tak pilih-pilih. Hasilnya di masyarakat Islam saat ini adalah  sebagian mereka, termasuk para birokrat dalam bidang agama dan para pemimpin organisasi, melakukan jabatan tangan dengan lawan jenis, sedang para Kyai yang hidup dengan fiqh secara tuntas tetap bertahan untuk tidak melakukannya.

Lalu apakah dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Islam telah mengalami erosi di Indonesia? Jawabnya adalah 'tidak', sebab Islam sebagai sebuah totalitas tetap berjalan seperti sedia kala. Karena para pemeluknya tetap melakukan shalat, pergi ke masjid, membayar zakat, pergi ke madrasah dan sebagainya. Dengan kata lain, secara kultural kita melihat adanya perubahan pada partikel-partikel dan tidak pada aliran besarnya. Umat Islam tetap melihat berpacaran bebas model Barat sebagai tidak Islami dan berusaha agar anak-anak mereka tidak melakukannya.

Fiqh dan Adat

Di dalam Ilmu Ushul Fiqh dikenal kaidah al 'adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum). Di Indonesia telah lama terjadi bahwa pembagian waris antara suami-istri mendapatkan masukan berupa dua model yang berasal dari adat, yaitu adat perpantangan di Banjarmasin dan gono gini di Yogyakarta-Solo yang pada perkembangannya juga menyebar di Jawa Timur. Keduanya adalah respon masyarakat adat yang berada di luar lingkup pengaruh kyai terhadap ketentuan nash dengan pemahaman lama yang merupakan pegangan para kyai itu. Harta rumah tangga dianggap sebagai perolehan suami-istri secara bersama-sama, yang karenanya mesti dipisahkan dulu sebelum diwariskan, ketika salah satu suami/istri meninggal.
Separoh dari harta itulah yang dibagi kepada para ahli waris menurut hukum waris Islam, sedang separoh lainnya adalah milik dari suami/istri yang masih hidup. Teknik demikian adalah perubahan mendasar terhadap hukum waris, dan bentuk-bentuk penyesuaian seperti ini berjalan sementara para ulama merestuinya, walaupun (seraya) tidak menganggapnya sebagai cara pemecahan utama. Sebab pemecahan utama justru adalah yang seperti ditentukan oleh syara' secara apa adanya. Letak kemajuannya adalah bahwa penyesuaian-penyesuaian seperti ini bukan hanya tidak diharamkan tetapi bahkan dianggap sebagai adnal qaulaini (pendapat dengan mutu nomor dua) dan tidak dipersoalkan sebagai sesuatu yang mengganggu prinsip.

Dalam kaitannya dengan pernikahan misalnya, sebenarnya rukun bagi sahnya hubungan suami istri sangat sedikit, yaitu ijab, qabul, saksi dan wali. Sedang selebihnya diserahkan kepada adat, misalnya tentang pelaksanaan upacara peresmiannya. Di sini adat berperan sebagai penghubung pola-pola perilaku baru dengan tetap berpijak kepada aturah normatif dari agama. Pola hubungan agama dan adat seperti ini sehat sekali. Bahwa pakaian pengantin Jawa menampakkan bagian bahu mempelai wanita, orang Islam tidak memandang hal itu sama rusaknya dengan zina, durhaka kepada orang tua dan kejahatan-kejahatan berat lainnya. Kekurangan seperti itu umumnya bisa dimaklumi sebagai bagian dari adat, selama syarat-syarat keagamaan dari nikah dan pengaturan hubungan selanjutnya, seperti soal nafkah dan kewajiban-kewajiban rumah tangga; masih datur secara Islam Sedangkan manifestasi kulturalnya diserahkan kepada adat. Hal ini sudah berjalan beberapa abad dan memang selalu ada perubahan-perubahan tanpa banyak menimbulkan reaksi karena berjalan secara sendiri-sendiri, Pola hubungan ini ditampung dalam al 'adah muhakkamah, sehingga adat istiadat bisa disantuni tanpa mengurangi sahnya perkawinan.

Akan tetapi harus disadari bahwa penyesuaian ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya diperkenankan sepanjang menyangkut sisi budaya. Dalam soal wali nikah, ayah angkat tetap bukan wali nikah untuk anak angkatnya Ketentuan ini adalah norma agama, bukan kebiasaan. Ini jelas berbeda dengan cara penempatan siswa di sekolah-sekolah Timur Tengah. Di sana, siswa laki-laki dan perempuan tingkat SD, SMP dan SMA ditempatkan di ruangan terpisah dan baru boleh disatukan di tingkat perguruan tinggi. Keputusan ini didasarkan atas anggapan bahwa para remaja umumnya kurang memiliki pertimbangan dan sangat dipengaruhi nafsu. Kelemahan-kelemahan ini telah bisa diatasi oleh mereka yang telah mengalami kedewasaan dan kematangan, yaitu pada usia memasuki perguruan tinggi.
Cara ini bukanlah ketentuan agama, tapi logika agama, yaitu campuran hukum agama dan logika. Dari sini bisa muncul adat istiadat, dan adat pengaturan penempatan siswa seperti itu memang lalu mengeras di Timur Tengah. Sebaliknya di Indohesia, ulama melihat dari sudut Iain, yaitu bahwa tidak ada tempat yang lebih aman daripada sekolah, meskipun belum sama sekali memadai. Sehingga para ulama memperbolehkan dimasukinya sekolah, meskipun siswa dan siswi duduk dalam satu kelas (ko edukasi).

Mengembangkan Aplikasi Nash

Karena adanya prinsip-prinsip yang keras dari Hukum Islam, maka adat tidak bisa merubah nash itu sendiri melainkan hanya merubah atau mengembangkan aplikasinya saja, dan memang aplikasi itu akan berubah dengan sendirinya. Misalnya, Nabi tidak pernah menetapkan beras sebagai benda zakat, melainkan gandum. Lalu ulama yang mendefinisikan gandum sebagai qutul balad, makanan pokok. Dan karena definisi itulah, gandum berubah menjadi beras untuk Indonesia.

Kasus lain yang kontemporer dari pengembangan aplikasi nash ini adalah pemahaman ayaf al-Qur'an tentang bolehnya menikah dengan maksimal empat wanita dan kalau tidak bisa menegakkan keadilan, wajib hanya menikah dengan seorang wanita saja (Q.S. 4:3). Pada mulanya keadilan ini diukur dengan keseimbangan jatah giliran menginap dan nafkah. yang berarti hak menambah jumlah istri adalah mutlak di tangan suami. Akan tetapi sekarang sudah terasa perlunya mempertanyakan "mengapa begitu simplistiknya konsep keadilan itu, bagaikan Islam menghargai wanita hanya dengan ukuran-ukuran biologis. Semakin terdengar kebutuhan untuk mengembangkan pemahaman terhadap nash itu menjadi keadilan yang dirasakan oleh obyek dari tindakan poligini (permaduan) itu, di mana laki-laki dan wanita sama-sama didudukkan sebagai subyek hukum. Sebab pelaksanaan poligini saat ini selalu dirasakan oleh kaum wanita sebagai tidak adil, kecuali dalam keadaan yang ekstrim dan langka.
Dengan demikian, jika tadinya wanita hanya menjadi obyek pasif yang tidak ikut menentukan, sehingga secara umum dihukumi menerima permaduan, maka dengan tampilnya wanita sebagai subyek, secara umum mereka dihukun menolak. Dengan rumusan singkat, pemahaman nash itu menjadi "kawini' seorang wanita saja, dan perkawinan kedua dan seterusnya hanya bisa dilaksanakan jika ada keperluan yang bisa disetujui oleh istri". Dan inilah yang telah dirumuskan di dalam Undang-undang Perkawinan Indonesia No. 1 tahun 1974. Tampaklah dalam kasus ini, perubahan pemahaman menjadi sesuatu yang tak terelakkan, dengan melihat bahwa para ulama menerima penyantuman pemahaman seperti itu di dalam Undang-undang.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana mempercepat pengembangan pemahaman nash seperti itu dan agar berjalan lebih sistematik lagi, dengan cakupan yang lebih luas dan argumentasi yang lebih matang. Kalau keinginan ini terlaksana, maka inilah yang dimaksudkan dengan pribumisasi Islam, yaitu pemahaman terhadap nash dikaitkan dengan masalah-masalah di negeri kita.

Sebuah kasus di Mesir pada tahun 1930-an, ketika Dewan Ulama Tertinggi al- Azhar memutuskan bahwa guna menghilangkan selisih yang banyak antara bagian ahli waris wanita dan pria akibat adanya ketentuan ‘’bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian wanita’’, maka digunakan apa yang dinamakan ‘washiyah wajibah’. Konsep washiyah wajibah (wasiat wajib) ini menganggap seakan-akan almarhum telah berwasiat. Jumlah maksimal wasiat yang diperkenankan (sepertiga dari harta peninggalan) diambil terlebih dahulu untuk dibagikan secara merata kepada ahli waris. Barulah sisanya, dua pertiga, dibagi menurut ketentuan nash, yaitu dua berbanding satu untuk laki-laki. Kenyataan bahwa modifikasi-modifikasi seperti itu ditolerir oleh para ulama dan sampai saat ini tetap berlaku menunjukkan vitalitas Islam, artinya adanya kelenturan yang tidak sampai meninggalkan pegangan dasar. Cara aplikasi semacam ini bisa banyak dilakukan dalam fiqh.

Sebagai contoh di dalam  sebuah musyawarah ulama terbatas muncul soal sterilisasi. Pertanyaan mendasar pun muncul tentang pemilik hak menciptakan anak, Tuhankah atau manusia Jawaban yang diberikan adalah bahwa hak menciptakan anak dan meniupkan ruh dalam rahim adalah milik Tuhan, sebagai tanda kekuasaan-Nya. Karena itu semua bentuk intervensi terhadap hak ini, yaitu dalam bentuk menghilangkan kemampuan seorang ibu untuk melahirkan, berarti melanggar wewenang Tuhan. Dengan demikian mafhum mukhalafah (implikasi kebalikannya) adalah diperbolehkanya pembatasan kelahiran dengan cara membuat sterilisasi yang tidak permanen. Dengan demikian pula, melaksanakan vasektomi yang oleh dokter dijamin akan bisa dipulihkan kembali, tanpa mempersoalkan prosentase jaminan itu, hukumnya diperbolehkan. Misalnya dengan pemakaian Cincin Jung yang bisa dilepas kembali. Kepada seoarang ulama sepuh diterangkan bahwa menurut kalangan medis, kemungkinan kepulihan itu baru sekiatar 30 persen.  Ulama itu menjawab bahwa asal pada prinsipnya bisa pulih, maka besar kecilnya kemungkinan itu tidak menjadi soal, terserah kepada kehendak Allah.

Sebuah hadis Nabi memerintahkan umat beliau agar memperbanyak pernikahan dan kelahiran, karena di hari kiamat beliau akan membanggakan mereka di hadapan Nabi-nabi yang lain. Pada mulanya, kata “banyak” dipahami sebagai jumlah, karena itu memang zaman penuh kesulitan dalam memelihara anak. Dengan tingginya angka kematian anak, maka ada kekhawatiran bahwa jumlah umat Islam akan dikalahkan oleh jumlah umat yang lain. Akan tetapi alasan demikian pada saat ini tidak bisa dipertahankan lagi, ketika penonjolan kuantitas sudah tidak dibutuhkan. Jumalah anak yang terlalu banyak justru akan menimbulkan bahaya, ketika kemampuan masyarakat untuk menampung mereka ternyata tidak memadahi. Maka terjadilah perubahan, ukuran-ukuran itu dititik beratkan pada kualitas. Perubahan pemahaman seperti ini membawa kepada rumusan pemahaman nash yang baru, "Kawinlah akan tetapi jangan terlalu banyak anak dan aturlah jumlah keluarga anda".

Konsekuensi lebih jauh dari perubahan pemahaman ini dapat menyangkut soal usia perkawinan. Perintah memperbanyak anak tentulah bermakna pula perintah untuk segera menikah. Apalagi ternyata ada hadis yang memerintahkan para pemuda untuk segera melangsungkan perkawinan agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan amoral. Akan tetapi tinjauan lalu dikembalikan kepada konteks semula, bahwa hadis itu disabdakan pada waktu tingkat kematian bayi sangat tinggi dan angka harapan hidup sangat rendah. Dengan kawin muda, maka kesempatan untuk membesarkan anak lebih lama. Jadi hadis ini sesuai dengan tanggung jawab berkeluarga pada waktu itu. Situasi telah berubah.
Pada saat ini pemuda yang berusia 15 tahun tentu belum mampu memenuhi kebutuhan bagi sebuah perkawinan dan konsekuensi hukumnya. Situasi lapangan pekerjaan sudah tidak sesederhana dulu, karena saat ini untuk memasuki pasaran kerja memerlukan persyaratan yang kompleks. Dengan demikian, tuntutan kualitas sebagai hasil dari perubahan pemahaman nash menghendaki pula perubahan batas terendah usia perkawinan. Maka Undang-undang Perkawinan pun menetapkan umur 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahuh untuk wanita, sambil tidak menutup kemungkinan bahwa batas usia terendah ini bisa dinaikkan, menurut keperluan. Batas ini ternyata tidak ditentang ulama.

Sejumlah kaidah fiqh pun ikut terlibat. Dalam kasus tersebut jelas telah dipergunakan kaidah dar’ul mafasid muqaddam 'ala jalbil-mashalih (menutup kemungkinan bahaya harus didahulukan sebelum upaya memperoleh kemaslahatan). Memang lebih baik seorang pemuda segera menikah daripada terjerumus kepada perbuatan a-moral. Perkawinan akan membuat dirinya sadar tentang arti hidup. Akan tetapi perkawinan pada usia ini juga mengandung bahaya yang besar, karena penanggung jawab anak hasil perkawinan akan tidak jelas, di saat lingkup tanggung jawab keluarga modern akan semakin kecil. Misalnya tak ada lagi kepala suku atau kepala klan yang mengurusi soal-soal bersama. Bahaya inilah yang harus dicegah terlebih dahulu sebelum upaya menuju kebaikan, yaitu maslahat berkeluarga.

Lebih jauh lagi adalah dalil al-hajah tanzilu manzilah al-dlarurah (ke-butuhan setara dengan keadaan darurat), sedangkan dalil lain berbunyi adl-dlarurah tubihul-mahdhurah (keadaan darurat memungkinkan dihalalkannya dilarang). Dengan demikian, gabungan dari dua dalil ini akan membentuk kesimpulan bahwa hajah (keadaan membutuhkan) bisa menghalalkan yang haram; karena faktor kebutuhan setara dengan keadaan darurat. Musyawarah ulama terbatas tadi menyimpulkan adanya kebutuhan meningkatkan batas usia terendah bagi perkawinan, mencegah kelahiran dini dan secara makro mengatur keseimbangan antara penduduk dengan sumberdaya alam. Yang dibutuhkan bukanlah asal kelangsungan hidup masyarakaf terjamin tapi dengan mengorbankan banyak hal, termasuk soal pendidikan, ketika misalnya semua biaya dicurahkan untuk penyediaan lapangan kerja.

Dengan kata lain, ledakan penduduk menimbulkan hajah. Kalau demikian timbullah pertanyaan tentang wewenang merumuskan hajah tersebut ketika menyangkut soal-soal makro. Ternyata musyawarah terbatas tersebut memutuskan bahwa kebolehan sterilisasi yang bisa dipulihkan kembali bisa diputuskan oleh tim yang terdiri dari para ahli dari berbagai bidang: ahli demografi, ekonomi, fiqh, psikologi dan dokter medis. Rumusan ini jelaslah merupakan perubahan besar dalam konsep-konsep dasar fiqh. Hal-hal seperti ini harus disadari sebagai proses budaya menuju pengembangan implikasi atau konotasi hukum dan nash untuk membentuk hukum baru, suatu kebutuhan untuk menghadapi kemungkinan munculnya pertimbangan-pertimbangan terbaru yang tampak menggugat pemahaman lama.
Dalam soal bank misalnya, tidak kurang dari seorang alim semacam Dr Yusuf Al Qardlawi menempatkan bahwa larangan terhadap riba disebabkan oleh berlebihannya pengembalian hutang (adl'afan mudla'afah) dalam jumlah yang merugikan peminjam. Kerugian ini sampai menutup kemungkinan produktivitas akibat  beban bunga hutang, sebagaimana praktek rentenir. Adapun bunga bank (interest) yang dimaksudkan sebagai biaya administrasi dan sekedar untuk pengembalian modal kepada penanam uang bisa ditolerir selama tidak mengganggu produksi. Dengan kata lain, keuntungan yang diperkirakan dari pengusahaan uang pinjaman itu lebih besar daripada tingkat suku bunga yang harus dibayarkan, sehingga tidak ada unsur eksploitasi.

Pendekatan Sosio-Kultural

Ada sebuah soal yang sangat penting setelah pembicaraan seputar soal pemahaman nash di atas, yaitu pendekatan sosio-kultural. Sosial-budaya adalah perkembangan budaya dalam konteks kemasyarakatan. Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalami transisi dari masyarakat feodal/agraris menuju masyarakat modern. Perkembangan yang terjadi ternyata bersifat dualistik; di satu pihak telah tercapai modernitas, termasuk upaya menciptakan infra-struktur ekonomi, dan perilaku di segaia bidang telah lebih rasional, sampai terkadang dengan mengorbankan norma-norma agama, tetapi di pihak lain perilaku feodal masih dipergunakan sebagai alat untuk mencari akar ke masa lampau. Dalam situasi perkembangan dualistik menuju modernitas (keadaan sarwa-modern) ini, maka hukum Islam akan berfungsi dengan baik apabila ia dikaitkan dengan  perubahan pada struktur masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian, sasaran perubahan itu bukanlah pada sistem pemerintahan atau sistem politik, akan tetapi pada sub-sub sistemnya. Misalnya, tanpa mempersoalkan 'sistem' ekonomi Indonesia yang tak jelas bentuknya ini, diambillah langkah-langkah untuk mencari model-model ideal dari pengorganisasian koperasi, suatu bentuk usaha yang ide dasarnya dipercayai bisa menjembatani  antara sistem kapitalis dan sistem sosialis. Misalnya dengan mencobakan bentuk-bentuk usaha bersama yang pada masa lalu sebenarnya-banyak dilakukan. Sementara itu, perubahan politik memang suatu keharusan, tetapi untuk keperluan itu sistem kepartaian yang ada—termasuk hadirnya fraksi ABRI—masih tetap bisa dipergunakan. Persoalannya kemudian bagaimana sub-sub sistem yang ada bisa menjadi demokratis, mandiri dan sebagainya. Misalnya mengusahakan kemandirian Golkar mesti dimulai dengan menyadari kenyataan bahwa ketidak mandirian itu terletak pada dominasi orang-orang birokrasi pemerintahan di dalamnya. Di sini pendekatan sosio-kultural mengambil peranan penting dalam merubah perilaku tanpa merubah bentuk-bentuk lahiriah Iembaga  pemerintahan itu sendiri.

Di antara contoh konkret yang bisa disebut adalah apa yang terjadi dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU). NU yang ada sekarang adalah NU tahun 1926 dengan perangkatnya: Tanfidziyah dan Syuriyah, bahkan lebih keras lagi dengan adanya sistem Mustasyar Akan tetapi sekaligus NU sekarang bukanlah NU yang dulu. Karena di dalam tubuhnya telah berkembang pemikiran-pemikiran makro, cakrawala pandang yang lebih luas, pemikiran yang jauh ke depan dan cara kerja yang lebih administrates. Perubahan-perubahan dalam kultur ini masih dalam konteks kelembagaannya semula. Karena terjadi perubahan pada segi budaya, maka berubah pulalah konteks masyarakatnya. Dengan demikian, untuk konteks Indonesia secara umum, tantangan umat Islam sebenarnya adalah bagaimana mengisi Pancasila. Negara Kesatuan RI dan sistem politiknya dengan wawasan Islam yang secara kultural bisa merubah wawasan hidup orang banyak dengan memperhatikan konteks kelembagaan masyarakat tadi.

Pendekatan sosio-kultural terkadang disalah pahami sebagai hanya bersudut pandang budaya atau politik saja, suatu pandangan yang menyesatkan. Pendekatan politik selalu mempersoalkan segi kelembagaan, Sedangkan pendekatan kultural berbicara tentang perilaku masyarakat dan usaha pencerahan. Kemudian persoalannya mengaitkan lembaga dengan perilaku masyarakat adalah  persoalan mempengaruhi perilaku lembaga. Di sinilah letak peranan dari pendekatan sosio-kultural. Sementara itu kalangan yang tampak menggebu-gebu dengan pendekatan struktural sering terjerumus dalam pembicaraan tentang perilaku budaya suatu lembaga, bukan bagaimana merombaknya. Apalagi perincian yang dikemukakan dalam rangka pendekatan struktural itu ternyata adalah cara-cara sosial budaya. Dus, sebenarnya telah terjadi kerancuan semantik.

Pendekatan sosio-kultural menyangkut kemampuan orang Islam untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa, dan bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri. Kalau yang terakhir ini terjadi, maka yang berlangsung sebenarnya hanyalah proses pelarian (eskapisme). Umat Islam menuntut syarat-syarat yang terlalu idealistik untuk menjadi muslim yang baik. Lalu tidak diakuilah kemusliman orang yang tidak mampu memenuhi syarat-syarat itu, seperti orang-orang yang baru bisa melaksanakan ibadah haji dan zakat sementara belum mampu melaksanakan shalat dan puasa dengan baik. Kecenderungan  formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan Islamisasi dalam bentuk manifestasi simbolik ini jelas tidak menguntungkan karena hanya akan menimbulkan kekeringan substitusi. Karena itu patut diusulkan agar terlebih dahulu Islam menekankan pembicaraan tentaing keadilan, demokrasi dan persamaan. Dengan demikian, peran umat Islam dalam kehidupan berbangsa ini akan lebih efektif dan perilaku mereka akan lebih demokratis.

Weltanschauung Islam

Ajaran Islam bisa dibedakan antara yang merupakan nilai dasar dan kerangka operasionalisasinya. Nilai dasar adalah nilai-nilai yang mendasari kehidupan masyarakat, yang intinya adalah (menurut Dr. Muhammad Abu Zahrah dan diperkuat oleh ahli-ahli lain) keadilan, persamaan dan demokrasi (syura). Prinsip operasionalisasi nilai-nilai dasar ini sudah dirumuskan dalam kaidah fiqh 'tasharruful imam 'ala ra 'iyyatihi manuthun bil mashlahah' (tindakan pemegang kekuasaan rakyat ditentukan oleh kemaslahatan dan kesejahteraan mereka). Dengan bahasa sekarang, harus dijunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial dan persamaan di muka undang-undang. Jadi Weltanschauung Islam sudah jelas, yaitu bahwa Islam mengakomodasi kenyataan-kenyataan yang ada sepanjang membantu atau mendukung kemaslahatan rakyat. Prinsip ini harus mewarnai segala wujud, baik bentuk kelembagaan maupun produk  hukum.

Andaikan telah terjadi kesepakatan (sekurang-kurangnya oleh mayoritas) tentang Weltanschauung Islam, niscaya pekerjaan telah selesai. Sayangnya, kesepakatan ini belum pernah terjadi, sebab orang Islam baru pada tahap membuat komponen-komponen Weltanschauungs Islam sendiri. Proses yang terbalik ini menyebabkan kesalahan dalam penyusunan skala prioritas kepedulian. Pada ujungnya, muncullah keruwetan-keruwetan seperti dalam soal ada tidaknya negara Islam, masyarakat bersyariat ataupun masyarakat berhukum sekular, bahkan masih ditambah lagi dengan soal-soal kecil seperti apakah sebuah Undang- undang Pendidikan Nasional harus menyebutkan pendidikan agama dalam pasal-pasalnya ataukah tidak. Upaya sejumlah intelektual muslim, seperti Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Yusuf Qardlawi dan intelektual lainnya untuk menyusun prioritas yang benar, ternyata tidak mendapatkan sambutan, karena kaum muslimin sedang mengalami krisis identitas yang ditandai oleh kegairahan mempersoalkan manifestasi simbolik dari Islam. Identitas diri mesti tampil secara visual. Inilah yang mempakan sebab mengapa umat Islam sibuk dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran (periferal).

Apa yang disebut dengan islamisasi pada umumnya barulah pada arabisasi budaya, yaitu semakin banyaknya dipakai terminologi Arab yang berasal dari nash. Sebutan 'saudara-saudara', 'kelompok' atau 'kolega' diganti dengan 'ikhwan'. Istilah 'sembahyang' yang telah berabad-abad dipakai di negeri ini yang sebenarnya telah berkonotasi Islam, walaupun kata itu sendiri berasal dari 'nyembah Sang Hyang', diganti dengan 'shalat', sambil berpendirian bahwa sembahyang bukanlah shalat. Dan 'langgar' pun dirubah menjadi 'mushalla'. Hal-hal yang bersifat 'embel-embel’ malahan menjadi perhatian pokok. Kecenderungan ini akan berlanjut terus selama proses identifikasi diri kaum muslimin belum terselesaikan dengan baik.

Di hadapan itu semua tampak ada semacam quasi weltanschauung (syibh nadha-riyyah ‘anil haryah), yang lalu menjadi ideologi semu. Misalnya munculnya ideologi tertentu. Padahal ujung dari ungkapan ‘Islam sebagai alternatif’ yang seakan merupakan manifestasi dari suatu ideologi tertentu. Padahal ujung dari ungkapan ini juga masih mempersilahkan masing-masing negara untuk menentukan corak ideologinya sendiri.

Dengan sikap  demikian, sebenarnya yang ditawarkan bukanlah alternatif, karena toh tetap berpendirian bahwa tidak ada alternatif yang universal. Terus terang satu-satunya penulis yang secara konsisten tetap mendambakan Islam sebagai alternatif adalah Abul A’la al Maududi. Semua ahli lain, bahkan Abul Hasan An Nadawi apalagi Sayyid Quthb, telah merubah pendirian mereka. Terlihat jelas pula bahwa jawaban-jawaban yang diberikan, baik oleh Khomeini maupun Ziaul-Haq, masih bersifat semu. Idealisme mereka begitu tinggi, sehingga tidak bisa mendarat dalam kehidupan; gagal menemukan prinsip-prinsip operasional dari nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat. Seringakali percobaan-percobaan untuk keperluan itu berujung pada bentuk-bentuk kekuasaan Imam. Padahal prinsip-prinsip operasional itu semestinya senafas dengan yang telah disebutkan, yaitu ‘tasharruful-imam ‘ala raiyatih manuthun bil-mashlahah’, ‘laa dlarara wa laa dlirar’ (tidak dibenarkan terjadinya segala bentuk perbuatan yang merugikan)  dan sebagainya.

Selama problem krisis identitas kaum muslimin belum terpecahkan, maka langkah-langkah belum bisa diambil untuk membentuk Weltanschauung Islam.  Dan selama masih dalam keadaan demikian, yang ada barulah weltanschauung Islam yang semu dan baru pada tahap semangat keislaman saja atau sekadar slogan-slogan islami kosong. Jalan yang terbaik adalah melakukan upaya rekonstruksi hukum agama secara parsial sesuai dengan kebutuhan atau bersifat ad-hock sejalan dengan situasi ad-hock yang tengah berlangsung. Tentu saja tawaran ini datang dari cara pandang sarwa-fiqh. Fiqh adalah alat yang paling efektif untuk mengatur kultur umat Islam dan bisa dikatakan sebagai kunci kemajuan atau kemunduran mereka.

Tiga pilar dasar; keadilan, persamaan, dan demokrasi (weltanschauung) itu diejawantahkan kedalam sikap hidup yang mengutamakan Islam, kebangsaan dan kemanusiaan. Prinsip operasional ‘tasharruful imam ‘ala ra’iyyatihi manuthun bil-mashlahah’ dirinci dalam sub-sub prinsip hingga menjadi kerangka operasioanal dari Weltanschauung Islam tersebut. Di sinilah kultur Islam hendaknya diisikan.

Agenda Prioritas

Apa yang harus dikerjakan pertama kali adalah menciptakan kesadaran masyarakat tentang apa yang harus dilakukan oleh Islam. Dari sini kemudian tersedia lahan bagi masuknya pendekatan sosiokultural yang sifatnya mampu menampung kebutuhan-kebutuhan pengembangan dan perubahan. Tapi kerja ini tidak bisa begitu saja dilakukan. Dengan kata lain, betapapun pentingnya perubahan-perubahan formalistik hukum fiqh, ternyata masyarakat tidak menunggu rumusan-rumusan formal itu dalam menentukan apa yang hendak mereka lakukan. Jika demikian, seharusnya masyarakat dirangsang untuk tidak terlalu memikirkan manifestasi simbolik dari Islam dalam kehidupan, akan tetapi lebih mementingkan esensinya.

Hal ini berarti penciptaan Weltanschauung dengan pembinaan atau pembentukan tiga nilai dasar tadi, lalu mencari prinsip operasionalisasinya dan penjabaran prinsip itu ke dalam kerangka operasionalisasi, dan baru sesudah itu prioritas lainnya akan muncul dengan sendirinya. Inti persoalannya adalah membangun etika masyarakat yang baru. Hubungan yang lebih egaliter, kebebasan berpendapat dan ketundukan kepada hukum adalah inti keadilan, yang akan membentuk perilaku masyarakat secara berangsur-angsur menuju budaya baru. Prioritas ini dibarengi dengan prioritas transformasi budaya-budaya yang ada, seperti penertiban kehidupan koperasi dan budaya politik. Budaya politik orang Jawa yang pasif (menunggu dawuh dari atas) harus diubah menjadi budaya kreatif yang serba berinisiatif. Ini penting sekali, karena Pancasila sendiri masih dalam taraf mencari bentuk atau  masukan, untuk mengoperasionalkan nilai-nilai dasar bangsa. Di sini Islam bisa masuk tanpa perlu formalisasi, tetapi lebih dengan membawa Weltanschauung yang khas dari dirinya.

Tidak perlu ada kekhawatiran bahwa dengan kesediaan meninggalkan formalitas itu Islam akan larut dan kalah. Karena, meskipun nilai-nilai keadilan, persamaan dan demokrasi sebenarnya bukan hanya milik Islam tetapi juga adalah milik dari ke-manusiaan, tetapi wawasan, lingkup, watak, sasaran dan tujuannya tetap berbeda. Perbedaan ini segera bisa dikenali manakala rincian dan nilai-nilai dasar itu diungkap kembali dari perbendaharaan keilmuan Islam yang sangat kaya itu.

Dalam soal keadilan misalnya, Islam mengenal apa yang dinamakan al-kulliyyat al-khams (lima jaminan dasar); jaminan atas keselamatan fisik/pribadi, jaminan atas keselamatan keyakinan agama, jaminan atas kesucian keluarga, jaminan atas keselamatan hak milik dan jaminan atas keselamatan profesi. Di luar Islam tentu saja terdapat juga konsep tentang jaminan-jaminan dasar seperti ini, akan tetapi kuantitas dan kualitasnya pasti berbeda. Dalam bidang ekonomi akan terlihat perbedaan nyata antara Islam dengan Kristen. Seorang muslim yang baik dengan sendirinya adalah anti kapitalisme karena salah satu kewajiban yang harus ditunaikannya yaitu zakat pada hakekatnya memang bersifat anti-kapitalistik. Prinsip zakat adalah bahwa di dalam harta yang dimiliki seseorang, terdapat sebagian yang bukan miliknya sendiri. Terlepas dan soal besar dan kecilnya, tetapi zakat mengisyaratkan prinsip membersihkan harta dan anti penumpukan harta serta kebebasan individu yang berlebihan.

Begitu pun dalam bidang-bidang lain, Islam tetap memiliki kekhasannya. Bahwa ia bisa dikembangkan menjadi sistem alternatif adalah soal lain. Dengan  melihat kenyataan bahwa Islam tidak sistemik, maka agaknya kemungkinan Itu tak ada. Sebab Islam 'hanya' mengandung wawasan-wawasan yang bisa diterapkan pada sistem apa pun, kecuali sistem thaghut (tiranik), yaitu sistem yang bertentangan dengan unsur-unsur utama Weltanschauung Islam sendiri yaitu persamaan, keadilan dan demokrasi.

Jembatan Baru

Salah satu persoalan yang sangat perlu pemecahan adalah keterpisahan antara dua komponen dalam sistem keyakinan Islam yaitu keyakinan akan keimanan yang sangat pribadi, sebagaimana yang tercantum dalam Rukum Iman dan dimensi sosialnya sebagaimana tercantum dalam Rukun Islam. Pada dimensi individu ukuran keimanan bersifat sangat pribadi dan merupakan urusan seseorang dengan Allah sendiri (hablun minallah). Sedang pada dimensi sosialnya  syahadat yang tampak bersifat sangat pribadi itu ternyata berwawasan sosial, arena pengucapannya harus dilakukan di muka orang banyak, seperti dalam persaksian perkawinan. Apalagi tentang Rukun Islam yang lain. Shalat, apalagi berjamaah, berfungsi mencegah perbuatan keji dan munkar, yang berarti berorientasi menjaga ketertiban masyarakat. Sementara zakat telah jelas sebagai ibadah sosial, puasa adalah keprihatinan sosial dan ibadah haji adalah saat berkumpulnya kaum muslimin dari segala penjuru dengan berbaju ihram yang sama tanpa memandang pangkat dan kedudukan.

Persoalannya kini adalah bagaimana dimensi pribadi ini bisa diterjemahkan secara sosial. Karena di dalam Islam ternyata mungkin untuk menjadi mukmin yang baik dan sekaligus menjadi makhluk asosial dan sebaliknya bisa terbentuk pula sikap hidup yang begitu sosial tetapi tanpa keimanan. Usaha menjembatani kedua bentuk keberagamaan yang ekstrem ini adalah sebuah keharusan, sedangkan al-Qur'an telah memberikan petunjuknya (Q.S. 2:177). Ayat ini menerangkan bahwa struktur masyarakat yang adil harus ditandai dengan perhatian yang cukup terhadap kesejahteraan orang-orang yang menderita dan pengerahan dana untuk membela kaum lemah. Secara epistemologis, konsep ini belum pernah dirumuskan dan disepakati sebagai soal teologi, melainkan dianggap sebagai soal politik.
Dengan demikian yang masih diperlukan adalah, pengembangan akidah Islamiyyah yang mempunyai komponen rukun iman dan sekaligus rukun islam dalam bentuk yang terjembatani. Usaha menjembatani ini mempakan pekerjaan besar yang harus ditempuh melalui dialog dengan semua pihak. Apa yang ada tetap dipertahankan tetapi mesti ditambah dan diperjelas dengan wawasan-wawasan baru. Dengan kata lain semua kelompok masyarakat bertanggung jawab terhadap proses pribumisasi Islam dalam arti mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. (nu.or.id).


*) Tulisan ini disusun dari wawancara lisan Abdul Mun’im Saleh dengan Gus Dur, dimuat di Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989). Bisa juga dibaca di Buku Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001.

Mabadi ‘Asyrah Islam Nusantara ( إِنَّ مَبَادِي كُلِّ فَنٍّ عَشرَةْ )


Mabadi ‘Asyrah Islam Nusantara
Oleh M. Isom Yusqi dan Faris Khoirul Anam

Dalam kajian klasik di pondok pesantren kita mengenal istilah yang sangat populer tentang Mabadi’ Asyrah atau Sepuluh Prinsip Dasar dari bangunan suatu ilmu (body of knowledge). Sepuluh Prinsip Dasar (Mabadi’ Asyrah) adalah deskripsi umum tentang suatu disiplin ilmu, khususnya yang berkaitan dengan ilmu syari’ah. Ia berfungsi sebagai peta, outline, term of reference (TOR), sketsa, serta informasi awal mengenai suatu disiplin ilmu. Meskipun uraian mabadi’ asyrah ini pada mulanya berkaitan dengan ilmu syari’ah, namun informasi mengenai suatu istilah, disiplin ilmu atau kajian/diskursus yang baru tidak ada salahnya kalau kesepuluh prinsip dasar ini digunakan untuk menjelaskan dan menguraikan kajian Islam Nusantara agar mudah dikaji, dipahami, dan dioperasionalkan dalam ranah akademik dan juga dipakai untuk meluruskan kesalahpahaman sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian golongan terhadap ikhtiar akademik dan strategi kedaulatan kebudayaan dan peradaban ini.

Salah seorang ulama terkemuka yang bernama Muhammad bin Ali ash-Shabban, yang kemudian dikenal dengan julukan; Abu al-‘Irfan al-Mishri, penyusun Syarh ‘ala Hasyiyah al-Asymuni dan Hasyiyah ‘ala Syarh al-Sa’d al-Tiftazani (wafat 1206 H), menyebutkan Mabadi ‘Asyrah itu dalam kumpulan syairnya, sebagai berikut:

إِنَّ مَبَادِي كُلِّ فَنٍّ عَشرَةْ           الحَدُّ وَالمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَّمرَةْ
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالوَاضِعُ           وَالاسْمُ الاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعُ
مَسَائِلُ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَا
“Sesungguhnya prinsip dasar dalam setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh, yaitu: (1) batasan definitif, (2) ruang lingkup kajian, (3) manfaat kajian, (4) perbandingan dan hubungan dengan ilmu lain, (5) keistimewaan, (6) perintis, (7) sebutan resmi, (8) sumber pengambilan kajian, (9) hukum mempelajari, (10) pokok-pokok masalah yang dikaji, lalu sebagian dengan sebagian lain mencukupi, Siapa yang menguasai semuanya akan meraih kemuliaan.”

Mabadi ‘Asyrah kajian Islam Nusantara, sesuai data, dan dinamika diskursusnya, adalah sebagai berikut:

Pertama: Batasan Definitif (Al-Hadd)
Pengertian: Islam (secara bahasa dan Istilah).
Menurut Ibnu Faris, secara bahasa Islam berasal dari kata “salam”, yang secara umum berarti kesehatan dan keselamatan. “Salamah” adalah selamatnya seseorang dari penyakit dan gangguan. Allah adalah al-Salam, karena Dia tidak dapat tertimpa kekurangan dan cacat sebagaimana makhluk. Islam juga bermakna penyerahan diri (Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Vol 3, hal 90). Maksudnya, penyerahan diri yang dimanifestasikan dalam ketundukan kepada aturan Allah Ta’ala, yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa menjalankan perintah maupun meninggalkan larangan (lihat: al-Jurjani, al-Ta’rifat, hal 23). Senada dengan pengertian sebelumnya, al-Raghib al-Ashfihani menegaskan, memeluk Islam artinya adalah masuk dalam keselamatan (al-Raghib al-Ashfihani, Mufradat al-Qur’an, hal 240).

Secara istilah, pengertian Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bin Abdillah. Umat Islam meyakini agamanya sebagai sebuah kumpulan syariat yang menyempurnakan dan menutup risalah­ misi-misi langit (risalah samawiyah) dalam agama-agama sebelumnya. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah disebutkan, Nabi memberikan pengertian tentang Islam secara praksis, yaitu “Engkau menyembah Allah semata, tak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, engkau mendirikan shalat-shalat wajib, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Ibnu Majah). (lihat: Ali al-Thanthawi, Ta’rif Am bi Din al-Islam, hal 10 dan Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, al-Mushannaf, Vol 7, hal 208).

Pengertian kata “Islam” dalam kajian Islam Nusantara sama sekali tidak berbeda dengan pengertian bahasa dan istilah sebagaimana diuraikan di atas. Penambahan kata “Nusantara” hanya tarkib idhafy dalam istilah ilmu Nahwu yang mengandung arti “ fii (di dalam) artinya Islam yang terinternalisasi dan termanifestasi di dalam hidup dan kehidupan umat muslim nusantara, bi (dengan/pada teritori) maksudnya adalah Islam yang berekspansi, berpenetrasi/berdialog dan berdakwah pada dan dengan wilayah teritorial-geografis insan-insan nusantara sejak awal masuknya hingga kini dan juga menyimpan arti lii (untuk, bagi) yaitu Islam dan ajarannya untuk menyempurnakan dan berdialektika bersama adat, tradisi, budaya dan peradaban nusantara (local wisdom) yang mengandung nilai-nilai universal bagi harkat dan martabat kemanusiaan sejati. ”

Pengertian: Nusantara dan Islam Nusantara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nusantara adalah sebutan atau nama bagi seluruh gugusan kepulauan Indonesia. Wikipedia menambahkan, wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua itu, sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Kata Nusantara tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk menggambarkan konsep geo-politik kenegaraan yang dianut kerajaan Majapahit. Setelah sempat terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara, sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia Belanda yang belum terwujud. Ketika penggunaan nama “Indonesia” (yang berarti Kepulauan Hindia) disetujui dan dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia.

Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya, namun biasanya tidak mencakup Filipina. Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan bagi Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris. Saat Islam masuk melalui para juru dakwah, kepulauan Nusantara tentu bukan “ruang kosong” tak berpenghuni. Di wilayah ini telah terdapat masyarakat turun temurun, dengan segala karakteristik dan tradisinya, baik yang positif (local wisdom) maupun negatif.

Islam Nusantara adalah Islam Indonesia yang meliputi sejak masuknya Islam ke nusantara. Bahkan jauh sebelum Indoensia merdeka, universalitas ajaran Islam yang telah berdialog dengan budaya dan peradaban eksisting kenusantaraan kemudian melahirkan ekspresi dan manifestasi umat Islam Nusantara. Dialektika antara normativitas Islam dan historisitas keindonesiaan merupakan metodologi dan strategi dakwah para alim ulama, wali songo dan para pendakwah Islam untuk memahamkan dan menerapkan universalitas (syumuliyah) ajaran Islam sesuai prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dalam suatu model yang telah mengalami proses persentuhan dengan tradisi baik (‘urfun shahih) di Nusantara, dalam hal ini wilayah Indonesia, atau merespon tradisi yang tidak baik (‘urfun fasid) namun sedang dan atau telah mengalami proses dakwah; amputasi, asimilasi, atau minimalisasi, sehingga tidak bertentangan dengan diktum-diktum syari’ah. Sementara penyesuaian khazanah Islam dengan Nusantara berada pada bagian ajarannya yang dinamis (syaqqun mutaghayyir, atau ijtihadiy), bukan pada bagian ajaran yang statis (syaqqun tsabit, atau qath’iy).

Trilogi Islam Nusantara: Universalitas Islam, Tradisi dan Dakwah.
Universalitas Islam berpaham Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini bahwa kewajiban umat Islam yang jumlahnya lima ini sebagai Rukun Islam (Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji), dan meyakini juga bahwa keenam rukun lain yang disebut dengan Rukun Iman, yaitu Iman kepada Allah, para malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para utusan Allah, kepada hari akhir, dan kepada qadha dan qadar. Ajaran Islam disebut dengan syari’at Islam, yaitu kumpulan hukum yang bersumber dari al-Qur’an, hadits Nabi SAW, ucapan generasi salaf shalih, ijtihad ulama yang memiliki kapasitas, otoritas dan kapabilitas untuk itu. Syari’at ini menjelaskan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, dengan masyarakat atau bangsa, dengan alam dan lingkungannya. Syariat membatasi hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Syari’at Islam bersifat universal (syumuli) untuk setiap lini kehidupan, dalam lintas waktu dan tempat. Kandungan ajarannya terbagi menjadi tiga hal pokok:

Pertama, aspek-aspek teologi (ahkam ‘aqaidiyah), mencakup setiap hukum yang terkait dengan Dzat, Sifat, dan keimanan kepada Allah (disebut dengan istilah ilahiyat); yang terkait dengan para utusan dan keimanan kepada mereka dan kitab-kitab yang diturunkan pada mereka (disebut dengan istilah nubuwat); dan yang terkait dengan hal-hal ghaib (disebut dengan istilah sam’iyat). Aspek-aspek teologi ini dalam disiplin keislaman disebut dengan Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.

Kedua, aspek-aspek praktik ibadah (ahkam ‘amaliyah), yaitu hukum-hukum yang terkait dengan amal perilaku atau perbuatan manusia. Aspek-aspek hukum ini disebut dengan Ilmu Fikih. Fikih terbagi menjadi beberapa bagian dan para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Namun pada intinya, fikih terbagi menjadi empat bagian pokok: (1) Fikih Ibadah, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya, (2) Fikih Mu’amalat, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, seperti akad jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, hibah, pinjam meminjam, penitipan, dan sebagainya, (3) Siyasah Syar’iyah, mengatur hubungan negara dengan rakyat, atau satu negara dengan negara lainnya, seperti hukum tentang Baitul Mal, anggaran belanja negara (masharif), hukum-hukum pengadilan, baik pidana, perdata, dan sebagainya, (4) Keempat, Ahkam al-Usrah atau Ahwal Syakhshiyah, mengatur hukum privat di dalam keluarga, misalnya pernikahan, perceraian, hak-hak anak, warits, washiat, dan sebagainya.

Ketiga, aspek-aspek budi pekerti (ahkam tahdzibiyah), yang menyerukan manusia untuk menghiasi perilakunya dengan sifat-sifat yang baik (akhlaq karimah) dan menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Sifat-sifat baik itu di antaranya jujur, amanah, bertanggung jawab, berani karena benar, menepati janji, sabar, menjaga kelestarian alam, dan sebagainya. Sedangkan sifat-sifat yang buruk itu antara lain adalah berbohong, berkhianat, tidak menepati janji, menipu, merusak lingkungan, dan sebagainya. Aspek-aspek budi pekerti ini disebut dengan Ilmu Akhlak, atau Ilmu Tashawwuf.

Secara umum, ajaran-ajaran Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu ajaran Islam yang statis (syaqqun tsabit, atau qath’iy) dan ajaran Islam yang dinamis (syaqqun mutaghayyir, atau ijtihadiy). Ajaran statis (tsabit) adalah ajaran yang tidak boleh diubah dan tidak boleh dikondisikan dengan waktu atau tempat, meliputi pokok-pokok aspek teologi (ahkam ‘aqaidiyah), pokok-pokok aspek ibadah (ahkam ‘amaliyah), dan pokok-pokok aspek budi pekerti (ahkam tahdzibiyah). Rukun Iman, Rukun Islam, serta mengingkari apa dan siapapun yang disembah selain Allah SWT adalah ajaran yang tidak dapat diubah dan dikondisikan (lihat QS an-Nahl: 36, QS al-Anbiya: 25, dan al-Syura: 13). Dakwah para Nabi, sejak Nabi Adam ‘alaihissalam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada wilayah tsabit ini tidak berbeda dan tidak berubah (lihat QS al-Baqarah: 136, QS al-Baqarah: 285, dan QS Ali Imran: 84). Demikian pula, pokok-pokok aturan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan haji, tidak dapat diubah dan dikondisikan, kecuali dalam hal-hal parsial (juz-iyyat).

Tentang akhlak, hal-hal pokoknya juga tidak berubah, seperti standar perilaku baik dan buruk, yang dikembalikan kepada konsep apakah suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat (qawa’id syari’ah) atau tidak bertentangan. Sementara tentang mu’amalah dan siyasah syar’iyah dalam berbagai aspeknya, terdapat bagian statis (tsabit) meskipun sedikit, dan terdapat bagian dinamis (mutaghayyir) yang bersitaf fleksibel serta dapat disesuaikan dengan waktu dan tempat. Standar umum dalam praktik mu’amalah dan siyasah syar’iyah itu adalah pokok dan kaidah syariat, serta maqashid syari’ah, yaitu tujuan-tujuan syari’at untuk: Menghilangkan dan menghentikan sesuatu yang membahayakan (dharar); Memelihara lima hal (kulliyat khams), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta; Senantiasa memperhatikan alasan-alasan hukum (‘illah) fikih dalam penetapan hukum; dan memperhatikan maslahat secara umum, baik kemaslahatan untuk mendapatkan sesuatu yang positif atau untuk menghindari sesuatu yang negatif.

Sedangkan ajaran Islam yang dinamis (syaqqun mutaghayyir) adalah ajaran yang bersifat fleksibel (murunah) dan berkembang (tathawwur) seiring perkembangan kehidupan. Ajaran dinamis ini meliputi hal-hal cabang-parsial (furu’iyat juz’iyat), rincian-rincian dalam pelaksanaan mu’amalah dan siyasah syar’iyah, yang berada pada wilayah adillah zhanniyah, wilayah ijtihad, dan silent syari’ah (hal-hal yang secara rinci tidak dijelaskan oleh syari’at). Bagian ajaran dinamis atau syaqqun mutaghayyir ini merupakan ruang luas untuk berijtihad yang berarti pengerahan segenap kemampuan akal seorang mujtahid untuk menerapkan hukum Allah SWT di situ, bukan diartikan sebagai gejala liberalisasi syari’at, karena Islam bukan seperti prinsip apapun di luar Islam, dan dia memiliki karakteristisk tersendiri yang dibatasi oleh al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ para ulama, serta kaidah-kaidah dalam ber-istinbath dan ber-istidlal. Termasuk dalam ajaran dinamis ini adalah fatwa yang bersifat berubah sesuai waktu, tempat, dan suatu kondisi, berdasarkan standar syariat dalam berfatwa. Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Malik:

يُحْدَثُ لِلنَّاسِ فَتَاوى بِقَدْرِ مَا أَحْدَثُوْا مِنَ الفُجُوْرِ
“Fatwa yang disampaikan pada manusia harus diperbarui sesuai kadar perbuatan dosa model baru yang mereka lakukan.” (Fatawa Ibni Hajar, Vol 1, 200)

Sikap Islam Nusantara terhadap Tradisi, Budaya dan Peradaban.
Islam membagi tradisi yang berlaku di tengah masyarakat menjadi dua bagian, yaitu tradisi baik (‘urfun shahih) dan tradisi jelek (‘urfun fasid). Tradisi Baik adalah sesuatu yang telah dikenal oleh kebanyakan masyarakat, berupa ucapan dan perbuatan, yang dilegitimasi oleh syari’at (tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib), atau syari’at tidak membahasnya, yang sifatnya adalah berubah dan berganti. Pengertian ini disebutkan oleh Sa’ad al-‘Utaibi, dalam Usus al-Siyasah al-Syar’iyyah:

وَالمُرَادُ بِهِ العُرْفُ الصَّحِيْحُ، وَهُوَ: مَا تَعَارَفَهُ أَكْثَرُ النَّاسُ (وَهَذَا قَيِّدٌ يُخْرِجُ العَادَاتِ الخَّاصَّةَ) مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ اعْتَبَرَهُ الشَّرْعُ؛ أَوْ أَرْسَلَهُ، مِمَّا شَأْنُهُ التَّغَيُّر وَالتَّبَدّل
    (سعد العتيبي, أسس السياسة الشرعية, ص 90)
Sementara tradisi jelek (‘urfun fasid). adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat, namun bertentangan dengan syari’at. Menurut al-‘Utaibi, ulama hampir sepakat (syibh al-ittifaq) tentang kehujjahan pengamalan tradisi baik, berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, kaidah Ushul, dan Kaidah Fikih. Kehujjahan tradisi menurut al-Qur’an, adalah firman Allah dalam Surat al-A’raf ayat 199:

(خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ. (الأعراف:199
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf: 199)

Kehujjahan tradisi menurut Sunnah, ditunjukkan melalui hadits marfu’ dari Abdullah bin Mas’ud, sebagai berikut:

فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئا. رواه أحمد
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam maka hal itu baik di sisi Allah dan sesuatu yang dipandang jelek oleh mereka maka hal itu jelek di sisi Allah.” (HR. Ahmad)

Kehujjahan tradisi menurut Kaidah Ushul, dijelaskan oleh al-Bairi dalam Syarh al-Asybah, sebagai berikut:

الثَّابِتُ بِالعُرْفِ ثَابِتٌ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيّ
“Sesuatu yang tetap melalui tradisi adalah tetap melalui dalil syar’i.”

Kaidah ini senada dengan kaidah yang disampaikan al-Sarkhasi dalam al-Mabsuth:


الثَّابِتُ بِالعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ
“Sesuatu yang tetap melalui tradisi seperti sesuatu yang tetap melalui nash.”

Kehujjahan tradisi menurut Kaidah Fikih, disebutkan dalam beberapa kaidah sebagai berikut:

العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Kebiasaan itu dapat menjadi hukum.”

الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Hakikat ditinggal karena dalil adat.”

اسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةً يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Hujjah yang dipakai banyak orang wajib diamalkan.”

المَعْرُوْفِ عُرْفاً كَالمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Yang dikenal sebagai kebiasaan sama dengan syarat.”

Selain kaidah-kaidah ini, masih terdapat kaidah-kaidah lain yang disebutkan oleh para ulama. Hal ini menunjukkan legalitas pengamalan tradisi baik (lihat: Sa’ad al-‘Utaibi, Usus al-Siyasah al-Syar’iyah, hal. 90). Sementara tradisi yang tidak baik (‘urfun fasid), Islam memiliki cara atau metodologi dalam menyikapinya, yang dikenal sebagai metodologi dakwah dengan cara amputasi, asimilasi, dan minimalisasi.

Islam Nusantara: Mendakwahkan Ajaran Islam
Selanjutnya, ajaran Islam yang universal ini harus ditegakkan, dalam terma yang disebut dengan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar (transliterasi dari bahasa Arab adalah al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahyi ‘an al-munkar). Dakwah adalah mengabarkan, memberitahukan, menjelaskan dan mendidik seseorang tentang hal-hal benar dan salah sesuai dengan ajaran Islam. Di sini tidak ada unsur menyuruh, memaksa atau melarang melakukan sesuatu. Sedang amar ma’ruf berarti menyerukan kepada kebajikan, yaitu mengajak, menghimbau, memerintahkan, menyuruh atau menuntut dilakukannya segala perbuatan yang baik menurut syariat Islam dan mendekatkan pelakunya kepada Allah.

Sedang nahi munkar berarti mencegah perbuatan munkar, yaitu mencegah, melarang, menjauhkan, menentang, menegur atau menyudahi terjadinya segala perbuatan yang buruk menurut syariat Islam. Melarang kemunkaran berarti melarang manusia agar tidak melakukan hal-hal yang tidak diridhai Allah SWT. Imam an-Nawawi dan Ibnu Hazm, seperti dikutip al-Mausu’ah al-‘Ammah, menyatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah sebuah kewajiban. Tentang status hukum amar ma’ruf nahi munkar ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama, yaitu para imam tabi’in, al-Dhahak, al-Thabari dan Ahmad bin Hanbal, menyatakan hukumnya fardhu kifayah, artinya jika amar ma’ruf nahi munkar munkar telah dilakukan sebagian umat, maka umat lainnya tidak menanggung dosa jika tidak ambil bagian. Sebagian ulama menyatakan fardhu ‘ain, dalam arti bahwa setiap orang wajib ber- amar ma’ruf nahi munkar, jika tidak maka dia berdosa. Cakupan dakwah lebih luas dari amar ma’ruf nahi munkar. Meskipun demikian, kandungan dakwah tidak terlalu berbeda dengan muatan dan tugas amar ma’ruf nahi munkar, serta terdapat hubungan yang tidak dipisahkan antara kedua terma tersebut. Namun aktifitas amar ma’ruf nahi munkar dibatasi oleh beberapa hal dan persyaratan yang tidak ditemukan dalam aktifitas dakwah.

Dakwah merupakan langkah pertama yang dijejakkan manusia pada jalan ilahi ini. Dengan harapan, ia akan menjadi pemisah antara satu ideologi dengan ideologi lainnya, pembeda antara satu teori dengan teori lainnya, dan pembatas antara satu model kehidupan dengan model kehidupan lainnya. Adapun amar ma’ruf dan nahi munkar, merupakan upaya internal kaum muslimin sendiri, agar umat Islam tetap menempuh jalan Islam dan tidak menyimpang dari jalannya yang lurus. Pada bagian tertentu, metodologi dakwah ini dapat disesuaikan dengan waktu, tempat, dan suatu kondisi, yang pada intinya bertujuan untuk menegakkan ajaran Allah SWT di muka bumi ini (li I’lai kalimatillah hiya al-‘ulya).

Kedua: Ruang Lingkup Kajian (Al-Maudhu’)
Ruang lingkup kajian Islam Nusantara adalah berikhtiar meng-integrasikan, meng-interkoneksikan dan meng-internalisasikan tiga peradaban Islam yang telah menyejarah dan membumi di nusantara. Ketiga peradaban tersebut yaitu Peradaban Teks (Hadhorahtun Nash), Peradaban Ilmu dan Budaya (Hadhoratul Ilm was Tsaqofah) dan Peradaban Setempat (local wisdom/Hadhorah Mahalliyyah/Waqi’iyyah). Bertitik tolak dari kerangka dasar di atas kajian Islam Nusantara akan mengkonstruksi pendidikan Islam yang non-dikotomis, non-dualistik dan berkarakter yang utuh. Dengan demikian sebagai langkah awal kajian ini menggali dan membangun teori ilmu-ilmu keislaman yang berwatak sosial-nusantara seperti kajian kepesantrenan (pesantren studies), geneologi keilmuan (sanad ilm), tahqiq turast ulama nusantara, talaqqi pembelajaran al-Qur’an dan lain sebagainya. Selain itu kajian Islam Nusantara bertujuan mengkonversi ekspresi-ekspresi keberislaman muslim ahlussunnah wal jamaah melalui tradisi-tradisi keagamaan seperti pembacaan Aurat/wiridan, Ratib, Ruqyah, Manaqib, Maulid Nabi SAW, Nasyid, Istighosah dan Ziarah makam para wali dan ziarah ke orang-orang sholeh (disingkat: ARUMANIZ) dan Marawish, Hadrah, Barzanji dan Nasyidahan (disingkat: MARHABAN).

Kemudian pada sisi metodologi dakwah dalam menyikapi khazanah, peradaban, dan kearifan lokal (local wisdom) yang ada di wilayah Nusantara, baik sikap terhadap tradisi baik (‘urfun shahih) dan tradisi tidak baik (‘urfun fasid) kajian Islam Nusantara akan melakukan rekayasa-rekayasa sosial dengan cara-cara amputasi, asimilasi, dan minimalisasi sehingga ajaran Islam tetap sholihun likulli zaman wa makan. Pembumian ajaran Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah (baca: Islam Nusantara) dengan metode dakwah yang paralel dengan karakteristik Nusantara dan kearifan lokal masyarakatnya. Tradisi baik akan diterima, dalam arti sesuatu yang telah dikenal oleh kebanyakan masyarakat, berupa ucapan dan perbuatan, yang dilegitimasi oleh syari’at (tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib), atau syari’at tidak membahasnya, yang sifatnya adalah berubah dan berganti. Sementara tradisi tidak baik, yaitu sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat tetapi bertentangan dengan syari’at, akan disikapi dengan tiga pendekatan (approach), yaitu amputasi, asimilasi, atau minimalisasi. Metode ini telah terbukti dapat diterima masyarakat Nusantara, tanpa resistensi tinggi atas perubahan tradisi yang sebelumnya mereka jalani.

Amputasi adalah metode dakwah dengan memotong tradisi yang menyimpang. Para juru dakwah menjalankan metode ini dalam menghadapi suatu tradisi yang secara prinsip tidak dapat diakomodasi dalam syariat Islam. Contohnya adalah keyakinan dinamisme (kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yg dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dl mempertahankan hidup) dan animisme (kepercayaan kepada roh yang diyakini mendiami semua benda, seperti pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya). Meskipun dilakukan dengan cara memotong hingga ke akarnya, namun dakwah model ini dilakukan secara bertahap dan berproses. Hal ini seperti yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam menyikapi keyakinan paganisme (kepercayaan atau praktik penyembahan terhadap berhala) di kalangan masyarakat Arab. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menghancurkan fisik berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran, kebudayaan, dan pedoman hidup pagan. Tradisi tersebut berhasil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada peristiwa pembebasan kota Makkah(Fath Makkah) pada 630 M / 8 H, atau ketika dakwah Islam telah berusia 21 tahun.

Asimilasi adalah metode dakwah dengan menyesuaikan atau melebur tradisi menyimpang menjadi tradisi yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Para juru dakwah menjalankan metode ini dalam menghadapi suatu tradisi yang secara praksis dapat diakomodasi dalam syari’at Islam, dengan cara ‘membelokkan’ dari tradisi tidak baik menjadi baik. Contohnya adalah tradisi tumpeng yang pada mulanya merupakan tradisi purba masyarakat Indonesia untuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Tradisi ini diasimilasi dengan sentuhan filosofi Islam, bahwa “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa “Yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh).” Pada bagian makanan bernama “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: “Yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh).” Sedangkan lauk-pauknya berjumlah tujuh macam, atau pitu dalam bahasa Jawa, bermakna Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam Surat al Isra’ ayat 80:

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS. Al-Isra: 80)

Tumpeng ini menjadi bahan untuk menyadarkan masyarakat mengenai tafsir ayat tersebut, yang berarti “Matikan aku dengan kematian sebagai orang yang benar dan bangkitkan aku pada hari kiamat sebagai orang yang benar”, atau “Masukkan aku dalam wilayah perintah dan keluarkan aku dari wilayah larangan”, termasuk “Masukkan aku ke dalam wilayah aman dan keluarkan aku dari wilayah kemusyrikan.” Makna ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, terkait turunnya ayat tersebut yang berkaitan dengan kehijrahan Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah (Tafsir al-Qurthubi, 10/312).

Tradisi penyajian tumpeng tersebut dilakukan, dengan diawali pembacaan al-Qur’an dan doa-doa kepada Allah Ta’ala, lalu bersedekah kepada sesama. Hal-hal ini tidak bertentangan, bahkan dianjurkan oleh agama. Makna serupa dapat dipahami dalam tradisi lainnya, seperti kenduri, selametan, sajian kue apem, ketupat, pembangunan gapura, dan sebagainya.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, murid Syaikh Ibnu Taimiyah membagi kemunkaran menjadi empat macam, salah satunya adalah ‘mengganti perbuatan menyimpang dengan perbuatan serupa yang tidak menyimpang’ (an yakhlufahu ma huwa mitsluh). Menurutnya, metode ini adalah wilayah ijtihadiyah, artinya boleh dilakukan sesuai kriterianya (lihat: I’lam al-Muwaqqi’in, Vol 3, hal 12).

Sedangkan minimalisasi adalah metode dakwah dengan memperkecil dampak negatif dari suatu praktik tradisi menyimpang yang tidak diapat diasimilasi. Minimalisasi merupakan proses dakwah yang belum selesai dan terus mengalami proses. Contohnya adalah tradisi yang sampai saat ini masih berlaku pada sebagian masyarakat pesisir yang melarung kepala kerbau ke laut pada waktu-waktu tertentu. Asal mula tradisi tersebut adalah pelarungan kepala gadis atau perawan. Praktik menyimpang ini diminimalisasi dampak negatifnya dengan mengganti kepala gadis dengan kepala kerbau. Para ulama dalam dakwahnya banyak mengembangkan pola dan metode ini. Dalam pembagian model kemunkaran ala Ibnu Qayyim al-Jauziyah, metode ini disebut dengan ‘mengurangi kadar kemunkaran’ (an yaqilla wa in lam yazul bi jumlatihi). Meski kemungkaran tersebut belum hilang sepenuhnya, menurutnya, metode ini dilegitimisi oleh syari’at (masyru’).

Dia mencontohkan suatu kisah yang terjadi pada gurunya, Syaikh Ibnu Taimiyah. Suatu hari ia berjalan bersama beberapa sahabatnya di era kekuasaan Tatar. Di tengah perjalan mereka menemui beberapa orang yang sedang meminum minuman keras. Kawan Ibnu Taimiyah mengingkari perbuatan mereka. Namun, pengingkaran tersebut justru diingkari oleh Ibnu Taimiyah, dengan mengatakan:

إنَّمَا حَرَّمَ اللَّهُ الْخَمْرَ لِأَنَّهَا تَصُدُّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ، وَهَؤُلَاءِ يَصُدُّهُمْ الْخَمْرُ عَنْ قَتْلِ النُّفُوسِ وَسَبْيِ الذُّرِّيَّةِ وَأَخْذِ الْأَمْوَالِ فَدَعْهُمْ.
“Allah mengharamkan khamer karena benda itu dapat menghalangi orang dari berdzikir dan shalat, sedangkan orang-orang itu dihalangi oleh khamernya untuk membunuh orang, menawan anak, dan mengambil harta (yang bukan haknya). Biarkanlah mereka.” (lihat: I’lam al-Muwaqqi’in, Vol 3, hal 13).

Ibnu Taimiyah membiarkan sekumpulan orang yang sedang pesta minuman keras itu, bukan berarti merestui perbuatan munkar mereka. Namun, lebih pada suatu cara atau metode dalam berdakwah, guna mengurangi dampak negatifnya (minimalisasi).

Dalam masalah lain yang lebih besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ مَا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ
“Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai pada pemimpinnya, maka hendaknya dia bersabar dan jangan sampai dia keluar dari ketaatan kepadanya.” (Teks hadits tersusun dari dua hadits, riwayat al-Bukhari [7054] dan Muslim [1849])

Perbuatan pemimpin yang tidak disukai merupakan penyimpangan, dan pembiarannya bukan merupakan ridha pada kemunkaran. Namun lebih bermakna sebagai minimalisasi dampak negatif ini. Berbagai fitnah yang terjadi di tengah umat Islam, baik dalam skala besar maupun kecil, disebabkan oleh ketidakpedulian pada metode dakwah ini dan ketidaksabaran dalam menghadapi kemunkaran. Pihak-pihak tertentu secara frontal berdalih menghilangkan suatu penyimpangan, namun justru melahirkan fitnah yang lebih besar dari penyimpangan itu.

Ibnu Qayyim mengingatkan, tidak boleh melakukan bentuk-bentuk pengingkaran yang justru menimbulkan kemunkaran lebih besar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Mengingkari pemimpin dengan cara memberontak mereka, misalnya, adalah penyebab utama terjadinya berbagai fitnah dalam rentang perjalanan sejarah umat Islam.

Ketiga: Manfaat Kajian (Al-Tsamrah)
Ke depannya, kajian Islam Nusantara dan sebagai pengembangan model dakwah yang berbasis kearifan lokal diharapkan dapat terbangung paradigma keilmuan berbasis sosio-episteme kenusantaraan, dan sebagai pijakan atas ketahanan serta kedaulatan budaya dan peradaban bangsa Indonesia dalam menghadapi benturan antar peradaban (class of civilization) dengan ideologi-ideologi berbahaya yang berbasis pada ekstrimisme, materialisme, liberalisme, hedoniisme, sekularisme dan lainnya. Sekaligus mencoba menawarkan bahwa budaya dan peradaban Islam Nusantara bisa sebagai alternatif pembangunan kebudayaan dan peradaban dunia lebih berperikemanusiaan melawan hegemoni kebudayaan dan peradaban westernisme dan kofusianisme.

Keempat: Perbandingan Dan Hubungannya Dengan Ilmu/Istilah Lain (Al-Nisbah)
Kemunculan istilah Islam Nusantara dengan pengertian dan karakteristiknya tersebut di atas, tidak menafikan metode dakwah lain, selagi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang tawassuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh. Demikian pula, istilah Islam Nusantara tidak menafikan keberadaan Islam di negara atau wilayah lain. Perbedaan antara Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah dengan metode yang dikembangkan di wilayah lain, baik di Afrika, Eropa, atau di wilayah Arab adalah ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang tidak saling menafikan), bukan ikhtilaf tadhadh (perbedaan yang saling menafikan), karena tiap daerah memiliki karakteristiknya sendiri. Sebagai ikhtilaf tanawwu’, keberadaan Islam Nusantara memperkaya khazanah dan metode dakwah keislaman sesuai dengan karakter wilayah ini, serta tidak menafikan universalitas (syumuliyah) Islam. Bahkan kehadiran Islam Nusantara memperkaya kajian akademik dan akan melahirkan spesialisasi-spesialisasi keilmuan yang berwatak nusantara terutama ilmu-ilmu sosial seperti ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, filologi, histeriografi, pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan ilmu sosial maupun alam lainnya.

Kelima: Keistimewaan (Al-Fadhl)
Keistimewaan kajian Islam Nusantara akan melahirkan sistem ilmu pengetahuan yang berwatak dan berkarakter sosial-nusantara dan mendorong tindakan-tindakan emansipatif demi tugas pencerdasan, humanisasi dan kesejahteraan sosial. Hal ini sebagai counter discourse terhadap sistem-sistem ilmu pengetahuan yang berkarakter anti sosial, hanya berputar-putar pada ranah kognisi sehingga melahirkan kejahatan intelektual, dominasi kekuasaan/superioritas keilmuan (scienticism) dan kediktatoran teknologis. Kajian-kajian keilmuan di Nusantara bahkan dunia selama ini baik ilmu sosial maupun ilmu alam memiliki kecenderungan positivisme, dogmatisme, ideologisme, metodologisme dan teknologisme yang ekstrim sehingga mengakibatkan hilangnya ciri sosial dan kemanusiaannya. Sepertinya ilmu-ilmu tersebut datang dari langit bukan berangkat dan dikonstruksi oleh manusia-manusia nusantara dan dari bumi nusantara yang dipijaknya. Pada umumnya ilmu-ilmu tersebut adalah produk impor dan ditemukan oleh ilmuwan-ilmuwan asing bukan original karya insan nusantara. Selain itu Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah berguna juga untuk memetakan obyek dan strategi dakwah yang sesuai dengan karakter masyarakat di Nusantara, baik itu melalui kontekstualisasi, pribumisasi atau pun apa istilahnya terhadap manusia-manusia yang berada di bumi nusantara.

Keenam: Perintis (Al-Wadhi’)
Perintis istilah Islam Nusantara adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) melalui para akademisi Pascasarjana STAINU/UNU Jakarta. Meski tentu bukan istilah baru, namun Islam Nusantara secara khusus dikampanyekan oleh organisasi ini dan secara resmi menjadi tema besar Muktamar Ke-33 NU pada 1-5 Agustus 2015, di Jombang, Jawa Timur.

Ketujuh: Sebutan Resmi (Al-Ism)
Islam Nusantara.
Kedelapan: Sumber Pengambilan Kajian (Al-Istimdad)
Manusia-manusia nusantara adalah aktor dan sekaligus kreator disiplin kajian Islam Nusantara. Kajian tersebut berangkat dari kepekaan batin, kepedulian sosial dan ketajaman intelektual muslim nusantara akan melahirkan ilmu pengetahuan, budaya dan peradaban yang berbasis dari sosial-nusantara. Namun secara normatif kajian ini tetap bersumber pada Al-Qur’an, Hadits, dan ijtihad ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, baik berupa produk hukum dan fatwa dari nalar muslim nusantara berupa hasil bahtsul masail, tarjih, majlis hisbah dan lainnya. Disamping itu fenomena sosial dan gejala-gejala alam di bumi nusantara juga merupakan sumber empirik kajian ini. Budaya dan peradaban yang termanifestasi di dalam seni, tradisi dan adat istiadat manusia-manusia nusantara merupakan terpenting yang bisa dinegasikan dalam diskursus ini.

Kesembilan: Hukum Mempelajarinya (Al-Hukm Al-Syar’i)
Jikalau kajian Islam Nusantara merupakan metodologi dan perspektif baru bagi seorang muslim nusantara maka hukumnya adalah wajib dipelajari bagi para juru dakwah yang berketetapan hati bahwa Islam Nusantara merupakan suatu cara yang bertujuan untuk menegakkan ajaran Allah SWT di muka bumi ini (li I’lai kalimatillah hiya al-‘ulya), serta suatu cara yang bertujuan untuk menghindari fitnah dan bahaya (mafsadah) lebih besar dalam proses dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar di wilayah Nusantara.

Kesepuluh: Pokok-pokok Masalah yang Dikaji (Al-Masail)
Pokok pokok yang dikaji dalam Islam Nusantara antara lain; kajian tentang tradisi dan karakteristik masyarakat Nusantara, genelogi keilmuan, sanad ilmu, sanad spiritual, bahsul masail, tarjih, hisbah, pranata sosial Islam Indonesia, sejarah sosial dan intelektual muslim nusantara, filologi, sosiologi, antropologi, sejarah, historiografi, metode tahqiq, matan, syarah, hamisy, studi pesantren, metodologi pembelajaran, ekonomi, hukum, politik dan lain sebagainya. Wallahu a’lam.

 *) Prof. Dr. M. IsomYusqi, Direktur Pascasarjana STAINU Jakarta; Faris Khoirul Anam, pengurus Aswaja NU Center Jatim (nu.or.id)