ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 31 Januari 2014

SURGA DAN NERAKA BERDEBAT (Neraka akan dihuni para penindas&sombong,sedang surga akan dihuni orang-orang yang lemah&miskin):

==========
SURGA DAN NERAKA BERDEBAT
(Neraka akan dihuni para penindas&sombong,sedang surga akan dihuni orang-orang yang lemah&miskin):
------------------------
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rosululloh SAW bersabda: Neraka dan surga saling berdebat, lalu neraka berkata: Aku dimasuki oleh orang-orang yang suka menindas dan sombong. Surga berkata: Aku dimasuki oleh orang-orang yang lemah dan miskin. Lalu Alloh berfirman kepada neraka: Kamu adalah siksa-Ku, Aku menyiksa denganmu siapa yang Aku kehendaki. (Atau Alloh berfirman: Aku menimpakan bencana denganmu kepada orang yang Aku kehendaki). Dan Alloh berfirman kepada surga: Kamu adalah rahmat-Ku, Aku limpahkan rahmat berupa kamu kepada siapa yang Aku kehendaki. Dan masing-masing kamu memiliki penghuninya sampai penuh. (Shohih Muslim No.5081

Rabu, 29 Januari 2014

WASIAT PAMUNGKAS AL- IMAM AL-GHOZALI RA YANG DITULISNYA DAN DILETAKKAN DIBAWAH BANTALNYA

============

WASIAT PAMUNGKAS AL- IMAM AL-GHOZALI RA

-----------------

Ketika Al-Imam Al-Ghozali terbangun pada dini hari dan sebagaimana biasanya melakukan sholat dan kemudian beliau bertanya kepada adiknya:“Hari apakah sekarang ini? ” Adiknya pun langsung menjawab; “Hari senin.” Beliau kemudian memintanya untuk mengambilkan sajadah putihnya, lalu beliau menciumnya, Menggelarnya dan kemudian berbaring diatasnya sambil berkata lirih: “Ya Alloh, hamba mematuhi perintahMu,” … dan beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya. DI BAWAH BANTALNYA, mereka menemukan BAIT-BAIT/ TULISAN BERIKUT, yang ditulis oleh Al-Imam Al-Ghozali RA., (barangkali pada malam sebelumnya). “Katakan pada para sahabatku, ketika mereka melihatku mati, Lalu Menangis untukku dan berduka bagiku, maka Janganlah mengira bahwa jasad yang kau lihat ini adalah aku. Dengan nama Alloh, kukatakan padamu, ini bukanlah aku, Aku adalah jiwa, sedangkan ini hanyalah seonggok daging. Ini hanyalah rumah dan pakaianku sementara waktu. Aku adalah harta karun, jimat yang tersembunyi, dibentuk oleh debu yang menjadi singgasanaku, Aku adalah mutiara, yang telah meninggalkan rumahnya, Aku adalah burung, dan badan ini hanyalah sangkarku. Dan kini aku lanjut terbang dan badan ini kutinggal sebagai kenangan Puji Tuhan, yang telah membebaskan aku. Dan menyiapkan aku sebuah  tempat di surga tertinggi, Hingga hari ini , aku sebelumnya mati, meskipun hidup diantara kamu. Kini aku hidup dalam kebenaran, dan pakaian kuburku telah ditanggalkan. Kini aku berbicara dengan para malaikat diatas, Tanpa hijab, aku bertemu muka dengan Tuhanku. Aku melihat Lauh Mahfudz, dan didalamnya aku membaca apa yang telah, sedang dan akan terjadi. Biarlah rumahku runtuh, baringkan sangkarku di tanah, Buanglah sang jimat, itu hanyalah sebuah kenang-kenangan, tidak lebih. Sampingkan jubahku, itu hanyalah baju luarku, Letakkan semua itu dalam kubur, biarkanlah terlupakan. Aku telah melanjutkan perjalananku dan kalian semua tertinggal. Rumah kalian bukanlah tempatku lagi. Janganlah berpikir bahwa mati adalah kematian, tapi itu adalah kehidupan, Kehidupan yang melampaui semua mimpi kita disini, Di kehidupan ini, kita diberikan tidur, Kematian adalah tidur, tidur yang diperpanjang Janganlah takut ketika mati itu mendekat, Itu hanyalah keberangkatan menuju rumah yang terberkati ini.  Ingatlah akan ampunan dan cinta Tuhanmu, Bersyukurlah pada KaruniaNya dan datanglah tanpa takut. Aku yang sekarang ini, kau pun dapat menjadi seperti ini. Karena aku tahu kau dan aku adalah sama. Jiwa-jiwa yang datang dari Tuhannya, Badan-badan yang berasal sama. Baik atapun jahat, semua adalah milik kita. Aku sampaikan kepada kalian sekarang pesan yang menggembirakan. Semoga kedamaian dan kegembiraan Alloh menjadi milik kalian selamanya. Lahu Al-Fatihah..............

Sejarah Keagungan Basmalah

===========
Sejarah Keagungan Basmalah
===========
Bahwa Alloh menurunkan kalimat basmalah pertama kali kepada Nabi Adam As. Lalu beliau membacanya hingga Alloh menerima taubatnya. Kemudian Alloh mengangkat kalimat basmalah tersebut dari muka bumi.

Ketika Nabi Nuh As berada di dalam perahu, Alloh menurunkan lagi Basmalah itu yang kemudian dibaca oleh Nabi Nuh As, hingga banjir bandang besar surut. Setelah itu kemudian Alloh mengangkat kalimat basmalah  itu dan menurunkan lagi pada masa Nabi Sulaiman As menjadi raja. Maka atas idzin Alloh melalui perantara kalimat basmalah Nabi Sulaiman As bisa menundukkan manusia, hewan, dan jin.

Alloh mengangkat kalimat basmalah dan menurunkannya lagi kepada Nabi Ibrahim As yang saat itu dibakar oleh Raja Namrudz. Ketika Nabi Ibrahim As selamat dari ujian itu, Alloh mengangkat kalimat basmalah itu dan menurunkannya lagi kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga berkat keagungan basmalah, Alloh memberikan kemenangan dari para musuhnya.

Disarikan dari mujarrobat ad-Dayrobiy Al-Kabir.

KEMERDEKAAN DI PASURUAN JUGA TIDAK JATUH GRATIS DARI LANGIT

==========
KEMERDEKAAN DI PASURUAN JUGA TIDAK JATUH GRATIS DARI LANGIT:
----------------------------------
Sejarah merekam dan membuktikan bahwa Dari Pasuruan datang Lasykar Hizbulloh Kompi II Divisi Timur yang dipimpin Kiai Mas Sa'dulloh Nawawi dari Pondok Pesantren Sidogiri. Kiai Mas Sa’dulloh bersama 250 pasukannya bertempur di area Wonokasian Sidoarjo. Kemudian dengan diketahui bhw Sidogiri dijadikan markas Hizbulloh, maka pada 26 September 1947, Belanda menyerbu Pondok Pesantren. Bahkan Kiai Abdul Djalil, pengasuh saat itu pada saat wudlu' ditembak belanda dan wafat sbg syahid Minassyuhada'. Sedang Kiai Mas Sa'dulloh selamat dan bergabung dengan Hizbulloh Malang. Semoga Perjuangan mereka tidak disia-siakan oleh semuanya dan kita semua mendapat barokah Para Masyayikh Sidogiri, Amiin

SEJARAH SINGKAT HARI JADI KABUPATEN PASURUAN

===========
SEJARAH SINGKAT
HARI JADI KABUPATEN PASURUAN
==========
Sejarah Kabupaten Pasuruan bermula dari Peradaban Kerajaan Kalingga atau Ho Ling yang diperintah oleh  seorang Raja bernama Sima. Pada Tahun 742 - 755 Masehi,  Ibu Kota Kerajaan Kalingga  dipindahkan  ke wilayah timur oleh Raja Kiyen yaitu daerah  Po-Lu-Kia-Sien yang ditafsirkan Pulokerto. Pulokerto adalah salah satu nama desa di wilayah Kecamatan Kraton Kabupaten Pasoeroean.
Setelah masa kejayaan Kalingga berakhir muncullah Kerajaan Mataram Kuno dibawah kekuasaan Dinasti Sanjaya Tahun 856 Masehi dipimpin oleh Raja Rakai Pikatan, diantara keturunan raja Dinasti Sanjaya yang telah banyak meninggalkan beberapa prasasti baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah adalah Raja Balitung. Kemudian pada Tahun 929 seorang Raja dari keluarga lain memerintah yaitu Mpu Sindok yang telah menggeser pusat pemerintahan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dengan ibu kota kerajaan  Tawlang identik dengan nama Desa Tembelang di daerah Jombang. Selama memerintah Mpu Sindok telah mengeluarkan lebih dari dua puluh prasasti diantaranya Prasasti yang terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol yang menyebutkan Mpu Sindok memerintahkan agar rakyat Cungrang yang termasuk wilayah bawang, dibawah langsung Wahuta  Tungkal untuk menjadi sima (tanah perdikan). Substansi dalam prasasti ini dikonfersikan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan Hari Jum’at Pahing, tanggal 18 September 929 Masehi.
Dalam era jaman Majapahit dari Abad XII sampai Abad XIV  Masehi  nama Pasuruan sebagai nama tempat hunian masyarakat dikenal pertama kali dan  tertulis dalam Kitab Negara Kertagama karangan Empu Prapanca. Pasoeroean dari segi kebahasaan dapat diurai menjadi pa-soeroe-an artinya tempat tumbuh tanaman suruh atau kumpulan daun suruh. 
Sesudah Kerajaan Majapahit berangsur surut berdirilah kerajaan Islam diantaranya Kerajaan Demak Bintoro, Kerajaan Giri Kedaton, Kerajaan pajang dan Kerajaan Mataram.
Pada era  Pasoeroean dalam kekuasaan Kerajaan Giri sekitar Abad  XIV sampai XVI  salah satu peninggalan utama adalah daerah Sidogiri. Berdasarkan sejarah lisan bahwa daerah inilah awal Sunan Giri meletakkan dasar-dasar dakwah dengan membuka langgar sekaligus tempat ngaji yang kemudian dinamakan Sidogiri.
Pada masa Kerajaan Demak Abad Ke XV,   Pasoeroean memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam. Bahkan Adipati Pasoeroean berhasil memperluas  kekuasaannya sampai Kediri. Pasoeroean dibawah Kerajaan Pajang  tidak lama karena pada Tahun 1616 ketika Sultan Agung bertahta Kerajaan Mataram berhasil merebut wilayah Pasoeroean. Perkembangan selanjutnya Pada saat  Amangkurat I memegang kekuasaan   diangkatlah  Kyai Darmoyuda menjadi wedana Bupati Pasuruan. Wilayah Pasoeroean dibawah kekuasaan Amangkurat I banyak pergolakan untuk memisahkan diri dari Kerajaan Mataram bahkan pada saat Untung Suropati berkuasa di Pasoeroean upaya itu sangat kuat sehingga mataram dibantu Kompeni  Belanda berupaya mengembalikan wilayah Pasuruan masuk kekuasaan Kerajaan Mataram.
Perkembangan selanjutnya  pada masa Kolonial Belanda berdasarkan Staatblad 1900 No 334 tanggal 1 Januari 1901dibentuklan Kabupaten Pasoeroean yang wilayahnya berbatasan dengan madura, laut hindia, sebelah barat dengan residen Kediri dan Surabaya.
Setelah melakukan kajian yang utuh dan menyeluruh terhadap fakta Sejarah Kabupaten Pasuruan, maka diperoleh lima kriteria pokok dalam penetapan hari jadi yang disepakati oleh masyarakat Kabupaten Pasoeroean yaitu :
1.   Adanya periode sejarah tertua,
2.   Bukti tertulis dan peninggalan yang tertua,
3.   Pemukiman yang tertua,
4.   Struktur pemerintahan tertua dan bersifat indonesia-sentris.
5.   Menunjukkan kebanggaan pada peradapan lokal,
Maka diperoleh  hari kelahiran Kabupaten Pasoeroean berdasarkan PRASASTI CUNGRANG / SUKCI  yang terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol maka Kabupaten Pasoeroean Lahir pada Hari Jum’at Pahing tanggal 18 September 929 M.
Dan atas dasar pertimbangan perjalanan sejarah inilah, maka diundangkan  Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2007 tentang Hari Jadi Kabupaten Pasuruan yang menetapkan  tanggal 18 September sebagai Hari Jadi Kabupaten Pasuruan dan diperingati setiap tahun di wilayah Kabupaten Pasuruan.


sumber:http://www.pasuruankab.go.id/pages-6-sejarah-singkat-kab-pasuruan.html

SEJARAH DAN ASAL-USUL DARUL AITAM SIDOGIRI

==========

SEJARAH DAN ASAL-USUL DARUL AITAM SIDOGIRI

Darul Aitam Sidogiri Surabaya adalah salah satu aset Yayasan Bina Saadah Sidogiri yang bergerak dalam bidang social (menampung dan menyantuni anak yatim muslimin). Darul Aitam Sidogiri Surabaya pertama kali berdiri di Surabaya pada tahun 1994, beralamtkan Jl. Banowati Gg I no. 25 Simolawang, kecamatan Simokerto Surabaya, dana biasa disebut DAS-Surabaya.
Sejak pertama kali berdirinya, Darul Aitam Sidogiri Surabaya merupakan bentuk kepedulian Pondok Pesantren Sidogiri dan Alumni terhadap pendidikan dan masa depan anak yatim muslimin dari berbagai daerah. Khususnya Jawa Timur, sebagai kontribusi ril bagi bagi tanggung jawab bersama dalam urusan umat dan kewajiban agama dalam bentuk social.
DAS-Surabaya terbuka menerima dan menampung anak-anak yatim muslimin, terutama dari kalangan yatim yang tidak mampu, sesuai kapasitas sarana dan prasarana yang dimiliki. Mereka dididik dengan pengelolahan system pesantren yang lebih difokuskan pada pendalaman ilmu-ilmu agama islam dengan tujuan menyiapkan generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt. serta peduli terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.


VISI DAN MISI
• Visi
1. Menjadi darul aitam yang mapan dan terdepan.
2. Menjadi pusat pemantapan akidah, pengembangan ilmu, amal, dan akhlaqul-karimah, anak-anak yatim.
3. Menjadi darul aitam yang dibangun atas dasar komitmen pengabdian kepada masyarakat.

• Misi
1. Mewujudkan darul aitam yang berkualitas dan dikelola secara professional, transparan, dan amanah.
2. Menghasilkan santri-santri yatim yang memiliki kemantapan akidah, bermutu, beramal, dan berakhlaqul-karimah.
3. Memberikan pelayanan pengabdian terhadap masyarakat atas dasar nilai-nilai Islam.

SISTEM PENDIDIKAN
Secara umum, sistem pendidikan di DAS-Surabaya terbagi menjadi dua bagian: Madrasiyan dan Ma’hadiyah.

• Pendidikan Madrasiyah
Pendidikan ini lebih menekankan kepada penguasaan materi ilmu agama (diniyah). Dan, sejak tahun ajaran 2004-2005 madrasah ini telah mengikuti program WAJARDIKDAS (Wajib Belajar Pendidikan Dasar) tanpa mengubah pendidikan diniyah yang sudah ada.

• Pendidikan Ma’hadiyah
Sedangkan pendidikan Ma’hadiyah merupakan pendidikan urgen yang dilaksanakan dalam lingkungan DAS-Surabaya secara rutin. Termasuk dalam pendidikan ini adalah kegiatan rutin, seperti shalat dhuha berjamaah, pratik shalat, pengajian al-Qur’an dan kitab kuning, mengkaji ulang pelajaran yang sudah diajarkan di kelas, pelatihan kesenian hadrah, studi-studi di perpustakaan, dll.

JEJAK LANGKAH 9 MASYAYIKH SIDOGIRI 2

==========

JEJAK LANGKAH 9 MASYAYIKH SIDOGIRI 2

Penulis: Tim Sidogiri
Penerbit: Pustaka Sidogiri
Harga: Rp 70.000

Sinopsis:
“Buku ‘Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri 2′ ini membantu memberikan gambaran yang pas atas sejarah kehidupan, akhlak, ibadah dan semangat perjuangan mereka”

JEJAK LANGKAH 9 MASYAYIKH SIDOGIRI 1

=========

JEJAK LANGKAH 9 MASYAYIKH SIDOGIRI 1

Penulis: Tim Sidogiri
Penerbit: Pustaka Sidogiri
Harga: Rp 63.000

Sinopsis:
“Buku ‘Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri’ ini membantu ‘MEMBACA’ fakta historis kepada pembaca agar memperoleh gambaran nyata tentang hidup, pandangan, dan kegigihan perjuangan Masyayikh dalam menegakkan panji-panji kebenaran di tengah badai ketidak-menentuan umat dalam menentukan arah kehidupan” 
=============================================

Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri I


Catatan Editor
Syamsu-l Arifyn Munawwir

“Sidogiri insya Allah akan abadi sampai Kiamat.” Ungkapan ini muncul dari beberapa kiai dan habib tentang Pondok Pesantren Sidogiri. Entah siapa yang pertama mengatakannya. Sekilas ungkapan ini tampak “berlebihan”. Tetapi, bagi orang yang mengenal betul Sidogiri, ungkapan ini rasanya tidak berlebihan.

***

Lahir dari perjuangan Sayid Sulaiman, wali Allah keturunan Sunan Gunung Jati, Sidogiri terus bertahan tanpa pernah mati sejak lebih dari dua ratus tahun lalu, yakni tahun 1718 atau 1745.

Bermula dari sebuah masjid yang dibangun di bekas hutan, Sidogiri terus berkembang. Dari segelintir santri sampai menjadi ribuan; dari pengajian kitab saja sampai dilengkapi madrasah; dari asrama santri putra saja sampai beberapa pondok putri; dari madrasah di Sidogiri saja sampai ratusan madrasah ranting filial di berbagai kabupaten; dari kios kecil koperasi pracangan sampai belasan unit koperasi beromzet puluhan miliar rupiah; dari pengiriman beberapa guru tugas (GT) sampai pengiriman 800 guru tugas dan dai ke berbagai propinsi dan luar negeri; dari menulis di papan tulis sampai menulis di media massa dan internet; dari pendidikan agama sampai pelatihan komputer, jurnalistik, falakiah modern, bisnis, dll; dari santri dalam negeri sampai adanya santri dari luar negeri—semua itu terjadi di Sidogiri.

Apa yang membuat pesantren tua ini mampu bertahan sekian lama? Tak lain faktor utamanya adalah tanahnya yang diyakini keramat dan berkah, atau barokah kata orang Madura. Hal ini diakui sendiri oleh kiai Sidogiri. Beberapa waktu sebelum Pengasuh PP Sidogiri KH Cholil Nawawie wafat, beliau mengatakan, “Sidogiri iku kramat pancen krono tanahe, duduk krono aku. Delo’en le’ aku nggak ono’, Pondok Sidogiri tambah gede (Sidogiri keramat bukan karena saya, tapi karena tanahnya. Lihat saja setelah saya tidak ada, Pondok Pesantren Sidogiri akan bertambah besar).”

Selain itu, faktor utama lainnya adalah para masyayikhnya. Masyayikh atau kiai-kiai Sidogiri kental dengan keilmuan dan pengamalan Fikih sekaligus Tasawuf. Ini yang membedakannya dari kiai-kiai lain, yang banyak kental dengan keilmuan dan pengamalan Fikih atau Tasawuf saja. Dan uniknya, kiai-kiai Sidogiri yang berpengaruh itu memiliki dua ciri khas: istikamah dalam ibadah dan khumul atau low profile, yakni tidak suka menonjolkan diri. Hal ini dapat dilihat dalam riwayat hidup mereka, seperti dalam buku Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri jilid pertama ini.

Dari khumul-nya, kiai-kiai Sidogiri biasanya tak begitu dikenal orang. Yang lebih dikenal adalah pesantrennya daripada kiainya. Dan dari khumul-nya kiai Sidogiri, dalam pergantian Pengasuh di Sidogiri kerap terjadi perebutan. Bukan perebutan untuk menjadi Pengasuh, tetapi perebutan untuk tidak menjadi Pengasuh (!).

Nama-nama yang terkenal tak mau menjadi Pengasuh yang tercatat dalam sejarah pesantren salaf ini adalah KH Abd. Adzim bin Oerip, KH Noerhasan Nawawie, dan KH Hasani Nawawie. Mereka mempunyai ilmu yang dalam, karisma yang besar, dan keistikamahan ibadah yang tinggi, tetapi mereka tak mau menjadi Pengasuh. Tampuk kepengasuhan mereka serahkan pada kiai-kiai yang lain, bahkan yang lebih muda.

Demikianlah Sidogiri. Ia memiliki berbagai keunikan yang khas. Keunikan itu dapat dibaca dalam buku ini, meski sejatinya banyak keunikan lain yang belum ter-cover dalam buku ini. Dan keunikan itu terus berlanjut sampai masa kini.

***

Dalam buku ini terangkum riwayat hidup 9 kiai Sidogiri, yakni (1) Sayid Sulaiman, Pendiri dan Pengasuh pertama; (2) KH Nawawie bin Noerhasan, Pengasuh dan salah satu pendiri NU; (3) KH Abd. Adzim bin Oerip, Sesepuh dan menantu Kiai Nawawie; (4) KH Abd. Djalil bin Fadlil, Pengasuh dan menantu Kiai Nawawie; (5) KH Noerhasan Nawawie, putra tertua Kiai Nawawie dan anggota Panca Warga; (6) KH Cholil Nawawie, Pengasuh dan anggota Panca Warga; (7) KH Siradj Nawawie, anggota Panca Warga dan Penasehat Majelis Keluarga; (8) KA. Sa’doellah Nawawie, anggota Panca Warga dan Ketua Umum; dan (9) KH Hasani Nawawie, anggota Panca Warga dan Penasehat Majelis Keluarga.

Dalam riwayat hidup mereka juga terdapat sejarah penyebaran agama dan ilmu agama, perjuangan kemerdekaan RI, berdiri dan berkembangnya NU serta lembaganya, dan perkembangan keagamaan serta pendidikan di Pasuruan dan Jawa Timur.

Pada edisi revisi ini, terjadi beberapa penyempurnaan (penambahan, pengurangan, pemberian terjemah, dll) isi dan tata bahasa, serta penambahan catatan kaki.

Di antara penyempurnaan itu, dalam biografi Sayid Sulaiman ditambahkan keterangan bahwa menurut riwayat yang masyhur di kalangan Keluarga Sidogiri, Kiai Aminullah menikah dengan Nyai Indah binti Sayid Sulaiman, bukan dengan Nyai Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayid Sulaiman. Dan dalam biografi KH Hasani Nawawie, ditambahkan kisah ucapan Kiai Hasani, “Pilih! Mati sekarang masuk surga, atau mati 70 tahun lagi juga masuk surga.” Kisah ini dimuat dalam majalah IJTIHAD, tetapi “tertinggal”, tak termuat dalam buku ini pada cetakan-cetakan lalu.

Sebagai mantan Redaksi dan Pengarah majalah IJTIHAD yang menangani rubrik Dzikra Masyayikh Sidogiri—cikal bakal buku ini—terasa jelas bagi saya dua hal. Pertama, ada beberapa keterangan sejarah yang setelah dipublikasikan ternyata memunculkan koreksi dari beberapa pihak. Hal ini dapat dipahami dari kenyataan bahwa sebelum dimuat di IJTIHAD, tak ada buku/catatan sejarah resmi yang komprehensif tentang Masyayikh Sidogiri dan PP Sidogiri. IJTIHAD-lah yang pertama mengumpulkan dan menyusun berbagai serpihan sejarah itu dari hasil wawancara dan peninggalan dokumentasi.

Apabila terdapat kekurangan dalam penyusunannya, hal itu tak dapat mengurangi bobot manfaat dan keutamaannya. Ini sama dengan sejarah lainnya—baik sejarah Walisongo, RI, Majapahit, dll—yang awalnya tak sempurna, kemudian semakin sempurna setelah penelitian ulang bertahun-tahun oleh para sejarawan.

Kedua, penyusunan dan publikasi riwayat hidup kiai-kiai Sidogiri di IJTIHAD dan buku ini telah berpengaruh besar, baik bagi Sidogiri sendiri maupun bagi pihak di luar Sidogiri. Di antara pengaruh itu, muncul kesadaran yang semakin tinggi akan pentingnya penyusunan dan penyempurnaan sejarah Sidogiri, tersusunnya riwayat Sayid Sulaiman yang menjadi ahli dakwah dan pendiri/kakek dari beberapa pesantren besar, sadarnya masyarakat akan peran penting Sidogiri dalam berdirinya NU dan kemerdekaan RI, dan terbukanya satir penutup hubungan nasab Masyayikh Sidogiri dengan Sayid Abu Bakar Basyaiban dari Hadramaut dan Sunan Gunung Jati (salah satu Walisongo) dari Cirebon.

Dan yang patut diacungi jempol, pengumpulan data dan penyusunan riwayat hidup Masyayikh itu murni dilakukan oleh santri, bukan oleh sejarawan yang ahli sejarah. Dengan demikian, Sidogiri bukan hanya mampu mendidik calon-calon ulama, tetapi juga mampu mendidik calon-calon sejarawan.

Akhir kata, selamat membaca buku ini. Anda tak akan rugi membaca buku ini, bahkan akan mendapatkan banyak manfaat, insya Allah.

Sidogiri, 09 Muharam 1429 H
06 Januari 2009 M


Sumber: "Jejak Langkah Masyayikh Sidogiri jilid 1", terbitan Pustaka Sidogiri, Pasuruan.

Retrieved from: http://syamsu-l.blogspot.com/2011/09/catatan-editor-jejak-langkah-masyayikh.html

Gus Mus: Kiai Sahal Sempat Tak Berkenan Jadi Rais Aam

==========
Gus Mus: Kiai Sahal Sempat Tak Berkenan Jadi Rais Aam
===========
Pati, NU Online
Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A Musthofa Bisri (Gus Mus) menyampaikan kata sambutan atas nama keluarga saat menghadiri acara mitung dino (tujuh hari) wafatnya Rais Aam KH MA Sahal Mahfudh di kompleks Pesantren Maslakul Huda Kajen, (28/1) Selasa malam.

Dalam sambutannya yang disampaikan dengan bahasa Jawa halus, Gus Mus memberikan testimoni terkait sosok Rais Aam yang dikaguminya itu.

“Suatu ketika, pada forum Munas NU di Lampung Mbah Sahal hampir dipastikan jadi Rais Aam menyusul wafatnya Kiai Ahmad Shiddiq. Sayangnya beliau tidak berkenan menjadi Rais Aam. Akhirnya, ulama di bawah beliau pun pada tidak mau. Saya saksi hidup di forum itu,” kata Gus Mus.

Kiai Sahal, lanjut Gus Mus, pada era KH Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syansuri bahkan sering dilibatkan dalam bahtsul masail karena para kiai sepuh tahu kualitas Kiai Sahal yang sangat mumpuni. Murid Syeikh Muhammad Yasin bin Isa Al-Fadani ini, tambah Gus Mus, telah terbukti kealimannya di forum-forum internasional.

“Salah satu ciri ulama yang nyegoro (ilmunya bak seluas lautan) ilmu agamanya itu tidak kagetan. Sampeyan pernah lihat Mbah Sahal kaget? Tidak pernah to..?! Tidak seperti kiai-kiai lainnya. Ada Syiah kaget, ada Ahmadiyah kaget. Ada Ulil Abshar Abdalla kaget,” ujarnya yang langsung disambut tawa hadirin. Menantu Gus Mus, Ulil Abshal Abdalla juga hadir malam itu dengan mengenakan kemeja putih dan celana hitam.

Lebih lanjut Gus Mus menyampaikan, Kiai Sahal merupakan kiai terakhir di lingkungan Nahdlatul Ulama yang memiliki keilmuan yang sejajar dengan Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Chasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri

“Bahkan Kiai Sahal satu-satunya faqih (ulama ahli fiqh) yang tidak hanya menguasai ilmu fiqh dan ushul fiqh, beliau juga sangat menguasai ilmu kemasyarakatan. Dengan penguasaan ini, Kiai Sahal mampu membawa kitab yang disusun pada zaman Rasullah, para sahabat dan tabiin untuk disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini”, tambah Gus Mus.

Gus Mus bercerita, Kiai Sahal muda juga merupakan sosok organisatoris yang handal. Beliau sangat aktif di organisasi NU. “Saya kenal Kiai Sahal itu pada era 1980-an. Saat beliau menjadi katib syuriyah PWNU Jateng, saya wakilnya. Beliau lalu menjadi Rais, saya katib. Hingga beliau masuk jajaran Rais di PBNU saya masih tetap katib mawon,” terang Gus Mus yang lagi-lagi diiringi derai tawa.

Hadir dalam tahlilan malam itu Bupati Pati H Hariyanto, Wakil Bupati H Boediono dan Kapolres Pati Dr Baharuddin beserta jajarannya. Hadir juga Rais Syuriah PCNU Pati KH Aniq Muhammadun dari Pakis dan Habib Muhammad bin Abdullah al-Aidid dari Tayu yang didaulat memimpin tahlil. Para kiai dan ribuan warga Nahdliyin turut serta memenuhi halaman kediaman Rais Aam. 

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,49796-lang,id-c,nasional-t,Gus+Mus++Kiai+Sahal+Sempat+Tak+Berkenan+Jadi+Rais+Aam-.phpx

Senin, 27 Januari 2014

Do'a Akhir Jum'at Bulan Rojab Dari Al-Habib 'Ali bin Muhammad Bin Husein Al-Habsyi RA Shohibul Maulid Simthid Duror

=============

Do'a Akhir Jum'at Bulan Rojab:

-------------

Al-Habib 'Ali bin Muhammad Bin Husein Al-Habsyi RA Shohibul Maulid Simthid Duror,   memberikan ijazah kepada Al-Habib Umar bin Muhammad Maulakhela untuk membaca: Ahmadur rosuulullooh Muhammadur rosulullooh (Artinya: Ahmad adalah Rasululloh. Muhammad adalah Rasululloh) sebanyak 35 kali di hari Jumat terakhir bulan Rajab ketika khotib sedang duduk di antara 2 khutbah (berkhutbah).

Beliau ra berkata: “Barang siapa membaca kalimat di atas pada Jumat terakhir bulan Rajab, ketika khotib sedang duduk di antara 2 khutbah (berkhutbah), maka selama setahun tangannya tidak akan pernah kosong dari rezeki.”

Sya'ir Gubahan Al-Imam Husein bin Fathimah Azzahro' Binti Rasulillah SAW

==========

Sya'ir Gubahan Al-Imam Husein bin Fathimah Azzahro' Binti Rasulillah SAW

Jika Dunia dianggap berharga, maka pahala Alloh lebih mahal dan lebih mulia.

Jika Badan diciptakan untuk menemui kematian, maka membunuh orang karena Alloh dengan pedang lebih utama.

Jika rezeqi itu adalah bagian yang sudah ditentukan, maka sedikitnya ketamakan manusia dalam berusaha adalah lebih bagus.

Jika harta itu dikumpulkan untuk ditinggalkan, maka kenapa manusia kikir dengan apa yang ditinggalkan?”

Jika Engkau mengalami kesulitan hidup, jangan condong kepada manusia, dan jangan pula meminta selain kepada Alloh yang menolong dan mengetahui yang sebenarnya.

Jika engkau hidup dan telah berkeliling dari barat sampai ke timur, tak akan kau temui seorang pun yang sanggup membahagiakan atau menyengsarakan…!!!!
==============
Sumber Group Facebook “Pecinta
Al Habib Anis bin
Alwi al Habsyi
(Solo)”

SEJARAH BURDAH (PUJIAN BUAT NABI SAW) DARI MASA KE MASA

===============

SEJARAH BURDAH (PUJIAN BUAT NABI SAW)

=============
 
SEJARAH:


BURDAH KA’AB BIN ZUHAIR R.A (PUJIAN BUAT NABI SAW)

Burdah artinya mantel dan juga dikenal sebagai Burdah yang berarti syifa' (kesembuhan). Sedang Burdah yang selama ini kita kenal tidak hanya tertuju kepada gubahan-gubahan al-Bushiri. Burdah ternyata juga memiliki akar yang kuat dalam budaya dan kesejarahan sastra di masa Rasululloh SAW.



A. Burdah Masa Nabi Muhammad saw.

Barangkali, selama ini kita, kalangan pesantren, hanya mengenal Burdah karya al-Bushiri semata. Padahal, ada kasidah Burdah lain yang muncul jauh sebelum al-Bushiri lahir (abad ke tujuh H, atau abad tiga belas M.). Kasidah itu adalah bait-bait syair yang di gubah oleh seorang sahabat yang bernama lengkap Ka'ab bin Zuhair bin Abi Salma al-Muzny. Sebagai ungkapan persembahan buat Nabi Muhammad Saw. Ka’ab termasuk salah seorang Muhadrom, yakni penyair dua zaman: Jahiliyah dan Islam.

Ada kisah menarik dibalik kemunculan Burdah Ka'ab bin Zuhair ini. Mulanya, ia adalah seorang penyair yang suka menjelek-jelekkan Nabi dan para sahabat dengan gubahan syairnya, kemudian ia lari untuk menghindari luapan amarah para sahabat Nabi.


Pada peristiwa Fathu Makkah (penaklukan kota Mekah), saudara Ka'ab yang bernama Bujair bin Zuhair berkirim surat padanya yang berisikan antara lain: anjuran agar Ka'ab pulang dan menghadap Rasulullah. Ka'ab-pun kembali dan bertobat. Lalu ia berangkat menuju Madinah dan menyerahkan dirinya kepada Rasul melalui perantaraan sahabat Abu Bakar. Diluar dugaan Ka'abb, ia justru mendapat kehormatan istimewa dari baginda. Begitu besarnya penghormatan itu, sampai-sampai Rasul rela melepaskan Burdah (jubah yang terbuat dari kain wol/sufi)nya dan memberikannya pada Ka'ab.

Dari sini, Ka'ab kemudian menggubah qasidah madahiyah (syair-syair pujaan) sebagai persembahan pada baginda Nabi yang terkenal dengan nama kasidah âBanat Suâadâ (Wanita-wanita Bahagia.) Kasidah ini terdiri dari 59 bait, dan disebut juga kasidah Burdah. Di antara prosa berirama gubahan Ka'ab adalah Aku tahu bahwa Rasul berjanji untuk memaafkanku/dan pengampunannya adalah dambaan setiap insan/Dia adalah pelita yang menerangi mayapada/pengasah pedang-pedang Allah yang terhunus

Burdah (jubah) pemberian Nabi itu, kemudian dibeli oleh sahabat Muâawiyah bin Abi Sufyan dari putra Kaâab. Dan biasa dipakai oleh khalifah-khalifah setelah Muâawiyah pada hari-hari besar.


B. Burdah Al-Bushiri

Kasidah Burdah karya Syaikh al-Bushiri, adalah salah satu karya sastra Islam paling populer. Ia berisikan sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad Saw. yang biasa dibacakan pada setiap bulan maulid/Rabiul Awal, bahkan di beberapa belahan negeri Islam tertentu, Burdah kerapkali dibacakan dalam setiap even.

Sajak-sajak pujian untuk Nabi dalam kesusastraan Arab di masukkan dalam genre (bagian) al-madaih al-Nabawiyah. Sedang dalam kesusastraan Persia dan Urdu, dikenal sebagai kesusastraan naâtiyah (bentuk plural naât yang berarti pujian). Dalam tradisi sastra Arab, al-madaâih atau naâtiyah mula-mula ditulis oleh Hasan ibnu Tsabit, Kaâab bin Malik dan Abdullah bin Rawahah. Sedang yang paling terkenal ialah Kaâab bin Zuhair.

Pada abad ke-11 H., muncul seorang penyair al-madaih terkemuka, Saâlabi, yang juga seorang kritikus sastra. Namun munculnya al-Bushiri dengan Burdahnya, sebagaimana munculnya karya Majduddin Sanaâi dalam bahasa Persia, al-madaih atau naâtiyah mencapai fase baru, yaitu tahapan sufistik, karena bernuansa nafas tasawuf. Lahirnya karya kedua penyair ini yang membuat puisi al-madaih berkembang pesat dalam kesusastraan Islam. Khusus karya al-Bushiri, selain sangat populer, ia juga sangat besar pengaruhnya terhadap kemunculan berbagai bentuk kesenian umat Islam. Karya al-Bushiri juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit dalam mengoptimalkan metode dakwah Islamiyah, pendidikan dan ilmu retorika (ilmu Badiâ)

Nama Burdah muncul setelah pengarangnya mengemukakan latar belakang penciptaan karya monumentalnya ini. Ketika al-Bushiri mendapat serangan jantung, sehingga separuh tubuhnya lumpuh, dia berdoa tak henti-hentinya sembari mencucurkan air mata, mengharapkan kesembuhan dari Tuhan. Kemudian dia membacakan beberapa sajak pujian. Suatu saat dia tidak dapat menahan kantuknya, lantas tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, ia berjumpa Nabi Muhammad saw. Setelah Nabi menyentuh bagian tubuhnya yang lumpuh, beliau memberikan jubah sufi (Burdah) kepada al-Bushiri . Kemudian aku terbangun dan kulihat diriku telah mampu berdiri seperti sediakalaâ ujar Syekh al-Bushiri.

Awalnya, al-Bushiri memberi nama karyanya ini dengan nama kasidah Mimiyah, karena bait-bait sajaknya diakhiri dengan huruf Mim, selanjutnya kasidah ini dikenal dengan kasidah Baraâah, sebab menjadi cikal bakal sembuhnya sang pujangga dari kelumpuhannya. Hanya saja nama kasidah Burdah lebih populer di kalangan umat Islam dibanding sebutan yang lain.

Kasidah Burdah terdiri atas 162 sajak dan ditulis setelah al-Bushiri menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dari 162 bait tersebut, 10 bait tentang cinta, 16 bait tentang hawa nafsu, 30 tentang pujian terhadap Nabi, 19 tentang kelahiran Nabi, 10 tentang pujian terhadap al-Quran, 3 tentang Isra Miraj, 22 tentang jihad, 14 tentang istighfar, dan selebihnya (38 bait) tentang tawassul dan munajat.


Kasidah Burdah telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia; seperti Persia, India, Pakistan, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastun, Indonesia, Sindi dan lain-lain. Di Barat, ia telah diterjemahkan antara lain ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol dan Italia.


Qoshidah Burdah ini tersebar ke seluruh penjuru bumi dari timur ke barat. Bahkan disyarahkan oleh sekitar 20 ulama, diantaranya yang terkenal adalah Imam Syaburkhiti dan Imam Baijuri.


Memetakan hak-hak Allah dan RasulNya adalah satu diantara tujuan penting dalam aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Tidak heran jika beberapa orang dengan intuisi sastra transcendent (sufi) menuangkan buah tulisannya perihal hubungan dirinya dengan Allah dan RasulNya. Jika saja kita dapat merangkai sebuah tema sentral mengenai tujuan hidup kita, tak lain mencerna serta memahami perilaku salik (orang yang menuju ridlo Allah) untuk mencapai Akhlaqul Karimah. Lewat karya-karya sastra merekalah kita bisa meneguhkan aqidah kita.

Memuji Rasulullah adalah sebuah hal terpuji. Para sahabat Rasulullah seringkali mengungkapkan pujian kepada Rasulullah dalam gubahan syair di depan beliau, bahkan menyampaikannya ketika sedang berada di masjid. Rasulullah pun senang dengan pujian syair yang mereka lantunkan. Terdapat beberapa sahabat yang dikenal sebagai penyair di era nabi, di antaranya adalah Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Rowahah, dan Ka’ab bin Zuhair. Sebuah syair yang terkenal dalam memuji Rasulullah adalah syi’ir Ka’ab bin Zuhair yang dikenal dengan “banat su’ad”. Syair ini secara keseluruhan berjumlah 34 bait. 


Ka’ab bin Zuhair adalah seorang penyair. Sebelum memeluk Islam, ia pernah membuat tiga bait syair yang membuat nabi murka dan menghalalkan darahnya. Dalam syair itu, ia mencela kakaknya, Bujair bin Ka’ab yang telah masuk islam setelah bertemu nabi termasuk celaan kepada Abu Bakar as-Shiddiq. Ketika syair ini sampai ke telinga Rasulullah, beliau berkata, “siapa yang bertemu Ka’ab, maka bunuhlah dia”. Mendengar nabi saw murka, Bujair mengirimkan sebuah surat kepada adiknya tentang sabda Nabi tersebut dan mengajaknya untuk masuk Islam. Maka ia pun datang ke kota Madinah untuk menyatakan Islamnya dan menemui nabi yang ketika itu sedang berada di masjid. Ia pun menyatakan keislamannya di depan nabi dan merubah isi syair yang mencela Abu Bakar lalu melantunkan sebuah syair yang keindahannya diakui oleh para pakar bahasa, yang diawali dengan bait banat su’adu fa qolbil yauma matbulu.



بانت سعاد فقلبي اليوم متبول

متيم إثرها لم يفد مكبو ل.

ان الرسول لسيف يستضاء به

مهند بسيف من سيوف الله مسلول


Ketika Ka’ab sedang melantunkan syairnya tersebut, Rasulullah memberi isyarat kepada sahabatnya untuk mendengarkan, bahkan Rasulullah lalu memberikan hadiah berupa sebuah burdah. Cerita tentang Ka’ab bin Zuhair diriwayatkan selengkapnya oleh al-Hakim dalam al mustadrok ala as-shohihain, juga disebutkan dalam al-ishobah karangan Ibnu Hajar al-Asqollani dan usdul ghobah karya Ibnul Atsir.

Dari cerita di atas, dapat kita lihat bahwa bersyair yang berisi pujian untuk Rasulullah bukan merupakan hal tercela. Rasulullah sendiri senang dengan pujian yang ditujukan padanya dan menyuruh para sahabat untuk menyimaknya meskipun syair itu disampaikan di dalam masjid. Tidak berhenti di situ, Rasulullah pun memberikan hadiah untuk sang penggubah syair Ka’ab bin Zuhair. 


Tentang syirik yang dituduhkan mereka kepada al-imam al-Bushiri karena menyifati makhluknya (baca: Rasulullah) dengan sifat Allah dan menisbahkan pekerjaan yang hak Allah. Seperti Rasulullah sebagai makhluk disifati sebagai pemberi hidayah, syafa’at dan semisalnya, justifikasi syirik tersebut disebabkan kesalahan mereka dalam memahami bait-bait pujian tidak dengan proporsional. 


Mereka menggunakan dalil sebuah hadis, “jangan berlebihan dalam memujiku seperti orang nashrani memuji Isa putra Maryam”. Hadis ini bukanlah larangan dalam berlebihan memuji nabi, tetapi larangan untuk menuhankan Rasulullah sebagaimana kaum nashrani menuhankan nabi Isa alaihis salam. Bukankah Allah sendiri telah menyebut hambanya tersebut dengan sebutan ro’uf dan rohim dalam al-Qur’an, padahal Allah pemilik sifat rohim seperti tersebut dalam basmalah? 


Diantara kesesatan nalar itu adalah menyalahkan saudara seiman karena membaca syair meskipun bacaan tersebut berisi pujian untuk nabi Muhammad saw. Pujian kepada Rasulullah dianggap oleh kaum extremist terlalu berlebihan dan fakta di lapangan telah diclaim ke dalam kekafiran atau syirik karena menyekutukan Allah, mencampur aduk sifat Allah atau menisbahkan sebuah pekerjaan yang hanya merupakan pekerjaanNya kepada makhluknya. Al-Imam al-Bushiri, pengarang qasidah yang dikenal dengan nama burdah, sering menjadi sasaran kritik dalam masalah ini. Mereka bahkan mengatakan bahwa burdah adalah qasidah syirik, tidak lain hanya nalar yang sesat. 


Mereka juga salah dalam mengartikan tawassul sebagai syirik karena meminta kepada selain Allah. Ini merupakan problem klasik yang telah diulas, dibantah dan dijawab berulang kali oleh ulama ahlussunnah melalui berbagai tulisan mereka. Trancendent berarti ada pemahaman diluar akal yang sifatnya ta’abudi, sedangkan pemusyrikan terjadi karena ranah nalar dipaksakan memahami ranah tauhid yang hanya dimiliki Allah dan Rasulullah saw. Ahlussunnah menjaga betul keserasian nalar dalam menjangkau perihal yang trancendent, salah satu kitab yang membahasnya syawahidul haq karangan Yusuf an-Nabhani dan Mafahim yajibu an tushohhah karangan al-Musnid Assayyid al Muhaddits Muhammad al-Maliky al hasny.

Pengaturan Waktu Sholat dalam Event Sepak Bola

==========
Pengaturan Waktu Sholat dalam Event Sepak Bola
===============
Sudah jamak diketahui, bahwa masyarakat Indonesia merupakan “penggila” sepak bola. Hal itu terbukti dengan tingginya animo suporter dari Sabang sampai Merauke ketika mendukung klub kesayangannya bertanding di Liga Indonesia. Hampir di setiap pertandingan stadion penuh sesak ribuan bahkan puluhan ribu jiwa dengan segala atribut kreatifitasnya.
Puncaknya, ketika Timnas Indonesia bertanding di level Internasional yang dianggap mampu mengangkat martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Dengan rasa nasionalisme yang tinggi, para suporter dari berbagai daerah rela antri berjam-jam untuk memperoleh tiket demi menjadi saksi perjuangan punggawa Timnas Merah Putih.
Akan tetapi, yang tak luput dari kaca mata dunia, bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.  Sebagai seorang Muslim, kewajiban shalat 5 waktu tentu tak boleh dilewatkan begitu saja. Para suporter sepak bola Indonesia yang mayoritas Muslim tidak boleh meninggalkan kewajiban ini. Mungkin bagi mereka yang menyaksikan lewat siaran televisi dapat mengatur waktu lebih mudah antara menunaikan shalat dengan menyaksikan pertandingan. Akan tetapi, bagi mereka yang menyaksikan langsung di stadion justru menjadi masalah pelik. Lama waktu mengantre tiket, berjubelnya suporter dan minimnya fasilitas musholla seolah menjadi alasan mereka untuk “pasrah”. Akhirnya, mereka meninggalkan kewajiban shalat begitu saja.
Lantas, siapa yang “paling” bertanggungjawab terhadap masalah ini ? Dalam Islam, Nabi Muhammad telah bersabda: “kullukum r’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatihi”. Jika ditempatkan dalam konteks persepakbolaan Indonesia, pemimpin dalam hal ini adalah pengurus PSSI. Sebagai penyelenggara Liga Indonesia dan pertandingan internasional, seharusnya mereka mengerti dan memahami bahwa mayoritas suporter adalah Muslim.
Apalagi Ketua dan mayoritas pengurus PSSI juga Muslim. Tidak selayaknya mereka sibuk dengan masalah internal yang ujung-ujungnya berebut kekuasaan. Tidak selayaknya pula hanya melakukan komersialisasi demi meraih kuntungan yang sebesar-besarnya, hingga melupakan masalah yang urgent, hak dan kewajiban suporter sebagai umat Islam. PSSI harus mengayomi mereka dengan melakukan beberapa hal.
Pertama, mengatur waktu penyelenggaraan pertandingan. PSSI hendaknya menentukan waktu-waktu pertandingan yang tidak mepet dengan batas waktu shalat. Shalat yang paling “rawan” hilang adalah shalat Dzuhur (disebabkan membeli tiket untuk pertandingan sore), shalat Ashar dan Magrib (disebabkan membeli tiket untuk pertandingan malam). Waktu yang paling pas menurut bagi pertandingan sepak bola Indonesia adalah ba’da shalat Ashar dan ba’da shalat Isya’. Alasannya, jarak kedua waktu shalat ini dengan shalat sesudahnya cukup panjang. Dari Ashar ke Magrib sekitar tiga jam, sedangkan dari Isya’ ke Subuh malah lebih panjang lagi. Akan tetapi, hal ini harus didukung dengan penjualan tiket yang professional.
Kedua, memperbaiki manajemen penjualan tiket. Apabila penjualan tiket masih saja seperti saat ini dengan cara mengantre berjam-jam di hari H, tentu akan membuang banyak waktu hingga shalatnya “bablas”. Karena itu, system penjualan tiket secara online hendaknya semakin diutamakan dengan waktu pengambilan tiket beberapa hari sebelum hari H. Minimal menjual tiket lebih pagi. Dengan itu para suporter bisa datang ke stadion beberapa menit sebelum kick off dimulai, tanpa kehilangan shalatnya.
Ketiga, penyediaan fasilitas shalat di dekat stadion. PSSI bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk membangun masjid di dekat stadion yang sanggup menampung ratusan hingga ribuan jamaah. Hal ini penting agar penonton tidak terlalu jauh dan membuang-buang waktu mencari tempat untuk menunaikan shalat. Selain itu, masjid yang dekat dengan stadion juga mempengaruhi mood para suporter terhadap kewajibannya agar tidak dilupakan begitu saja.
Keempat, sosialisasi dalam internal PSSI maupun dengan elemen-elemen masyarakat. Berawal dari Pengurus Besar PSSI disalurkan kepada Pengprov PSSI, Pengcab PSSI hingga ke akar rumput perkumpulan suporter, dan akhirnya sampai ke sanubari pribadi suporter. Selain itu, perlu juga berkoordinasi dengan elemen-elemen masyarakat, di antaranya dengan ulama’ atau kyai. Pengurus PSSI bisa terjun dalam pengajian-pengajian bersama ulama’ membahas pentingnya shalat bagi umat Islam mekipun dalam keadaan hendak menyaksikan pertandingan sepak bola, sehingga shalatnya tidak terlewatkan.
Terakhir, petinggi dan pengurus PSSI (banyak yang telah Haji) mestinya memahami arti pentingnya shalat. Tentunya mereka menginginkan terwujudnya ketertiban dan sportifitas pada persepakbolaan Indonesia, baik di dalam maupun di luar lapangan. Hal itu dapat terwujud setelah elemen-elemen persepakbolaan Indonesia melaksanakan shalat. Setelah shalat, hati dan fikiran mereka akan terasa “adem ayem”, tenang, damai, dan terhapuslah rasa dengki yang dapat menciptakan anarkisme. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Ashsholatu tanha ‘an al-fakhsya’i wa al-munkar” (Shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar).
Mengingat masih sedikitnya yang membahas masalah ini, semoga saran dalam tulisan ini diperhatikan dan ditindak lanjuti demi keseimbangan dunia dan akhirat kita sebagai umat Islam. Boleh kita menyaksikan pertandingan sepak bola, namun jangan sampai meninggalkan shalat. Hendaknya masalah pelaksanaan shalat ini menjadi tanggungjawab bersama antara PSSI, Suporter, dan elemen-elemen masyarakat.
Di dalam momentum peringatan tahun baru Hijriyah ini, dan sebelum dimulainya kompetisi musim depan, saatnya PSSI mulai berpikir dan berhijrah ke arah yang lebih baik dengan mengatur jadwal pertandingan sepak bola supaya tidak bentrok dengan waktu shalat. Semoga persepakbolaan Indonesia semakin berprestasi dan didukung oleh suporter yang mempunyai akhlak mulia, sebagai akibat dari pelaksanaan shalat. Amin.
==============
Riza Nur Fikri
Alumni Pesantren Tebuireng Jombang dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
 
sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,48193-lang,id-c,kolom-t,Pengaturan+Waktu+Shalat+dalam+Event+Sepak+Bola-.phpx

Mbah Sahal dan Warisan Fikih Sosial

==============
Mbah Sahal dan Warisan Fikih Sosial
==============
Seminggu menjelang peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-88, warga Nahdlatul Ulama (NU) dilanda duka, Rais ‘Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh diberitakan telah wafat pada Jumat 24 Januari 2014 sekitar pukul 01.05, di kediamannya kompleks Pondok Pesantren Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah. (NU Online, 24 Januari 2014)
Kabar ini tentu menjadi duka yang mendalam, tidak hanya bagi warga NU semata, tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Mbah Sahal begitu beliau biasa dipanggil para santrinya, saat ini masih menjabat sebagai Ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menunjukkan bahwa sosok Mabah Sahal ini, memang seorang ulama yang mendapatkan kepercayaan umat serta memiliki kedalaman ilmu dan keluasan wawasan.
Produktif Menulis
Pengasuh Pondok Maslakul Huda Pati ini juga dikenal sebagai ulama yang produktif menulis. Karya tulisnya lebih dari 100 judul artikel di berbagai media masa dan sebagian telah dibukukan, di antaranya berjudul Nuansa Fiqih Sosial, Ensiklopedia Ijma’. Oleh karenanya wajar apabila Mbah Sahal mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (DR. HC) dalam bidang ilmu fikih dan pemikiran keislaman dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2003.
Selain dalam bahasa Indonesia, Mbah Sahal juga menulis dalam bahasa Arab, atau di pesantren biasa dikenal dengan istilah kitab kuning. Salah satu karya fenomenal beliau adalah kitab Thariqatul Hushul ala Ghayatil Wushul, sebuah kitab yang menjadi penjelasan dari kitab Ghoyatul Wusul, karya Syekh Abu Zakariya Al-Anshori, salah seorang ulama Syafi’iyyah yang hidup di abad ke-9 Hijriyah. Ironisnya, kitab Thoriqotul Husul ini menjadi bahan kajian di Universitas Al-Azhar Mesir dan sejumlah perguruan tinggi di Yaman, namun malah belum banyak dikenal di pasca sarjana perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Ada kisah menarik, di tengah proses ia menulis kitab Thoriqotul Husul ini. Ketika Kiai Sahal muda tengah berguru kepada Kiai Zubair Pesantren Sarang Rembang. Salah satu kitab yang didiskusikan adalah Ghoyatul Wushul karya Syekh Zakariya Al-Anshori ulama syafiiyah abad 9 Hijriyah. Diskusi berlangsung secara intensif. Kiai Zubair juga senang membuat pancingan. Terjadilah perbincangan dan Kiai Sahal pun rajin membuat catatan (ta’liqat) dalam bahasa Arab.
Hobi menulis dilanjutkan dengan mengirimkan surat (murosalah) kepada Syekh Muhammad Yasin Padang, seorang kiai pesohor dari Indonesia yang menjadi ulama besar dan menetap di Tanah Suci. Kiai Sahal mengomentari tulisan Syekh Yasin dalam satu kitab, membantahnya dengan argumentasi berdasarkan kitab yang beredar di Jawa. Satu surat berisi sekitar 3-4 lembar, berbahasa Arab.
Syahdan, ketika turun dari kapal, saat Kiai Sahal menginjakkan kaki di Mekkah, seseorang tak dikenal langsung memeluknya dan menariknya ke sebuah warung. Seseorang itu tidak lain adalah Syekh Yasin sendiri. Mungkin dalam surat terakhir Kiai Sahal menuliskan bahwa dirinya akan menunaikan ibadah haji.
Kiai Sahal diminta tinggal di rumah Syekh Yasin. Setiap pagi ia bertugas berbelanja ke pasar membeli kebutuhan Syekh Yasin. Dan setelah itu Kiai Sahal berkesempatan belajar dengan seorang ulama besar yang diseganinya itu selama dua bulanan. Dalam diskusi dan perdebatan, Syekh Yasin mendudukkan Kiai Sahal seperti teman diskusi.
Dua bulan pertemuan, Syekh Yasin mengijazahkan banyak kitab yang menginspirasi Kiai Sahal menulis banyak kitab. Dan ta’liqot yang ditulisnya saat belajar bersama Syekh Zubair dirapikan kembali. Terkumpul 500-an halaman dan belakangan dibukukan menjadi satu kitab bertajuk “Thoriqatul Husul”. (Anam, 2013)
NU Setelah Kepergiannya
Sebagai Rais ‘Aam Syuriyah PBNU, Mbah Sahal memiliki sumbangan tersendiri bagi perkembangan organisasi. Ia meneruskan sumbangan-sumbangan pemikiran dan misi yang telah dibawa oleh para pendahulunya.
Seperti yang pernah dipaparkan Abdurrahman Wahid (1991), setiap Rais ‘Aam membawa pemikiran dan misinya. Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar membawakan ketinggian derajat kompetensi ilmu keagamaan yang sangat tinggi ke dalam tubuh NU. KH Wahab Hasbullah membawakan kegigihan pluralitas politik, yang masih bertahan dalam tatanan politik kita saat ini.
Lain lagi dengan KH Bisri Syansuri yang membawakan dua hal yang sebenarnya saling berlawanan; kegigihan membela hukum agama di hadapan proses modernisasi yang sering berbentuk sekuler. KH Ali Maksum, KH Achmad Shiddiq dan lain sebagainya, masing–masing membawa misi yang konstruktif dan saling memantapkan satu sama lain.
Sedangkan pada sosok Kiai Sahal, yang menjadi Rais ‘Aam sejak tahun 1999, memiliki karakter khas pada pengembangan fikih sosial dan fikih kontekstual. Masalah muamalat dan sosial menajdi banyak sorotan Mbah Sahal. Pendekatan yang sering dipakainya adalah pendekatan maslahah atau kemaslahatan.
Hal ini pernah disampaikan sendiri oleh Mbah Sahal usai menerima gelar HC, Pilihan-pilihan tersebut saya dasarkan pada kenyataan yang menunjukkan, betapa banyak masyarakat yang belum mampu menyentuh gagasan-gagasan yang njlimet dari pakar. Karena itu saya concern , inilah yang membuat saya menetapkan fiqih sebagai pilihan untuk dijadikan jembatan menuju pengembangan masyarakat. (Sahal, 2003)
Fikih dipandangnya, tidak saja memberikan hukum halal dan haram secara normatif, tetapi juga jalan keluar (solusi) terhadap permasalahan yang dihadapi. Pendekatan kontekstual ini tentu sangat cocok apabila kita kaitkan dengan zaman sekarang, yang dihadapkan pada segala hal dan permasalahan yang senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan.
Inilah yang menjadi warisan Mbah Sahal bagi bangsa, sekaligus tantangan bagi Rais ‘Aam PBNU berikutnya. Di era sekarang, mampukah para ulama Indonesia dan khususnya NU menjaga kaidah Al-Muhafadhotu Alal Qodimis Sholeh wal Akhdu Bil Jadidil Ashlah (memelihara budaya-budaya klasik yang baik dan mengambil budaya-budaya yang baru yang konstruktif? Lahu al-Fatihah..!
===========
Ajie Najmuddin, Pemimpin Redaksi NU Solo Online
 
 
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,49742-lang,id-c,kolom-t,Mbah+Sahal+dan+Warisan+Fikih+Sosial-.phpx

Pengorbanan Sayyidina Ali bin Abi Thalib KRW untuk Tamu

=============
Pengorbanan Sayyidina Ali bin Abi Thalib KRW untuk Tamu
================
Dikisahkan bahwasanya di antara kebiasaan Hasan bin Ali bin Abi Thalib di Madinah adalah membuka lebar pintu rumahnya layaknya dapur umum. Seperti dapur umum, pagi, siang, malam rumah itu menghidangkan makanan untuk semua orang yang berdatangan.
Di zaman itu di Madinah belum ada tempat penginapan atau hotel. Tiap hari, Hasan menyembelih onta kecil untuk dihidangkan ke para peziarah Madinah atau orang-orang miskin pada umumnya.
Suatu hari, ada orang Arab Badui (dusun) yang datang dan makan dirumahnya. Sehabis makan, ia tidak langsung pulang, melainkan duduk dan membungkus beberapa makanan ke dalam tas. Melihat keanehan itu, Hasan datang menyapa. 
“Kenapa kau mesti membungkusnya? Lebih baik kau datang makan tiap pagi, siang dan malam di sini. Biar makananmu lebih segar,” kata Hasan.
“Oh, ini bukan untukku pribadi. Tapi untuk orang tua yang kutemui di pinggir kota tadi. Orang itu duduk di pinggir kebun kurma dengan wajah lesuh dan memakan roti keras. Dia hanya membahasahi roti itu dengan sedikit air bergaram dan memakannya. Aku membungkus makanan ini untuknya, biar dia senang.,” jawab orang Badui.
Mendengar itu, Hasan kemudian menangis tersedu-sedu. Badui itu heran dan bertanya, “Kenapa Tuan menangis? Bukankah tak ada yang salah jika aku kasihan dengan lelaki miskin yang di pinggiran kota itu?”
Dijawab oleh Hasan, sembari tersedu, “Ketahuilah, saudaraku. Lelaki miskin yang kau jumpai itu, yang makan roti keras dengan sedikit air bergaram itu, dia adalah ayahku: Ali bin Abi Thalib. Kerja kerasnya di ladang kurma itulah yang membuatku bisa menjamu semua orang setiap hari di rumah ini.” 

sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,51-id,48201-lang,id-c,hikmah-t,Pengorbanan+Ali+bin+Abi+Thalib+untuk+Tamu-.phpx

Cara Sujud yang Benar Oleh KH. Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat

============
Cara Sujud yang Benar
=================

Para ulama fiqih mendifinisikan shalat sebagai tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan itu selanjutnya dinamakan rukun dan pemenuhannya menjadi satu keharusan. Berarti, bila tidak dikerjakan mengakibatkan shalatnya batal. Atau disebut sunnah jika berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurnaan saja. Sehingga, kalau ditinggalkan, tidak sampai berakibat membatalkan shalat.

Rukun shalat secara keseluruhan ada tujuh belas, yang merupakan satu kesatuan utuh, sehingga pelaksanaannya harus berkesinambungan. Akibatnya, bila ada salah satu saja dari rukun itu ditinggalkan atau dilaksanakan secara terpisah, seseorang belum dianggap melaksanakan shalat. Dalam bahasa ahli ushul fikih, belum bebas dari uhdatul wujub, atau belum bias mengugurkan at-ta’abbud.
Setiap rukun mempunyai aturan dan cara-cara tertentu. Mulai dari cara membaca fatihah, ruku’, sujud, I’tidal dan seterusnya semua itu berdasar pada cara shalat Rasulullah saw semasa hidup. Sebagaimana perintah beliau dalam sebuah hadits:
صلوا كما رأيتموني أصلي -رواه البخاري
Artinya: shalatlah kamu seperti yang kamu lihat saat aku mengerjakannya (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Cara dan aturan-aturan tersebut telah diterangkan oleh ulama dengan panjang lebar, melalui proses ijtihad secara serius, dalam karya mereka berupa kitab-kitab fiqih.
Dalam berijtihad mereka senantiasa berpedoman pada al-qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas serta metode-metode istinbath yang lain. Karena itu dengan berpedoman pada kitab-kitab fiqih, bukan berarti kita tidak atau kurang mengamalkan al-Qur’an dan hadits seperti anggapan minor sebagian kalangan tertentu.
Dengan demikian shalat yang dipraktikkan umat Islam, secara umum sama, karena berangkat dari sumber yang sama pula. Semua berdiri, membaca fatihah, ruku’ dan sbagainya. Tapi di balik kesamaan-kesamaan tersebut, ada perbedaan-perbedaan kecil yang tidak begitu prinsip . Jangan sampai terjadi, perbedaan kecil itu merusak ukhuwah islamiyah di kalangan muslimin.
Misalnya dalam hal sujud, para ulama sendiri terbagi dalam dua elompok, antara yang mendahulukan tangan dan yang mengakhirkannya setelah meletakkan lutut. Keduanya memiliki dasar masing-masing. Kalau ditelusuri perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada dua hadits yang termaktub dalam bulughul maram, karangan Ibnu hajar al-Asqalani.Hadits pertama riwayat dari sahabat Abu Hurairoh ra yang menyatakan bahwasannya rasulullah saw bersabda;
إذا سجد أحدكم فلايبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه - رواه أبوداود والترمذي والنسائي
Artinya: jika salah satu dari kalian bersujud, janganlah menderum seperti unta menderum, letakkanlah kedua tangan sebelum lutut. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Dalam hadits tersebut jelas kita diperintahkan untuk mendahulukan tangan. Sebuah pengertian yang berlawanan dengan hadits kedua riwayat sahabat Wail bin Hajar ra yang mengatakan:
رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه ركبتيه -رواه أبوداود والترمذي والنسائي وابن ماجه
 Artinya: saya melihat Rasulullah saw ketika sujud meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum tangannya. (HR. abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah)
Ketika ada dua hadits yang tampak bertentangan seperti itu, para ulama akan memilih mana yang lebih kuat; yang sahih didahulukan dari pada yang dhaif. Kalau kedudukannya sama, sebisa mungkin dikompromikan agar sejalan dan tidak saling bertentangan . Jika langkah  tersebut tidak mungkin dicapai, hadist yang terdahulu dirombak (dinasikh) oleh yang terakhir. Dengan catatan sejarah keduanya diketahui. Bila waktunya tidak jelas, sikap yang mereka ambil adalah al-waaf. Maksudnya kedua hadits tersebut tidak diamalkan, lalu beralih pada dalil lain. Solusi seperti itu diketemukan dalam kitab-kitab ushul fikih, seperti tashit Thuraqat, Irsayadul Fukhul dan al-Luma’.Yang menjadi permasalahan adalah para ulama sering berbeda menilai sebuah hadits. Hadits yang dianggap sahih oleh seorang ahli (muhadditsun) tertentu, pada saat yang sama kadang diklaim tidak sahih oleh ulama lain. Pada gilirannya, mereka cenderung berpendapat sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.
Pada kasus sujud Imam Malik dan Imam Auzai memilih hadits yang pertama. Sedangkan madzhab Syafi’I dan Hanafi cenderung mengamalkan hadits kedua. Dalam kaitan itulah mengapa khiaf tidak terelakkan. Apalagi jika hadits hanya diketahui oleh satu pihak saja. Namun yang pasti, ulama terdahulu telah berupaya semaksimal mungkin mendekati setiap kebenaran. Yang benar memporel dua pahala yang salah memperoleh satu pahala. Dengan syarat mereka benar-benar mempunyai kompetensi untuk berijtihad. Dalam arti, melengkapi diri dengan berbagai disiplin keilmuan yang diperlukan untuk tugas mulia yang sangat berat itu. Sekarang kita tinggal pilih sesuai dengan kemnatapan dan keyakinan masing-masing. Kalangan pesantren yang akrab dengan kitab-kitab Imam syafi’I dalam hal sujud mungkin mendahulukan lutut. Tetapi kalangan yang lain bisa saja mendahulukan tangan.  

sumber: KH. Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat.
 
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,32556-lang,id-c,syariah-t,Cara+Sujud+yang+Benar-.phpx