ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 24 Januari 2014

Siti Asiyah, Peredam Murkanya Fir’aun

========

Siti Asiyah, Peredam Murkanya Fir’aun

Fir’aun tak berdaya menghadapi istrinya. Dia, yang begitu menyayangi istrinya itu, lebih memilih mengikuti kemauan istrinya daripada  menerapkan keputusannya membunuh semua bayi laki laki yang lahir dari kalangan Bani Israil.

Sungai-NilIradat Allah telah mempertemukan dua anak manusia dari kalangan yang berbeda, bahkan berlawanan. Yang satu dari kalangan rakyat jelata Bani Israil Mesir dan yang satunya lagi permaisuri agung Kerajaan Mesir. Bahkan ratu Mesir itulah yang kemudian memberi nama kepada anak lelaki yang dipungutnya dari tepian Sungai Nil itu dengan nama Musa. Dialah Siti Asiyah, istri raja Fir’aun.
Ketika Asiyah, sebagai seorang wanita, tengah merindukan hadirnya seorang anak, negara Mesir itu jutru tengah dalam kondisi tegang. Sebabnya, Fir’aun, yang telah mengangkat dirinya sendiri sebagai tuhan rakyat Mesir, mengumumkan akan membantai setiap anak lelaki yang lahir dari kalangan Bani Israil dan memerintahkan tentaranya untuk siaga penuh.
Itu lantaran sebuah mimpi yang menyebabkan Fir’aun beringas kepada Bani Israil. Dalam mimpi itu, negerinya terbakar habis hingga rata dengan tanah dan seluruh rakyatnya mati kecuali, orang orang Israel saja yang tetap hidup.
Para ahli nujum yang dikumpulkannya dari seluruh penjuru negeri menakwilkan, mimpi itu sebagai isyarat datangnya seorang lelaki dari Bani Israil yang akan menjatuhkan kekuasaan Fir’aun.
Ternyata, walau mengaku sebagai tuhan, Fir’aun masih punya rasa takut. Dia takut musibah itu benar benar terjadi. Maka, raja yang berjiwa pengecut ini mendeklarasikan negerinya dalam kondisi siaga. Tentaranya diperintahkan untuk melakukan penyelidikan ke setiap rumah penduduk dan segera membunuh setiap bayi lelaki yang lahir dari kalangan Bani Israil. Kala itu Mesir dihuni oleh dua kelompok penduduk, yaitu penduduk asli Qibti dan Israil, keturunan Nabi Ya’kub. Orang orang Qibti menduduki jabatan tinggi dan orang orang Israil berkedudukan rendah.
Keputusan itu berlaku tanpa batas waktu. Dalam kondisi seperti itulah Yang Maha Kuasa menurunkan seorang bayi lelaki dari kalangan Bani Israil yang diberi garis nasib jatuh ke pangkuan Situ Asiyah, permaisuri Fir’aun.
Hanya memilih ibu Kandung
Disebuah sudut negeri Mesir, seorang ibu dari kalangan Bani Israil melahirkan anak lelaki. Tapi anugerah itu bukan mendatangkan kebahagiaan, justru sebaliknya, ketakutan menyelimuti pasangan Imran dan Yukabad itu. Mereka takut pada ancaman Fir’aun, yang akan membunuh setiap anak lelaki yang lahir dari Bani Israil.
Dalam suasana keluarga yang serba penuh ketakutan itu, Allah mengilhamkan kepada ibu Musa agar menghanyutkan bayinya itu di Sungai Nil dalam sebuah peti, dan ia melakukannya.
Dengan izin Allah, peti itu mengalir terbawa arus sungai Nil ke arah kolam pemandian istana Fir’aun. “Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke Sungai Nil, maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari Ku (setiap orang yang memandang Nabi Musa As akan sayang kepadanya) dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” – QS.Tha-Ha (20) : 39.
Asiyah, yang tengah mandi, menemukan peti itu.
Begitu dilihat didalamnya ada seorang bayi mungil, sebagaimana dijamin dalam surat Tha-Ha diatas, ia lantas jatuh cinta, dan membawanya ke istana.
Didalam gendongannya bayi itu kemudian diperlihatkan kepada suaminya, Fir’aun.
Namun, begitu meliahat bayi lelaki, Fir’aun tidak tergoda oleh kesucian dan kelucuannya, melainkan segera mencabut pedang dan ingin membunuhnya, apalagi setelah diketahuinya bahwa bayi itu dari golongan Bani Israil. Benar bahwa setiap orang yang memandang Nabi Musa As akan sayang kepadanya, tapi ada perkecualian, tentu saja Fir’aun.
Asiyah tidak tinggal diam, ia segera melindungi bayi itu dan mendekap dalam pelukannya. “Jangan, jangan bunuh bayi ini, karena aku sayang kepadanya. Bukankah kita tidak punya anak? Sebaiknya dia kita jadikan anak angkat, mudah mudahan bermanfaat bagi kita” (QS. Al-Qashash: 8-9)
Rupanya Fir’aun tak berdaya menghadapi istrinya. Dia, yang begitu menyayangi istrinyaitu, lebih memilih mengikuti kemauan istrinya dari pada menerapkan keputusannya membunuh semua bayi laki laki yang lahir dari kalangan Bani Israil. Walhasil, sejak saat itu bayi tersebut diangkat sebagai anak dan diberi nama “Musa”.
Lalu, bagaimana dengan keputusan kerajaan untuk membunuh setiap bayi laki laki Bani Israil? Namanya juga diktator, maka yang berlaku bagi Fir’aun adalah “akulah hukum”. Hukum disesuaikan dengan kepentingannya. Bagi yang lain, hukum itu tetap berlaku, tapi tidak bagi Musa. Diluar sana Fir’aun tetap membunuh setiap bayi lelaki yang lahir dari golongan Bani Israil.
Asiyah kemudian memerintahkan pembantu istana untuk mencari ibu susu bagi Musa.
Dengan iradat Allah jua, terpilihlah ibu kandung Musa untuk menyusuinya. Sebelum itu banyak kaum ibu yang menawarkan diri untuk menyusui Musa, namun Musa tidak mau menghisap puting-puting susu itu kecuali susu ibunya sendiri.
Maka diserahkanlah Musa kepada Yukabad untuk disusui sehingga batas waktu menyusui selesai. Difirmankan Allah dalam Surat Al Qashash (28) ayat 13 yang artinya, “Maka kami kembalikan Musa kepada ibunya supaya senang hatinya dan tidak berduka cita, dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Bahagia dalam Keluarga Kerajaan
Setelah masa menyusui selesai, Yukabad pun mengembalikan Musa ke istana. Demikianlah, Asiyah berhasil membesarkan Musa hingga tumbuh menjadi anak kecil yang sehat dan menggemaskan, sehingga Fir’aun pun sangat menyayanginya. Ia sering menimang dan mengajak Musa bermain dalam pangkuannya. Rumah tangga Fir’aun menjadi ceria, yang pada gilirannya membuat seisi istana juga ikut gembira.
Namun pada suatu hari Fir’aun murka kepada Musa dan hampir saja membunuhnya. Pasalnya, ketika sedang dalam pangkuannya, Musa kecil tiba tiba menarik jenggotnya hingga Fir’aun berteriak kesakitan. “Kurang ajar anak ini”, gumam Fir’aun. “Jangan jangan dialah yang akan menjatuhkan kekuasaan ku” katanya kepada Asiyah sambil merenggut Musa dasri pangkuannya.
Demi melihat kejadian itu, Asiyah berusaha menenangkan suaminya, “Sabarlah suamiku, bukankah dia masih kecil, mungkin dia takut melihat jenggot mu. Dia belum punya akal dan belum tahu apa apa,” katanya sambil menggendong Musa.
Untuk membuktikan ucapannya itu, Asiyah sengaja menyuruh Musa memilih api atau buah yang ditaruh didepannya denga disaksikan Fir’aun. Tentu saja si kecil Musa memilh api, karena ada cahayanya. Dan ketika tangan kecilnya menyentuh api, kontan ia menangis, karena panas.
Dengan contoh itu Asiyah ingin membuktikan bahwa Musa memang masih ingusan, tidak tahu apa apa, dan tidak perlu dimarahi seperti itu, apalagi dicurigai sebagai calon musuh Fir’aun, seperti yang dikatakan para ahli nujum.
Maka, lagi lagi , berkat kebijaksanaan Asiyah, sirnalah nafsu amarah Fir’aun. Sejak itu Musa pun kembali menjadi anak kesayangan kerajaan dan hidup bahagia dalam lingkungan istana Fir’aun yang megah itu.
Memulai Dakwah
Ketika beranjak dewasa, Nabi Musa As pun memulai dakwahnya. Ia amat dihormati penduduk Mesir dan dikenal sebagai “Musa bin Fir’aun”, karena penampilannya yang mirip dengan bapak angkatnya itu.
Asiyah sendiri, meski hidup di istana serba mewah, sangat membenci kezhaliman Fir’aun dan sebaliknya ia sangat mencintai dakwah Nabi Musa As. Sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Quran Surat At-Tahrim (66) ayat 11, yang artinya, “Allah menjadikan istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang mukmin ketika ia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah disisi Mu didalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya. Selamatkan pula aku dari kaum yang zhalim.”
Demikian Asiyah. Ia adalah teladan wanita mu’minah yang istiqamah menjaga keimanannya ditengah kekafiran yang merajalela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar