===============
SEJARAH BURDAH (PUJIAN BUAT NABI SAW)
=============
SEJARAH:
BURDAH KA’AB BIN ZUHAIR R.A (PUJIAN BUAT NABI SAW)
Burdah artinya mantel dan juga dikenal sebagai
Burdah yang berarti syifa' (kesembuhan). Sedang Burdah yang selama ini kita kenal tidak
hanya tertuju kepada gubahan-gubahan al-Bushiri. Burdah ternyata juga memiliki
akar yang kuat dalam budaya dan kesejarahan sastra di masa Rasululloh SAW.
A. Burdah Masa Nabi Muhammad saw.
Barangkali, selama ini kita, kalangan
pesantren, hanya mengenal Burdah karya al-Bushiri semata. Padahal, ada kasidah
Burdah lain yang muncul jauh sebelum al-Bushiri lahir (abad ke tujuh H, atau
abad tiga belas M.). Kasidah itu adalah bait-bait syair yang di gubah oleh
seorang sahabat yang bernama lengkap Ka'ab bin Zuhair bin Abi Salma al-Muzny.
Sebagai ungkapan persembahan buat Nabi Muhammad Saw. Ka’ab termasuk salah
seorang Muhadrom, yakni penyair dua zaman: Jahiliyah dan Islam.
Ada kisah menarik dibalik kemunculan Burdah
Ka'ab bin Zuhair ini. Mulanya, ia adalah seorang penyair yang suka
menjelek-jelekkan Nabi dan para sahabat dengan gubahan syairnya, kemudian ia
lari untuk menghindari luapan amarah para sahabat Nabi.
Pada peristiwa Fathu Makkah (penaklukan kota
Mekah), saudara Ka'ab yang bernama Bujair bin Zuhair berkirim surat padanya
yang berisikan antara lain: anjuran agar Ka'ab pulang dan menghadap Rasulullah.
Ka'ab-pun kembali dan bertobat. Lalu ia berangkat menuju Madinah dan
menyerahkan dirinya kepada Rasul melalui perantaraan sahabat Abu Bakar. Diluar
dugaan Ka'abb, ia justru mendapat kehormatan istimewa dari baginda. Begitu
besarnya penghormatan itu, sampai-sampai Rasul rela melepaskan Burdah (jubah
yang terbuat dari kain wol/sufi)nya dan memberikannya pada Ka'ab.
Dari sini, Ka'ab kemudian menggubah qasidah
madahiyah (syair-syair pujaan) sebagai persembahan pada baginda Nabi yang
terkenal dengan nama kasidah âBanat Suâadâ (Wanita-wanita Bahagia.) Kasidah ini
terdiri dari 59 bait, dan disebut juga kasidah Burdah. Di antara prosa berirama
gubahan Ka'ab adalah Aku tahu bahwa Rasul berjanji untuk memaafkanku/dan
pengampunannya adalah dambaan setiap insan/Dia adalah pelita yang menerangi
mayapada/pengasah pedang-pedang Allah yang terhunus
Burdah (jubah) pemberian Nabi itu, kemudian
dibeli oleh sahabat Muâawiyah bin Abi Sufyan dari putra Kaâab. Dan biasa
dipakai oleh khalifah-khalifah setelah Muâawiyah pada hari-hari besar.
B. Burdah Al-Bushiri
Kasidah Burdah karya Syaikh al-Bushiri, adalah
salah satu karya sastra Islam paling populer. Ia berisikan sajak-sajak pujian
kepada Nabi Muhammad Saw. yang biasa dibacakan pada setiap bulan maulid/Rabiul
Awal, bahkan di beberapa belahan negeri Islam tertentu, Burdah kerapkali
dibacakan dalam setiap even.
Sajak-sajak pujian untuk Nabi dalam kesusastraan Arab
di masukkan dalam genre (bagian) al-madaih al-Nabawiyah. Sedang dalam
kesusastraan Persia dan Urdu, dikenal sebagai kesusastraan naâtiyah (bentuk
plural naât yang berarti pujian). Dalam tradisi sastra Arab, al-madaâih atau
naâtiyah mula-mula ditulis oleh Hasan ibnu Tsabit, Kaâab bin Malik dan Abdullah
bin Rawahah. Sedang yang paling terkenal ialah Kaâab bin Zuhair.
Pada abad ke-11 H., muncul seorang penyair al-madaih
terkemuka, Saâlabi, yang juga seorang kritikus sastra. Namun munculnya
al-Bushiri dengan Burdahnya, sebagaimana munculnya karya Majduddin Sanaâi dalam
bahasa Persia, al-madaih atau naâtiyah mencapai fase baru, yaitu tahapan
sufistik, karena bernuansa nafas tasawuf. Lahirnya karya kedua penyair ini yang
membuat puisi al-madaih berkembang pesat dalam kesusastraan Islam. Khusus karya
al-Bushiri, selain sangat populer, ia juga sangat besar pengaruhnya terhadap
kemunculan berbagai bentuk kesenian umat Islam. Karya al-Bushiri juga
memberikan pengaruh yang tidak sedikit dalam mengoptimalkan metode dakwah
Islamiyah, pendidikan dan ilmu retorika (ilmu Badiâ)
Nama Burdah muncul setelah pengarangnya mengemukakan
latar belakang penciptaan karya monumentalnya ini. Ketika al-Bushiri mendapat
serangan jantung, sehingga separuh tubuhnya lumpuh, dia berdoa tak
henti-hentinya sembari mencucurkan air mata, mengharapkan kesembuhan dari
Tuhan. Kemudian dia membacakan beberapa sajak pujian. Suatu saat dia tidak
dapat menahan kantuknya, lantas tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, ia
berjumpa Nabi Muhammad saw. Setelah Nabi menyentuh bagian tubuhnya yang lumpuh,
beliau memberikan jubah sufi (Burdah) kepada al-Bushiri . Kemudian aku
terbangun dan kulihat diriku telah mampu berdiri seperti sediakalaâ ujar Syekh
al-Bushiri.
Awalnya, al-Bushiri memberi nama karyanya ini
dengan nama kasidah Mimiyah, karena bait-bait sajaknya diakhiri dengan huruf
Mim, selanjutnya kasidah ini dikenal dengan kasidah Baraâah, sebab menjadi
cikal bakal sembuhnya sang pujangga dari kelumpuhannya. Hanya saja nama kasidah
Burdah lebih populer di kalangan umat Islam dibanding sebutan yang lain.
Kasidah Burdah terdiri atas 162 sajak dan
ditulis setelah al-Bushiri menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dari 162 bait
tersebut, 10 bait tentang cinta, 16 bait tentang hawa nafsu, 30 tentang pujian
terhadap Nabi, 19 tentang kelahiran Nabi, 10 tentang pujian terhadap al-Quran,
3 tentang Isra Miraj, 22 tentang jihad, 14 tentang istighfar, dan selebihnya
(38 bait) tentang tawassul dan munajat.
Kasidah Burdah telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa dunia; seperti Persia, India, Pakistan, Turki, Urdu, Punjabi,
Swahili, Pastun, Indonesia, Sindi dan lain-lain. Di Barat, ia telah
diterjemahkan antara lain ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol dan
Italia.
Qoshidah Burdah ini tersebar ke seluruh
penjuru bumi dari timur ke barat. Bahkan disyarahkan oleh sekitar 20 ulama,
diantaranya yang terkenal adalah Imam Syaburkhiti dan Imam Baijuri.
Memetakan hak-hak Allah dan RasulNya adalah satu diantara
tujuan penting dalam aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Tidak heran jika beberapa
orang dengan intuisi sastra transcendent (sufi) menuangkan buah tulisannya
perihal hubungan dirinya dengan Allah dan RasulNya. Jika saja kita dapat
merangkai sebuah tema sentral mengenai tujuan hidup kita, tak lain mencerna
serta memahami perilaku salik (orang yang menuju ridlo Allah) untuk mencapai
Akhlaqul Karimah. Lewat karya-karya sastra merekalah kita bisa meneguhkan aqidah
kita.
Memuji
Rasulullah adalah sebuah hal terpuji. Para sahabat Rasulullah seringkali
mengungkapkan pujian kepada Rasulullah dalam gubahan syair di depan beliau,
bahkan menyampaikannya ketika sedang berada di masjid. Rasulullah pun senang
dengan pujian syair yang mereka lantunkan. Terdapat beberapa sahabat yang
dikenal sebagai penyair di era nabi, di antaranya adalah Hasan bin Tsabit,
Abdullah bin Rowahah, dan Ka’ab bin Zuhair. Sebuah syair yang terkenal dalam
memuji Rasulullah adalah syi’ir Ka’ab bin Zuhair yang dikenal dengan “banat
su’ad”. Syair ini secara keseluruhan berjumlah 34 bait.
Ka’ab bin
Zuhair adalah seorang penyair. Sebelum memeluk Islam, ia pernah membuat tiga
bait syair yang membuat nabi murka dan menghalalkan darahnya. Dalam syair itu,
ia mencela kakaknya, Bujair bin Ka’ab yang telah masuk islam setelah bertemu
nabi termasuk celaan kepada Abu Bakar as-Shiddiq. Ketika syair ini sampai ke
telinga Rasulullah, beliau berkata, “siapa yang bertemu Ka’ab, maka bunuhlah
dia”. Mendengar nabi saw murka, Bujair mengirimkan sebuah surat kepada adiknya
tentang sabda Nabi tersebut dan mengajaknya untuk masuk Islam. Maka ia pun
datang ke kota Madinah untuk menyatakan Islamnya dan menemui nabi yang ketika
itu sedang berada di masjid. Ia pun menyatakan keislamannya di depan nabi dan
merubah isi syair yang mencela Abu Bakar lalu melantunkan sebuah syair yang
keindahannya diakui oleh para pakar bahasa, yang diawali dengan bait banat
su’adu fa qolbil yauma matbulu.
بانت سعاد فقلبي اليوم متبول
متيم إثرها لم يفد مكبو ل.
ان الرسول لسيف يستضاء به
مهند بسيف من سيوف الله مسلول
Ketika Ka’ab
sedang melantunkan syairnya tersebut, Rasulullah memberi isyarat kepada
sahabatnya untuk mendengarkan, bahkan Rasulullah lalu memberikan hadiah berupa
sebuah burdah. Cerita tentang Ka’ab bin Zuhair diriwayatkan selengkapnya oleh
al-Hakim dalam al mustadrok ala as-shohihain, juga disebutkan dalam al-ishobah
karangan Ibnu Hajar al-Asqollani dan usdul ghobah karya Ibnul Atsir.
Dari cerita di
atas, dapat kita lihat bahwa bersyair yang berisi pujian untuk Rasulullah bukan
merupakan hal tercela. Rasulullah sendiri senang dengan pujian yang ditujukan
padanya dan menyuruh para sahabat untuk menyimaknya meskipun syair itu
disampaikan di dalam masjid. Tidak berhenti di situ, Rasulullah pun memberikan
hadiah untuk sang penggubah syair Ka’ab bin Zuhair.
Tentang syirik
yang dituduhkan mereka kepada al-imam al-Bushiri karena menyifati makhluknya
(baca: Rasulullah) dengan sifat Allah dan menisbahkan pekerjaan yang hak Allah.
Seperti Rasulullah sebagai makhluk disifati sebagai pemberi hidayah, syafa’at
dan semisalnya, justifikasi syirik tersebut disebabkan kesalahan mereka dalam
memahami bait-bait pujian tidak dengan proporsional.
Mereka menggunakan
dalil sebuah hadis, “jangan berlebihan dalam memujiku seperti orang nashrani
memuji Isa putra Maryam”. Hadis ini bukanlah larangan dalam berlebihan memuji
nabi, tetapi larangan untuk menuhankan Rasulullah sebagaimana kaum nashrani
menuhankan nabi Isa alaihis salam. Bukankah Allah sendiri telah menyebut
hambanya tersebut dengan sebutan ro’uf dan rohim dalam al-Qur’an, padahal Allah
pemilik sifat rohim seperti tersebut dalam basmalah?
Diantara
kesesatan nalar itu adalah menyalahkan saudara seiman karena membaca syair
meskipun bacaan tersebut berisi pujian untuk nabi Muhammad saw. Pujian kepada
Rasulullah dianggap oleh kaum extremist terlalu berlebihan dan fakta di
lapangan telah diclaim ke dalam kekafiran atau syirik karena menyekutukan
Allah, mencampur aduk sifat Allah atau menisbahkan sebuah pekerjaan yang hanya
merupakan pekerjaanNya kepada makhluknya. Al-Imam al-Bushiri, pengarang qasidah
yang dikenal dengan nama burdah, sering menjadi sasaran kritik dalam masalah
ini. Mereka bahkan mengatakan bahwa burdah adalah qasidah syirik, tidak lain
hanya nalar yang sesat.
Mereka juga
salah dalam mengartikan tawassul sebagai syirik karena meminta kepada selain
Allah. Ini merupakan problem klasik yang telah diulas, dibantah dan dijawab
berulang kali oleh ulama ahlussunnah melalui berbagai tulisan mereka.
Trancendent berarti ada pemahaman diluar akal yang sifatnya ta’abudi, sedangkan
pemusyrikan terjadi karena ranah nalar dipaksakan memahami ranah tauhid yang
hanya dimiliki Allah dan Rasulullah saw. Ahlussunnah menjaga betul keserasian
nalar dalam menjangkau perihal yang trancendent, salah satu kitab yang
membahasnya syawahidul haq karangan Yusuf an-Nabhani dan Mafahim yajibu an
tushohhah karangan al-Musnid Assayyid al Muhaddits Muhammad al-Maliky al hasny.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar