Cara Sujud yang Benar
=================
Para
ulama fiqih mendifinisikan shalat sebagai tindakan-tindakan dan
ucapan-ucapan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan
salam. Tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan itu selanjutnya dinamakan
rukun dan pemenuhannya menjadi satu keharusan. Berarti, bila tidak
dikerjakan mengakibatkan shalatnya batal. Atau disebut sunnah jika
berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurnaan saja. Sehingga, kalau
ditinggalkan, tidak sampai berakibat membatalkan shalat.
Rukun shalat secara keseluruhan ada tujuh belas, yang merupakan satu kesatuan utuh, sehingga pelaksanaannya harus berkesinambungan. Akibatnya, bila ada salah satu saja dari rukun itu ditinggalkan atau dilaksanakan secara terpisah, seseorang belum dianggap melaksanakan shalat. Dalam bahasa ahli ushul fikih, belum bebas dari uhdatul wujub, atau belum bias mengugurkan at-ta’abbud.
Setiap rukun mempunyai aturan dan cara-cara tertentu. Mulai dari cara membaca fatihah, ruku’, sujud, I’tidal dan seterusnya semua itu berdasar pada cara shalat Rasulullah saw semasa hidup. Sebagaimana perintah beliau dalam sebuah hadits:
صلوا كما رأيتموني أصلي -رواه البخاري
Artinya: shalatlah kamu seperti yang kamu lihat saat aku mengerjakannya (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Cara dan aturan-aturan tersebut telah diterangkan oleh ulama dengan panjang lebar, melalui proses ijtihad secara serius, dalam karya mereka berupa kitab-kitab fiqih.
Cara dan aturan-aturan tersebut telah diterangkan oleh ulama dengan panjang lebar, melalui proses ijtihad secara serius, dalam karya mereka berupa kitab-kitab fiqih.
Dalam berijtihad mereka senantiasa
berpedoman pada al-qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas serta metode-metode
istinbath yang lain. Karena itu dengan berpedoman pada kitab-kitab
fiqih, bukan berarti kita tidak atau kurang mengamalkan al-Qur’an dan
hadits seperti anggapan minor sebagian kalangan tertentu.
Dengan demikian shalat yang dipraktikkan umat Islam, secara umum sama, karena berangkat dari sumber yang sama pula. Semua berdiri, membaca fatihah, ruku’ dan sbagainya. Tapi di balik kesamaan-kesamaan tersebut, ada perbedaan-perbedaan kecil yang tidak begitu prinsip . Jangan sampai terjadi, perbedaan kecil itu merusak ukhuwah islamiyah di kalangan muslimin.
Dengan demikian shalat yang dipraktikkan umat Islam, secara umum sama, karena berangkat dari sumber yang sama pula. Semua berdiri, membaca fatihah, ruku’ dan sbagainya. Tapi di balik kesamaan-kesamaan tersebut, ada perbedaan-perbedaan kecil yang tidak begitu prinsip . Jangan sampai terjadi, perbedaan kecil itu merusak ukhuwah islamiyah di kalangan muslimin.
Misalnya dalam hal sujud, para ulama
sendiri terbagi dalam dua elompok, antara yang mendahulukan tangan dan
yang mengakhirkannya setelah meletakkan lutut. Keduanya memiliki dasar
masing-masing. Kalau ditelusuri perbedaan pendapat tersebut berpangkal
pada dua hadits yang termaktub dalam bulughul maram, karangan Ibnu hajar
al-Asqalani.Hadits pertama riwayat dari sahabat Abu Hurairoh ra yang
menyatakan bahwasannya rasulullah saw bersabda;
إذا سجد أحدكم فلايبرك كمايبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه - رواه أبوداود والترمذي والنسائي
Artinya: jika salah satu dari kalian
bersujud, janganlah menderum seperti unta menderum, letakkanlah kedua
tangan sebelum lutut. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Dalam hadits tersebut jelas kita
diperintahkan untuk mendahulukan tangan. Sebuah pengertian yang
berlawanan dengan hadits kedua riwayat sahabat Wail bin Hajar ra yang mengatakan:
رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه ركبتيه -رواه أبوداود والترمذي والنسائي وابن ماجه
Artinya: saya melihat Rasulullah saw
ketika sujud meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum tangannya. (HR. abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah)
Ketika ada dua hadits yang tampak bertentangan seperti itu, para ulama akan memilih mana yang lebih kuat; yang sahih didahulukan dari pada yang dhaif. Kalau kedudukannya sama, sebisa mungkin dikompromikan agar sejalan dan tidak saling bertentangan . Jika langkah tersebut tidak mungkin dicapai, hadist yang terdahulu dirombak (dinasikh) oleh yang terakhir. Dengan catatan sejarah keduanya diketahui. Bila waktunya tidak jelas, sikap yang mereka ambil adalah al-waaf. Maksudnya kedua hadits tersebut tidak diamalkan, lalu beralih pada dalil lain. Solusi seperti itu diketemukan dalam kitab-kitab ushul fikih, seperti tashit Thuraqat, Irsayadul Fukhul dan al-Luma’.Yang menjadi permasalahan adalah para ulama sering berbeda menilai sebuah hadits. Hadits yang dianggap sahih oleh seorang ahli (muhadditsun) tertentu, pada saat yang sama kadang diklaim tidak sahih oleh ulama lain. Pada gilirannya, mereka cenderung berpendapat sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.
Ketika ada dua hadits yang tampak bertentangan seperti itu, para ulama akan memilih mana yang lebih kuat; yang sahih didahulukan dari pada yang dhaif. Kalau kedudukannya sama, sebisa mungkin dikompromikan agar sejalan dan tidak saling bertentangan . Jika langkah tersebut tidak mungkin dicapai, hadist yang terdahulu dirombak (dinasikh) oleh yang terakhir. Dengan catatan sejarah keduanya diketahui. Bila waktunya tidak jelas, sikap yang mereka ambil adalah al-waaf. Maksudnya kedua hadits tersebut tidak diamalkan, lalu beralih pada dalil lain. Solusi seperti itu diketemukan dalam kitab-kitab ushul fikih, seperti tashit Thuraqat, Irsayadul Fukhul dan al-Luma’.Yang menjadi permasalahan adalah para ulama sering berbeda menilai sebuah hadits. Hadits yang dianggap sahih oleh seorang ahli (muhadditsun) tertentu, pada saat yang sama kadang diklaim tidak sahih oleh ulama lain. Pada gilirannya, mereka cenderung berpendapat sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.
Pada kasus sujud Imam Malik dan Imam
Auzai memilih hadits yang pertama. Sedangkan madzhab Syafi’I dan Hanafi
cenderung mengamalkan hadits kedua. Dalam kaitan itulah mengapa khiaf
tidak terelakkan. Apalagi jika hadits hanya diketahui oleh satu pihak
saja. Namun yang pasti, ulama terdahulu telah berupaya semaksimal
mungkin mendekati setiap kebenaran. Yang benar memporel dua pahala yang
salah memperoleh satu pahala. Dengan syarat mereka benar-benar mempunyai
kompetensi untuk berijtihad. Dalam arti, melengkapi diri dengan
berbagai disiplin keilmuan yang diperlukan untuk tugas mulia yang sangat
berat itu. Sekarang kita tinggal pilih sesuai dengan kemnatapan dan
keyakinan masing-masing. Kalangan pesantren yang akrab dengan
kitab-kitab Imam syafi’I dalam hal sujud mungkin mendahulukan lutut.
Tetapi kalangan yang lain bisa saja mendahulukan tangan.
sumber: KH. Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,32556-lang,id-c,syariah-t,Cara+Sujud+yang+Benar-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar