Makam Mbah Mutamakkin Selalu Ramai Peziarah
===============
Meski saat ini makam mantan presiden KH Abdurrahman Wahid menjadi makam yang paling fenomenal
dalam keseharian warga Nahdliyin, namun bukan berarti makam-makam wali
lainnya menjadi sepi peziarah. Bahkan makam para wali yang bukan
dianggap sebagai bagian dari Walisongo pun tetap ramai dikunjungi.
Selain Walisongo, selain salah satu di antara makam wali yang tetap ramai dikunjungi adalah makam KH Mutamakkin di Kajen Pati. Setiap hari, pengunjung selalu datang silih berganti untuk berdoa di depan pusara waliyullah keturunan Sunan Kudus ini.
/>
"Di sini pengunjung tidak pernah berhenti sepanjang hari. Karenanya, area makam juga di buka selama 24 jam sehari semalam. Memang tidak seramai makam Walisongo, tetapi tiap hari ada saja pengunjung, baik dari warga sekitar Pati maupun tamu dari jauh," tutur Akhlis, salah seorang santri di Pondok Pesantren Kulon Banon kepada NU Online, Sabtu (6/3). Pondok Pesantren Kulon Banon berjarak kurang lebih lima puluh meter dari makam KH Mutamakkin.
Menurut Akhlis, selain masyarakat biasa, tak jarang para peziarah adalah tamu-tamu penting dari berbagai daerah. tamu-tamu seperti ini biasanya datang dengan rombongan mobil-mobil pribadi, dan beberapa di antaranya memakai pakaian dinas pegawai.
"Sedangkan Tamu Nahdliyin yang santri, biasanya terdiri dari rombongan majlis ta'lim. Mereka biasanya dipimpin oleh seorang ulama. Banyak juga rombongan para santri pelajar yang dipimpin oleh seorang ustadz," terang Akhlis.
sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,21925-lang,id-c,warta-t,Makam+Mbah+Mutamakkin+Selalu+Ramai+Peziarah-.phpx
========
Makam Syech KH. Ahmad Mutamaqin Pati
Sampai saat ini perdebatan para ahli sejarah tentang awal mula datangnya Islam di Indonesia masih terus berlanjut, dan perdebatan itu semakin seru ketika beberapa waktu yang lalu dalam tesisnya saudara Sumanto Al-Qurtuby memaklumkan sebuah teori baru tentang datangnya Islam di Indonesia, buku yang cukup kontroversial yang berjudul “Arus. Cina –Jawa-Islam” dengan tegas menyatakan bahwa Islam datang pertama kali bukan dari Parsi, Gujarat apalagi langsung dari Arab melainkan dari daerah yang selama ini menjadi momok sosial-ekonomi bagi segenap masyarakat jawa, yaitu Cina.
Lepas dari apakah tesis itu benar atau salah, perdebatan ini memberikan pelajaran tersendiri bagi umat Islam, bahwa Islam tanpa perlu dilihat dari mana asal datangnya yang lebih penting ajaran dan nilai-nilainya telah membaur dan menjadi pandangan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Mungkin yang lebih menarik diteliti lebih jauh mengapa Islam bisa diterima oleh bangsa kita melebihi agama yang lain bahkan melampaui tradisi lama yang telah sekian abad menjadi keyakinan masyarakat.
Namun demikian para ahli secara umum berpendapat, penyebaran Islam di Indonesia terjadi secara berangsur-angsur, bersifat variatif dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Batu nisan di leran Gresik memberi petunjuk kemungkinan telah ada komunitas Islam yang berkembang di daerah itu pada sekitar tahun 475 Hijriah ( 1082 M). Sementara marcopolo dalam catatannya sempat singgah 5 bulan di daerah Sumatra pada tahun 1292 M, dia menceritakan adanya kota pelabuhan Islam perlak yang telah ramai pada waktu itu, baru pada tahap selanjutnya melalui jalur perdagangan ke seluruh penjuru Nusantara Islam menyebar pada sekitar abad ke-XV-XVI.[3]
Di Jawa Islam menyebar dan berkembang seiring dengan kehadiran para pendatang dari gujarat dan cina melalui jalur perdagangan sekitar abad XV, namun H.J De Graaf dan TH. Pigeaud dalam bukunya kerajaan Islam pertama di jawa mensinyalir besar kemungkinan pada abad XIII di Jawa sudah ada orang Islam yang menetap melalui jalur perdagangan laut yang menyusuri pantai timur sumatra lewat laut Jawa yang sudah dilakukan sejak jaman dulu, sehingga mereka sempat singgah di daerah pantai utara laut jawa, karena pesisir pantai utara sangat cocok sebagai pusat pemukiman saat itu.
Penyebaran Islam di Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan kiprah perjalanan orang-orang suci yang sangat legendaris dalam cerita lisan orang Jawa-Islam yang sangat populer dengan sebutan Wali berjumlah sembilan atau walisongo. Meskipun terkenal dengan sebutan walisongo diduga kemungkinan besar sebenarnya jumlah yang sesungguhnya lebih dari itu, namun angka sembilan dalam mitologi Jawa memiliki makna tersendiri, dan kesembilan wali yang populer dan diyakini masyarakat sebagai penyebar Islam pertama di Jawa adalah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunungjati.
Kesembilan Wali tersebut diyakini oleh masyarakat Jawa memiliki kemampuan linuih baik secara fisik maupun spiritual, bahkan mereka dianggap mampu melakukan hal-hal yang sulit untuk diterima secara akali, merubah pohon pinang jadi emas dan membuat soko masjid dari pasahan kayu. Lepas dari perdebatan apakah cerita lisan itu benar atau salah yang jelas para wali yang jumlahnya sembilan itu memilki kemampuan lebih dalam arti yang rasional dan ilmiah yaitu mereka sebagai pendatang yang berusaha merintis sebuah ajaran dan ideologi baru mampu melakukan strategi yang jitu di dalam mencari celah-celah nilai antara tradisi dan keyakinan lama ( Hindu-Budha) dengan tradisi dan keyakinan baru ( Islam ) dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan, sehingga Islam sebagai nilai-nilai baru dengan strategi yang mereka bangun bisa diterima, bahkan sekarang menjadi ajaran mayoritas di indonesia.
Strategi dan taktik inilah sebenarnya yang sekarang diwarisi oleh lembaga pendidikan yang namanya pesantren, karena memang secara historis keberadaan pesantren tidak bisa terlepas dari sejarah keberadaan para wali tersebut. Penjagaan harmoni dan penghormatan terhadap nilai-nilai lama dan lokalitas sangat dijunjung tinggi di dalam proses akulturasi dan integrasi yang mereka lakukan. Intitusionalisasi pesantren merupakan perjuangan tahap lanjut dari pendekatan yang digunakan walisongo dalam meng-Islamkan tanah Jawa, kesalehan sebagai jalan hidup, pemahaman yang konkret dan utuh terhadap budaya lokal merupakan karakter yang dimilki para santri yang dulu juga pernah doiakukan walisongo.[4]
Perkembangan Islam di Jawa nenemukan momentumnya ketika para Wali dapat berintegrasi dengan para tokoh bangsawan Jawa saat itu, integrasi ini dilakuakn dengan berbagai cara diantaranya melalui pendidikan, perkawinan dan puncaknya ketika walisongo bersatu membangun masjid Demak dan menjadikannya sebagai pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah pada paruh kedua abad XV, Demak cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas serta sekaligus menjadi pusat ibadah bagi golongan menengah Islam yang baru muncul.
Politik ekspansi raja-raja Demak dalam masa kejayaannya telah jauh masuk ke Jawa Barat, Tengah dan Timur, hal itu selalu dibarengi dengan dakwah agama, sebab semangat agama raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam pada saat itu.[5]
Dalam sejarah dimaklumi Raden Patah sebagai raja Demak yang pertama, diyakini dia adalah keturunan raja kerajaan pra Islam majapahit yang terakhir yang dalam legenda bernama Brawijaya, ibu raden Patah konon sorang putri keturunan Cina dari keraton raja majapahit. Berturut-turut setelah kerajaan Demak dipegang oleh raden Patah pada tampuk kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh pangeran Sabrang Lor yang selanjutnya diteruskan oleh generagi ketiga yang bernama Trenggono, keduanya merupakan putra dari raden Patah raja pertama Demak.
Demak sebagai ibu kota kerajaan Islam menjadi titik tolak perjuangan pada dasawarsa pertama abad XVI untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa melalui berbagai ekspansi dan ekspedisi militer, ke arah barat Hasanuddin putra syech Nurullah yang lebih dikenal dengan gelar sunan gunungjati kelak kemudian diketahui sebagai raja Islam pertama di banten, sementara ke arah timur bisa dilihat Jaka Tingkir seorang prajurit yang mengabdi pada raja Demak dan menjadi menantunya Trenggono raja Demak generasi ketiga menguasai pajang dan menjadi raja disana yang setelah itu mengangkat pangeran Timur ( putra raja Demak ) sebagai bupati di Madiun.
Perluasan daerah melalui ekpansi dan ekspedisi ini menyebar ke berbagai arah penjuru Jawa sampai ke Madura pada paruh pertama abad XVI.[6]
Sementara itu penyebaran Islam di daerah Jawa bagian Tengah terjadi seiring dengan menyebarnya keturunan para raja demak ke berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti Jaka Tingkir istri putri Trenggono raja Demak ketiga menguasai Pajang, Ratu putri Kalinyamat ( ipar perempuan raja Pajang ) memrintah di daerah Jepara dan daerah Pati saat itu dikuasai dan diperintah di bawah seorang raja yang bernama Ki Panjawi, teman seperjuangan Ki Gede Pamanahan dan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) ketika melawan Aryo Penangsang untuk menuntut balas matinya saudara ipar Jaka Tingkir ( suami Ratu Kalinyamat ).
Diceritakan bahwa raja Demak ketiga Sultan Trenggono (putra Brawijaya atau Raden Patah, raja Demak pertama) telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo ( Raden Hadiningrat ) yang mempunyai putra bernama pangeran Sambo ( Raden Sumohadinegoro ) yang menurunkan putra Ahmad Mutamakkin.
Syech Ahmad Mutamakkin adalah seorang tokoh lokal yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang kajen dan sekitarnya, yang kelak kemudian hari menjadi motivator dan inspirasi berdirinya pondok pesantren yang sekarang menjadi ciri khas desa tersebut. Syech Mutamakkin bagi masyarakat di wilayah Pati diyakini sebagai seorang Waliyullah yang memiliki kemampuan linuih baik dalam bidang spirituil ( keilmuan tentang Islam ) maupun supranatural ( karomah ). Beliau dilahirkan di Desa Cebolek, 10 Km dari kota Tuban, karenanaya beliau di kenal dengan sebutan Mbah bolek di daerahnya. Sedangkan nama al-Mutamakkin [7] merupakan nama gelar yang didapatkan sepulang menuntut ilmu di Timur Tengah, yang berarti orang yang meneguhkan hati atau diyakini akan kesuciannya.
Di desa asalnya itu yang sekarang sudah berganti nama menjadi Desa Winong dapat dijumpai penginggalannya berupa sebuah Masjid Kuno yang terletak di pinggir sungai yang didalamnya masih tersimpan kayu berbentuk lonjong agak bulat yang dipergunakan beliau untuk menjemur peci/baldu ( masyarakat sekitar menyebutnya Klebut) dan sebuah batu yang berbentuk asbak. Sementara keris pusaka Syech Ahmad Mutamakkin diyakini oleh masyarakat sekitar masih berada di dalam pohon sawo kecik yang berada di depan masjid itu. Kehidupan masyarakat yang damai dan tentram ini adalah hasil perjuangan beliau dengan menyadarkan para penyamun dan penjahat yang menguasai daerah itu sebelumnya.
Lazimnya orang yang hidup pada zaman dahulu, Mutamakkin muda mengembara untuk memenuhi hasrat keinginannya, suatu ketika sampailah pada sebuah tempat, tepatnya di sebelah utara timur laut Desa kajen sekarang, sebagaimana yang menjadi kebiasaan para pengembara pada waktu itu untuk menngembalikan suasana daerah asalnya sekaligus untuk memudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, diberilah nama daerah itu dengan “cebolek” seperti desa kelahiran beliau.
Di Desa barunya ini Syech Ahmad Mutamakkin sempat bermukim beberapa saat sampai suatu ketika ada kejadian mistik yang memberikan isyarat kepada beliau untuk menuju ke arah barat, kejadian itu beliau alami setelah menunaikan sholat isya’ dengan melihat cahaya yang terang berkilauan di arah barat, bagi mbah Mutamakkin hal ini merupakan isyarat, dan pada esok harinya beliau menghampiri tempat dimana cahaya pada malam hari itu mengarah. Disana beliau bertemu dengan seorang laki-laki tua yang dalam cerita lokal diyakini sebagai orang pertama kajen yang bernama Mbah Syamsuddin. Dalam pertemuan itu terjadi sebuah dialog yang didalamnya ada penyerahan wilayah kajen dari Mbah Syamsuddin kepada Mbah Mutamakkin untuk merawat dan mengelolanya. Makam mbah syamsuddin berada disebelah barat makam Mbah Mutamakkin tepatnya di sebelah arah selatan blumbang, yang sampai sekarang sering digunakan para santri untuk riyadloh dan menghafalkan al-qur’an.
Dalam masa hidupnya syech Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syech Muhammad Zayn al-yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di yaman saat itu. Tidak diketahui secara pasti kapan syech Mutamakkin berguru kepada Syech Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syech Zayn ( Syech Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya ( Abdul Khaliq Ibn Zayn ) tahun 1740 jadi diperkirakan Syech Zayn hidup antara abad XVI-XVII. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syech Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.
Menurut Zainul Milal Bizawi, penulis buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat; Pemikiran dan paham Keagamaan Syech Ahmad Mutamakkin, Rihlah Ilmiah atau pengembaraan dalam menuntut ilmu serta jaringan keilmuan Syech Mutamakkin tidak terlalu penting, baginya yang lebih penting adalah tentang signifikansi dan sepak terjang beliau dalam dinamika Islam di Jawa terutama tentang pilihannya dalam memakai serat Dewaruci sebagai salah satu strategi dan metode dalam meyampaikan berbagai ajarannya.
Dalam serat cebolek diceritakan bahwa Syech Mutamakkin merupakan seorang tokoh yang mempunyai pemikiran kontroversial, yang pada saat itu sedang hangatnya pergumulan dalam pemikiran Islam antara Islam eksoteris yang berpegang teguh terhadap syari’at dan Islam esoteris yang mempunyai kecenderungan terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam melalui ajaran ke-Sufian dan Tarekat. Syech Mutamakkin mewakili kelompok kedua dalam pergulatan tersebut, dengan berbagai ajarannya tentang ilmu hakekat yang dalam tasauf mengandaikan bersatunya antara kawula dan Gusti. Ajaran ini mendapatkan tempat di sebagian besar hati masyarakat saat itu karena memang mereka masih terbawa oleh budaya dan ajaran lama ( Hindu-Budha) yang dalam ajarannya identik dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Sebagai seorang ‘alim, diceritakan Mbah Mutamakkin sangat teguh dalam memegang prinsip dan pendiriannya tentang Aqidah yang diajarkan dalam Islam, meskipun demikian beliau juga senang mengikuti dan mencermati cerita dalam pewayangan, terutama cerita yang menyangkut lakon Bima Suci atau Dewa Ruci, bahkan menurut penuturan Milal dalam bukunya, saking senangnya beliau termasuk satu-satunya orang yang fasih dan faham betul tentang alur dan penafsiran dalam cerita tersebut., karena memang bagi beliau cerita Bima Suci atau Dewa Ruci itu mengandung unsur kesamaan seperti apa yang pernah dipelajarinya dalam ilmu tasauf ketika berguru di Yaman pada syech Zain al-yamani.
Lazimnya seorang sufi, Mbah Mutamakkin gemar melakukan ritual-ritual yang berhubungan dengan peningkatan dalam meningkatkan kedekatan dan ketaqwaan kepada sang Khaliq ( Riyadloh), ritual ini biasanya beliau lakukan dengan melatih menahan dan mengurangi kegiatan makan, minum dan tidur, dalam rangka pengekangan hawa nafsu. Suatu ketika Mbah Mutamakkin melakukan riyadloh dengan puasa selama 40 hari. Pada hari terakhir riyadloh, sangi istri diminta untuk memasak yang enak dan lezat setelah itu disuruh untuk mengikat beliau, agar dapat mengalahkan hawa nafsunya. Namun sebagain versi lain mengatakan bahwa kejadian ini (pengikatan) hanya sebagai simbol pertarungan beliau dengan hawa nafsunya, yang akhirnya keluar dari dalam dirinya dua ekor anjing yang dengan lahapnya langsung menghabiskan hidangan yang telah disajikan oleh istrinya. Dua anjing tersebut lalu diberi nama oleh beliau Abdul Qohar dan Qomaruddin yang kebetulan menyamai nama penghulu dan khotib Tuban, pemberian nama ini bagi sebagian masyarakat yang anti terhadap beliau dianggap sebagai penghinaan atau bahkan sebagai sebuah kritik terhadap para penguasa saat itu, namun menurut H.M Imam Sanusi pemberian nama itu mengandung arti dan perlambang bagi Mbah Mutamakkin sendiri, yaitu hamba Allah yang mampu memerangi hawa nafsunya.
Mbah Mutamakkin adalah sosok seorang ‘alim yang terbuka, berani, apa adanya dan suka bercanda dan menguji seseorang, sikap dan sifat tersebut pernah membuat seorang musafir merasa terhina karena ketika bertamu di rumah beliau tersinggung oleh perkataan yang dilontarkan Mbah Mutamakkin pada saat menjamu makan nasi berkat ( satu porsi nasi dari kenduren ) yang dihabiskan sampai bersih, dikatakan oleh beliau bahwa anjingnya saja tidak suka makan ikan kering, apalagi sampai habis seperti itu. Karena tamu tersebut tidak terima dengan perkataan Mbah Mutamakkin yang dianggapnya sebagai sebuah penghinaan, akhirnya tamu itu membuat selebaran dan diedarkan kepada para ulama yang berisi tentang kehidupan Mbah Mutamakkin yang memelihara anjing dan suka melihat dan mendengarkan wayang, padahal bagi masyarakat Islam hal itu dianggap melanggar peraturan hukum Islam. Karena kejadian itu akhirnya Mbah Mutamakkin sempat disidangkan di keraton surakarta dengan penuntut seorang ‘alim dari kudus yang bernama katib anom untuk dihukum mati dengan dibakar, namun yang terjadi bukan hukuman malah sebaliknya beliau dibebaskan tanpa syarat dan berhasil kembali ke Kajen untuk meneruskan perjuangan atas apa yang menjadi keyakinannya.
Banyak versi baik yang tertulis maupun yang masih beredar dalam keyakinan masyarakat Kajen yang menceritakan tentang sejarah kehidupan Mbah Mutamakkin, dan dari kedua versi yang berkembang saling bertolak belakang sesuai dengan sudut pandang masing-masing, versi yang ditulis oleh penguasa saat itu yang lebih dikenal dengan “serat cebolek” menempatkan Mbah Mutamakkin sebagai seorang pembangkang dan penganjur aliran sesat yang kurang mampu dan memahami bidang agama sementara versi yang diyakini masyarakat Kajen dan ditulis oleh salah satu pengikut dan keturunannya berdasarkan “lokal historis” masyarakat sekitar Kajen menempatkan Mbah Mutamakkin sebagai seorang yang ‘alim dan suci sebagi penganjur agama Islam di daerah itu bahkan beliau menempati posisi tertinggi dalam struktur keyakinan masyarakat Islam sebagai seorang waliyullah, demikian juga yang disimpulkan dalam bukunya “Memelihara Umat” Pradjarta menyatakan bahwa Mbah Mutamakkin adalah seorang perintis pertama dan penyebar agama Islam di daerah Tayu dan sekitarnya.
Wallahu a’lam, lepas dari perdebatan berbagai versi yang ada mana yang dianggap benar. Namun satu yang pasti dan dapat dibuktikan bahwa Mbah Mutamakkin berhasil lolos dari tuntutan atas kematiannya dan di masyarakatnya sampai sekarang tetap diyakini sebagai seorang wali yang memilki berbagai kemampuan linuih dan karomah. Bahkan kehadirannya di desa kajen telah menjadi pioner dan perintis dari berdirinya pesantren dan penyebaran agama Islam di wilayahnya, ini merupakan bukti nyata bahwa beliau diterima dan dipercaya oleh masyarakatnya, dan sejarah adalah bukti yang paling real atas sebuah peristiwa yang terjadi.
Perjuangan dan ajaran beliau sampai sekarang masih diyakini dan dipegang teguh oleh keturunan dan para pengikutnya, pengaruh beliau masih dapat dirasakan sampai sekarang, layaknya sebagai tanah perdikan pada zaman itu yang dibebaskan dari pembayaran pajak, Kajen sekarang adalah tanah pendidikan yang menjadi alternatif dari bentuk pendidikan nasional yang ada, kajen dengan daya tarik dan berbagai kelebihannya ingin menyampaikan bahwa sejarah independensinya sebagai tanah perdikan tidak sekedar mandiri dalam arti sempit yang mengelola kehidupannya sendiri namun lebih dari itu Kajen adalah sebuah desa yang senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi tanpa menghilangkan nilai lokalitas yang dimilkinya, pembangunan bukan berarti merubah segala sesuatu dengan menghancurkan yang lama,tapi pembangunan adalah suatu usaha untuk memahami jati diri dan potensinya yang disesuaikan dengan kebutuhan demi kemaslahatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan pesantren di desa kajen yang mencapai 26 dan sekitar 5 madrasah yang semuanya dikelola dan dikembangkan oleh keturunan sang pejuang dan penganjur nilai-nilai luhur dan keislaman, Mbah Mutamakkin.
Selain Walisongo, selain salah satu di antara makam wali yang tetap ramai dikunjungi adalah makam KH Mutamakkin di Kajen Pati. Setiap hari, pengunjung selalu datang silih berganti untuk berdoa di depan pusara waliyullah keturunan Sunan Kudus ini.
/>
"Di sini pengunjung tidak pernah berhenti sepanjang hari. Karenanya, area makam juga di buka selama 24 jam sehari semalam. Memang tidak seramai makam Walisongo, tetapi tiap hari ada saja pengunjung, baik dari warga sekitar Pati maupun tamu dari jauh," tutur Akhlis, salah seorang santri di Pondok Pesantren Kulon Banon kepada NU Online, Sabtu (6/3). Pondok Pesantren Kulon Banon berjarak kurang lebih lima puluh meter dari makam KH Mutamakkin.
Menurut Akhlis, selain masyarakat biasa, tak jarang para peziarah adalah tamu-tamu penting dari berbagai daerah. tamu-tamu seperti ini biasanya datang dengan rombongan mobil-mobil pribadi, dan beberapa di antaranya memakai pakaian dinas pegawai.
"Sedangkan Tamu Nahdliyin yang santri, biasanya terdiri dari rombongan majlis ta'lim. Mereka biasanya dipimpin oleh seorang ulama. Banyak juga rombongan para santri pelajar yang dipimpin oleh seorang ustadz," terang Akhlis.
sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,21925-lang,id-c,warta-t,Makam+Mbah+Mutamakkin+Selalu+Ramai+Peziarah-.phpx
========
Makam Syech KH. Ahmad Mutamaqin Pati
SEJARAH DAN PENGARUH KH. AHMAD MUTAMAKKIN
Sejarah awal mula datangnya Islam dan cara penyebarannya di Indonesia banyak versi dan dari beberapa teori yang muncul mempunyai dasar dan sudut pandang yang berbeda. Perbedaan pendapat diantara para ahli tersebut berkisar pada, kapan datangnya, siapa yang menyebarkannya dan melalui jalur mana serta dengan cara seperti apa, hingga pada motif pertanyaan mengapa Islam dapat menjadi pandangan mayoritas masyarakat Indonesia dengan berbagai aliran dan varian golongannya.Sampai saat ini perdebatan para ahli sejarah tentang awal mula datangnya Islam di Indonesia masih terus berlanjut, dan perdebatan itu semakin seru ketika beberapa waktu yang lalu dalam tesisnya saudara Sumanto Al-Qurtuby memaklumkan sebuah teori baru tentang datangnya Islam di Indonesia, buku yang cukup kontroversial yang berjudul “Arus. Cina –Jawa-Islam” dengan tegas menyatakan bahwa Islam datang pertama kali bukan dari Parsi, Gujarat apalagi langsung dari Arab melainkan dari daerah yang selama ini menjadi momok sosial-ekonomi bagi segenap masyarakat jawa, yaitu Cina.
Lepas dari apakah tesis itu benar atau salah, perdebatan ini memberikan pelajaran tersendiri bagi umat Islam, bahwa Islam tanpa perlu dilihat dari mana asal datangnya yang lebih penting ajaran dan nilai-nilainya telah membaur dan menjadi pandangan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia. Mungkin yang lebih menarik diteliti lebih jauh mengapa Islam bisa diterima oleh bangsa kita melebihi agama yang lain bahkan melampaui tradisi lama yang telah sekian abad menjadi keyakinan masyarakat.
Namun demikian para ahli secara umum berpendapat, penyebaran Islam di Indonesia terjadi secara berangsur-angsur, bersifat variatif dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Batu nisan di leran Gresik memberi petunjuk kemungkinan telah ada komunitas Islam yang berkembang di daerah itu pada sekitar tahun 475 Hijriah ( 1082 M). Sementara marcopolo dalam catatannya sempat singgah 5 bulan di daerah Sumatra pada tahun 1292 M, dia menceritakan adanya kota pelabuhan Islam perlak yang telah ramai pada waktu itu, baru pada tahap selanjutnya melalui jalur perdagangan ke seluruh penjuru Nusantara Islam menyebar pada sekitar abad ke-XV-XVI.[3]
Di Jawa Islam menyebar dan berkembang seiring dengan kehadiran para pendatang dari gujarat dan cina melalui jalur perdagangan sekitar abad XV, namun H.J De Graaf dan TH. Pigeaud dalam bukunya kerajaan Islam pertama di jawa mensinyalir besar kemungkinan pada abad XIII di Jawa sudah ada orang Islam yang menetap melalui jalur perdagangan laut yang menyusuri pantai timur sumatra lewat laut Jawa yang sudah dilakukan sejak jaman dulu, sehingga mereka sempat singgah di daerah pantai utara laut jawa, karena pesisir pantai utara sangat cocok sebagai pusat pemukiman saat itu.
Penyebaran Islam di Jawa tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan kiprah perjalanan orang-orang suci yang sangat legendaris dalam cerita lisan orang Jawa-Islam yang sangat populer dengan sebutan Wali berjumlah sembilan atau walisongo. Meskipun terkenal dengan sebutan walisongo diduga kemungkinan besar sebenarnya jumlah yang sesungguhnya lebih dari itu, namun angka sembilan dalam mitologi Jawa memiliki makna tersendiri, dan kesembilan wali yang populer dan diyakini masyarakat sebagai penyebar Islam pertama di Jawa adalah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunungjati.
Kesembilan Wali tersebut diyakini oleh masyarakat Jawa memiliki kemampuan linuih baik secara fisik maupun spiritual, bahkan mereka dianggap mampu melakukan hal-hal yang sulit untuk diterima secara akali, merubah pohon pinang jadi emas dan membuat soko masjid dari pasahan kayu. Lepas dari perdebatan apakah cerita lisan itu benar atau salah yang jelas para wali yang jumlahnya sembilan itu memilki kemampuan lebih dalam arti yang rasional dan ilmiah yaitu mereka sebagai pendatang yang berusaha merintis sebuah ajaran dan ideologi baru mampu melakukan strategi yang jitu di dalam mencari celah-celah nilai antara tradisi dan keyakinan lama ( Hindu-Budha) dengan tradisi dan keyakinan baru ( Islam ) dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan, sehingga Islam sebagai nilai-nilai baru dengan strategi yang mereka bangun bisa diterima, bahkan sekarang menjadi ajaran mayoritas di indonesia.
Strategi dan taktik inilah sebenarnya yang sekarang diwarisi oleh lembaga pendidikan yang namanya pesantren, karena memang secara historis keberadaan pesantren tidak bisa terlepas dari sejarah keberadaan para wali tersebut. Penjagaan harmoni dan penghormatan terhadap nilai-nilai lama dan lokalitas sangat dijunjung tinggi di dalam proses akulturasi dan integrasi yang mereka lakukan. Intitusionalisasi pesantren merupakan perjuangan tahap lanjut dari pendekatan yang digunakan walisongo dalam meng-Islamkan tanah Jawa, kesalehan sebagai jalan hidup, pemahaman yang konkret dan utuh terhadap budaya lokal merupakan karakter yang dimilki para santri yang dulu juga pernah doiakukan walisongo.[4]
Perkembangan Islam di Jawa nenemukan momentumnya ketika para Wali dapat berintegrasi dengan para tokoh bangsawan Jawa saat itu, integrasi ini dilakuakn dengan berbagai cara diantaranya melalui pendidikan, perkawinan dan puncaknya ketika walisongo bersatu membangun masjid Demak dan menjadikannya sebagai pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah pada paruh kedua abad XV, Demak cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas serta sekaligus menjadi pusat ibadah bagi golongan menengah Islam yang baru muncul.
Politik ekspansi raja-raja Demak dalam masa kejayaannya telah jauh masuk ke Jawa Barat, Tengah dan Timur, hal itu selalu dibarengi dengan dakwah agama, sebab semangat agama raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam pada saat itu.[5]
Dalam sejarah dimaklumi Raden Patah sebagai raja Demak yang pertama, diyakini dia adalah keturunan raja kerajaan pra Islam majapahit yang terakhir yang dalam legenda bernama Brawijaya, ibu raden Patah konon sorang putri keturunan Cina dari keraton raja majapahit. Berturut-turut setelah kerajaan Demak dipegang oleh raden Patah pada tampuk kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh pangeran Sabrang Lor yang selanjutnya diteruskan oleh generagi ketiga yang bernama Trenggono, keduanya merupakan putra dari raden Patah raja pertama Demak.
Demak sebagai ibu kota kerajaan Islam menjadi titik tolak perjuangan pada dasawarsa pertama abad XVI untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa melalui berbagai ekspansi dan ekspedisi militer, ke arah barat Hasanuddin putra syech Nurullah yang lebih dikenal dengan gelar sunan gunungjati kelak kemudian diketahui sebagai raja Islam pertama di banten, sementara ke arah timur bisa dilihat Jaka Tingkir seorang prajurit yang mengabdi pada raja Demak dan menjadi menantunya Trenggono raja Demak generasi ketiga menguasai pajang dan menjadi raja disana yang setelah itu mengangkat pangeran Timur ( putra raja Demak ) sebagai bupati di Madiun.
Perluasan daerah melalui ekpansi dan ekspedisi ini menyebar ke berbagai arah penjuru Jawa sampai ke Madura pada paruh pertama abad XVI.[6]
Sementara itu penyebaran Islam di daerah Jawa bagian Tengah terjadi seiring dengan menyebarnya keturunan para raja demak ke berbagai daerah di Jawa Tengah, seperti Jaka Tingkir istri putri Trenggono raja Demak ketiga menguasai Pajang, Ratu putri Kalinyamat ( ipar perempuan raja Pajang ) memrintah di daerah Jepara dan daerah Pati saat itu dikuasai dan diperintah di bawah seorang raja yang bernama Ki Panjawi, teman seperjuangan Ki Gede Pamanahan dan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) ketika melawan Aryo Penangsang untuk menuntut balas matinya saudara ipar Jaka Tingkir ( suami Ratu Kalinyamat ).
Diceritakan bahwa raja Demak ketiga Sultan Trenggono (putra Brawijaya atau Raden Patah, raja Demak pertama) telah mengawinkan salah satu putrinya dengan Jaka Tingkir ( Sultan Hadiwijaya ) dari perkawinan itu lahirlah Pangeran Benowo ( Raden Hadiningrat ) yang mempunyai putra bernama pangeran Sambo ( Raden Sumohadinegoro ) yang menurunkan putra Ahmad Mutamakkin.
Syech Ahmad Mutamakkin adalah seorang tokoh lokal yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang kajen dan sekitarnya, yang kelak kemudian hari menjadi motivator dan inspirasi berdirinya pondok pesantren yang sekarang menjadi ciri khas desa tersebut. Syech Mutamakkin bagi masyarakat di wilayah Pati diyakini sebagai seorang Waliyullah yang memiliki kemampuan linuih baik dalam bidang spirituil ( keilmuan tentang Islam ) maupun supranatural ( karomah ). Beliau dilahirkan di Desa Cebolek, 10 Km dari kota Tuban, karenanaya beliau di kenal dengan sebutan Mbah bolek di daerahnya. Sedangkan nama al-Mutamakkin [7] merupakan nama gelar yang didapatkan sepulang menuntut ilmu di Timur Tengah, yang berarti orang yang meneguhkan hati atau diyakini akan kesuciannya.
Di desa asalnya itu yang sekarang sudah berganti nama menjadi Desa Winong dapat dijumpai penginggalannya berupa sebuah Masjid Kuno yang terletak di pinggir sungai yang didalamnya masih tersimpan kayu berbentuk lonjong agak bulat yang dipergunakan beliau untuk menjemur peci/baldu ( masyarakat sekitar menyebutnya Klebut) dan sebuah batu yang berbentuk asbak. Sementara keris pusaka Syech Ahmad Mutamakkin diyakini oleh masyarakat sekitar masih berada di dalam pohon sawo kecik yang berada di depan masjid itu. Kehidupan masyarakat yang damai dan tentram ini adalah hasil perjuangan beliau dengan menyadarkan para penyamun dan penjahat yang menguasai daerah itu sebelumnya.
Lazimnya orang yang hidup pada zaman dahulu, Mutamakkin muda mengembara untuk memenuhi hasrat keinginannya, suatu ketika sampailah pada sebuah tempat, tepatnya di sebelah utara timur laut Desa kajen sekarang, sebagaimana yang menjadi kebiasaan para pengembara pada waktu itu untuk menngembalikan suasana daerah asalnya sekaligus untuk memudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, diberilah nama daerah itu dengan “cebolek” seperti desa kelahiran beliau.
Di Desa barunya ini Syech Ahmad Mutamakkin sempat bermukim beberapa saat sampai suatu ketika ada kejadian mistik yang memberikan isyarat kepada beliau untuk menuju ke arah barat, kejadian itu beliau alami setelah menunaikan sholat isya’ dengan melihat cahaya yang terang berkilauan di arah barat, bagi mbah Mutamakkin hal ini merupakan isyarat, dan pada esok harinya beliau menghampiri tempat dimana cahaya pada malam hari itu mengarah. Disana beliau bertemu dengan seorang laki-laki tua yang dalam cerita lokal diyakini sebagai orang pertama kajen yang bernama Mbah Syamsuddin. Dalam pertemuan itu terjadi sebuah dialog yang didalamnya ada penyerahan wilayah kajen dari Mbah Syamsuddin kepada Mbah Mutamakkin untuk merawat dan mengelolanya. Makam mbah syamsuddin berada disebelah barat makam Mbah Mutamakkin tepatnya di sebelah arah selatan blumbang, yang sampai sekarang sering digunakan para santri untuk riyadloh dan menghafalkan al-qur’an.
Dalam masa hidupnya syech Mutamakkin sepenuhnya mengabdikan diri untuk penyebaran agama Islam di daerahnya, beliau pernah belajar di Yaman kepada Syech Muhammad Zayn al-yamani yang merupakan seorang tokoh Sufi dalam tarekat Naqsyabandiyah dan sangat berpengaruh di yaman saat itu. Tidak diketahui secara pasti kapan syech Mutamakkin berguru kepada Syech Muhammad Zayn al-Yamani, namun melalui tahun wafatnya ayah Syech Zayn ( Syech Muhammad al-Baqi ) tahun 1663 dan kematian putranya ( Abdul Khaliq Ibn Zayn ) tahun 1740 jadi diperkirakan Syech Zayn hidup antara abad XVI-XVII. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Syech Mutamakkin berguru pada beliau pada sekitar masa itu.
Menurut Zainul Milal Bizawi, penulis buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat; Pemikiran dan paham Keagamaan Syech Ahmad Mutamakkin, Rihlah Ilmiah atau pengembaraan dalam menuntut ilmu serta jaringan keilmuan Syech Mutamakkin tidak terlalu penting, baginya yang lebih penting adalah tentang signifikansi dan sepak terjang beliau dalam dinamika Islam di Jawa terutama tentang pilihannya dalam memakai serat Dewaruci sebagai salah satu strategi dan metode dalam meyampaikan berbagai ajarannya.
Dalam serat cebolek diceritakan bahwa Syech Mutamakkin merupakan seorang tokoh yang mempunyai pemikiran kontroversial, yang pada saat itu sedang hangatnya pergumulan dalam pemikiran Islam antara Islam eksoteris yang berpegang teguh terhadap syari’at dan Islam esoteris yang mempunyai kecenderungan terhadap nilai-nilai substansial dalam Islam melalui ajaran ke-Sufian dan Tarekat. Syech Mutamakkin mewakili kelompok kedua dalam pergulatan tersebut, dengan berbagai ajarannya tentang ilmu hakekat yang dalam tasauf mengandaikan bersatunya antara kawula dan Gusti. Ajaran ini mendapatkan tempat di sebagian besar hati masyarakat saat itu karena memang mereka masih terbawa oleh budaya dan ajaran lama ( Hindu-Budha) yang dalam ajarannya identik dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berbau mistik.
Sebagai seorang ‘alim, diceritakan Mbah Mutamakkin sangat teguh dalam memegang prinsip dan pendiriannya tentang Aqidah yang diajarkan dalam Islam, meskipun demikian beliau juga senang mengikuti dan mencermati cerita dalam pewayangan, terutama cerita yang menyangkut lakon Bima Suci atau Dewa Ruci, bahkan menurut penuturan Milal dalam bukunya, saking senangnya beliau termasuk satu-satunya orang yang fasih dan faham betul tentang alur dan penafsiran dalam cerita tersebut., karena memang bagi beliau cerita Bima Suci atau Dewa Ruci itu mengandung unsur kesamaan seperti apa yang pernah dipelajarinya dalam ilmu tasauf ketika berguru di Yaman pada syech Zain al-yamani.
Lazimnya seorang sufi, Mbah Mutamakkin gemar melakukan ritual-ritual yang berhubungan dengan peningkatan dalam meningkatkan kedekatan dan ketaqwaan kepada sang Khaliq ( Riyadloh), ritual ini biasanya beliau lakukan dengan melatih menahan dan mengurangi kegiatan makan, minum dan tidur, dalam rangka pengekangan hawa nafsu. Suatu ketika Mbah Mutamakkin melakukan riyadloh dengan puasa selama 40 hari. Pada hari terakhir riyadloh, sangi istri diminta untuk memasak yang enak dan lezat setelah itu disuruh untuk mengikat beliau, agar dapat mengalahkan hawa nafsunya. Namun sebagain versi lain mengatakan bahwa kejadian ini (pengikatan) hanya sebagai simbol pertarungan beliau dengan hawa nafsunya, yang akhirnya keluar dari dalam dirinya dua ekor anjing yang dengan lahapnya langsung menghabiskan hidangan yang telah disajikan oleh istrinya. Dua anjing tersebut lalu diberi nama oleh beliau Abdul Qohar dan Qomaruddin yang kebetulan menyamai nama penghulu dan khotib Tuban, pemberian nama ini bagi sebagian masyarakat yang anti terhadap beliau dianggap sebagai penghinaan atau bahkan sebagai sebuah kritik terhadap para penguasa saat itu, namun menurut H.M Imam Sanusi pemberian nama itu mengandung arti dan perlambang bagi Mbah Mutamakkin sendiri, yaitu hamba Allah yang mampu memerangi hawa nafsunya.
Mbah Mutamakkin adalah sosok seorang ‘alim yang terbuka, berani, apa adanya dan suka bercanda dan menguji seseorang, sikap dan sifat tersebut pernah membuat seorang musafir merasa terhina karena ketika bertamu di rumah beliau tersinggung oleh perkataan yang dilontarkan Mbah Mutamakkin pada saat menjamu makan nasi berkat ( satu porsi nasi dari kenduren ) yang dihabiskan sampai bersih, dikatakan oleh beliau bahwa anjingnya saja tidak suka makan ikan kering, apalagi sampai habis seperti itu. Karena tamu tersebut tidak terima dengan perkataan Mbah Mutamakkin yang dianggapnya sebagai sebuah penghinaan, akhirnya tamu itu membuat selebaran dan diedarkan kepada para ulama yang berisi tentang kehidupan Mbah Mutamakkin yang memelihara anjing dan suka melihat dan mendengarkan wayang, padahal bagi masyarakat Islam hal itu dianggap melanggar peraturan hukum Islam. Karena kejadian itu akhirnya Mbah Mutamakkin sempat disidangkan di keraton surakarta dengan penuntut seorang ‘alim dari kudus yang bernama katib anom untuk dihukum mati dengan dibakar, namun yang terjadi bukan hukuman malah sebaliknya beliau dibebaskan tanpa syarat dan berhasil kembali ke Kajen untuk meneruskan perjuangan atas apa yang menjadi keyakinannya.
Banyak versi baik yang tertulis maupun yang masih beredar dalam keyakinan masyarakat Kajen yang menceritakan tentang sejarah kehidupan Mbah Mutamakkin, dan dari kedua versi yang berkembang saling bertolak belakang sesuai dengan sudut pandang masing-masing, versi yang ditulis oleh penguasa saat itu yang lebih dikenal dengan “serat cebolek” menempatkan Mbah Mutamakkin sebagai seorang pembangkang dan penganjur aliran sesat yang kurang mampu dan memahami bidang agama sementara versi yang diyakini masyarakat Kajen dan ditulis oleh salah satu pengikut dan keturunannya berdasarkan “lokal historis” masyarakat sekitar Kajen menempatkan Mbah Mutamakkin sebagai seorang yang ‘alim dan suci sebagi penganjur agama Islam di daerah itu bahkan beliau menempati posisi tertinggi dalam struktur keyakinan masyarakat Islam sebagai seorang waliyullah, demikian juga yang disimpulkan dalam bukunya “Memelihara Umat” Pradjarta menyatakan bahwa Mbah Mutamakkin adalah seorang perintis pertama dan penyebar agama Islam di daerah Tayu dan sekitarnya.
Wallahu a’lam, lepas dari perdebatan berbagai versi yang ada mana yang dianggap benar. Namun satu yang pasti dan dapat dibuktikan bahwa Mbah Mutamakkin berhasil lolos dari tuntutan atas kematiannya dan di masyarakatnya sampai sekarang tetap diyakini sebagai seorang wali yang memilki berbagai kemampuan linuih dan karomah. Bahkan kehadirannya di desa kajen telah menjadi pioner dan perintis dari berdirinya pesantren dan penyebaran agama Islam di wilayahnya, ini merupakan bukti nyata bahwa beliau diterima dan dipercaya oleh masyarakatnya, dan sejarah adalah bukti yang paling real atas sebuah peristiwa yang terjadi.
Perjuangan dan ajaran beliau sampai sekarang masih diyakini dan dipegang teguh oleh keturunan dan para pengikutnya, pengaruh beliau masih dapat dirasakan sampai sekarang, layaknya sebagai tanah perdikan pada zaman itu yang dibebaskan dari pembayaran pajak, Kajen sekarang adalah tanah pendidikan yang menjadi alternatif dari bentuk pendidikan nasional yang ada, kajen dengan daya tarik dan berbagai kelebihannya ingin menyampaikan bahwa sejarah independensinya sebagai tanah perdikan tidak sekedar mandiri dalam arti sempit yang mengelola kehidupannya sendiri namun lebih dari itu Kajen adalah sebuah desa yang senantiasa mengikuti perkembangan yang terjadi tanpa menghilangkan nilai lokalitas yang dimilkinya, pembangunan bukan berarti merubah segala sesuatu dengan menghancurkan yang lama,tapi pembangunan adalah suatu usaha untuk memahami jati diri dan potensinya yang disesuaikan dengan kebutuhan demi kemaslahatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan pesantren di desa kajen yang mencapai 26 dan sekitar 5 madrasah yang semuanya dikelola dan dikembangkan oleh keturunan sang pejuang dan penganjur nilai-nilai luhur dan keislaman, Mbah Mutamakkin.
Biografi KH. MA. Sahal Mahfudz (DR. KH. MA. Sahal Mahfudz Ro'is 'Amm PBNU Tiga Periode)
DR. KH. MA. Sahal Mahfudz
Nama lengkap KH. MA. Sahal Mahfudz (selanjutnya disebut dengan Kyai Sahal) adalah Muhammad Ahmad Sahal bin Mahfudz bin Abd. Salam Al-Hajaini lahir di Desa Kajen, Margoyoso Pati pada tanggal 17 Desember 1937.
Beliau adalah anak ketiga dari enam bersaudara yang merupakan ulama kontemporer Indonesia
yang disegani karena kehati-hatiannya dalam bersikap dan kedalaman
ilmunya dalam memberikan fatwa terhadap masyarakat baik dalam ruang
lingkup lokal (masyarakat dan pesantren yang dipimpinnya) dan ruang
lingkup nasional.
Sebelum orang mengenal Kyai Sahal, orang akan mengenalnya sebagai sosok
yang biasa-biasa saja. Dengan penampilan yang sederhana orang mengira,
beliau sebagai orang biasa yang tidak punya pengetahuan apapun. Namun
ternyata pengetahuan dan kepakaran Kyai Sahal sudah diakui. Salah satu
contoh, sosok yang menjadi pengasuh pesantren2 ini
pernah bergabung dengan institusi yang bergerak dalam bidang
pendidikan, yaitu menjadi anggota BPPN3 selama 2 periode yaitu dari
tahun 1993-2003.
Kyai Sahal lahir dari pasangan Kyai Mahfudz bin Abd. Salam al- Hafidz (w
1944 M) dan Hj. Badi’ah (w. 1945 M) yang sedari lahir hidup di
pesantren, dibesarkan dalam lingkungan pesantren, belajar hingga ladang
pengabdiannya pun ada di pesantren. Saudara Kyai Sahal yang berjumlah lima
orang yaitu, M. Hasyim, Hj. Muzayyanah (istri KH. Mansyur Pengasuh PP
An-Nur Lasem), Salamah (istri KH. Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara,
kakak istri KH. Abdullah Salam ), Hj. Fadhilah (istri KH. Rodhi Sholeh
Jakarta), Hj. Khodijah (istri KH. Maddah, pengasuh PP Assuniyah Jember
yang juga cucu KH. Nawawi, adik kandung KH. Abdussalam, kakek KH.
Sahal.).
Pada tahun 1968/69 Kyai Sahal menikah dengan Dra Hj Nafisah binti KH.
Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang
dan berputra Abdul Ghofar Rozin yang sejak sekarang sudah dipersiapkan
untuk menggantikan kepemimpinan Kyai Sahal.
A. Latar Belakang Kehidupan
KH. Sahal Mahfudz dididik oleh ayahnya yaitu KH. Mahfudz dan memiliki
jalur nasab dengan Syekh Ahmad Mutamakkin, namun KH. Sahal Mahfudz
sangat dipengaruhi oleh kekyainan pamannya sendiri, K.H. Abdullah Salam.
Syekh Ahmad Mutamakkin sendiri termasuk salah seorang pejuang Islam
yang gigih, seorang ahli hukum Islam (faqih) yang disegani, seorang guru
besar agama dan lebih dari itu oleh pengikutnya dianggap sebagai salah
seorang waliyullah.
Sedari kecil Kyai Sahal dididik dan dibesarkan dalam semangat memelihara
derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi Kiai
Mahfudh Salam (yang juga bapaknya sendiri) seorang kiai ampuh, dan adik
sepupu almarhum Rais Aam NU, Kiai Bisri Syamsuri. Selain itu juga
terkenal sebagai hafidzul qur’an yang wira’i dan zuhud dengan
pengetahuan agama yang mendalam terutama ilmu ushul.
Pesantren adalah tempat mencari ilmu sekaligus tempat pengabdian Kyai
Sahal. Dedikasinya kepada pesantren, pengembangan masyarakat, dan
pengembangan ilmu fiqh tidak pernah diragukan Pada dirinya terdapat
tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqih
dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama
tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh
(memperdalam pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru’ (bermoral
luhur).
Ada dua faktor
yang mempengaruhi pemikiran Kyai Sahal yaitu, pertama adalah lingkungan
keluarganya. Bapak beliau yaitu Kyai Mahfudz adalah orang yang sangat
peduli pada masyarakat. Setelah Kyai Mahfudz meninggal, Kyai Sahal
kemudian diasuh oleh KH. Abdullah Salam, orang yang sangat concern pada
kepentingan masyarakat juga. Beliau adalah orang yang mendalami tasawuf
juga orang yang berjiwa sosial tinggi. Dalam melakukan sesuatu ada nilai
transendental yang diajarkan tidak hanya dilihat dari segi materi. Kyai
Mahfudz orang yang cerdas, tegas dan peka terhadap persoalan sosial dan
KH. Abdullah Salam juga orang yang tegas, cerdas, wira’I, muru’ah, dan
murah hati. Di bawah asuhan dua orang yang luar biasa dan mempunyai
karakter kuat inilah Kyai Sahal dibesarkan.
Yang kedua dari segi intelektual, Kyai Sahal sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Imam Ghazali. Dalam berbagai teori Kyai Sahal banyak mengutip
pemikiran Imam Ghazali.13 Selama belajar di pesantren inilah Kyai Sahal
berinteraksi dengan berbagai orang dari segala lapisan masyarakat baik
kalangan jelata maupun kalangan elit masyarakat yang pada akhirnya
mempengaruhi pemikiran beliau. Selepas dari pesantren beliau aktif di
berbagai organisasi kemasyarakatan. Perpaduan antara pengalaman di dunia
pesantren dan organisasi inilah yang diimplementasikan oleh Kyai Sahal
dalam berbagai pemikiran beliau.
Minat baca Kyai Sahal sangat tinggi dan bacaannya cukup banyak terbukti
beliau punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya. Meskipun Kyai Sahal
orang pesantren bacaannya cukup beragam, diantaranya tentang psikologi,
bahkan novel detektif walaupun bacaan yang menjadi favoritnya adalah
buku tentang agama. Beliau membaca dalam artian konteks kejadian. Tidak
heran kalau Kiai Sahal—meminjam istilah Gus Dur—lalu ‘menjadi jago’
sejak usia muda. Belum lagi genap berusia 40 tahun, dirinya telah
menunjukkan kemampuan ampuh itu dalam forum-forum fiqih. Terbukti pada
berbagai sidang Bahtsu Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU
Jawa Tengah, beliau sudah aktif di dalamnya.
Kyai Sahal adalah pemimpin Pesantren Maslakul Huda Putra sejak tahun
1963. Pesantren di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan
oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910. Sebagai pemimpin pesantren,
Kyai Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan
NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Sikap demokratisnya
menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan
masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan,
ekonomi dan kesehatan.
B. Pendidikan dan Guru-guru KH Sahal
Untuk urusan pendidikan, yang paling berperan dalam kehidupan Kyai Sahal
adalah KH. Abdullah Salam yang mendidiknya akan pentingnya ilmu dan
tingginya cita-cita. KH. Abdullah Salam tidak pernah mendikte seseorang.
Kyai Sahal diberi kebebasan dalam menuntut ilmu dimanapun. Tujuannya
agar Kyai Sahal bertanggung jawab pada pilihannya. Apalagi dalam
menuntut ilmu Kyai Sahal menentukan adanya target, hal inilah yang
menjadi kunci kesuksesan beliau dalam belajar. Ketika belajar di
Mathali’ul Falah Kyai Sahal berkesempatan mendalami nahwu sharaf, di
Pesantren Bendo memperdalam fiqh dan tasawuf, sedangkan sewaktu di
Pesantren Sarang mendalami balaghah dan ushul fiqh.
Memulai pendidikannya di Madrasah Ibtidaiyah (1943-1949), Madrasah
Tsanawiyah (1950-1953) Perguruan Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati.
Setelah beberapa tahun belajar di lingkungannya sendiri, Kyai Sahal muda
nyantri ke Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur di bawah asuhan
Kiai Muhajir, Selanjutnya tahun 1957-1960 dia belajar di pesantren
Sarang, Rembang, di bawah bimbingan Kiai Zubair. Pada pertengahan tahun
1960-an, Kyai Sahal belajar ke Mekah di bawah bimbingan langsung Syaikh
Yasin al-Fadani. Sementara itu, pendidikan umumnya hanya diperoleh dari
kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953).
Di Bendo Kyai Sahal mendalami keilmuan tasawuf dan fiqih termasuk kitab
yang dikajinya adalah Ihya Ulumuddin, Mahalli, Fathul Wahab, Fathul
Mu’in, Bajuri, Taqrib, Sulamut Taufiq, Sullam Safinah, Sullamul Munajat
dan kitab-kitab kecil lainnya. Di samping itu juga aktif mengadakan
halaqah- halaqah kecil-kecilan dengan teman-teman senior. Sedangkan di
Pesantren Sarang Kyai Sahal mengaji pada Kyai Zubair19 tentang ushul
fiqih, qawa’id fiqh dan balaghah. Dan kepada Kyai Ahmad beliau mengaji
tentang Hikam. Kitab yang dipelajari waktu di Sarang antara lain, Jam’ul
Jawami dan Uqudul Juman, Tafsir Baidlowi tidak sampai khatam, Lubbabun
Nuqul sampai khatam, Manhaju Dzawin Nazhar karangan Syekh Mahfudz
At-Tarmasi dan lain-lain.
C. Tugas dan Jabatan
Kyai Sahal bukan saja seorang ulama yang senantiasa ditunggu fatwanya,
atau seorang kiai yang dikelilingi ribuan santri, melainkan juga seorang
pemikir yang menulis ratusan risalah (makalah) berbahasa Arab dan
Indonesia, dan juga aktivis LSM yang mempunyai kepedulian tinggi
terhadap problem masyarakat kecil di sekelilingnya. Penghargaan yang
diterima beliau terkait dengan masyarakat kecil adalah penganugerahan
gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang pengembangan
ilmu fiqh serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peran dalam organisasipun sangat signifikan, terbukti beliau dua periode
menjabat Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2009)
dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010. Pada
Musyawarah Nasional
(Munas) MUI VII (28/7/2005) Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (NU), itu terpilih kembali untuk periode kedua menjabat Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2005-2010.
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Donohudan, Boyolali, Jateng.,
Minggu (28/11-2/12/2004), beliau pun dipilih untuk periode kedua
2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).
Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi Rais
Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan
kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an
juta orang itu. KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat
menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005.
Selain jabatan-jabatan diatas, jabatan lain yang sekarang masih diemban
oleh beliau adalah sebagai Rektor INISNU Jepara, Jawa Tengah
(1989-sekarang) dan pengasuh Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda,
Kajen, Pati (1963 - Sekarang).
Sedangkan pekerjaan yang pernah beliau lakukan, adalah guru di Pesantren
Sarang, Rembang (1958-1961), Dosen kuliah takhassus fiqh di Kajen
(1966-1970), Dosen di Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati (1974-1976), Dosen
di Fak. Syariah IAIN Walisongo Semarang (1982-1985), Rektor Institut
Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara (1989-sekarang), Kolumnis tetap di
Majalah AULA (1988-1990), Kolumnis tetap di Harian Suara Merdeka,
Semarang (1991-sekarang), Rais 'Am Syuriyah PBNU (1999-2004), Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2000-2005), Ketua Dewan Syari'ah Nasional
(DSN, 2000-2005), dan sebagai Ketua Dewan Pengawas Syari'ah pada
Asuransi Jiwa Bersama Putra (2002-sekarang).
Sosok seperti Kyai Sahal ini kiranya layak menjadi teladan bagi semua
orang. Sebagai pengakuan atas ketokohannya, beliau telah banyak
mendapatkan penghargaan, diantaranya Tokoh Perdamaian Dunia (1984),
Manggala Kencana Kelas I (1985-1986), Bintang Maha Putra Utarna (2000)
dan Tokoh Pemersatu Bangsa (2002).
Sepak terjang KH. Sahal tidak hanya lingkup dalam negeri saja.
Pengalaman yang telah didapatkan dari luar negeri adalah, dalam rangka
studi komparatif pengembangan masyarakat ke Filipina tahun 1983 atas
sponsor USAID, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Korea Selatan
tahun 1983 atas sponsor USAID, mengunjungi pusat Islam di Jepang tahun
1983, studi komparatif pengembangan masyarakat ke Srilanka tahun 1984,
studi komparatif pengembangan masyarakat ke Malaysia tahun 1984,
delegasi NU berkunjung ke Arab Saudi atas sponsor Dar al-Ifta’ Riyadh
tahun 1987, dialog ke Kairo atas sponsor BKKBN Pusat tahun 1992,
berkunjung ke Malaysia dan Thailand untuk kepentingan Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional (BPPN) tahun 1997.
D. Karya-karya KH. MA. Sahal Mahfudz
Kyai Sahal adalah seorang pakar fiqih (hukum Islam), yang sejak menjadi
santri seolah sudah terprogram untuk menguasai spesifikasi ilmu tertentu
yaitu dalam bidang ilmu Ushul Fiqih, Bahasa Arab dan Ilmu
Kemasyarakatan. Namun beliau juga mampu memberikan solusi permasalahan
umat yang tak hanya terkait dengan tiga bidang tersebut, contohnya dalam
bidang kesehatan dan beliau menemukan suatu bagian tersendiri dalam
fiqh.
Dalam bidang kesehatan Kyai Sahal mendapat penghargaan dari WHO dengan
gagasannya mendirikan taman gizi yang digerakkan para santri untuk
menangani anak-anak balita (hampir seperti Posyandu). Selain itu juga
mendirikan balai kesehatan yang sekarang berkembang menjadi Rumah Sakit
Islam.
Berbicara tentang karya beliau, pada bagian fiqh beliau menulis seperti
Al-Tsamarah al-Hajainiyah yang membicarakan masalah fuqaha, al-Barokatu
al- Jumu’ah ini berbicara tentang gramatika Arab. Sedangkan karya Kyai
Sahal yang berbentuk tulisan lainnya adalah:
- Buku (kumpulan makalah yang diterbitkan):
- Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Surabaya: Diantarna, 2000)
- Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999)
- Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfdz al-Lumd", (Semarang: Thoha Putra, 1999)
- Telaah Fikih Sosial, Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, (Semarang: Suara Merdeka, 1997)
- Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994)
- Ensiklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu'ah al-Ij ma'). (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987).
- Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t)
- Luma' al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati).
- Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)
- Risalah dan Makalah (tidak diterbitkan):
- Tipologi Sumber Day a Manusia Jepara dalam Menghadapi AFTA 2003 (Workshop KKNINISNU Jepara, 29 Pebruari 2003).
- Strategi dan Pengembangan SDM bagi Institusi Non-Pemerintah, (Lokakarya Lakpesdam NU, Bogor, 18 April 2000).
- Mengubah Pemahaman atas Masyarakat: Meletakkan Paradigma Kebangsaan dalam Perspektif Sosial (Silarurahmi Pemda II Ulama dan Tokoh Masyarakat Purwodadi, 18 Maret 2000).
- Pokok-Pokok Pikiran tentang Militer dan Agama (Halaqah Nasional PB NU dan P3M, Malang, 18 April 2000)
- Prospek Sarjana Muslim Abad XXI, (Stadium General STAI al-Falah Assuniyah, Jember, 12 September 1998)
- Keluarga Maslahah dan Kehidupan Modern, (Seminar Sehari LKKNU, Evaluasi Kemitraan NU-BKKBN, Jakarta, 3 Juni 1998)
- Pendidikan Agama dan Pengaruhnya terhadap Penghayatan dan Pengamalan Budi Pekerti, (Sarasehan Peningkatan Moral Warga Negara Berdasarkan Pancasila BP7 Propinsi Jawa Tengah, 19 Juni 1997)
- Metode Pembinaan Aliran Sempalan dalam Islam, (Semarang, 11 Desember 1996)
- Perpustakaan dan Peningkatan SDM Menurut Visi Islam, (Seminar LP Ma'arif, Jepara, 14 Juli 1996)
- Arah Pengembangan Ekonomi dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Seminar Sehari, Jember, 27 Desember 1995)
- Pendidikan Pesantren sebagai Suatu Alternatif Pendidikan Nasional, (Seminar Nasional tentang Peranan Lembaga Pendidikan Islam dalam Peningkatan Kualitas SDM Pasca 50 tahun Indonesia Merdeka, Surabaya, 2 Juli 1995)
- Peningkatan Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Berkualitas, (disampaikan dalam Diskusi Panel, Semarang, 27 Juni 1995)
- Pandangan Islam terhadap Wajib Belajar, (Penataran Sosialisasi Wajib belajar 9 Tahun, Semarang 10 Oktober 1994)
- Perspektif dan Prospek Madrasah Diniyah, (Surabaya, 16 Mei 1994)
- Fiqh Sosial sebagai Alternatif Pemahaman Beragama Masyarakat, (disampaikan dalam kuliah umum IKAHA, Jombang, 28 Desember 1994)
- Reorientasi Pemahaman Fiqh, Menyikapi Pergeseran Perilaku Masyarakat, (disampaikan pada Diskusi Dosen Institut Hasyim Asy'ari, Jombang, 27 Desember 1994)
- Sebuah Releksi tentang Pesantren, (Pati, 21 Agustus 1993)
- Posisi Umat Islam Indonesia dalam Era Demokratisasi dari Sudut Kajian Politis, (Forum Silaturahmi PP Jateng, Semarang, 5 September 1992).
- Kepemimpinan Politik yang Berkeadilan dalam Islam, (Halaqah Fiqh Imaniyah, Yogyakarta, 3-5 Nopember 1992)
- Peran Ulama dan Pesantren dalam Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan Umat, (Sarasehan Opening RSU Sultan Agung, Semarang, 26 Agustus 1992).
- Pandangan Islam Terhadap AIDS, (Seminar, Surabaya,1 Desember 1992)
- Kata Pengantar dalam buku Quo Vadis NU karya Kacung Marijan, (Pati, 13 Pebruari 1992)
- Peranan Agama dalam Pembinaan Gizi dan Kesehatan Keluarga, Pandangan dari Segi Posisi Tokoh Agama, Muallim, dan Pranata Agama, (Muzakarah Nasional, Bogor, 2 Desember 1991)
- Mempersiapkan Generasi Muda Islam Potensial, (Siaran Mimbar Agama Islam TVRI, Jakarta, 24 Oktober 1991)
- Moral dan Etika dalam Pembangunan, (Seminar Kodam IV, Semarang, 18-19 September 1991)
- Pluralitas Gerakan Islam dan Tantangan Indonesia Masa Depan, Perpsketif Sosial Ekonomi, (Seminar di Yogyakarta, 10 Maret 1991)
- Islam dan Politik, (Seminar, Kendal, 4 Maret 1989)
- Filosofi dan Strategi Pengembangan Masyarakat di Lingkungan NU, (disampaikan dalam Temu Wicara LSM, Kudus, 10 September 1989)
- Disiplin dan Ketahanan Nasional, Sebuah Tinjauan dari Ajaran Islam, (Forum MUIII, Kendal, 8 Oktober 1988)
- Relevansi Ulumuddiyanah di Pesantren dan Tantangan Masyarakat, (Mudzakarah, P3M, Mranggen, 19-21 September 1988)
- Prospek Pesantren dalam Pengembangan Science, (Refreshing Course KPM, Tambak Beras, Jombang 19 Januari 1988)
- Ajaran Aswaja dan Kaitannya dengan Sistem Masyarakat, (LKL GP Anshor dan Fatayat, Jepara 12-17 Februari 1988)
- AIDS dan Prostisusi dari Dimensi Agama Islam, (Seminar AIDS dan Prostitusi YAASKI, Yogyakarta, 21 Juni 1987)
- Sumbangan Wawasan tentang Madrasah dan Ma'arif, (Raker LP Ma'arif, Pati, 21 Desember 1986)
- Program KB dan Ulama, (Pati, 27 Oktober 1986)
- Hismawati dan Taman Gizi, (Sarasehan gizi antar santriwati,
- Administrasi Pembukuan Keuangan Menurut Pandangan Islam, (Latihan Administrasi Pembukuan dan Keuangan bagi TPM, Pan, 8 April 1986)
- Pendekatan Pola Pesantren sebagai Salah Satu Alternatif membudayakan NKKBS, (Rapat Konsultasi Nasional Bidang, KB, Jakarta, 23-27 Januari 1984)
- Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Lokakarya Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Jakarta, 6-8 Januari 1983)
- Tanggapan atas Pokok-Pokok Pikiran Pembaharuan Pendidikan Nasional, (27 Nopember 1979)
- Peningkatan Sosial Amaliah Islam, (Pekan Orientasi Ulama Khotib, Pati, 21-23 Pebruari 1977)
- Intifah al-Wajadain, (Risalah tidak diterbitkan)
- Wasmah al-Sibydn ild I'tiqdd ma' da al-Rahman, (Risalah tidak diterbitkan)
- I'dnah al-Ashhdb, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
- Faid al-Hija syarah Nail al-Raja dan Nazhdm Safinah al-Naja, 1961 (Risalah tidak diterbitkan)
- Al-Tarjamah al-Munbalijah 'an Qasiidah al-Munfarijah, (Risalah tidak diterbitkan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar