Nabi SAW:مَنْ صَلَّى عَلَيَّ فِي كِتَابٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تَسْنَغْفِرُ لَهُ مَا دَامَ اسْمِي فِي ذَلِكَ الْكِتَابِ (Barang siapa menulis sholawat kpdku dlm sebtah buku, maka para malaikat selalu memohonkan ampun kpd Alloh pd org itu selama namaku masih tertulis dlm buku itu). اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلّٰهِ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
Minggu, 02 Agustus 2015
Mabadi ‘Asyrah Islam Nusantara ( إِنَّ مَبَادِي كُلِّ فَنٍّ عَشرَةْ )
Mabadi ‘Asyrah Islam Nusantara
Oleh M. Isom Yusqi dan Faris Khoirul Anam
Dalam kajian klasik di pondok pesantren kita mengenal istilah yang sangat populer tentang Mabadi’ Asyrah atau Sepuluh Prinsip Dasar dari bangunan suatu ilmu (body of knowledge). Sepuluh Prinsip Dasar (Mabadi’ Asyrah) adalah deskripsi umum tentang suatu disiplin ilmu, khususnya yang berkaitan dengan ilmu syari’ah. Ia berfungsi sebagai peta, outline, term of reference (TOR), sketsa, serta informasi awal mengenai suatu disiplin ilmu. Meskipun uraian mabadi’ asyrah ini pada mulanya berkaitan dengan ilmu syari’ah, namun informasi mengenai suatu istilah, disiplin ilmu atau kajian/diskursus yang baru tidak ada salahnya kalau kesepuluh prinsip dasar ini digunakan untuk menjelaskan dan menguraikan kajian Islam Nusantara agar mudah dikaji, dipahami, dan dioperasionalkan dalam ranah akademik dan juga dipakai untuk meluruskan kesalahpahaman sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian golongan terhadap ikhtiar akademik dan strategi kedaulatan kebudayaan dan peradaban ini.
Salah seorang ulama terkemuka yang bernama Muhammad bin Ali ash-Shabban, yang kemudian dikenal dengan julukan; Abu al-‘Irfan al-Mishri, penyusun Syarh ‘ala Hasyiyah al-Asymuni dan Hasyiyah ‘ala Syarh al-Sa’d al-Tiftazani (wafat 1206 H), menyebutkan Mabadi ‘Asyrah itu dalam kumpulan syairnya, sebagai berikut:
إِنَّ مَبَادِي كُلِّ فَنٍّ عَشرَةْ الحَدُّ وَالمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَّمرَةْ
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالوَاضِعُ وَالاسْمُ الاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعُ
مَسَائِلُ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَا
“Sesungguhnya prinsip dasar dalam setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh, yaitu: (1) batasan definitif, (2) ruang lingkup kajian, (3) manfaat kajian, (4) perbandingan dan hubungan dengan ilmu lain, (5) keistimewaan, (6) perintis, (7) sebutan resmi, (8) sumber pengambilan kajian, (9) hukum mempelajari, (10) pokok-pokok masalah yang dikaji, lalu sebagian dengan sebagian lain mencukupi, Siapa yang menguasai semuanya akan meraih kemuliaan.”
Mabadi ‘Asyrah kajian Islam Nusantara, sesuai data, dan dinamika diskursusnya, adalah sebagai berikut:
Pertama: Batasan Definitif (Al-Hadd)
Pengertian: Islam (secara bahasa dan Istilah).
Menurut Ibnu Faris, secara bahasa Islam berasal dari kata “salam”, yang secara umum berarti kesehatan dan keselamatan. “Salamah” adalah selamatnya seseorang dari penyakit dan gangguan. Allah adalah al-Salam, karena Dia tidak dapat tertimpa kekurangan dan cacat sebagaimana makhluk. Islam juga bermakna penyerahan diri (Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Vol 3, hal 90). Maksudnya, penyerahan diri yang dimanifestasikan dalam ketundukan kepada aturan Allah Ta’ala, yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa menjalankan perintah maupun meninggalkan larangan (lihat: al-Jurjani, al-Ta’rifat, hal 23). Senada dengan pengertian sebelumnya, al-Raghib al-Ashfihani menegaskan, memeluk Islam artinya adalah masuk dalam keselamatan (al-Raghib al-Ashfihani, Mufradat al-Qur’an, hal 240).
Secara istilah, pengertian Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bin Abdillah. Umat Islam meyakini agamanya sebagai sebuah kumpulan syariat yang menyempurnakan dan menutup risalah misi-misi langit (risalah samawiyah) dalam agama-agama sebelumnya. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah disebutkan, Nabi memberikan pengertian tentang Islam secara praksis, yaitu “Engkau menyembah Allah semata, tak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, engkau mendirikan shalat-shalat wajib, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” (HR. Ibnu Majah). (lihat: Ali al-Thanthawi, Ta’rif Am bi Din al-Islam, hal 10 dan Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, al-Mushannaf, Vol 7, hal 208).
Pengertian kata “Islam” dalam kajian Islam Nusantara sama sekali tidak berbeda dengan pengertian bahasa dan istilah sebagaimana diuraikan di atas. Penambahan kata “Nusantara” hanya tarkib idhafy dalam istilah ilmu Nahwu yang mengandung arti “ fii (di dalam) artinya Islam yang terinternalisasi dan termanifestasi di dalam hidup dan kehidupan umat muslim nusantara, bi (dengan/pada teritori) maksudnya adalah Islam yang berekspansi, berpenetrasi/berdialog dan berdakwah pada dan dengan wilayah teritorial-geografis insan-insan nusantara sejak awal masuknya hingga kini dan juga menyimpan arti lii (untuk, bagi) yaitu Islam dan ajarannya untuk menyempurnakan dan berdialektika bersama adat, tradisi, budaya dan peradaban nusantara (local wisdom) yang mengandung nilai-nilai universal bagi harkat dan martabat kemanusiaan sejati. ”
Pengertian: Nusantara dan Islam Nusantara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nusantara adalah sebutan atau nama bagi seluruh gugusan kepulauan Indonesia. Wikipedia menambahkan, wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua itu, sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Kata Nusantara tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk menggambarkan konsep geo-politik kenegaraan yang dianut kerajaan Majapahit. Setelah sempat terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara, sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia Belanda yang belum terwujud. Ketika penggunaan nama “Indonesia” (yang berarti Kepulauan Hindia) disetujui dan dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia.
Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya, namun biasanya tidak mencakup Filipina. Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan bagi Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris. Saat Islam masuk melalui para juru dakwah, kepulauan Nusantara tentu bukan “ruang kosong” tak berpenghuni. Di wilayah ini telah terdapat masyarakat turun temurun, dengan segala karakteristik dan tradisinya, baik yang positif (local wisdom) maupun negatif.
Islam Nusantara adalah Islam Indonesia yang meliputi sejak masuknya Islam ke nusantara. Bahkan jauh sebelum Indoensia merdeka, universalitas ajaran Islam yang telah berdialog dengan budaya dan peradaban eksisting kenusantaraan kemudian melahirkan ekspresi dan manifestasi umat Islam Nusantara. Dialektika antara normativitas Islam dan historisitas keindonesiaan merupakan metodologi dan strategi dakwah para alim ulama, wali songo dan para pendakwah Islam untuk memahamkan dan menerapkan universalitas (syumuliyah) ajaran Islam sesuai prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dalam suatu model yang telah mengalami proses persentuhan dengan tradisi baik (‘urfun shahih) di Nusantara, dalam hal ini wilayah Indonesia, atau merespon tradisi yang tidak baik (‘urfun fasid) namun sedang dan atau telah mengalami proses dakwah; amputasi, asimilasi, atau minimalisasi, sehingga tidak bertentangan dengan diktum-diktum syari’ah. Sementara penyesuaian khazanah Islam dengan Nusantara berada pada bagian ajarannya yang dinamis (syaqqun mutaghayyir, atau ijtihadiy), bukan pada bagian ajaran yang statis (syaqqun tsabit, atau qath’iy).
Trilogi Islam Nusantara: Universalitas Islam, Tradisi dan Dakwah.
Universalitas Islam berpaham Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini bahwa kewajiban umat Islam yang jumlahnya lima ini sebagai Rukun Islam (Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji), dan meyakini juga bahwa keenam rukun lain yang disebut dengan Rukun Iman, yaitu Iman kepada Allah, para malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para utusan Allah, kepada hari akhir, dan kepada qadha dan qadar. Ajaran Islam disebut dengan syari’at Islam, yaitu kumpulan hukum yang bersumber dari al-Qur’an, hadits Nabi SAW, ucapan generasi salaf shalih, ijtihad ulama yang memiliki kapasitas, otoritas dan kapabilitas untuk itu. Syari’at ini menjelaskan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, dengan masyarakat atau bangsa, dengan alam dan lingkungannya. Syariat membatasi hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Syari’at Islam bersifat universal (syumuli) untuk setiap lini kehidupan, dalam lintas waktu dan tempat. Kandungan ajarannya terbagi menjadi tiga hal pokok:
Pertama, aspek-aspek teologi (ahkam ‘aqaidiyah), mencakup setiap hukum yang terkait dengan Dzat, Sifat, dan keimanan kepada Allah (disebut dengan istilah ilahiyat); yang terkait dengan para utusan dan keimanan kepada mereka dan kitab-kitab yang diturunkan pada mereka (disebut dengan istilah nubuwat); dan yang terkait dengan hal-hal ghaib (disebut dengan istilah sam’iyat). Aspek-aspek teologi ini dalam disiplin keislaman disebut dengan Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.
Kedua, aspek-aspek praktik ibadah (ahkam ‘amaliyah), yaitu hukum-hukum yang terkait dengan amal perilaku atau perbuatan manusia. Aspek-aspek hukum ini disebut dengan Ilmu Fikih. Fikih terbagi menjadi beberapa bagian dan para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Namun pada intinya, fikih terbagi menjadi empat bagian pokok: (1) Fikih Ibadah, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya, (2) Fikih Mu’amalat, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, seperti akad jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, hibah, pinjam meminjam, penitipan, dan sebagainya, (3) Siyasah Syar’iyah, mengatur hubungan negara dengan rakyat, atau satu negara dengan negara lainnya, seperti hukum tentang Baitul Mal, anggaran belanja negara (masharif), hukum-hukum pengadilan, baik pidana, perdata, dan sebagainya, (4) Keempat, Ahkam al-Usrah atau Ahwal Syakhshiyah, mengatur hukum privat di dalam keluarga, misalnya pernikahan, perceraian, hak-hak anak, warits, washiat, dan sebagainya.
Ketiga, aspek-aspek budi pekerti (ahkam tahdzibiyah), yang menyerukan manusia untuk menghiasi perilakunya dengan sifat-sifat yang baik (akhlaq karimah) dan menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Sifat-sifat baik itu di antaranya jujur, amanah, bertanggung jawab, berani karena benar, menepati janji, sabar, menjaga kelestarian alam, dan sebagainya. Sedangkan sifat-sifat yang buruk itu antara lain adalah berbohong, berkhianat, tidak menepati janji, menipu, merusak lingkungan, dan sebagainya. Aspek-aspek budi pekerti ini disebut dengan Ilmu Akhlak, atau Ilmu Tashawwuf.
Secara umum, ajaran-ajaran Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu ajaran Islam yang statis (syaqqun tsabit, atau qath’iy) dan ajaran Islam yang dinamis (syaqqun mutaghayyir, atau ijtihadiy). Ajaran statis (tsabit) adalah ajaran yang tidak boleh diubah dan tidak boleh dikondisikan dengan waktu atau tempat, meliputi pokok-pokok aspek teologi (ahkam ‘aqaidiyah), pokok-pokok aspek ibadah (ahkam ‘amaliyah), dan pokok-pokok aspek budi pekerti (ahkam tahdzibiyah). Rukun Iman, Rukun Islam, serta mengingkari apa dan siapapun yang disembah selain Allah SWT adalah ajaran yang tidak dapat diubah dan dikondisikan (lihat QS an-Nahl: 36, QS al-Anbiya: 25, dan al-Syura: 13). Dakwah para Nabi, sejak Nabi Adam ‘alaihissalam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada wilayah tsabit ini tidak berbeda dan tidak berubah (lihat QS al-Baqarah: 136, QS al-Baqarah: 285, dan QS Ali Imran: 84). Demikian pula, pokok-pokok aturan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan haji, tidak dapat diubah dan dikondisikan, kecuali dalam hal-hal parsial (juz-iyyat).
Tentang akhlak, hal-hal pokoknya juga tidak berubah, seperti standar perilaku baik dan buruk, yang dikembalikan kepada konsep apakah suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat (qawa’id syari’ah) atau tidak bertentangan. Sementara tentang mu’amalah dan siyasah syar’iyah dalam berbagai aspeknya, terdapat bagian statis (tsabit) meskipun sedikit, dan terdapat bagian dinamis (mutaghayyir) yang bersitaf fleksibel serta dapat disesuaikan dengan waktu dan tempat. Standar umum dalam praktik mu’amalah dan siyasah syar’iyah itu adalah pokok dan kaidah syariat, serta maqashid syari’ah, yaitu tujuan-tujuan syari’at untuk: Menghilangkan dan menghentikan sesuatu yang membahayakan (dharar); Memelihara lima hal (kulliyat khams), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta; Senantiasa memperhatikan alasan-alasan hukum (‘illah) fikih dalam penetapan hukum; dan memperhatikan maslahat secara umum, baik kemaslahatan untuk mendapatkan sesuatu yang positif atau untuk menghindari sesuatu yang negatif.
Sedangkan ajaran Islam yang dinamis (syaqqun mutaghayyir) adalah ajaran yang bersifat fleksibel (murunah) dan berkembang (tathawwur) seiring perkembangan kehidupan. Ajaran dinamis ini meliputi hal-hal cabang-parsial (furu’iyat juz’iyat), rincian-rincian dalam pelaksanaan mu’amalah dan siyasah syar’iyah, yang berada pada wilayah adillah zhanniyah, wilayah ijtihad, dan silent syari’ah (hal-hal yang secara rinci tidak dijelaskan oleh syari’at). Bagian ajaran dinamis atau syaqqun mutaghayyir ini merupakan ruang luas untuk berijtihad yang berarti pengerahan segenap kemampuan akal seorang mujtahid untuk menerapkan hukum Allah SWT di situ, bukan diartikan sebagai gejala liberalisasi syari’at, karena Islam bukan seperti prinsip apapun di luar Islam, dan dia memiliki karakteristisk tersendiri yang dibatasi oleh al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ para ulama, serta kaidah-kaidah dalam ber-istinbath dan ber-istidlal. Termasuk dalam ajaran dinamis ini adalah fatwa yang bersifat berubah sesuai waktu, tempat, dan suatu kondisi, berdasarkan standar syariat dalam berfatwa. Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Malik:
يُحْدَثُ لِلنَّاسِ فَتَاوى بِقَدْرِ مَا أَحْدَثُوْا مِنَ الفُجُوْرِ
“Fatwa yang disampaikan pada manusia harus diperbarui sesuai kadar perbuatan dosa model baru yang mereka lakukan.” (Fatawa Ibni Hajar, Vol 1, 200)
Sikap Islam Nusantara terhadap Tradisi, Budaya dan Peradaban.
Islam membagi tradisi yang berlaku di tengah masyarakat menjadi dua bagian, yaitu tradisi baik (‘urfun shahih) dan tradisi jelek (‘urfun fasid). Tradisi Baik adalah sesuatu yang telah dikenal oleh kebanyakan masyarakat, berupa ucapan dan perbuatan, yang dilegitimasi oleh syari’at (tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib), atau syari’at tidak membahasnya, yang sifatnya adalah berubah dan berganti. Pengertian ini disebutkan oleh Sa’ad al-‘Utaibi, dalam Usus al-Siyasah al-Syar’iyyah:
وَالمُرَادُ بِهِ العُرْفُ الصَّحِيْحُ، وَهُوَ: مَا تَعَارَفَهُ أَكْثَرُ النَّاسُ (وَهَذَا قَيِّدٌ يُخْرِجُ العَادَاتِ الخَّاصَّةَ) مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ اعْتَبَرَهُ الشَّرْعُ؛ أَوْ أَرْسَلَهُ، مِمَّا شَأْنُهُ التَّغَيُّر وَالتَّبَدّل
(سعد العتيبي, أسس السياسة الشرعية, ص 90)
Sementara tradisi jelek (‘urfun fasid). adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat, namun bertentangan dengan syari’at. Menurut al-‘Utaibi, ulama hampir sepakat (syibh al-ittifaq) tentang kehujjahan pengamalan tradisi baik, berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, kaidah Ushul, dan Kaidah Fikih. Kehujjahan tradisi menurut al-Qur’an, adalah firman Allah dalam Surat al-A’raf ayat 199:
(خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ. (الأعراف:199
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf: 199)
Kehujjahan tradisi menurut Sunnah, ditunjukkan melalui hadits marfu’ dari Abdullah bin Mas’ud, sebagai berikut:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئا. رواه أحمد
“Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam maka hal itu baik di sisi Allah dan sesuatu yang dipandang jelek oleh mereka maka hal itu jelek di sisi Allah.” (HR. Ahmad)
Kehujjahan tradisi menurut Kaidah Ushul, dijelaskan oleh al-Bairi dalam Syarh al-Asybah, sebagai berikut:
الثَّابِتُ بِالعُرْفِ ثَابِتٌ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيّ
“Sesuatu yang tetap melalui tradisi adalah tetap melalui dalil syar’i.”
Kaidah ini senada dengan kaidah yang disampaikan al-Sarkhasi dalam al-Mabsuth:
الثَّابِتُ بِالعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ
“Sesuatu yang tetap melalui tradisi seperti sesuatu yang tetap melalui nash.”
Kehujjahan tradisi menurut Kaidah Fikih, disebutkan dalam beberapa kaidah sebagai berikut:
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Kebiasaan itu dapat menjadi hukum.”
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Hakikat ditinggal karena dalil adat.”
اسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةً يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Hujjah yang dipakai banyak orang wajib diamalkan.”
المَعْرُوْفِ عُرْفاً كَالمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Yang dikenal sebagai kebiasaan sama dengan syarat.”
Selain kaidah-kaidah ini, masih terdapat kaidah-kaidah lain yang disebutkan oleh para ulama. Hal ini menunjukkan legalitas pengamalan tradisi baik (lihat: Sa’ad al-‘Utaibi, Usus al-Siyasah al-Syar’iyah, hal. 90). Sementara tradisi yang tidak baik (‘urfun fasid), Islam memiliki cara atau metodologi dalam menyikapinya, yang dikenal sebagai metodologi dakwah dengan cara amputasi, asimilasi, dan minimalisasi.
Islam Nusantara: Mendakwahkan Ajaran Islam
Selanjutnya, ajaran Islam yang universal ini harus ditegakkan, dalam terma yang disebut dengan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar (transliterasi dari bahasa Arab adalah al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahyi ‘an al-munkar). Dakwah adalah mengabarkan, memberitahukan, menjelaskan dan mendidik seseorang tentang hal-hal benar dan salah sesuai dengan ajaran Islam. Di sini tidak ada unsur menyuruh, memaksa atau melarang melakukan sesuatu. Sedang amar ma’ruf berarti menyerukan kepada kebajikan, yaitu mengajak, menghimbau, memerintahkan, menyuruh atau menuntut dilakukannya segala perbuatan yang baik menurut syariat Islam dan mendekatkan pelakunya kepada Allah.
Sedang nahi munkar berarti mencegah perbuatan munkar, yaitu mencegah, melarang, menjauhkan, menentang, menegur atau menyudahi terjadinya segala perbuatan yang buruk menurut syariat Islam. Melarang kemunkaran berarti melarang manusia agar tidak melakukan hal-hal yang tidak diridhai Allah SWT. Imam an-Nawawi dan Ibnu Hazm, seperti dikutip al-Mausu’ah al-‘Ammah, menyatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah sebuah kewajiban. Tentang status hukum amar ma’ruf nahi munkar ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama, yaitu para imam tabi’in, al-Dhahak, al-Thabari dan Ahmad bin Hanbal, menyatakan hukumnya fardhu kifayah, artinya jika amar ma’ruf nahi munkar munkar telah dilakukan sebagian umat, maka umat lainnya tidak menanggung dosa jika tidak ambil bagian. Sebagian ulama menyatakan fardhu ‘ain, dalam arti bahwa setiap orang wajib ber- amar ma’ruf nahi munkar, jika tidak maka dia berdosa. Cakupan dakwah lebih luas dari amar ma’ruf nahi munkar. Meskipun demikian, kandungan dakwah tidak terlalu berbeda dengan muatan dan tugas amar ma’ruf nahi munkar, serta terdapat hubungan yang tidak dipisahkan antara kedua terma tersebut. Namun aktifitas amar ma’ruf nahi munkar dibatasi oleh beberapa hal dan persyaratan yang tidak ditemukan dalam aktifitas dakwah.
Dakwah merupakan langkah pertama yang dijejakkan manusia pada jalan ilahi ini. Dengan harapan, ia akan menjadi pemisah antara satu ideologi dengan ideologi lainnya, pembeda antara satu teori dengan teori lainnya, dan pembatas antara satu model kehidupan dengan model kehidupan lainnya. Adapun amar ma’ruf dan nahi munkar, merupakan upaya internal kaum muslimin sendiri, agar umat Islam tetap menempuh jalan Islam dan tidak menyimpang dari jalannya yang lurus. Pada bagian tertentu, metodologi dakwah ini dapat disesuaikan dengan waktu, tempat, dan suatu kondisi, yang pada intinya bertujuan untuk menegakkan ajaran Allah SWT di muka bumi ini (li I’lai kalimatillah hiya al-‘ulya).
Kedua: Ruang Lingkup Kajian (Al-Maudhu’)
Ruang lingkup kajian Islam Nusantara adalah berikhtiar meng-integrasikan, meng-interkoneksikan dan meng-internalisasikan tiga peradaban Islam yang telah menyejarah dan membumi di nusantara. Ketiga peradaban tersebut yaitu Peradaban Teks (Hadhorahtun Nash), Peradaban Ilmu dan Budaya (Hadhoratul Ilm was Tsaqofah) dan Peradaban Setempat (local wisdom/Hadhorah Mahalliyyah/Waqi’iyyah). Bertitik tolak dari kerangka dasar di atas kajian Islam Nusantara akan mengkonstruksi pendidikan Islam yang non-dikotomis, non-dualistik dan berkarakter yang utuh. Dengan demikian sebagai langkah awal kajian ini menggali dan membangun teori ilmu-ilmu keislaman yang berwatak sosial-nusantara seperti kajian kepesantrenan (pesantren studies), geneologi keilmuan (sanad ilm), tahqiq turast ulama nusantara, talaqqi pembelajaran al-Qur’an dan lain sebagainya. Selain itu kajian Islam Nusantara bertujuan mengkonversi ekspresi-ekspresi keberislaman muslim ahlussunnah wal jamaah melalui tradisi-tradisi keagamaan seperti pembacaan Aurat/wiridan, Ratib, Ruqyah, Manaqib, Maulid Nabi SAW, Nasyid, Istighosah dan Ziarah makam para wali dan ziarah ke orang-orang sholeh (disingkat: ARUMANIZ) dan Marawish, Hadrah, Barzanji dan Nasyidahan (disingkat: MARHABAN).
Kemudian pada sisi metodologi dakwah dalam menyikapi khazanah, peradaban, dan kearifan lokal (local wisdom) yang ada di wilayah Nusantara, baik sikap terhadap tradisi baik (‘urfun shahih) dan tradisi tidak baik (‘urfun fasid) kajian Islam Nusantara akan melakukan rekayasa-rekayasa sosial dengan cara-cara amputasi, asimilasi, dan minimalisasi sehingga ajaran Islam tetap sholihun likulli zaman wa makan. Pembumian ajaran Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah (baca: Islam Nusantara) dengan metode dakwah yang paralel dengan karakteristik Nusantara dan kearifan lokal masyarakatnya. Tradisi baik akan diterima, dalam arti sesuatu yang telah dikenal oleh kebanyakan masyarakat, berupa ucapan dan perbuatan, yang dilegitimasi oleh syari’at (tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib), atau syari’at tidak membahasnya, yang sifatnya adalah berubah dan berganti. Sementara tradisi tidak baik, yaitu sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat tetapi bertentangan dengan syari’at, akan disikapi dengan tiga pendekatan (approach), yaitu amputasi, asimilasi, atau minimalisasi. Metode ini telah terbukti dapat diterima masyarakat Nusantara, tanpa resistensi tinggi atas perubahan tradisi yang sebelumnya mereka jalani.
Amputasi adalah metode dakwah dengan memotong tradisi yang menyimpang. Para juru dakwah menjalankan metode ini dalam menghadapi suatu tradisi yang secara prinsip tidak dapat diakomodasi dalam syariat Islam. Contohnya adalah keyakinan dinamisme (kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yg dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dl mempertahankan hidup) dan animisme (kepercayaan kepada roh yang diyakini mendiami semua benda, seperti pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya). Meskipun dilakukan dengan cara memotong hingga ke akarnya, namun dakwah model ini dilakukan secara bertahap dan berproses. Hal ini seperti yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam menyikapi keyakinan paganisme (kepercayaan atau praktik penyembahan terhadap berhala) di kalangan masyarakat Arab. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menghancurkan fisik berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran, kebudayaan, dan pedoman hidup pagan. Tradisi tersebut berhasil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada peristiwa pembebasan kota Makkah(Fath Makkah) pada 630 M / 8 H, atau ketika dakwah Islam telah berusia 21 tahun.
Asimilasi adalah metode dakwah dengan menyesuaikan atau melebur tradisi menyimpang menjadi tradisi yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Para juru dakwah menjalankan metode ini dalam menghadapi suatu tradisi yang secara praksis dapat diakomodasi dalam syari’at Islam, dengan cara ‘membelokkan’ dari tradisi tidak baik menjadi baik. Contohnya adalah tradisi tumpeng yang pada mulanya merupakan tradisi purba masyarakat Indonesia untuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Tradisi ini diasimilasi dengan sentuhan filosofi Islam, bahwa “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa “Yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh).” Pada bagian makanan bernama “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: “Yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh).” Sedangkan lauk-pauknya berjumlah tujuh macam, atau pitu dalam bahasa Jawa, bermakna Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam Surat al Isra’ ayat 80:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (QS. Al-Isra: 80)
Tumpeng ini menjadi bahan untuk menyadarkan masyarakat mengenai tafsir ayat tersebut, yang berarti “Matikan aku dengan kematian sebagai orang yang benar dan bangkitkan aku pada hari kiamat sebagai orang yang benar”, atau “Masukkan aku dalam wilayah perintah dan keluarkan aku dari wilayah larangan”, termasuk “Masukkan aku ke dalam wilayah aman dan keluarkan aku dari wilayah kemusyrikan.” Makna ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, terkait turunnya ayat tersebut yang berkaitan dengan kehijrahan Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah (Tafsir al-Qurthubi, 10/312).
Tradisi penyajian tumpeng tersebut dilakukan, dengan diawali pembacaan al-Qur’an dan doa-doa kepada Allah Ta’ala, lalu bersedekah kepada sesama. Hal-hal ini tidak bertentangan, bahkan dianjurkan oleh agama. Makna serupa dapat dipahami dalam tradisi lainnya, seperti kenduri, selametan, sajian kue apem, ketupat, pembangunan gapura, dan sebagainya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, murid Syaikh Ibnu Taimiyah membagi kemunkaran menjadi empat macam, salah satunya adalah ‘mengganti perbuatan menyimpang dengan perbuatan serupa yang tidak menyimpang’ (an yakhlufahu ma huwa mitsluh). Menurutnya, metode ini adalah wilayah ijtihadiyah, artinya boleh dilakukan sesuai kriterianya (lihat: I’lam al-Muwaqqi’in, Vol 3, hal 12).
Sedangkan minimalisasi adalah metode dakwah dengan memperkecil dampak negatif dari suatu praktik tradisi menyimpang yang tidak diapat diasimilasi. Minimalisasi merupakan proses dakwah yang belum selesai dan terus mengalami proses. Contohnya adalah tradisi yang sampai saat ini masih berlaku pada sebagian masyarakat pesisir yang melarung kepala kerbau ke laut pada waktu-waktu tertentu. Asal mula tradisi tersebut adalah pelarungan kepala gadis atau perawan. Praktik menyimpang ini diminimalisasi dampak negatifnya dengan mengganti kepala gadis dengan kepala kerbau. Para ulama dalam dakwahnya banyak mengembangkan pola dan metode ini. Dalam pembagian model kemunkaran ala Ibnu Qayyim al-Jauziyah, metode ini disebut dengan ‘mengurangi kadar kemunkaran’ (an yaqilla wa in lam yazul bi jumlatihi). Meski kemungkaran tersebut belum hilang sepenuhnya, menurutnya, metode ini dilegitimisi oleh syari’at (masyru’).
Dia mencontohkan suatu kisah yang terjadi pada gurunya, Syaikh Ibnu Taimiyah. Suatu hari ia berjalan bersama beberapa sahabatnya di era kekuasaan Tatar. Di tengah perjalan mereka menemui beberapa orang yang sedang meminum minuman keras. Kawan Ibnu Taimiyah mengingkari perbuatan mereka. Namun, pengingkaran tersebut justru diingkari oleh Ibnu Taimiyah, dengan mengatakan:
إنَّمَا حَرَّمَ اللَّهُ الْخَمْرَ لِأَنَّهَا تَصُدُّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ، وَهَؤُلَاءِ يَصُدُّهُمْ الْخَمْرُ عَنْ قَتْلِ النُّفُوسِ وَسَبْيِ الذُّرِّيَّةِ وَأَخْذِ الْأَمْوَالِ فَدَعْهُمْ.
“Allah mengharamkan khamer karena benda itu dapat menghalangi orang dari berdzikir dan shalat, sedangkan orang-orang itu dihalangi oleh khamernya untuk membunuh orang, menawan anak, dan mengambil harta (yang bukan haknya). Biarkanlah mereka.” (lihat: I’lam al-Muwaqqi’in, Vol 3, hal 13).
Ibnu Taimiyah membiarkan sekumpulan orang yang sedang pesta minuman keras itu, bukan berarti merestui perbuatan munkar mereka. Namun, lebih pada suatu cara atau metode dalam berdakwah, guna mengurangi dampak negatifnya (minimalisasi).
Dalam masalah lain yang lebih besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ مَا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ
“Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai pada pemimpinnya, maka hendaknya dia bersabar dan jangan sampai dia keluar dari ketaatan kepadanya.” (Teks hadits tersusun dari dua hadits, riwayat al-Bukhari [7054] dan Muslim [1849])
Perbuatan pemimpin yang tidak disukai merupakan penyimpangan, dan pembiarannya bukan merupakan ridha pada kemunkaran. Namun lebih bermakna sebagai minimalisasi dampak negatif ini. Berbagai fitnah yang terjadi di tengah umat Islam, baik dalam skala besar maupun kecil, disebabkan oleh ketidakpedulian pada metode dakwah ini dan ketidaksabaran dalam menghadapi kemunkaran. Pihak-pihak tertentu secara frontal berdalih menghilangkan suatu penyimpangan, namun justru melahirkan fitnah yang lebih besar dari penyimpangan itu.
Ibnu Qayyim mengingatkan, tidak boleh melakukan bentuk-bentuk pengingkaran yang justru menimbulkan kemunkaran lebih besar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Mengingkari pemimpin dengan cara memberontak mereka, misalnya, adalah penyebab utama terjadinya berbagai fitnah dalam rentang perjalanan sejarah umat Islam.
Ketiga: Manfaat Kajian (Al-Tsamrah)
Ke depannya, kajian Islam Nusantara dan sebagai pengembangan model dakwah yang berbasis kearifan lokal diharapkan dapat terbangung paradigma keilmuan berbasis sosio-episteme kenusantaraan, dan sebagai pijakan atas ketahanan serta kedaulatan budaya dan peradaban bangsa Indonesia dalam menghadapi benturan antar peradaban (class of civilization) dengan ideologi-ideologi berbahaya yang berbasis pada ekstrimisme, materialisme, liberalisme, hedoniisme, sekularisme dan lainnya. Sekaligus mencoba menawarkan bahwa budaya dan peradaban Islam Nusantara bisa sebagai alternatif pembangunan kebudayaan dan peradaban dunia lebih berperikemanusiaan melawan hegemoni kebudayaan dan peradaban westernisme dan kofusianisme.
Keempat: Perbandingan Dan Hubungannya Dengan Ilmu/Istilah Lain (Al-Nisbah)
Kemunculan istilah Islam Nusantara dengan pengertian dan karakteristiknya tersebut di atas, tidak menafikan metode dakwah lain, selagi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang tawassuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh. Demikian pula, istilah Islam Nusantara tidak menafikan keberadaan Islam di negara atau wilayah lain. Perbedaan antara Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah dengan metode yang dikembangkan di wilayah lain, baik di Afrika, Eropa, atau di wilayah Arab adalah ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang tidak saling menafikan), bukan ikhtilaf tadhadh (perbedaan yang saling menafikan), karena tiap daerah memiliki karakteristiknya sendiri. Sebagai ikhtilaf tanawwu’, keberadaan Islam Nusantara memperkaya khazanah dan metode dakwah keislaman sesuai dengan karakter wilayah ini, serta tidak menafikan universalitas (syumuliyah) Islam. Bahkan kehadiran Islam Nusantara memperkaya kajian akademik dan akan melahirkan spesialisasi-spesialisasi keilmuan yang berwatak nusantara terutama ilmu-ilmu sosial seperti ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, filologi, histeriografi, pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan ilmu sosial maupun alam lainnya.
Kelima: Keistimewaan (Al-Fadhl)
Keistimewaan kajian Islam Nusantara akan melahirkan sistem ilmu pengetahuan yang berwatak dan berkarakter sosial-nusantara dan mendorong tindakan-tindakan emansipatif demi tugas pencerdasan, humanisasi dan kesejahteraan sosial. Hal ini sebagai counter discourse terhadap sistem-sistem ilmu pengetahuan yang berkarakter anti sosial, hanya berputar-putar pada ranah kognisi sehingga melahirkan kejahatan intelektual, dominasi kekuasaan/superioritas keilmuan (scienticism) dan kediktatoran teknologis. Kajian-kajian keilmuan di Nusantara bahkan dunia selama ini baik ilmu sosial maupun ilmu alam memiliki kecenderungan positivisme, dogmatisme, ideologisme, metodologisme dan teknologisme yang ekstrim sehingga mengakibatkan hilangnya ciri sosial dan kemanusiaannya. Sepertinya ilmu-ilmu tersebut datang dari langit bukan berangkat dan dikonstruksi oleh manusia-manusia nusantara dan dari bumi nusantara yang dipijaknya. Pada umumnya ilmu-ilmu tersebut adalah produk impor dan ditemukan oleh ilmuwan-ilmuwan asing bukan original karya insan nusantara. Selain itu Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah berguna juga untuk memetakan obyek dan strategi dakwah yang sesuai dengan karakter masyarakat di Nusantara, baik itu melalui kontekstualisasi, pribumisasi atau pun apa istilahnya terhadap manusia-manusia yang berada di bumi nusantara.
Keenam: Perintis (Al-Wadhi’)
Perintis istilah Islam Nusantara adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) melalui para akademisi Pascasarjana STAINU/UNU Jakarta. Meski tentu bukan istilah baru, namun Islam Nusantara secara khusus dikampanyekan oleh organisasi ini dan secara resmi menjadi tema besar Muktamar Ke-33 NU pada 1-5 Agustus 2015, di Jombang, Jawa Timur.
Ketujuh: Sebutan Resmi (Al-Ism)
Islam Nusantara.
Kedelapan: Sumber Pengambilan Kajian (Al-Istimdad)
Manusia-manusia nusantara adalah aktor dan sekaligus kreator disiplin kajian Islam Nusantara. Kajian tersebut berangkat dari kepekaan batin, kepedulian sosial dan ketajaman intelektual muslim nusantara akan melahirkan ilmu pengetahuan, budaya dan peradaban yang berbasis dari sosial-nusantara. Namun secara normatif kajian ini tetap bersumber pada Al-Qur’an, Hadits, dan ijtihad ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, baik berupa produk hukum dan fatwa dari nalar muslim nusantara berupa hasil bahtsul masail, tarjih, majlis hisbah dan lainnya. Disamping itu fenomena sosial dan gejala-gejala alam di bumi nusantara juga merupakan sumber empirik kajian ini. Budaya dan peradaban yang termanifestasi di dalam seni, tradisi dan adat istiadat manusia-manusia nusantara merupakan terpenting yang bisa dinegasikan dalam diskursus ini.
Kesembilan: Hukum Mempelajarinya (Al-Hukm Al-Syar’i)
Jikalau kajian Islam Nusantara merupakan metodologi dan perspektif baru bagi seorang muslim nusantara maka hukumnya adalah wajib dipelajari bagi para juru dakwah yang berketetapan hati bahwa Islam Nusantara merupakan suatu cara yang bertujuan untuk menegakkan ajaran Allah SWT di muka bumi ini (li I’lai kalimatillah hiya al-‘ulya), serta suatu cara yang bertujuan untuk menghindari fitnah dan bahaya (mafsadah) lebih besar dalam proses dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar di wilayah Nusantara.
Kesepuluh: Pokok-pokok Masalah yang Dikaji (Al-Masail)
Pokok pokok yang dikaji dalam Islam Nusantara antara lain; kajian tentang tradisi dan karakteristik masyarakat Nusantara, genelogi keilmuan, sanad ilmu, sanad spiritual, bahsul masail, tarjih, hisbah, pranata sosial Islam Indonesia, sejarah sosial dan intelektual muslim nusantara, filologi, sosiologi, antropologi, sejarah, historiografi, metode tahqiq, matan, syarah, hamisy, studi pesantren, metodologi pembelajaran, ekonomi, hukum, politik dan lain sebagainya. Wallahu a’lam.
*) Prof. Dr. M. IsomYusqi, Direktur Pascasarjana STAINU Jakarta; Faris Khoirul Anam, pengurus Aswaja NU Center Jatim (nu.or.id)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar