Menunda Penguburan Jenazah
======================
Pengurusan
jenazah hukumnya fardlu kifayah, dan anjuran Rasulullah Saw. dalam hal
ini adalah disegerakan. Namun, kadangkala pada praktiknya muncul
beberapa masalah karena berkenaan dengan kepentingan studi, penyelidikan
hukum atau adat. Seperti penyelidikan terhadap pembunuhan, pelatihan
medis untuk operasi bedah atau karena kecelakaan. Bahkan dalam dunia
kedokteran terdapat program pengawetan jenazah untuk kepentingan studi,
di mana pihak calon jenazah telah berwasiat dan disetujui oleh
keluarganya untuk menjadi bahan latihan tenaga medis. Kemudian setelah
meninggal dunia, jenazahnya tersebut diawetkan dalam batas waktu
tertentu untuk bahan latihan para calon dokter. Setelah digunakan untuk
latihan, kemudian jenazah tersebut dirapikan kembali dan dilakukan
prosesi penguburan jenazah sebagaimana mestinya menurut ajaran Islam.
Dengan demikian, otomatis hal ini menimbulkan masalah tertundanya
penguburan jenazah, baik karena otopsi, pengawetan jenazah atau karena
ikut adat setempat.
Mengakhirkan penguburan jenazah pada dasarnya tidak diperbolehkan
kecuali; (a) untuk mensucikan jenazah berpenyakit menular yang menurut
dokter harus ditangani secara khusus; (b) untuk dilakukan otopsi dalam
rangka penegakan hukum atau juga keterangan lainnya; (c) untuk menunggu
kedatangan wali jenazah dan atau menunggu terpenuhinya empat puluh orang
yang akan menyolati dengan segera selama tidak dikhawatirkan ada
perubahan pada jenazah.
Muhammad Khatib as-sirbini dalam Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj berpendapat:
(وَلَا
تُؤَخَّرُ) الصَّلَاةُ (لِزِيَادَةِ مُصَلِّينَ) لِلْخَبَرِ الصَّحِيحِ
أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ وَلَا بَأْسَ بِانْتِظَارِ الْوَلِيِّ عَنْ
قُرْبٍ مَا لَمْ يُخْشَ تَغَيُّرُ الْمَيِّتِ تَنْبِيهٌ شَمِلَ كَلَامُهُ
صُورَتَيْنِ إحْدَاهُمَا إذَا حَضَرَ جَمْعٌ قَلِيلٌ قَبْلَ الصَّلَاةِ لَا
يُنْتَظَرُ غَيْرُهُمْ لِيَكْثُرُوا نَعَمْ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ
وَغَيْرُهُ إذَا كَانُوا دُونَ أَرْبَعِينَ فَيُنْتَظَرُ كَمَالُهُمْ عَنْ
قُرْبٍ لِأَنَّ هَذَا الْعَدَدَ مَطْلُوبٌ فِيهَا وَفِي مُسْلِمٍ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ يُؤَخِّرُ الصَّلَاةَ لِلْأَرْبَعِينَ قِيلَ
وَحِكْمَتُهُ أَنَّهُ لَمْ يَجْتَمِعْ أَرْبَعُونَ إلَّا كَانَ للهِ
فِيهِمْ وَلِيٌّ وَحُكْمُ الْمِائَةِ كَالْأَرْبَعِينَ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ
الْحَدِيثِ الْمُتَقَدِّمِ
(Dan tidak tunda) pelaksanaan shalat jenazah (karena memperbanyak
orang yang menyolatinya) berdasarkan hadits shahih: “Bersegeralah kalian
dengan urusan jenazah.” Dan boleh menanti walinya sebentar selama tidak
dikhawatirkan perubahan kondisinya. Peringatan. Ungkapan al-Nawawi
tersebut meliputi dua kasus. Pertama, ketika sebelum shalat jenazah
telah hadir beberapa orang, maka yang belum hadir tidak perlu ditunggu.
Meskipun demikian, al-Zarkasi dan ulama selainnya berpendapat: “Bila
mereka belum mencapai 40 orang, maka ditunggu sebentar agar mencapai
jumlah tersebut. Sebab, jumlah jamaah 40 orang ini dianjurkan dalam
menyolati jenazah. Dalam kitab Shahih Muslim, terdapat riwayat dari Ibn
Abbas, bahwa sungguh beliau menunda shalat jenazah karena menanti jumlah
jamaah 40 orang. Disebutkan hikmahnya adalah tiada berkumpul 40 orang
jamaah melainkan salah seorangnya adalah wali Allah. Dan hukum 100 orang
sama dengan 40 orang, seperti kesimpulan yang diambil dari hadits tadi.
Sedangkan pembedahan jenazah setelah lama diawetkan untuk kepentingan
studi hanya dibolehkan dalam kondisi darurat atau hajat saja. Seperti
yang diterangkan oleh Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh
وَبِنَاءً عَلَى
هذِهِ الْآرَاءِ الْمُبِيحَةِ يَجُوزُ التَّشْرِيحُ عِنْدَ الضَّرُورَةِ
أَوِ الْحَاجَةِ بِقَصْدِ التَّعْلِيمِ لِأَغْرَاضٍ طِبِّيَّةٍ أَوْ
لِمَعْرِفَةِ سَبَبِ الْوَفَاةِ وَإِثْبَاتِ الْجِنَايَةِ عَلَى
الْمُتَّهَمِ بِالْقَتْلِ وَنَحْوِ ذلِكَ لِأَغْرَاضٍ جِنَائِيَّةٍ إِذَا
تَوَقَّفَ عَلَيْهَا الْوُصُولُ إِلَى الْحَقِّ فِي أَمْرِ الْجِنَايَةِ
لِلْأَدِلَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى وُجُوبِ الْعَدْلِ فِي الْأَحْكَامِ
حَتَّى لَا يُظْلَمَ بِرَأْيٍ وَلَا يَفْلِتُ مِنَ الْعِقَابِ مُجْرِمٌ
أَثِيمٌ
Berdasarkan pendapat (Syafi’iyah dan Malikiyah) yang memperbolehkan
(pembedahan mayit karena menelan harta) ini, maka diperbolehkan
melakukan otopsi (operasi) pada tubuh mayit dalam kondisi darurat atau
dibutuhkan, untuk kepentingan pendidikan kedokteran, mengetahui sebab
kematian, menetapkan pidana atas tersangka kasus pembunuhan dan
kepentingan pidana semisalnya. Yaitu ketika otopsi (operasi) tersebut
menjadi satu-satunya jalan dalam mengungkap kasus kriminalitas
berdasarkan dalil-dalil wajibnya penegakan keadilan hukum. Sehingga
seseorang tidak terzalimi berdasarkan suatu asumsi (saja) dan seorang
penjahat tidak bisa berkelit dari hukuman yang setimpal.
Demikianlah keterangan mengenai diperbolehkannya mengakhirkan penguburan jenazah dari berbagai sumber.
Disarikan dari Hasil Keputusan Muktamar NU
ke-XXXII di Asrama Haji Sudiang Makassar Tanggal 7-11 Rabi’ul Akhir
1431 H/22 – 27 Maret 2010 M
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,37961-lang,id-c,syariah-t,Menunda+Penguburan+Jenazah-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar