=============
Memutarbalikkan Sejarah
====================
Setiap menjelang
bulan November orang kembali mengungkit sejarah sesuai dengan
kepentingan masing-masing. Tetapi sayang penggalian sejarah itu sering
kali sambil melakukan penguburan sejarah atau sedikitnya membelokkan
bahkan memutarbalikkan sejarah. Hal itu dilakukan untuk membenarkan
tindakan yang keliru di masa lalu. Seterusnya mereka berharap untuk
mendapatkan gelar kepahlawanan, seperti yang terjadi belakangan ini.
Sebelum M. Natsir dipromosikan sebagai pahlawan nasional, berbagai ulasan mengenai sejarah PRRI dipublikasikan besar-besaran, sehingga seolah gerakan itu bukan pemberontakan, tetapi semata gerakan kritik terhadap pemerintah pusat. Ketika PRRI-Permesta tidak lagi dianggap pemberontakan maka para pimpinannya seperti Natsir, Safruddin Prawiranegara dan Soemitro Jojohadikukumo, bukan pemberontak, tetapi pengkritik kebijakan pemerintah yang sentralistik. Karena itu mereka mendapat julukan tokoh demokratis, berhadapan dengan Bung Karno yang otoriter.
Ada beberapa inkonsistensi dalam persepsi semacam itu. Pertama, kalau PRRI itu sebuah gerakan kritik, bukan pemberontakan, mengapa melibatkan berbagai panglima daerah, dan menggunakan senjata dan dilakukan di hutan, dan didanai dengan cara membobol Bank Indonesia dan asing, serta mendapat amunisi dan persenjataan dan personil tentara dari luar negeri?
Kedua, bukankah saat itu zaman demokrasi liberal atau demokrasi parlementer, di mana kekuasaan bukan di Presiden tapi di parlemen, sehingga kritik bisa dilakukan di parlemen, karena partai politik para pemberontak itu juga sebagai anggota Konstituante, anggota DPR dan anggota kabinet?
Ketiga, kalau mereka mengaku demokratis kenapa kritik dilakukan dengan kekerasan bahkan dengan pembantaian?
Dengan cara pandang semacam itu maka kambing hitam diarahkan pada Bung Karno, sebagai pemimpin yang otoriter dan sentralistik untuk itu harus dilawan. Dengan senjata maupun tanpa senjata, dengan opini. Para sejarawan pada umumnya sepakat dengan pemutarbalikan sejarah bangsa itu, sehingga para tokoh pemberontak, yang menyengsarakan rakyat, sehingga ratusan ribu warga Minang eksodus, ekonomi dan pendidikan setempat hancur lebur dan menjadikan orang Minang kehilangan kepercayaan diri selama beberapa dekade. Mereka yang mengacaukan negara dan menyengsarakan rakyat dielukan sebagai pahlawan demokrasi dan kebebasan.
Dengan cara pandang seperti itu maka Bung Karno ditempatkan sebagai orang yang salah, sehingga harus meminta maaf pada para pemberontak itu. Seperti disampaikan oleh Sekjen PKS Anis Matta bahwa Bung Karno melakukan Kesalahan dengan Memenjarakan Natsir, Syahrir dan sebagainya, termasuk Hamka. Padahal Bung karno telah berusaha mengampuni mereka yang terlibat pemberontakan asal meminta maaf, tetapi mereka tidak meminta maaf, hanya beberapa perwira seperti Husein dan Simbolon yang meminta maaf dan dimaafkan, karena mengaku bersalah mengangkat senjata melawan negara.
Bung Karno akhirnya tidak memanfaatkan pemberontak PRRI, sebab mereka telah membuat negara dalam negara. Dan Bung Karno melakukan serangan terhadap PRRI itu setelah mendapat restu dan dorongan dari Bung Hatta, yang dilaksanakan oleh Panglima perang Nasution dan dikomandani oleh Ahmad Yani.
Kenapa yang disalahkan hanya bung Karno tidak turut menyalahkan Hatta yang keras terhadap pemberontak, dan kenapa tidak melakukan serangan terhadap Nasution yang membasmi pemberontakan itu dengan persenjataan lengkap, dan terutama Ahmad Yani yang membasmi kekuatan PRRI di lapangan? Kalau Natsir dan Sjahrir dipenjara tanpa pengadilan hal itu dibenarkan secara hukum, karena saat itu negara sedang darurat militer, sehingga militer berhak menahan siapa saja yang dicurigai sebagai pelaku sebversi. Padahal Bung Karno sudah sangat berlapang dada, ketika PSI dan Masyumi hendak dibubarkan, para pemimpin kedua partai itu diundang ke istana. Tetapi karena tidak pernah ada klarifikasi baik dari Soekiman maupun dari Sjahrir maka terus dibubarkan dan para pemimpinnya yang terlibat di penjara.
Sebenarnya pemberian gelar pahlawan kepada siapapun tidak ada masalah apalagi pada orang orang yang jelas sumbangannya pada negara ini, seperti tokoh-tokoh di atas. Tetapi pemutarbalikan sejarah itu urusan lain lagi. Karena itu yang dilakukan dalam rekonsiliasi adalah pengampunan atau dimaafkan kesalahannya, bukan melupakan tindakannya. Sejarah tidak boleh dilupakan kalau dilupakan orang akan tersesat dan akan terjerumus pada jurang yang sama. Itu yang utama.
Kenapa NU peduli dengan masalah ini, tidak lain karena sejak awal NU mengutuk tindakan PRRI-Permesta dan menyatakan sebagai bughat (pemberontakan), karenanya pemerintah dan segenap rakyat harus menghadapi pemberontakan seperti itu. Kalau sampai itu dikatakan bukan sebagai pemberontakan maka keputusan NU dan pemerintah itu dianggap salah, padahal keputusan NU itu merupakan sebuah pemikiran dan sikap logis dalam bernegara. Sebagaimana pemerintah, NU menghendaki adanya rekonsiliasi untuk memaafkan tindakan mereka, tetapi peristiwa itu tidak boleh dilupakan. Selama ini mereka tidak pernah minta maaf karena merasa tindakannya tidak salah.
Sayangnya kesadaran sejarah di kalangan NU juga masih rendah sehingga begitu gampang mengikuti pandangan sejarah orang lain, sehingga bukan membela kesejarahannya sendiri yang dibelokkan orang tetapi justru membela pembelokan sejarah yang dilakukan kelompok lain.
Seperti kelompok Imam Azis di yogya yang dianggap oleh para kiai terlalu bersemangat membela bekas PKI, menjadi seolah menyalahkan NU dalam peristiwa 1965. Padahal saat itu sedang terjadi konflik horizontal, sehingga terjadi penyerangan terhadap kedua belah pihak. PKI bukan korban tapi aktor, hanya saja kemudian kalah. Di sisi lain, di Jakarta, Lukman Hakim Syaifuddin yang dengan naifnya ikut membela PRRI dan merehabilitasi para tokohnya, padahal NU mengutuk pemberontakan itu.
Sementara kesejarahan NU yang menjadi pemeran utama dalam Revolusi November di Surabaya banyak digelapkan orang, mereka hanya diam saja. Selama peringatan Hari pahlawan itu beberapa tokoh dan sejarawan diwawancarai, tetapi beberapa tokoh seperti Rosihan Anwar maupun sejarawan Aminuddin Kasdi sama sekali tidak menyebut peran NU di sana. Padahal perang November itu terjadi akibat Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim As’ari yang kemudian dikobarkan melalui radio oleh Bung Tomo.
Demikian juga mereka menggelapkan tokoh pelaku penyobekan bendera Belanda yang berkibar di atas Hotel Oranye Surabaya itu. Padahal dengan jelas disaksikan banyak orang bahwa pelaku penyobekan bendera setelah berhasil memanjat puncak hotel itu adalah Cak Arie, seorang anggota Pemuda Ansor NU Cabang Surabaya.
Pembelokan sejarah itu terjadi seringkali karena kehilangan bukti. Karena itu pelurusan sejarah hanya bisa dilakukan dengan menghadirkan saksi sejarah, arsip-arsip dan dokumen serta berbagai artefak yang tersedia. Tetapi persoalannya sekarang ini saksi telah banyak yang meninggal, arsip tidak terawatt, bahkan berbagai dokumen penting telah dicuri oleh pihak lain. Maraknya perburuan naskah kuno baik naskah Melayu, Naskah Jawa, Naskah Bugis dan sebagainya, oleh bangsa lain merupakan ancaman bagi kelurusan sejarah. Tanpa adanya sejarah tidak mungkin suatu bangsa memiliki rasa percaya diri, tak memiliki identitas dan integritas.
Dengan memahami sejarah maka rekonsiliasi bisa dilaksanakan dengan lancar dan proporsional. Melakukan rekonsiliasi bukan asal-asalan, apalagi hanya sebagai politik dagang sapi untuk meraih kekuasaan. Dalam rekonsiliasi harus diungkapkan kebenaran yang sesungguhnya, bukan kebohongan, karena itu harus ada pengadilan, melalui pengadilan itulah ditentukan mana pihak yang salah dan pihak yang benar. Lalu di situ bisa saling memaafkan.
Disitulah rekonsiliasi itu tidak hanya mengandung kebenaran, tetapi juga memuat keadilan. Karena itu tidak bisa dilalui dengan memutarbalikkan sejarah, agar kesalahan kabur, dan disulap menjadi kebenaran, tetapi harus dilalui dengan pemahaman sejarah yang jujur dan adil. Dengan cara yang benar, adil dan prosedural itulah rekonsiliasi yang sebenarnya bisa dicapai dengan cara itu kerukunan dan persatuan nasional akan lebih kokoh.
Sebelum M. Natsir dipromosikan sebagai pahlawan nasional, berbagai ulasan mengenai sejarah PRRI dipublikasikan besar-besaran, sehingga seolah gerakan itu bukan pemberontakan, tetapi semata gerakan kritik terhadap pemerintah pusat. Ketika PRRI-Permesta tidak lagi dianggap pemberontakan maka para pimpinannya seperti Natsir, Safruddin Prawiranegara dan Soemitro Jojohadikukumo, bukan pemberontak, tetapi pengkritik kebijakan pemerintah yang sentralistik. Karena itu mereka mendapat julukan tokoh demokratis, berhadapan dengan Bung Karno yang otoriter.
Ada beberapa inkonsistensi dalam persepsi semacam itu. Pertama, kalau PRRI itu sebuah gerakan kritik, bukan pemberontakan, mengapa melibatkan berbagai panglima daerah, dan menggunakan senjata dan dilakukan di hutan, dan didanai dengan cara membobol Bank Indonesia dan asing, serta mendapat amunisi dan persenjataan dan personil tentara dari luar negeri?
Kedua, bukankah saat itu zaman demokrasi liberal atau demokrasi parlementer, di mana kekuasaan bukan di Presiden tapi di parlemen, sehingga kritik bisa dilakukan di parlemen, karena partai politik para pemberontak itu juga sebagai anggota Konstituante, anggota DPR dan anggota kabinet?
Ketiga, kalau mereka mengaku demokratis kenapa kritik dilakukan dengan kekerasan bahkan dengan pembantaian?
Dengan cara pandang semacam itu maka kambing hitam diarahkan pada Bung Karno, sebagai pemimpin yang otoriter dan sentralistik untuk itu harus dilawan. Dengan senjata maupun tanpa senjata, dengan opini. Para sejarawan pada umumnya sepakat dengan pemutarbalikan sejarah bangsa itu, sehingga para tokoh pemberontak, yang menyengsarakan rakyat, sehingga ratusan ribu warga Minang eksodus, ekonomi dan pendidikan setempat hancur lebur dan menjadikan orang Minang kehilangan kepercayaan diri selama beberapa dekade. Mereka yang mengacaukan negara dan menyengsarakan rakyat dielukan sebagai pahlawan demokrasi dan kebebasan.
Dengan cara pandang seperti itu maka Bung Karno ditempatkan sebagai orang yang salah, sehingga harus meminta maaf pada para pemberontak itu. Seperti disampaikan oleh Sekjen PKS Anis Matta bahwa Bung Karno melakukan Kesalahan dengan Memenjarakan Natsir, Syahrir dan sebagainya, termasuk Hamka. Padahal Bung karno telah berusaha mengampuni mereka yang terlibat pemberontakan asal meminta maaf, tetapi mereka tidak meminta maaf, hanya beberapa perwira seperti Husein dan Simbolon yang meminta maaf dan dimaafkan, karena mengaku bersalah mengangkat senjata melawan negara.
Bung Karno akhirnya tidak memanfaatkan pemberontak PRRI, sebab mereka telah membuat negara dalam negara. Dan Bung Karno melakukan serangan terhadap PRRI itu setelah mendapat restu dan dorongan dari Bung Hatta, yang dilaksanakan oleh Panglima perang Nasution dan dikomandani oleh Ahmad Yani.
Kenapa yang disalahkan hanya bung Karno tidak turut menyalahkan Hatta yang keras terhadap pemberontak, dan kenapa tidak melakukan serangan terhadap Nasution yang membasmi pemberontakan itu dengan persenjataan lengkap, dan terutama Ahmad Yani yang membasmi kekuatan PRRI di lapangan? Kalau Natsir dan Sjahrir dipenjara tanpa pengadilan hal itu dibenarkan secara hukum, karena saat itu negara sedang darurat militer, sehingga militer berhak menahan siapa saja yang dicurigai sebagai pelaku sebversi. Padahal Bung Karno sudah sangat berlapang dada, ketika PSI dan Masyumi hendak dibubarkan, para pemimpin kedua partai itu diundang ke istana. Tetapi karena tidak pernah ada klarifikasi baik dari Soekiman maupun dari Sjahrir maka terus dibubarkan dan para pemimpinnya yang terlibat di penjara.
Sebenarnya pemberian gelar pahlawan kepada siapapun tidak ada masalah apalagi pada orang orang yang jelas sumbangannya pada negara ini, seperti tokoh-tokoh di atas. Tetapi pemutarbalikan sejarah itu urusan lain lagi. Karena itu yang dilakukan dalam rekonsiliasi adalah pengampunan atau dimaafkan kesalahannya, bukan melupakan tindakannya. Sejarah tidak boleh dilupakan kalau dilupakan orang akan tersesat dan akan terjerumus pada jurang yang sama. Itu yang utama.
Kenapa NU peduli dengan masalah ini, tidak lain karena sejak awal NU mengutuk tindakan PRRI-Permesta dan menyatakan sebagai bughat (pemberontakan), karenanya pemerintah dan segenap rakyat harus menghadapi pemberontakan seperti itu. Kalau sampai itu dikatakan bukan sebagai pemberontakan maka keputusan NU dan pemerintah itu dianggap salah, padahal keputusan NU itu merupakan sebuah pemikiran dan sikap logis dalam bernegara. Sebagaimana pemerintah, NU menghendaki adanya rekonsiliasi untuk memaafkan tindakan mereka, tetapi peristiwa itu tidak boleh dilupakan. Selama ini mereka tidak pernah minta maaf karena merasa tindakannya tidak salah.
Sayangnya kesadaran sejarah di kalangan NU juga masih rendah sehingga begitu gampang mengikuti pandangan sejarah orang lain, sehingga bukan membela kesejarahannya sendiri yang dibelokkan orang tetapi justru membela pembelokan sejarah yang dilakukan kelompok lain.
Seperti kelompok Imam Azis di yogya yang dianggap oleh para kiai terlalu bersemangat membela bekas PKI, menjadi seolah menyalahkan NU dalam peristiwa 1965. Padahal saat itu sedang terjadi konflik horizontal, sehingga terjadi penyerangan terhadap kedua belah pihak. PKI bukan korban tapi aktor, hanya saja kemudian kalah. Di sisi lain, di Jakarta, Lukman Hakim Syaifuddin yang dengan naifnya ikut membela PRRI dan merehabilitasi para tokohnya, padahal NU mengutuk pemberontakan itu.
Sementara kesejarahan NU yang menjadi pemeran utama dalam Revolusi November di Surabaya banyak digelapkan orang, mereka hanya diam saja. Selama peringatan Hari pahlawan itu beberapa tokoh dan sejarawan diwawancarai, tetapi beberapa tokoh seperti Rosihan Anwar maupun sejarawan Aminuddin Kasdi sama sekali tidak menyebut peran NU di sana. Padahal perang November itu terjadi akibat Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim As’ari yang kemudian dikobarkan melalui radio oleh Bung Tomo.
Demikian juga mereka menggelapkan tokoh pelaku penyobekan bendera Belanda yang berkibar di atas Hotel Oranye Surabaya itu. Padahal dengan jelas disaksikan banyak orang bahwa pelaku penyobekan bendera setelah berhasil memanjat puncak hotel itu adalah Cak Arie, seorang anggota Pemuda Ansor NU Cabang Surabaya.
Pembelokan sejarah itu terjadi seringkali karena kehilangan bukti. Karena itu pelurusan sejarah hanya bisa dilakukan dengan menghadirkan saksi sejarah, arsip-arsip dan dokumen serta berbagai artefak yang tersedia. Tetapi persoalannya sekarang ini saksi telah banyak yang meninggal, arsip tidak terawatt, bahkan berbagai dokumen penting telah dicuri oleh pihak lain. Maraknya perburuan naskah kuno baik naskah Melayu, Naskah Jawa, Naskah Bugis dan sebagainya, oleh bangsa lain merupakan ancaman bagi kelurusan sejarah. Tanpa adanya sejarah tidak mungkin suatu bangsa memiliki rasa percaya diri, tak memiliki identitas dan integritas.
Dengan memahami sejarah maka rekonsiliasi bisa dilaksanakan dengan lancar dan proporsional. Melakukan rekonsiliasi bukan asal-asalan, apalagi hanya sebagai politik dagang sapi untuk meraih kekuasaan. Dalam rekonsiliasi harus diungkapkan kebenaran yang sesungguhnya, bukan kebohongan, karena itu harus ada pengadilan, melalui pengadilan itulah ditentukan mana pihak yang salah dan pihak yang benar. Lalu di situ bisa saling memaafkan.
Disitulah rekonsiliasi itu tidak hanya mengandung kebenaran, tetapi juga memuat keadilan. Karena itu tidak bisa dilalui dengan memutarbalikkan sejarah, agar kesalahan kabur, dan disulap menjadi kebenaran, tetapi harus dilalui dengan pemahaman sejarah yang jujur dan adil. Dengan cara yang benar, adil dan prosedural itulah rekonsiliasi yang sebenarnya bisa dicapai dengan cara itu kerukunan dan persatuan nasional akan lebih kokoh.
sumber:http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,3-id,14781-lang,id-c,analisa+berita-t,Memutarbalikkan+Sejarah-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar