Dalil-dalil yang membantah masalah Bid'ah dan jawabannya
======
Bahwa golongan pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah
secara tekstual, oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak
sesuai dengan paham mereka. Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulallah saw. ,berikut ini, secara tekstual:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
Artinya:"Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.
Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: 'Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh golongan pengingkar dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalahyang
bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang
tidak dari agama ia tertolak, yakni dholalah/sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits tersebut, mereka menetapkan apa
saja yang terjadi setelah zaman Rasulallah saw. serta sebelumnya tidak
pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw adalah bi’dah dholalah. Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan
dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak
mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa
para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam sholat yang mana
sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulallah saw. Mereka
juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan.
Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah
memperoleh kebaikan.
Ada
lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar
dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah
kata-kata sebagai berikut:
“Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi'in dan tabi'ut-tabi'in. Dan kalausekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulallah, sahabat dan para tabi'in?"
Atau ucapan mereka : “Kita kaum
muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala
perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru
kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari
sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama
salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh
Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah
seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai
perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan
sebagai dalil/ hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlil/yasinan, peringatan Maulid Nabi saw dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnyashohih namun akhirnya fasid.
Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah
mengamalkannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlil/yasinan, peringatan
keagamaan dan lain sebagainya).
Sedangkan yang batil/salah atau fasid adalah penghukuman mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya. Yang
demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak
mengerjakan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman
dengan ber- dasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa
dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah
menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Dengan demikian tidak bisa suatu perbuatan diharamkan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah
lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid'ah yang diada-adakan
para sahabat, yang belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh
Rasulallah saw. dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapinya. Cara penanggapan Rasulallah saw. inilah yang harus kita contoh !
Kalau
kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu
ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca
dikitab-kitab fiqih para pakar Islam yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama hadits dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama hadits lainnya.Kedua kelompok ulama ini sama-sama berdalil kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., tetapi berbeda cara penguraiannya. Dengan
demikian status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang
mengatakannya.Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpulan; Kalau
hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para
ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu
amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!
Para
ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian
banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam mengambil
kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam
suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah
yang sumbernya langsung dari Rasulallah saw., umpamanya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjurkan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya
secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulallah
saw. yang dalilnya/riwayatnya sampai kepada kita bukan dengan cara
dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw. Dimana
ucapan itu tidak selalu berbentuk fi'il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya. Contoh
sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulallah saw. yang
menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah
mendengar bahwa Rasulallah saw. atau para sahabat telah belajar atau
kursus berenang !!
Sunnah Fi'liyah ialah sunnah
yang ada dalilnya dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulallah saw.
Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah
Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para
shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian
meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.
Begitu
juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh
Rasulallah saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama
salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya
mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlil/yasinan dan lain
sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah
kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil
baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulallah saw. yang menganjur kan
agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala
bacaan, hadiah pahala bacaan dan lain sebagainya. Berbuat kebaikan ini
banyak macam dan caranya, semuanya baik untuk diamalkan, asalkan tidak
tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi
didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlil/yasinan, Istighotsah dll.)
yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan
kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulallah saw. ,yang
semuanya itu dianjurkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semuanya ini
tidak lain bertujuan untuk mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah swt.!!
Firman Allah swt. dalam ayat Al-Hasyr : 7):
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
Artinya: ‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamudilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakan- nya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam
ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu
adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
Artinya: ‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah(mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
Artinya:‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmumelakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
Artinya: ‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan, 'Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah..dst.nya. dan hadits Barangsiapa yang didalam agama..dst.nya.' adalah
tidak benar. Karena adanya beberapa keterangan dari Rasulallah saw.
didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara
yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak
pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik
kesimpulan bahwabid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah swt. (QS Asy-Syura :21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan
yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik yang termaktub dalam
Al-Qur’an maupun sunnah Rasulallah saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja
sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan
diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melakukan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’atdan lain sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulallah saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu.... adalah
masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Kami ambil
perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari.
Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan
lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita
tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa
pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan
mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini, yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
...... وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا
يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ
فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ
اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ
اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي أعْطَيْتهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُ عيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
Artinya: “.... HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan
atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah
mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia
mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat,
dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku
juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu
itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku
lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah swt. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu, yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
- Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah swt.berfirman, yang artinya:
“[Angin taufan] itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun
demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat
itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
- Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah swt.berfirman yang artinya:
“Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman
pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi
singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
- Begitupun juga dalam surat An-Najm ayat 39 Allah swt.berfirman, yang artinya:
“Bahwasanya setiap manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘selain apa yang telah diusahakannya’ pada
ayat ini bersifat umum, namun keumumannya itu tidak terpakai, karena
banyak sekali hadits shohih yang menunjukkan bahwa seorang muslim yang
telah wafat masih dapat memperoleh kebaikan dan manfaat dari muslim yang
masih hidup,seperti sholat jenazah, do’a, sedekah dan lain-lain.
- Dalam surat Thoha ayat 15 Allah swt. berfirman, yang artinya:
“Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah swt. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
- Dalam surat Aali 'Imran : 173 Allah swt. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud, yang artinya:
"Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang...." Yang dimaksud semua orang (an-naas)
dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk
kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin
Harb, yang memerangi Rasulallah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi
Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
- Dalam surat Al-Anbiya : 98, yang artinya:
"Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..".
Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi 'Isa as dan
bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menjadi umpan neraka.
Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap
sebagai tuhan-tuhan mereka.
- Dalam surat Aali 'Imran : 159, yang artinya:
"Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan...". Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi.
Allah swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan
soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan
ummatnya.
- Dalam surat Al-An'am : 44, yang artinya:
'Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu'. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
- Dalam surat Al-Isra : 70, yang artinya:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam....dan seterusnya ". Firman
Allah ini bersifat umum, sebab Allah swt. juga telah berfirman, bahwa
ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat
Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat
tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak
menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu
bagaikanbinatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A'raf : 179). Jadi
jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi
secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan
lebih sesat.
- Firman Allah swt dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), yang artinyasebagai berikut:
“Adapun
perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata
pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang
mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat
ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu,
melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya
Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang
miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga
tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata
safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah atau
perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum
dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja
melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).
- Al-Qu’an surat Al-Anbiya’ ; 30 :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُونَ
Artinya: “Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” QS. Al-Anbiya’:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti semua makhluk hidup diciptakan dari air.
- Dalam ayat al-Qur’an Ar-Rahman:15:
وَخَلَقَ الْْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
Artinya: “Dan Allah SWT menciptakan Jin dari percikan api yang menyala”. QS.
Begitu juga para malaikat, tidaklah Allah ciptakan dari air.
- Hadits riwayat Imam Ahmad :
عَنِ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ
Artinya: Dari al-Asyari berkata: “ Rasulullah saw bersabda: “setiap mata berzina” (musnad Imam Ahmad)
Sekalipun hadits di atas menggunakan kata kullu, namun bukan bermakna keseluruhan/semua, akan tetapi bermakna sebagian, yaitu mata yang melihat kepada wanita ajnabiyah (yang bukan muhrim).
Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy ,rahimahullah, berkata: ”Mengenai hadits ‘Bid’ah Dhalalah’ ini bermakna ‘Aammun makhsush’, [sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya], seperti firman Allah: ‘… yang menghancurkan segala sesuatu’ [QS Al-Ahqaf 25] dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (atau ayat: ‘Sungguh telah kupastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya’QS
Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka,
tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin
dan orang dhalim--.pen) atau hadits: ‘Aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini ’ [dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw.] (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Masih
banyak lagi ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman,
namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk semua hal atau
masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulallah saw. bersabda, yang artinya: "Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka".
Hadits
ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud
oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan
sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan
sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu
Hajar mengatakan; ' Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoalan
harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas
maknanya yang mutlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksanakan'.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulallah saw. yang menyatakan bahwajasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu 'Abdul Birr ,rahimahullah, dalam At-Tamhid mengatakan:
Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya
adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam
hadits yang lain Rasulallah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan di makan tanah (hancur) !
Dengan
demikian hadits nabi saw. “kullu bid’atin dholalah’ itu bersifat umum,
namun demikian tidak semua dalil –baik dari Al-Qur’an maupun hadits–
yang bersifat umum itu akan otomatis terpakai diatas keumumannya. Hal
itu sangat ditentukan oleh ada tidaknya dalil-dalil lain atau qoroo’inul ahwal (indikasi-indikasi) yang menolak keumumannya.
Golongan pengingkar ada yang mengajukan firman Allah swt berikut ini:
كُلّ نفس ذَا ئٍقَة المَوْتِ
Artinya: ‘Setiap yang bernyawa itu akan merasakan mati’.
Mereka mengatakan bahwa kata ‘kullu’ pada firman Allah diatas harus diartikan dengan ‘setiap’ yakni bersifat umum, karena kalau arti kullu itu diartikan dengan ‘sebagian’, maka akan timbullah makna bahwa ‘sebagian yang bernyawa akan merasakan mati dan sebagiannya lagi tidak’. Kata mereka selanjutnya, begitu pula halnya makna kullu pada hadits ‘kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin fin naar’. Mereka
yang mengajukan ayat diatas sebagai alasan untuk menguatkan
tuduhan-tuduhan bid’ahnya, jelas termasuk orang yang berwawasan
keagamaan sempit dan tidak mengetahui kaidah-kaidah mantiq. Kami katakan
berwawasan sempit karena mereka hanya mengandalkan ayat yang diajukan
nya itu, yang menunjukkan
bahwa Al-qur’an dan hadits kalau memang mengandung kata-kata umum
(seperti kullu), maka haruslah dipakai keumumannya.
Dan ,sebagai kebiasaan golongan ini, mereka mengabaikan ayat-ayat Al-qur’an maupun hadits-hadits lainnya, yang mengandung kata-kata umum tapi tidak terpakai keumuman
nya, seperti yang telah kami kemukakan contoh-contohnya. Begitu juga
dikatakan tidak mengetahui kaidah-kaidah mantiq, karena bagi mereka
kata-kata kullu itu harus bermakna ‘setiap’ dan tidak ada yang bermakna ‘sebagian’. Padahal menurut ilmu mantiq, kullu itu ada dua macam, yaitu: Kullu majmu’ dan Kullu jami’.
Kullu majmu’ adalah kullu yang berarti sebagian atau sekumpulan, bukan berarti setiap atau keseluruhan. Dialah yang dimaksud dengan bab: Kulli. Sebagian contohnya telah kami kemukakan. Begitu juga contoh lainnya ialah:
كُلّ رَجُل مِن بِنى تَمِيْم يحمِل الَصُّخْرَةً الْعَظيْمَةً
Artinya:‘Sebagian atau sekumpulan orang dari bani Tamim membawa batu yang besar’.
Pada
contoh diatas, kata kullu itu harus diartikan dengan sebagian atau
sekumpulan orang, bukan setiap orang. Karena pada kenyataannya ada saja
orang dari bani tamim yang tidak ikut membawa membawa batu besar itu.
Sedangkan Kullu jami’ adalah kullu yang berarti setiap atau keseluruhan, artinya melibatkan semua orang. Dan dialah yang dimaksud dengan bab: Kulliyah. Contohnya ialah ayat ‘Kullu nafsin dzaaiqotul maut’. Karenanya
kullu disitu diartikan dengan setiap atau keseluruhan yang bernyawa.
Tidak bisa kullu diayat ini dijadikan sebagai kullu majmu’, karena pada
kenyataannya dan juga didukung oleh ayat-ayat Al-qur’an yang lain, bahwa
memang semua yang bernyawa akan mati.
Untuk membuktikan adanya dua macam makna ‘kullu’ ini, kami ketengahkan dua bait syair yang tercantum dalam kita mantiq ‘Sullamul Munauruq’ oleh
Imam Al-Akhdhori yang telah diberi syarah oleh Syeikh Ahmad al-Malawi
dan diberi Hasyiah oleh Syeikh Muhamad bin Ali as-Shobban:
الَكُلّ حكمنَا عَلَى الْمجْموْع ككل ذَاكَ لَيْسَ ذَا وقَوْع
حيْثمَا لكُلّ فَرْد حُكمَا فَإنَّهُ كُلّيّة قَدْ علمَا
Artinya:
Kullu itu kita hukumkan untuk majmu’ (sebagian atau sekelompok) seperti
‘Sebagian itu tidak pernah terjadi’. Dan jika kita hukumkan untuk
tiap-tiap satuan, maka dia adalah kulliyyah (jami’atau keseluruhan) yang
sudah dimaklumi.
Sebagaimana
ucapan Nabi saw ketika ditanya oleh Zulyadain pada waktu beliau sholat
dhohor dan melakukan salam ketika baru mendapat dua rakaat. Saat itu
Zulyadain bertanya: ’Apakah shalat ini telah diringkas ataukah engkau
lupa wahai Rasulallah’?
Mendengar itu Nabi saw menjawab: كُلٌّ ذَالِكَ لَمْ يَكُنْ
Artinya:
‘Sebagian yang engkau tanyakan itu tidak terjadi’.
Dengan demikian maka kullu pada jawaban Nabi saw itu tidak bermakna ’setiap atau semua’ melainkan dia bermakna‘sebagian’, karena kullu disitu adalah kullu majmu’, bukan kullu jami’.
Alasannya sebagai kullu majmu’ ialah karena pada kenyataannya ada yang
terjadi pada diri Nabi saw, yakni lupa. Adapun sholat dhuhur tetap empat
rakaat karena memang tidak diringkas.
Namun
demikian, menurut penafsiran yang lain kata kullu pada jawaban Nabi saw
itu bisa juga dijadikan kullu jami’, sehigga menimbulkan arti ‘Setiap
yang demikian (diringkas atau kelupaan) tidak pernah terjadi’. Hal ini
karena dua alasan, yaitu:
1.Pertanyaan Zulyadain yang menggunakan kalimat ‘am nasiita’ itu
berfungsi untuk ta’yin (penentuan) salah satu dari dua perkara atau
untuk menafikan semuanya yakni kedua-dua perkara itu. Karena Nabi saw
tidak menjawab dengan ta’yin, maka jadilah jawabannya itu untuk
menafikan semuanya.
2. Adanya riwayat bahwa Nabi saw sesudah menjawab dengan ‘kullu zaalika lam yakun’, Zulyadain lalu berkata kepada beliau:بَعْض ذَالِكَ قَدْ كَانَ artinya ‘Sebagian itu telah terjadi’. Ini menunjukkan bahwa kata kullu pada jawaban Nabi saw itu adalah kullu jami’ (menafikan keseluruhan) atau termasuk bab Kulliyah. Karena kalau tidak demikian, maka apa arti nya ucapan Zulyadain dengan بَعْض ذَالِكَ قَدْ كَانَ .
Dengan
demikian dapat kita pahami berdasarkan penafsiran ini bahwa walaupun
kullu disitu termasuk kullu jami’ yakni bersifat umum, namun tidak lama
sesudah itu dia di takhsish dengan ucapan Zulyadain berikutnya
‘sebagian yang demikian itu telah terjadi’. Maka termasuklah dia itu ‘am makhsush’ yakni umum yang sudah dikhususkan.
Kesimpulannya ialah bahwa kullu itu ada yang majmu’, ada pula yang jami’.
Kalau dia majmu’, maka jelas yang ditunjuk adalah sebagian atau
sekelompok, bukan keseluruhan. Sedangkan kalau dia jami’, maka
adakalanya dia ditakhsish, adakalanya pula tidak. Kalau dia ditakhsish,
maka jadilah dia ‘am makhsush dan kalau tidak, maka terpakailah dia diatas keumumannya yakni bermakna keseluruhan.
Kata kullu pada hadits ‘kullu bid’atin dholalah’ bisa
saja sebagai kullu jami’ yang telah ditakhsish oleh dalil-dalil lainnya
––sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan bisa juga sebagai
kullu majmu’ sehingga artinya adalah ‘sebagian bid’ah itu sesat’ dan
itulah dia bid’ah yang sayyiah. Namun demikian kata kullu pada ‘wa kullu dholalatin fin naar’ tidak bisa dijadikan sebagai kullu majmu’melainkan dia tetap sebagai kullu jami’, sehingga artinya adalah ‘dan setiap yang sesat itu didalam neraka’. Sebabnya demikian karena tidak terdapat dalil-dalil lain yang mentakhsish keumumannya.
Ada lagi orang yang mengatakan bahwa kalau kullu pada “kullu bíd’atin dholalah” itu diartikan dengan sebagian, maka begitulah pula halnya dengan kullu pada hadits ‘wa kullu dhoalatin fin naar’ sehingga menimbulkan arti “dan sebagian kesesatan itu didalam neraka”.
Orang yang mengatakan hal ini jelas-jelas tidak mengetahui perbedaan
antara kulli dan kulliyah, tidak juga tahu bahwa kullu itu ada yang
majmu’ dan ada pula yang jami’. Terhadap orang seperti ini tidak perlu
banyak dikomentari, kami persilahkan belajar ilmu mantiq terlebih
dahulu. Banyak
sekali ayat Ilahi dan hadits yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan
dalam ayat atau hadits yang lain di khususkan maksud dan maknanya.
Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; 'Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya'. Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat !
Mereka
juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja.
Allah swt. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua
perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki
bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk. Untuk
itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan
oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan
oleh Imam Syafi'i dan lain-lain. Wallahua'lam.
Insya
Allah dengan keterangan singkat masalah Bid’ah, akan bisa membuka
pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang
hasanah/baik.
sumber:http://sanggarislamik.blogspot.com/2011/04/bab-4cdalil-dalil-yang-membantah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar