Ruh dari perjanjian Hilful Fudhul adalah MENGHILANGKAN KEBERANIAN MODEL JAHILIYYAH yang lebih banyak dibangkitkan oleh rasa fanatisme. [Lihat Shafiyyurrahman Al_Mubarakfury Ar_Rahiqul Makhtum Bahtsun fis Sirah An_Nabawiyah ‘Ala Shahibiha Afdhalish Shalati was Salam, hal. 82]
======
Pada waktu Nabi usia lima belas tahun, meletus Perang
Fijar antara pihak Quraisy bersama Kinanah, berhadapan dengan pihak
Qais Ailan. Komandan pasukan Qaraisy bersama Kinanah dipegang oleh Harb
bin Umayyah, karena pertimbangan usia dan kedudukannya yang terpandang.
Pada mulanya pihak Qais Ailan yang mendapat kemenangan. Namun kemudian
beralih ke pihak Quraisy bersama Kinanah.
Dinamakan Perang Fijar, karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah haram dan bulan_bulan suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ikut berga-bung dalam peperangan ini dengan cara mengumpulkan anak
panah bagi paman_paman beliau untuk dilemparkan kembali ke pihak musuh.
[Lihat Fu’ad Hamzah, Qalbu Jaziratil ‘Arab, (Mesir: Al_Mathba’ah As_Salafiyyah wa Maktabuha, 1923 M), hal. 260]
Hilful Fudhul
Pengaruh
dari peperangan ini, maka diadakanlah Hilful Fudhul pada bulan
Dzulqaidah pada bulan suci, yang melibatkan beberapa kabilah Quraisy,
yaitu Bani Hasyim, Bani Al_Muththalib, Bani Asad bin Abdul Uzza, Bani
Zuhrah bin Kilab, dan Bani Taim bin Murrah. Mereka berkumpul di rumah
Abdullah bin Jud’an At_Taimy karena pertimbangan umur dan kedudukannya
yang terhormat. Mereka mengukuhkan perjanjian dan kesepakatan bahwa
tidak seorang pun dari penduduk Makkah dan juga yang lainnya yang
dibiarkan teraniaya. Siapa yang teraniaya, maka mereka sepakat untuk
berdiri di sampingnya. Sedangkan terhadap siapa yang berbuar dzalim,
maka kedzalimannya harus dibalaskan terhadap dirinya. Perjanjian ini
juga dihadiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Aku pernah mengikuti perjanji-an yang dikukuhkan di rumah
Abdullah bin Jud’an, suatu perjanjian yang lebih aku sukai daripada
keledai yang terbagus. Andaikata aku diundang untuk perjanjian itu
semasa Islam, tentu aku akan memenuhuinya.”
Syaikh
Shafiyyurrahman Al_Mubarakfury mengatakan bahwa ruh dari perjanjian itu
adalah menghilangkan keberanian model Jahiliyah yang lebih banyak
dibang-kitkan oleh rasa fanatisme. [Lihat Shafiyyurrahman Al_Mubarakfury
Ar_Rahiqul Makhtum Bah-tsun fis Sirah An_Nabawiyah ‘Ala Shahibiha Afdhalish Shalati was Salam, hal. 82]
Mengembalakan Kambing
Pada masa awal remajanya Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempu-nyai pekerjaan tetap. Hanya saja beberapa riwayat menyebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
biasa menggembala kambing di kalangan Bani Sa’d bin Bakr dan juga di
Makkah dengan imbalan uang beberapa dinar. [Lihat Muhammad Al_Ghazaly, Fiqhus Sirah, (Mesir: Darul Al_Kitab Al_Araby, 1375 H / 1955 M), cet. 2, hal. 52]
Menikah dengan Khadijah
Pada
usia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke Syam untuk
men-jalankan barang dagangan milik Khadijah. Ibnu Ishaq menuturkan bahwa
Khadijah binti Khuwalid adalah seorang wanita pedagang, terpandang, dan
kaya raya. Dia biasa menyuruh orang_orang untuk menjalankan barang
dagangannya dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka, karena
orang_orang Quraisy memiliki hobi berdagang. Tatkala Khadijah mendengar
kabar tentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas, dan kemuliaan
akhlaq beliau, maka dia pun mengirim utusan dan menawarkan kepada beliau
agar berangkat ke Syam untuk menjalankan barang dagangannya. Dia siap
memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia
berikan kepada pedagang yang lain. Tetapi beliau harus pergi bersama
seorang pembantu yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran ini,
maka beliau berangkat ke Syam untuk berdagang dengan diserta Maisarah. .
[Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_ Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/187-188]
Setibanya
di Makkah dan setelah Khadijah bin Khuwalid tahu bahwa keuntungan
dagangannya yang melimpah, yang tidak pernah dilihatnya sebanyak itu
sebelumnya, apalagi setelah pembantunya, yaitu Maisarah mengabarkan
kepadanya apa yang dilihatnya pada diri beliau selama menyertainya,
bagaimana sifat_sifat beliau yang mulia, kecerdikan dan kejujurannya,
maka seakan_akan Khadijah binti Khuwalid mendapatkan barangnyanya yang
pernah hilang dan sangat diharapkannya. Sebenarnya sudah banyak para
pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya, tetapi dia tidak mau.
Tiba_tiba saja dia teringat seorang rekannya, yaitu Nafisah binti
Munyah. Dia meminta agar rekannya ini menemui beliau dan membuka jalan
agar mau menikah dengan Khadijah binti Khuwalid. Ternyata beliau
menerima tawaran itu, lalu beliau menemui paman_ pamannya. Kemudian
paman_paman beliau menemui paman Khadijah binti Khuwalid untuk
mengajukan lamaran. Setelah semuanya dianggap beres, maka pernikahan
siap dilaksanakan. Adapun yang ikut hadir dalam pelaksanaan akad nikah
adalah Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar. Hal ini terjadi dua
bulan sepulang beliau dari Syam. Maskawin beliau adalah dua puluh ekor
unta muda. Usia Khadijah binti Khuwalid sendiri adalah empat puluh
tahun, yang pada masa itu dia merupakan wanita yang paling terpandang,
cantik, pandai, dan kaya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah menikahi wanita lain hingga Khadijah binti Khuwalid meninggal dunia.
Putra_putri
beliau – selain Ibrahim dilahirkan dari Maria Al_Qibthiyah – dilahirkan
dari Khadijah binti Khuwalid adalah Al_Qasim – dengan nama ini beliau
dijuluki Abul Qasim –, Abdullah – dia dijuluki Ath_Thayyib dan
Ath_Thahir –, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fatimah. Semua putra
beliau meninggal dunia selagi kecil. Sedangkan semua putri beliau sempat
menjumpai Islam, dan mereka memeluk Islam serta ikut hijrah. Hanya saja
mereka semua meninggal dunia selagi beliau masih hidup, kecuali
Fatimah. Dia meningga dunia selang enam bulan sepeninggalan beliau,
untuk bersua dengan beliau.
Al_Hafizh Ibnu Hajar
Al_Asqalani mengatakan bahwa ada sedikit perbedaan di antara beberapa
kitab referensi tentang hal di atas. Tetapi yang kami tulis di sini
adalah pendapat yang paling kuat. [Lihat Ahmad bin ‘Ali bin Hajar
Al_Asqalany, Fathul Bari, (Kairo: Al_Mathba’ah As_Salafiyah wa Maktabuha, tt), hal. 7/507]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar