ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 03 Oktober 2018

Ber-HOAX, BOHONG, DUSTA: HARAM HUKUMNYA = BERDOSA:




*Ber-HOAX, BOHONG, DUSTA: HARAM HUKUMNYA = BERDOSA*
========
....وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

 Rosululloh SAW bersabda:..... *Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan, maka akan dicatat di sisi Alloh sebagai pendusta (pembohong).*
============

Tentang : *"HOAX"*:
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, *'hoaks’* adalah *‘berita bohong.’*

Dalam Oxford English dictionary: *‘hoax’* didefinisikan sebagai *'malicious deception’* atau *‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’*.

Raghib al-Ashfahani berkata:
“Asal jujur dan bohong adalah dalam perkataan, baik itu pada perkara yang telah lampau, akan datang, atau berupa sebuah janji. *Dinamakan bohong, karena ucapannya menyelisihi apa yang ada di dalam hatinya.”* (Fathul Bari, 10/623).

Berkata Imam Nawawi:
“Ketahuilah, madzhab Ahlus Sunnah berkata bahwa bohong adalah mengabarkan sesuatu yang menyelisihi kenyataannya, sama saja engkau sengaja atau tidak sengaja. Orang yang berbohong dengan tidak sengaja, maka tidak ada dosanya, akan tetapi ia akan berdosa apabila melakukannya dengan sengaja.” (Al-Adzkar, hal. 326, lihat pula Al-Adab asy-Syar’iyah, 1/53).

Berbohong secara tegas hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur’an yang qoth’i. Dan keharamanya termasuk persoalan-persoalan agama yang diketahui secara pasti. Tidak ada perbedaan antara berbohong demi kemaslahatan umat Islam, agama atau karena yang lain.

TAFSHIl TENTANG HUKUM BERBOHONG:
==========================
Imam Al-Ghazali berkata dilam kitabnya ( Ihya 'Ulumuddin ) batasan dalam berbohong sebagai berikut :

1. Setiap tujuan yang terpuji yang masih di mungkinkan sampai kepadanya dengan cara jujur dan berbohong dengan cara bersamaan maka berbohong dalam hal tesebut adalah haram.
2. Jika tujuan yang terpuji tidak dapat di peroleh kecuali dengan cara berobhong maka berbohong dalam keadaan tesebut adalah mubah
3. Jika menghasalkan tujuan yang terpuji hukumnya wajib, maka hukumnya berbohong juga wajib, sebagamana seseorg melihat orang yang ma'sum bersembunyi dari orang yang dholim yang ingin membunuh atau menyakitinya, karena darahnya orang yang ma'sum wajib dijaga.
Atau di tanya orang dholim tentang barang titipan yang ingin diambil, maka ia wajib mengingkarinya walaupun dengan cara berbohong, bahkan jika ia diminta bersumpah maka ia juga wajib bersumpah dan bertauriyah. Apabila tidak bertauriya maka ia dianggap melanggar sumpahnya, dan ia juga wajib membayar kafaroh sumpah.
Dan ketika tujuan peperangan atau mendamaikan orang yang brsengketa atau menenangkan hati orang yang menjadi korban kejahatan tidak bisa hasil kecuali dengan cara berbohong, maka berbohong dalam keadaan tesebut di perbolehkan.
Ketika seseorang ditanya oleh pemimpin tentang perbuatan keji yang ia lakukan seperti zina atau minum arak secara rahasia, maka dia diperbolehkan berbohong dengan mengatakan "saya tidak melakukan" dan juga diperbolehkan menyembunyikan rahasia saudaranya.

Rujukan :
Ihya 'Ulumuddin II / 332
ﺑﻴﺎﻥ ﻣﺎ ﺭﺧﺺ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺬﺏ


إﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻟﻴﺲ ﺣﺮﺍﻣﺎً ﻟﻌﻴﻨﻪ ﺑﻞ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺨﺎﻃﺐ ﺃﻭ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻩ ، ﻓﺈﻥ ﺃﻗﻞ ﺩﺭﺟﺎﺗﻪ ﺃﻥ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﺍﻟﻤﺨﺒﺮ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﻋﻠﻰ ﺧﻼﻑ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺟﺎﻫﻼً ﻭﻗﺪ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﺑﻪ ﺿﺮﺭ ﻏﻴﺮﻩ ، ﻭﺭﺏ ﺟﻬﻞ ﻓﻴﻪ ﻣﻨﻔﻌﺔ ﻭﻣﺼﻠﺤﺔ، ﻓﺎﻟﻜﺬﺏ ﻣﺤﺼﻞ ﻟﺬﻟﻚ ﺍﻟﺠﻬﻞ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﻣﺄﺫﻭﻧﺎً ﻓﻴﻪ ، ﻭﺭﺑﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻭﺍﺟﺒﺎً. ﻗﺎﻝ ﻣﻴﻤﻮﻥ ﺑﻦ ﻣﻬﺮﺍﻥ : ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻤﻮﺍﻃﻦ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺪﻕ، ﺃﺭﺃﻳﺖ ﻟﻮ ﺃﻥ ﺭﺟﻼً ﺳﻌﻰ ﺧﻠﻒ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﺑﺎﻟﺴﻴﻒ ﻟﻴﻘﺘﻠﻪ ﻓﺪﺧﻞ ﺩﺍﺭﺍً ﻓﺎﻧﺘﻬﻰ ﺇﻟﻴﻚ ﻓﻘﺎﻝ: ﺃﺭﺃﻳﺖ ﻓﻼﻧﺎً؟ ﻣﺎ ﻛﻨﺖ ﻗﺎﺋﻼً؟ ﺃﻟﺴﺖ ﺗﻘﻮﻝ: ﻟﻢﺃﺭﻩ؟ ﻭﻣﺎ ﺗﺼﺪﻕ ﺑﻪ. ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻭﺍﺟﺐ. ﻓﻨﻘﻮﻝ :ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻭﺳﻴﻠﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﻘﺎﺻﺪ ﻓﻜﻞ ﻣﻘﺼﻮﺩ ﻣﺤﻤﻮﺩ ﻳﻤﻜﻦ ﺍﻟﺘﻮﺻﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﺪﻕ ﻭﺍﻟﻜﺬﺏ ﺟﻤﻴﻌﺎً ﻓﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻴﻪ ﺣﺮﺍﻡ، ﻭﺇﻥ ﺃﻣﻜﻦ ﺍﻟﺘﻮﺻﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺑﺎﻟﻜﺬﺏ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺼﺪﻕ


ﻓﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻴﻪ ﻣﺒﺎﺡ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺗﺤﺼﻴﻞ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻘﺼﺪ ﻣﺒﺎﺣﺎً ، ﻭﻭﺍﺟﺐ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻭﺍﺟﺒﺎً ، ﻛﻤﺎ ﺃﻥ ﻋﺼﻤﺔ ﺩﻡ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﻭﺍﺟﺒﺔ. ﻓﻤﻬﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺪﻕ ﺳﻔﻚ ﺩﻡ ﺍﻣﺮﺉ ﻣﺴﻠﻢ ﻗﺪ ﺍﺧﺘﻔﻰ ﻣﻦ ﻇﺎﻟﻢ ﻓﺎﻟﻜﺬﺏ ﻓﻴﻪ ﻭﺍﺟﺐ. ﻭﻣﻬﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﺘﻢ ﻣﻘﺼﻮﺩ ﺍﻟﺤﺮﺏ ﺃﻭ ﺇﺻﻼﺡ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﺳﺘﻤﺎﻟﺔ ﻗﻠﺐ ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﻻ ﺑﻜﺬﺏ ﻓﺎﻟﻜﺬﺏ ﻣﺒﺎﺡ، ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺤﺘﺮﺯ ﻣﻨﻪ ﻣﺎ ﺃﻣﻜﻦ، ﻷﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻓﺘﺢ ﺑﺎﺏ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻓﻴﺨﺸﻰ ﺃﻥ ﻳﺘﺪﺍﻋﻰ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﻳﺴﺘﻐﻨﻰ ﻋﻨﻪ ﻭﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻻ ﻳﻘﺘﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﺣﺪ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﺓ، ﻓﺒﻜﻮﻥ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﺣﺮﺍﻣﺎً ﻓﻲ ﺍﻷﺻﻞ ﺇﻻ ﻟﻀﺮﻭﺭﺓ. ﺇﺣﻴﺎﺀ ﻋﻠﻮﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ ج ٢ ص ٣٣٢

Semoga Bermanfa'at, Aaamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar