ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Minggu, 17 Juni 2018

ILMU NASAB: FORMASI PANGKAT DUA DALAM 1 ADALAH 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128....



Copas:
ILMU NASAB:
FORMASI PANGKAT DUA DALAM 1 ADALAH 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128....
===========================

Suatu waktu di bulan Romadlon dalam sebuah rapat untuk pertemuan famili, biasa dibicarakan nasab-nasab pini sepuh. Ada yang untuk mengingat kembali, ada yang untuk mengkonfirmasi, dan ada yang untuk yang baru ingin tahu.

Perbincangan nasab ini antara penting dan tidak penting. Atau penting bagi dan tidak penting bagi. Penting bagi yang penasaran: "who am i?" Dan tidak penting bagi yang: "I am is..."

Penting bagi yang mengalami kesepian eksistensial (hehehe) dan membutuhkan eksis li ghairihi. Tidak penting bagi yang sedang eksis bi dzatihi (nyinyir banget).
Penting bagi yang menyadari sentuhan sejarah (spirit of history). Tidak penting bagi yang tidak paham sejarah. Penting bagi yang feodal. Tidak penting bagi yang liberal. Intinya, relatif.

Kira-kira apa pentingnya memahami nasab? Apa manfaatnya kalau bukan kebanggaan semu? Toh, kalau miskin, kita tidak akan menjadi kaya gara-gara, misal, keturunan raja?

Begini, suatu ketika, ada orang meninggal. Ternyata pemakaman di sekitarnya sudah "full boked" alias penuh. Tetapi tidak lama datang seseorang dan menyatakan kalau ada tempat. Beberapa saat berselang, karena ditanya oleh seseorang yang lain, saya mendengar orang tersebut bercerita.

"Di bagian mana di makam ada tempat kosong? Sepertinya sudah sesak begitu..."

Orang itu tersenyum dan melanjutkan ceritanya dengan riang. Inti ceritanya, salah seorang penggali kubur diam-diam "menyingkirkan" dua makam yang nisannya sudah miring dan disimpulkannya tidak terawat, atau tidak ada yang merawat, atau...dengan begitu, sudah dilupakan bahkan oleh keluarganya.

Saya mendengar cerita itu dengan pikiran yang kelam: bagaimana manusia menyingkir dari ingatan waktu. Ia yang pernah "ada", sebenarnya "tidak ada" karena dianggap "tidak pernah ada".

Karena itu juga, saya kira; saya duga, menjawab pertanyaan "kira-kira apa pentingnya memahami nasab," dapat menjelaskan apakah itu "ada". Walaupun, bukan "ada" yang lengkap secara epistemologis dan aksiologis.

SEJARAH PANGKAT DUA

Setiap orang pada dasarnya adalah sejarah pangkat dua. Satu orang (anak) pasti memiliki dua orang tua (1=2). Dua orang tua, masing-masingnya memiliki dua orang tua. Berarti 2x2=4 orang. Jadi, 1 orang (cucu), memiliki 4 orang mbah (kakek 2 dan nenek 2). Hampir setiap orang mengetahui dan mengenal kakek-neneknya.

Kemudian, pastinya 4 orang mbah kita, masing-masingnya, juga punya dua orang tua. Berarti 4x2=8 orang. Siapa 8 orang ini? Kita menyebutnya buyut. Jadi 1 orang (cicit), punya 8 orang buyut.

Di level kakek dan nenek, hampir para cucu mengenali kakeknya. Namun di level buyut, tidak banyak cicit yang mengenali 8 orang buyutnya. Bahkan banyak cicit yang sama sekali tidak mengetahui buyutnya 1 orangpun dari 8 orang buyutnya!!!

Betapa nelangsanya 8 orang buyut kita bila hanya dalam 3 generasi saja, mereka sudah "dilupakan" darah dagingnya sendiri. Rasanya, yang hidup sekarang dan 3 generasi lagi akan disebut buyut, juga akan mengalami nestapa yang sama. Dari 8 orang buyut ini, 1 saja buyut yang masih diketahui cicitnya, sudah merupakan keberuntungam besar.

Apa faktor sehingga 1 orang cicit tidak banyak mengetahui 8 orang buyutnya?
Pertama, cicit tidak hidup sejaman dengan buyutnya.
Kedua, cicit tidak mendengar cerita apapun tentang 8 orang buyutnya, baik dari orangtua ataupun dari kakek-nenek.
Ketiga, (berhubungan dengan yang kedua) buyut tidak meninggalkan riwayat yang dapat dibanggakan untuk diceritakan kepada siapapun terutama kepada cucu-cicitnya.
Keempat, konsep keluarga inti yang terluas tetapi solid, paling banyak pada lingkup si mbah-anak-cucu karena relatif sejaman. Generasi cicit? Sudah memecah dalam turunan keluarga inti terluas berikutnya dengan sel yang mulai menjauh.

Para buyut yang jumlahnya 8 orang, masing-masing juga punya dua orang tua. Berarti 8x2=16 orang. Siapa 16 orang ini? Kita menyebutnya mbah buyut. Jadi 1 orang (canggah), punya 16 orang mbah buyut. Ini generasi ke-4: anak, cucu, cicit, canggah.

Bila generasi cicit-buyut saja, sejarah pini sepuh mulai meremang, apalagi canggah-mbah buyut. Mereka 16 orang mbah buyut ini, hehehe sudah seperti mitos bagi canggahnya.

Sekarang bagaimana dengan pangkat dua selanjutnya? 16 orang mbah buyut tersebut, masing-masing punya dua orang tua. Jadi 16x2= 32 orang. Siapa 32 orang ini? Kita akan menyebutnya apa, saya juga tidak tahu kecuali orang tuanya mbah buyut. Tanda dari krisis nomenklatur garis naik ke atas ini merupakan tanda dari krisis identifikasi sejarah "ada". Jadi 1 orang (wareng), punya 32 orang tua mbah buyut. Ini generasi ke-5: anak, cucu, cicit, canggah dan wareng.

Jangan tanya nasib 32 orang ini bagamana dikenali oleh warengnya. Kecuali buyut wareng ini adalah raja, sunan, patih, atau sejenisnya sekelas orang-orang yang benar-benar besar.

Oke. Tidak perlu dilanjutkan pangkat dua-pangkat dua selanjutnya karena masalahnya sudah paten. Jika dilanjutkan, pangkat dua ini akan memunculkan jumlah ratusan!!! Mengenal 1-2 buyut saja sulit apalagi lebih dari itu.

Dalam kultur Jawa, garis turun setelah "wareng" hingga generasi ke-18. Yaitu: keturunan ke-6: udhek-udhek;keturunan ke-7: gantung siwur; keturunan ke-8: cicip moning; keturunan ke-9: petarangan bobrok; keturunan ke-10: gropak senthe; keturunan ke-11 gropak waton; keturunan ke-12: cendheng; keturunan ke-13: giyeng; keturunan ke-14: cumpleng; keturunan ke-15: ampleng; keturunan ke-16: menyaman;keturunan ke-17: menya-menya; keturunan ke-18: trah tumerah.

Di sinilah urgensi nasab dan garis-garis persambungannya menjadi penting. Mengetahui garis nasab bukan semata-mata tentang orang-orang besar di dalamnya, tetapi tentang manusia yang pernah hidup yang menjadi muasal genetik kita.

SELAMAT BER SILATURROHIM.....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar