ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Senin, 26 Maret 2012

Kisah Sufi : Emas Keberuntungan

Kisah Sufi : Emas Keberuntungan

=================
Konon hiduplah seorang saudagar bernama Abdul Malik. Ia dikenal sebagai orang baik dari Khurasan karena menggunakan kekayaannya yang berlimpah untuk berderma dan mengundang orang-orang miskin untuk makan.

Tetapi pada suatu hari, ia begitu saja memberikan sebagian besar hartanya, dan merasakan kelegaan yang jauh lebih nikmat dibandingkan ketika ia memberi hanya sebagian kecil dari segala kepunyaannya. Kelegaan itu membuatnya memutuskan untuk mendedikasikan tiap sen miliknya demi kesejahteraan umat manusia. Dan ia melakukan keputusannya itu.


Tak lama setelah membebaskan hatinya dari segala kekayaan duniawi—dan berserah diri pada takdir kehidupannya—dan ketika sedang shalat, Abdul Malik melihat sosok gaib muncul dari lantai kamarnya. Sosok itu ternyata seorang lelaki; jubah perca di tubuhnya jelas jubah seorang darwis.

"Wahai Abdul Malik, manusia murah hati dari Khurasan!" sapa sosok itu. "Aku adalah dirimu sendiri, yang sekarang ini hampir nyata bagimu karena engkau telah berbuat kebajikan yang sungguh mulia. Oleh karena itu, semua laku baikmu di masa lalu jadi tampak kerdil. Dan karena engkau mampu melepaskan dirimu dari kekayaan tanpa merasa dirimu hebat, aku menganugerahkanmu sumber anugerah yang sejati."

"Setiap hari dengan cara ini aku akan muncul di depanmu. Saat itu pukullah aku, dan aku akan berubah menjadi emas. Ambillah emas itu sebanyak yang engkau mau. Tak usah khawatir engkau menyakitiku, sebab yang kau ambil akan diganti dari sumber segala anugerah." Setelah berkata demikian, sosok itu pun lenyap.

Keesokan harinya, Abdul Malik sedang duduk-duduk bersama seorang teman, Bay-Akal, ketika hantu darwis itu mulai menunjukkan diri. Hantu itu pun jatuh ke tanah ketika dipukul oleh Abdul Malik dengan tongkat, dan berubah jadi emas. Abdul Malik mengambil bagiannya dan memberikan emas itu juga untuk tamunya.

Kini Bay-Akal, tanpa mengerti kejadian sebelumnya, mulai berpikir alangkah baiknya bila ia dapat melakukan keajaiban serupa. Ia mengetahui bahwa kaum darwis punya kekuatan tertentu dan menyimpulkan bahwa ia pun hanya perlu memukul mereka untuk mendapatkan emas.

Jadi, diadakanlah sebuah pesta lalu diundangnya semua darwis untuk hadir dan bersantap. Ketika mereka sudah makan kenyang, Bay-Akal pun mengeluarkan sebilah besi dan dengan tanpa ampun dihantamnya setiap darwis di dekatnya hingga mereka tersungkur di tanah.

Orang-orang suci yang luput segera menangkap Bay-Akal dan membawanya kepada hakim. Mereka mengadukannya bersama para darwis yang luka sebagai bukti. Bay-Akal pun bercerita tentang kejadian di rumah Abdul Malik dan ia hanya mencoba menirukan mukjizat tersebut.

Maka dipanggillah Abdul Malik. Dan dalam perjalanan ke pengadilan, sosok emas itu membisikkan kepadanya apa yang harus ia katakan.

"Inilah pernyataan saya," kata Abdul Malik. "Menurut saya, orang ini sudah tidak waras, atau sedang berusaha menutup-nutupi hobinya menyiksa orang tanpa alasan. Memang saya mengenalnya, tetapi yang ia ceritakan tentang kejadian di rumah saya tidak lebih dari akal-akalannya belaka."

Bay-Akal pun dimasukkan ke rumah sakit jiwa sampai ia menjadi lebih tenang. Para darwis yang luka sudah sehat kembali melalui ilmu pengobatan yang mereka miliki. Dan tak ada yang percaya bahwa peristiwa menakjubkan seperti seorang manusia berubah menjadi patung emas—setiap hari demikian—bisa terjadi.

Selama berpuluh-puluh tahun kemudian, hingga ia dikumpulkan bersama para para leluhurnya, Abdul Malik terus memecahkan patung emas yang adalah dirinya. Dan membagi-bagikan harta itu—yang adalah dirinya—kepada siapa saja yang tak dapat ia tolong dengan cara lain kecuali dengan materi.

Ada pendapat bahwa para pendeta menyampaikan ajaran moral dengan memakai perumpamaan, tetapi kaum darwis mampu menyamarkan pengajaran mereka secara lebih sempurna. Sebab, hanya melalui usaha untuk mengerti dan kecerdikan seorang gurulah yang sungguh-sungguh mampu memengaruhi pendengar.

Kisah ini lebih condong pada bentuk perumpamaan daripada kebanyakan kisah sejenis. Namun, sang darwis yang menceritakannya di sebuah pasar di Peshawar pada awal tahun 1950-an menasihati, "Pusatkan perhatian pada bagian awal cerita, bukan pada pesan moralnya. Itu menunjukkan padamu tentang metode."

Sumber: Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar