ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Selasa, 29 Mei 2012

KILAS BALIK 10 (SEPULUH) KALI PERJALANAN PEMILU DI INDONESIAKU

Sejarah Pemilu Beserta PEMILU INDONESIA DALAM SEJARAH DARI MASA KE MASA (1955-2009) KILAS BALIK 10 (SEPULUH) KALI PERJALANAN PEMILU DI INDONESIAKU DINUKIL DAN DISITIR OLEH : DRS. ABDUL HAMID MUDJIB HAMID AL-ISHAQY VISI DAN MISI KPU : VISI : Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. MISI : 1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan pemilihan umum; 2. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab; 3. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang bersih, efisien dan efektif. 4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis. Sejak Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 hingga tahun 2009, Indonesia telah melewati 10 (sepuluh) kali Pemilu. Berikut adalah pemilu - pemilu yang pernah dilaksanakan di Indonesia : • Pemilu 1955 ; • Pemilu 1971 ; • Pemilu 1977 s/d 1997 ; • Pemilu 1999; • Pemilu 2004; dan • Pemilu 2009. PEMILIHAN UMUM (Pemilu) merupakan salah satu mekanisme demokratis untuk melakukan pergantian pemimpin. Sudah 10 (Sepuluh) kali bangsa Indonesia menyelenggarakan pesta rakyat itu. Pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga Pilpres-pun dimasukkan ke dalam rezim Pemilu. Pilpres sebagai bagian dari Pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu tahun 2004. Sementara pada tahun 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim Pemilu. Bahwa anggapan sementara di tengah masyarakat, istilah Pemilu lebih sering merujuk kepada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilu Tahun 1955. Ini merupakan Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia masih berusia 10 tahun. Kalau dikatakan Pemilu merupakan syarat minimal bagi adanya demokrasi, apakah berarti selama 10 tahun itu, Indonesia benar-benar tidak demokratis? Tidak mudah juga untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/ TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan, digilir datang ke tempat pemilihan. Al-Hamdu Lillah Pemilu pada akhirnya-pun berlangsung aman dan kondusif. Pemilu ini bertujuan untuk memilih Anggota-Anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260 (Dua Ratus Enam Puluh) kursi, sedangkan jumlah kursi Konstituante berjumlah 520 (Lima ratus Dua Puluh), hal mana jumlah kursi Konstituante ini dua kali lipat jumlah kursi DPR, ditambah 14 (Empat Belas) wakil golongan minoritas yang diangkat oleh pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada sa’at pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu tahun 1955 ini, bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari 100 (seratus) daftar kumpulan dan calon perorangan. Ada suatu hal yang menarik dari Pemilu tahun 1955 ini, yaitu tingginya kesadaran berkompetisi / musabaqoh secara sehat. Misalnya, meskipun yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, namun mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya. Karena itu sosok pejabat negara pada Pemilu ini, tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan Pemilu dengan segala cara. Tujuan Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu : memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, sehingga akhirnya hasilnya-pun perlu dipaparkan semuanya kepada rakyat secara transparan. Yang jelas, sebetulnya sekitar 3 (tiga) bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal: 17 Agustus tahun 1945, pemerintah pada waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awwal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal: 3 Nopember tahun 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari tahun 1946. Kalau kemudian ternyata Pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir 10 (sepuluh) tahun setelah kemudian, tentu bukan tanpa sebuah sebab. Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, bahwa Pemilu tahun 1955 dilakukan 2 (dua) kali. Yang pertama, pada tanggal: 29 September tahun 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR. Yang kedua, tanggal: 15 Desember tahun 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa Pemilu yang akan diadakan bulan Januari tahun 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante (untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante). Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut, bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari faktor dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam negeri, antara lain: faktor ketidak-siapan pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu tersebut maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara sa’at itu. Dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam negeri itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Sedangkan faktor penyebab dari luar negeri, antara lain: serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Perlu diketahui bahwa tidak terlaksananya Pemilu pertama pada bulan Januari tahun 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat tanggal:3 Nopember tahun 1945, paling tidak disebabkan oleh 2 (dua) hal berikut: 1. Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat UU Pemilu; 2. Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada sa’at yang sama gangguan dari luar juga yang masih mengancam. Dengan kata lain bahwa para pemimpin lebih disibukkan oleh urusan konsolidasi. Namun hal ini, bukanlah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan Pemilu. Ada indikasi kuat yang mengisyaratkan bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan Pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12 tahun 1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini, didasarkan pada alasan bahwa mayoritas Warga Negara Indonesia / WNI pada waktu itu masih buta huruf, sehingga hal ini menjadi sebuah alasan bahwa apabila pemilihannya secara langsung, dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi. Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan Pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itulah, pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak tahun 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 (Enam) bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan Pemilu, karena pasal 57 UUDS tahun 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum. Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan Undang-Undang Pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu, sehingga UU inilah yang kemudian menjadi payung hukum Pemilu tahun 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi. Hasil Pemilu Tahun1955 untuk Anggota DPR. No. Partai/Nama Daftar Suara % Kursi 1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57 2. Masyumi 7.903.886 20,92 57 3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45 4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39 5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 2,89 8 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8 7. Partai Katolik 770.740 2,04 6 8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5 9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 541.306 1,43 4 10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 483.014 1,28 4 11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2 12. Partai Buruh 224.167 0,59 2 13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2 14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2 15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2 16. Murba 199.588 0,53 2 17. Baperki 178.887 0,47 1 18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 178.481 0,47 1 19. Grinda 154.792 0,41 1 20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 149.287 0,40 1 21. Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1 22. PIR Hazairin 114.644 0,30 1 23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.131 0,22 1 24. AKUI 81.454 0,21 1 25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1 26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 72.523 0,19 1 27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1 28. R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1 29. Lain-lain 1.022.433 2,71 - Jumlah 37.785.299 100,00 257 Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut: Hasil Pemilu Tahun 1955 untuk Anggota Konstituante. No. Partai/Nama Daftar Suara % Kursi 1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.218 23,97 119 2. Masyumi 7.789.619 20,59 112 3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,47 91 4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.512 16,47 80 5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.059.922 2,80 16 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16 7. Partai Katolik 748.591 1,99 10 8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10 9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 544.803 1,44 8 10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 465.359 1,23 7 11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3 12. Partai Buruh 332.047 0,88 5 13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 152.892 0,40 2 14. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2 15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3 16. Murba 248.633 0,66 4 17. Baperki 160.456 0,42 2 18. Persatuan Indoenesia Raya (PIR) Wongsonegoro 162.420 0,43 2 19. Grinda 157.976 0,42 2 20. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 164.386 0,43 2 21. Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3 22. PIR Hazairin 101.509 0,27 2 23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1 24. AKUI 84.862 0,22 1 25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1 26. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 143.907 0,38 2 27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1 28. R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1 29. Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1 30. Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1 31. Radja Keprabonan 33.660 0,09 1 32. Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI) 39.874 0,11 33. PIR NTB 33.823 0,09 1 34. L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1 lain-lain 426.856 1,13 Jumlah 37.837.105 514 Periode Demokrasi Terpimpin. Sangat disayangkan, bahwa kisah sukses Pemilu tahun 1955, akhirnya tidak bisa dilanjutkan dan hanya menjadi catatan emas sejarah, karena Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan Pemilu kedua 5 (lima) tahun berikutnya, meskipun pada tahun 1958 Pejabat Presiden Soekarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Namun yang terjadi kemudian adalah berubahnya format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden tanggal: 5 Juli tahun 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD tahun 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno untuk menguburkan partai-partai. Akhirnya Dekrit itu pada gilirannya kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang -meminjam istilah Prof. Ismail Sunny-- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree. Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada tanggal: 4 Juni tahun 1960, Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu tahun 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit tanggal: 5 Juli tahun 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat Presiden. Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti “tanpa pemilihan”, memang tidak bertentangan dengan UUD tahun 1945. Karena UUD tahun 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi logis pengangkatan itu adalah terkooptasinya kedua lembaga itu di bawah Presiden. Padahal menurut UUD tahun 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR: neben atau sejajar dengan Presiden. Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa pada bulan Maret tahun 1967 (Ketetapan XXXIV / MPRS / 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pasca kudeta G. 30 S / PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan Pemilu. Bahkan pada tahun 1963, MPRS yang anggotanya diangkat Presiden, menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai Presiden Seumur Hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala. Pemilu Tahun 1971. Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan Pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Bahkan Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR tahun 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden, Pak Harto(Soeharto) tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja Soeharto melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya, Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan pada tanggal : 5 Juli tahun 1971, yang berarti setelah 4 (Empat) tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Dimana pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno. UU yang diadakan adalah UU tentang Pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang Pemilu Tahun 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir 3 (tiga) tahun. Perlu diketahui bahwa hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu tahun 1955 adalah bahwa para pejabat negara pada Pemilu tahun 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah-pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil (PNS) harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu alias Golkar. Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu tahun 1971 berbeda dengan Pemilu tahun 1955. Dalam Pemilu tahun 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (Dapil). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian, lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma. Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu tahun 1971 dilakukan dalam 3 (tiga) tahap. Ini-pun dalam hal bila ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, maka pembagian kursi hanya dilakukan dalam 2 (dua) tahap saja. Tahap pembagian kursi pada Pemilu tahun 1971 adalah sebagai berikut: Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan (Dapil). Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu, dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya: apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar. Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu tahun 1971 ini, menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini: No. Partai Suara % Kursi 1. Golkar 34.348.673 62,82 236 2. NU 10.213.650 18,68 58 3. Parmusi 2.930.746 5,36 24 4. PNI 3.793.266 6,93 20 5. PSII 1.308.237 2,39 10 6. Parkindo 733.359 1,34 7 7. Katolik 603.740 1,10 3 8. Perti 381.309 0,69 2 9. IPKI 338.403 0,61 - 10. Murba 48.126 0,08 - Jumlah 54.669.509 100,00 360 Sekedar untuk perbandingan, seandainya pembagian kursi peroleh-an suara partai-partai pada Pemilu tahun 1971 dilakukan dengan sistem kombinasi sebagaimana digunakan dalam Pemilu tahun 1955, dengan mengabaikan stembus accoord 4 (Empat) partai Islam yang mengikuti Pemilu tahun 1971, hasilnya akan terlihat seperti pada tabel di bawah ini: Pembagian Kursi Hasil Pemilu Tahun 1971 Seandainya Menggunakan Sistem Kombinasi (hipotetis) No. Partai Jumlah Suara Secara Nasional Jumlah Kursi Pada Pembagian Pertama Sisa Suara Setelah Pembagian Pertama Perolehan pada Pembagian Kursi Sisa Pertama Jumlah Sisa Suara Setelah Pembagian Kursi Sisa Kursi Atas Suara Terbesar Jumlah Kursi 1 Golkar 34.339.708 214 1.342.084 11 81.770 (III) 1 226 2 NU 10.201.659 48 1..323.245 11 62.931 - 59 3 PNI 3.793.266 16 908.061 7 106.043 (II) 1 24 4 Parmusi 2.930.919 10 1.389.435 12 14.547 22 5 PSII 1.257.056 1 1.039.280 9 8.000 - 10 6 Parkindo 697.618 1 628.752 5 53.882 - 6 7 Katolik 603.740 2 412.428 3 68.706 (IV) 1 6 8 Perti 380.403 2 180.240 1 65.666 (V) 1 4 9 IPKI 338.376 - 338.376 2 109.228 (I) 1 3 10 Murba 47.800 - 47.800 - 47.800 - - 54.669.509 294 7.561.901 61 5 360 Catatan: 1. Hasil pembagian pertama yang diperoleh partai-partai sebagaimana terlihat dalam lajur 4 (empat) sesuai dengan hasil bagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan (Dapil) masing-masing. Sedangkan hasil pembagian kursi sisa pada lajur 6 (enam) merupakan hasil bagi sisa suara masing-masing partai dengan kiestquotient nasional 114.574 (7.561.901:66). Hasil pada lajur 8 (delapan) berdasarkan sisa suara terbesar atau terbanyak karena masih tersisa 7 (Tujuh) kursi lagi. Dengan cara pembagian kursi seperti Pemilu tahun 1955 itu, hanya Murba yang tidak mendapat kursi, sebab pada pembagian kursi atas dasar sisa terbesar-pun perolehan suara partai tersebut, tidak mencukupi. Karena peringkat terbawah sisa suara terbesar adalah 65.666. PNI memperoleh kursi lebih banyak dari Parmusi, karena suaranya secara nasional di atas Parmusi. Pemilu Tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan Tahun 1997. Setelah tahun 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 (Enam) tahun lebih setelah Pemilu tahun 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 (Lima) tahun. Dari segi jadwal, sejak itulah Pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu tahun 1977, pesertanya jauh lebih sedikit, 2 (Dua) parpol dan satu Golkar. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 (Lima) kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya 3 (Tiga) tadi. Hasilnya-pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu tahun 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 (Lima) kali Pemilu tersebut secara berturut-turut. Hasil Pemilu Tahun 1977 Pemungutan suara Pemilu tahun 1977 dilakukan pada tanggal: 2 Mei tahun 1977. Cara pembagian kursi, masih dilakukan seperti dalam Pemilu tahun 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan (Dapil). Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah, mencapai 63.998.344 suara atau 90,93% (persen). Dari suara yang sah itu, Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11% (persen). Namun perolehan kursinya, menurun menjadi 232 (Dua Ratus Tiga Puluh Dua) kursi atau kehilangan 4 (Empat) kursi, dibandingkan Pemilu tahun 1971. Pada Pemilu tahun 1977, suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional, PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 (Sembilan Puluh Sembilan) kursi atau naik 2,17% (persen), atau bertambah 5 (lima) kursi, dibanding gabungan kursi 4 (Empat) partai Islam dalam Pemilu tahun 1971. Kenaikan suara PPP, terjadi di banyak basis-basis eks Masyumi. Hal ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masyumi, mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masyumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional, tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 (Tujuh Belas) kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 (Dua Belas) kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional, tambahan kursi hanya 5 (Lima) kursi. PDI juga merosot perolehan kursinya, dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 (Dua Sembilan) kursi atau berkurang 1 (Satu) kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut, bisa dilihat pada tabel di bawah ini: No. Partai Suara % Kursi % (1971) Keterangan 1. Golkar 39.750.096 62,11 232 62,80 - 0,69 2. PPP 18.743.491 29,29 99 27,12 + 2,17 3. PDI 5.504.757 8,60 29 10,08 - 1,48 Jumlah 63.998.344 100,00 360 100,00 Hasil Pemilu Tahun 1982 Pemungutan suara Pemilu tahun 1982 dilangsungkan secara serentak pada tanggal: 4 Mei tahun 1982. Pada Pemilu ini, perolehan suara dan kursi secara nasional, Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional, Golkar berhasil merebut tambahan 10 (Sepuluh) kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 (Lima) kursi bagi PPP dan PDI. Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 (Dua Ratus Empat Puluh Dua) kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu tahun 1971. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut, bisa dilihat pada tabel di bawah ini: No. Partai Suara DPR % Kursi % (1977) Keterangan 1. Golkar 48.334.724 64,34 242 62,11 + 2,23 2. PPP 20.871.880 27,78 94 29,29 - 1,51 3. PDI 5.919.702 7,88 24 8,60 - 0,72 Jumlah 75.126.306 100,00 364 100,00 Hasil Pemilu Tahun 1987. Pemungutan suara Pemilu tahun 1987 diselenggarakan pada tanggal: 23 April tahun 1987 secara serentak di seluruh tanah air. Dari 93.737.633 pemilih, suara yang sah, mencapai 85.869.816 atau 91,32% (persen). Cara pembagian kursi, juga tidak berubah, yaitu tetap mengacu pada Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu kali ini, ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 (Tiga Puluh Tiga) kursi dibandingkan Pemilu tahun 1982, sehingga hanya mendapat 61 (Enam Puluh Satu) kursi. Penyebab merosotnya PPP, antara lain: karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh- tokoh unsur NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu, Golkar memperoleh tambahan 53 (Lima Puluh Tiga) kursi, sehingga menjadi 299 (Dua Ratus sembilan Puluh Sembilan) kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 (Tiga Puluh) kursi pada Pemilu tahun 1982 menjadi 40 (Empat Puluh) kursi pada Pemilu tahun 1987 ini. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut, bisa dilihat pada tabel di bawah ini: No. Partai Suara % Kursi % (1982) Keterangan 1. Golkar 62.783.680 73,16 299 68,34 + 8,82 2. PPP 13.701.428 15,97 61 27,78 - 11,81 3. PDI 9.384.708 10,87 40 7,88 + 2,99 Jumlah 85.869.816 100,00 400 Hasil Pemilu Tahun 1992. Cara pembagian kursi untuk Pemilu tahun 1992, juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan pada tanggal 9 Juni tahun 1992 ini, pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Hal ini disebabkan perolehan suara Golkar kali ini, merosot dibandingkan Pemilu tahun 1987. Apabila pada Pemilu tahun 1987, perolehan suaranya mencapai 73,16% (persen), pada Pemilu Tahun 1992, turun menjadi 68,10% (persen), atau merosot 5,06% (persen). Penurunan yang tampak nyata, bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 (Dua Ratus Sembilan Puluh Sembilan) menjadi 282 (Dua Ratus Delapan Puluh Dua), atau kehilangan 17 (Tujuh Belas) kursi dibanding pemilu sebelumnya. PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 (Satu) kursi dari 61 (Enam Puluh Satu) pada Pemilu tahun 1987 menjadi 62 (Enam Puluh Dua) kursi pada Pemilu tahun 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka’bah itu merosot. Pada Pemilu tahun 1992, partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meskipun ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bahkan partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 (Sembilan) provinsi, termasuk 3 (Tiga) provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 (Tujuh) kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 (Enam) kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 (Satu) kursi secara nasional. Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu tahun 1992 ini, PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya : 16 (Enam Belas) kursi dibandingkan Pemilu tahun 1987, sehingga menjadi 56 (Lima Puluh Enam) kursi. Ini artinya dalam 2 (dua) pemilu, yaitu Tahun 1987 dan Tahun 1992, PDI berhasil menambah 32 (Tiga Puluh Dua) kursinya di DPR RI. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut, bisa dilihat pada tabel di bawah ini: No. Partai Suara % Kursi % (1987) Keterangan 1. Golkar 66.599.331 68,10 282 73,16 - 5,06 2. PPP 16.624.647 17,01 62 15,97 + 1,04 3. PDI 14.565.556 14,89 56 10,87 + 4.02 Jumlah 97.789.534 100,00 400 100,00 Hasil Pemilu Tahun 1997. Sampai Pemilu tahun 1997 ini, cara pembagian kursi yang digunakan, tidak berubah, dan masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, dan tahun 1992. Pemungutan suaranya diselenggarakan pada tanggal 29 Mei tahun 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu tahun 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya, mencapai 74,51% (persen), atau naik 6,41% (persen). Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 (Tiga Ratus Dua Puluh Lima) kursi, atau bertambah 43 (Emapat Puluh Tiga) kursi dari hasil pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43% (persen). Begitu pula untuk perolehan kursinya. Pada Pemilu tahun 1997 ini, PPP meraih 89 (Delapan Puluh Sembilan) kursi atau meningkat 27 (Dua Puluh Tujuh) kursi dibandingkan Pemilu tahun 1992. Dukungan terhadap partai itu, berada di Jawa sangatlah besar. Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang Pemilu, perolehan suaranya, merosot 11,84% (persen), dan hanya mendapat 11 (Sebelas) kursi, yang berarti kehilangan 45 (Emapat Puluh Lima) kursi di DPR dibandingkan Pemilu tahun 1992. Selengkapnya perolehan kursi dan suara tersebut, bisa dilihat pada tabel di bawah ini: No. Partai Suara % Kursi % (1992) Keterangan 1. Golkar 84.187.907 74,51 325 68,10 + 6,41 2. PPP 25.340.028 22,43 89 17,00 + 5,43 3. PDI 3.463.225 3,06 11 14,90 - 11,84 Jumlah 112.991.150 100,00 425 100,00 Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, tetapi pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian. PEMILU TAHUN 1999 . Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal : 21 Mei tahun 1998, jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie). Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat, segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu tahun 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada tanggal : 7 Juni tahun 1999, atau 13 (Tiga Belas) bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu, untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu tahun 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan Pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang Presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draf UU ini disiapkan sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7 (Tujuh), yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang sangat menonjol dalam membedakan Pemilu tahun 1999 dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya sejak Pemilu tahun 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti banyak sekali pesertanya. Hal ini dimungkinkan, karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 (Empat Puluh Delapan) partai. Ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni berjumlah: 141 (Seratus Empat Puluh Satu) partai. Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan Pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan Pemilu hanya sebulan setelah menjadi perdana menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelumnya. Habibie menyelenggarakan Pemilu setelah 13 (Tiga Belas) bulan sejak dia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia, bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial, dan penegakan hukum serta tekanan internasional. Hasil Pemilu Tahun 1999. Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni pada tanggal: 7 Juni Tahun 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan oleh banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu tahun 1999 ini, bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa daerah tingkat II di Sumatra Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara. Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursinya, pada pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 (Dua Puluh Tujuh) partai politik menolak menanda-tangani berita acara perhitungan suara dengan dalih bahwa Pemilu belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut, ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Adapun 27 (Dua Puluh Tujuh) partai tersebut adalah sebagai berikut: Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu Tahun 1999 sebagai berikut : Nomor Nama Partai 1 Partai Keadilan 2 PNU 3 PBI 4 PDI 5 Masyumi 6 PNI Supeni 7 Krisna 8 Partai KAMI 9 PKD 10 PAY 11 Partai MKGR 12 PIB 13 Partai SUNI 14 PNBI 15 PUDI 16 PBN 17 PKM 18 PND 19 PADI 20 PRD 21 PPI 22 PID 23 Murba 24 SPSI 25 PUMI 26 PSP 27 PARI Nama Partai yang Tidak Menandat`ngani Hasil Pemilu Tahun 1999 sebagai berikut : 1. Partai Keadilan 2. PNU 3. PBI 4. PDI 5. Masyumi 6. PNI Supeni 7. Krisna 8. Partai KAMI 9. PKD 10. PAY 11. Partai MKGR 12. PIB 13. Partai SUNI 14. PNBI 15. PUDI 16. PBN 17. PKM 18. PND 19 PADI 20. PRD 21. PPI 22. PID 23. Murba 24. SPSI 25. PUMI 26 PSP 27. PARI Partai yang Tidak Menandatangani Hasil Pemilu Tahun 1999 sebagai berikut : Nomor Nama Partai 1. Partai Keadilan 2. PNU 3. PBI 4. PDI 5. Masyumi 6. PNI Supeni 7. Krisna 8. Partai KAMI 9. PKD 10. PAY 11. Partai MKGR 12. PIB 13. Partai SUNI 14. PNBI 15. PUDI 16. PBN 17. PKM 18. PND 19 PADI 20. PRD 21. PPI 22. PID 23. Murba 24. SPSI 25. PUMI 26 PSP 27. PARI Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU, kemudian diserahkan Pimpinan KPU kepada Presiden. Sedang oleh Presiden, mengenai hasil rapat dari KPU tersebut, kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, bahwa Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa Pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Proses berikutnya, Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil Pemilu sah. Hasil final Pemilu, baru diketahui masyararakat pada tanggal: 26 Juli Tahun 1999. Setelah disahkan oleh Presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini, juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 (Empat Puluh) kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 (Delapan) partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 (Lima Puluh Tiga) kursi dari 120 (Seratus Dua Puluh) kursi sisa. Perbedaan pendapat di PPI tersebut, akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu, akhirnya diselesaikan melalui voting dengan 2 (dua) opsi sebagai berikut. Opsi pertama, bahwa pembagian kursi sisa, dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua, bahwa pembagian tanpa stembus accoord. Bahwa dari problem solving melalui voting dengan 2 (Dua) opsi tersebut, akhirnya hanya berjumlah: 12 (Dua Belas) suara saja yang mendukung opsi pertama tersebut, sedangkan yang mendukung opsi kedua, mencapai: 43 (Empat Puluh Tiga) suara. Lebih dari 8 (Delapan) partai, walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi, dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil Pemilu pada tanggal: 1 September tahun 1999. Hasil pembagian kursi itu, menunjukkan hasil : 5 (lima) partai besar memborong : 417 (Empat Ratus Tujuh Belas) kursi DPR atau 90,26% (persen) dari 462 (Empat Ratus Enam Puluh Dua) kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74% (persen) dengan perolehan kursi : 153 (seratus Lima Puluh Tiga) kursi. Sementara Golkar memperoleh: 23.741.758 suara atau 22,44% (persen), sehingga mendapatkan 120 (Seratus Dua Puluh) kursi atau kehilangan 205 (Dua Ratus Lima) kursi dibanding Pemilu tahun 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61% (persen), mendapatkan kursi; 51 (Lima Puluh Satu) kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71% (persen), mendapatkan kursi: 58 (Lima Puluh Delapan) kursi atau kehilangan 31 (Tiga Puluh Satu) kursi dibanding Pemilu tahun 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12% (persen), mendapatkan kursi: 34 (Tiga Puluh Empat) kursi. Di luar 5 (lima) besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam, dan hanya meraih : 2 (dua) kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan : 9 (sembilan) kursi dibanding Pemilu tahun 1997. Selengkapnya hasil perhitungan pembagian kursi Pemilu Tahun 1999 itu seperti terlihat dalam tabel di bawah. No. Nama Partai Suara DPR Kursi Tanpa SA Kursi Dengan SA 1. PDIP 35.689.073 153 154 2. Golkar 23.741.749 120 120 3. PPP 11.329.905 58 59 4. PKB 13.336.982 51 51 5. PAN 7.528.956 34 35 6. PBB 2.049.708 13 13 7. Partai Keadilan 1.436.565 7 6 8. PKP 1.065.686 4 6 9. PNU 679.179 5 3 10. PDKB 550.846 5 3 11. PBI 364.291 1 3 12. PDI 345.720 2 2 13. PP 655.052 1 1 14. PDR 427.854 1 1 15. PSII 375.920 1 1 16. PNI Front Marhaenis 365.176 1 1 17. PNI Massa Marhaen 345.629 1 1 18. IPKI 328.654 1 1 19. PKU 300.064 1 1 20. Masyumi 456.718 1 - 21. PKD 216.675 1 - 22. PNI Supeni 377.137 - - 23 Krisna 369.719 - - 24. Partai KAMI 289.489 - - 25. PUI 269.309 - - 26. PAY 213.979 - - 27. Partai Republik 328.564 - - 28. Partai MKGR 204.204 - - 29. PIB 192.712 - - 30. Partai SUNI 180.167 - - 31. PCD 168.087 - - 32. PSII 1905 152.820 - - 33. Masyumi Baru 152.589 - - 34. PNBI 149.136 - - 35. PUDI 140.980 - - 36. PBN 140.980 - - 37. PKM 104.385 - - 38. PND 96.984 - - 39. PADI 85.838 - - 40. PRD 78.730 - - 41. PPI 63.934 - - 42. PID 62.901 - - 43. Murba 62.006 - - 44. SPSI 61.105 - - 45. PUMI 49.839 - - 46 PSP 49.807 - - 47. PARI 54.790 - - 48. PILAR 40.517 - - Jumlah 105.786.661 462 462 Catatan: 1. Jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi mencapai 9.700.658. atau 9,17% (persen) dari suara yang sah. 2. Apabila pembagian kursi dilakukan dengan sistem kombinasi jumlah partai yang mendapatkan kursi mencapai : 37 (Tiga Puluh Tujuh) partai dengan jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi hanya 706.447 atau 0,67% (persen) dari suara sah. Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini, tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan (Dapil), termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder. Tetapi cara penetapan calon terpilih, berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan (Dapil). Apabila sejak Pemilu tahun 1977 calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai, otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi, maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon, sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya, partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih, berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu tahun 1971. Bagaimanapun penyelenggaraan Pemilu-Pemilu tersebut merupakan pengalaman yang berharga. Sekarang, apakah pengalaman itu akan bermanfaat atau tidak??? Maka semuanya itu, sangat tergantung pada penggunaannya untuk masa-masa yang akan datang. Adapun Pemilu yang paling dekat adalah Pemilu tahun 2004. Bahwa pengalaman diatas tadi, akan bisa dikatakan berharga apabila Pemilu tahun 2004 memang lebih baik daripada Pemilu tahun 1999. Sebab telah diketahui bersama bahwa Pemilu tahun 1999 untuk banyak hal, telah mendapat pujian dari berbagai pihak. Dengan pengalaman tersebut, sudah seharusnya dan selayaknya-lah Pemilu tahun 2004 mesti harus lebih baik dan lebih baik lagi. PEMILU Tahun 2004 DAN PEMILU Tahun 2009. Pemilu Legislatif Tahun 2004. Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu tahun 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24 (Dua Puluh Empat) partai politik, dan t dilaksanakan pada tanggal: 5 April tahun 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai perryaratan pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, dan DPRD, serta memilih DPD sbg calon dari perseorangan. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan 3% (tiga persen) dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu Presiden putaran pertama. Pemilu Presiden 2004. Pemilihan Umum Tahun 2004 adalah dapat dikatakan bahwa Pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu-Pemilu sebelumnya. Pada pemilu tahun 2004 ini, rakyat dapat memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden (sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu tahun 1999) -- pada Pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden), bukan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden secara terpisah. Pentahapan Pemilu Tahun 2004. Pemilu ini dibagi menjadi maksimal 3 (tiga) tahap (minimal dua tahap): Tahap pertama (atau “Pemilu Legislatif") adalah pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan Pemilu Presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini dilaksanakan pada tanggal: 5 April tahun 2004. Tahap kedua (atau “Pemilu Presiden putaran pertama”) adalah untuk memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Tahap kedua ini dilaksanakan pada tanggal: 5 Juli tahun 2004. Tahap ketiga (atau “Pemilu Presiden putaran kedua”) adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara paling tidak 50% (Lima Puluh persen). Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu Presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu Presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% (Lima Puluh persen), pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Tahap ketiga ini dilaksanakan pada tanggal: 20 September tahun 2004. Tabel Hasil Pemilu Tahun 2004 No. Nama Partai Suara DPR % Kursi DPR % 1 Partai Golkar 24.480.757 21,58 128 23,27 2 PDIP 21.026.629 18,53 109 19,82 3 PKB 11.989.564 10,57 52 9,45 4 PPP 9.248.764 9,15 58 10,35 5 Partai Demokrat 8.455.225 7,45 57 10,36 6 PKS 8.325.020 7,34 45 8,18 7 PAN 7.303.324 6,44 52 9,45 8 PBB 2.907.487 2,62 11 2,00 9 PBR 2.764.998 2,13 13 2,36 10 PDS 2.414.254 2,13 12 2,18 11 PKPB 2.399.290 2,11 2 0,36 12 PKPI 1.424.240 1,26 1 0,18 13 PPDK 1.313.654 1,16 5 0,91 14 PNBK 1.230.450 1,08 1 0,18 15 Partai PP 973.139 0,95 0 0,00 16 PNI Marhaenis 929.159 0,81 1 0,18 17 PPNUI 895.610 0,79 0 0,00 18 Partai Pelopor 878.932 0,77 2 0,36 19 Partai PDI 855.811 0,75 1 0,18 20 Partai Merdeka 842.541 0,74 0 0,00 21 PSI 679.296 0,60 0 0,00 22 Partai PIB 672.957 0,59 0 0,00 23 PPD 657.916 0,58 0 0,00 24 PBSD 636.397 0,56 0 0,00 Jumlah 113.462.414 100,00 550 100,00 PEMILU TAHUN 2004 DAN TAHUN 2009 Perbedaan mendasar UUNo 12 tahun 2003 ( Pemilu 2004) dan UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilian Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (Pemilu 2009) Partai Politik Peserta Pemilu BAHASAN KUNCI UU No. 12 TAHUN 2003 UU No. 10 TAHUN 2008 Partai Politik Peserta Pemilu 2004 & 2009 Partai Politik (parpol) Peserta Pemilu tahun 1999 yang memperoleh 2% atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah provinsi dan ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, di tetapkan sebagai Parpol Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 1999 (pasal 142: ketentuan peralihan) Partai Politik (parpol) Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, di tetapkan sebagai Parpol Peserta Pemilu setelah Pemilu 2004 (pasal 315: ketentuan peralihan) Parpol Peserta Pemilu 1999 yang tidak memenuhi pasal 142 dapat mengikuti pemilu 2004 dengan ketentuan: a) Bergabung dengan Parpol Peserta Pemilu tahun1999 yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 142; b) Bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 142 dengan membentuk parpol baru dengan nama dan tanda gambar baru salah satu partai politik yang bergabung; c) Bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 142 dengan dengan menggunakan nama dan tanda gambar baru; Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi pasal 315 dapat mengikuti pemilu 2009 dengan ketentuan: d) Bergabung dengan Parpol Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 315; atau e) Bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 315 dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar salah satu parpol yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau f) Bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 315 dengan membentuk parpol baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau g) Memiliki kursi di DPR RI hasil pemilu 2004; atau h) Memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Parpol Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan oleh UU ini Tidak ada Menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat Penentuan Alokasi Kursi dan Daerah Pemilihan Jumlah Kursi anggota DPR Jumlah Kursi DPR = 550 kursi (pasal 47) Jumlah Kursi DPR = 560 kursi (pasal 21) Alokasi kursi tiap Daerah Pemilihan (DP) DP anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota dengan ketentuan setiap DP alokasi kursi antara 3 sampai 12 kursi (pasal 46 ayat 2) a) Jumlah kursi setiap DP anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi (pasal 22 ayat 2) b) Alokasi kursi anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sama dengan pemilu sebelumnya Penetapan hasil pemilu: penetapan peroleh suara, perolehan kursi dan calon terpilih Penetapan perolehan suara sah Didasarkan atas seluruh hasil perhitungan suara sah yang diperoleh Parpol Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan yang bersangkutan. a) Parpol Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas (electoral treshold) sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR (maksudnya: parpol yang tidak mencapai suara 2,5% tidak punya kursi di DPR) (pasal 202 ayat 1) b) Penetapan perolehan suara sah untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota menggunakan ketentuan pemilu sebelumnya (pasal 203) Penetapan perolehan kursi a) Jumlah kursi anggota DPR untuk setiap provinsi ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk dengan memperhatikan perimbangan yang wajar (pasal 48 ayat 1 ). Yang dimaksud dengan perimbangan yang wajar dalam ayat ini lihat dipenjelasan UU No 12 tahun 2003 ini. b) Tata cara perhitungan jumlah kursi anggota DPR untuk setiap provinsi sebagaimana dimaksud pasal 48 ayat (1) ditetapkan oleh KPU c) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD provinsi, & DPRD kabupaten/kota dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas seluruh hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan yang bersangkutan (pasal 105 ayat 1) d) Dari hasil perhitungan seluruh suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP dengan cara membagi jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan (pasal 105 ayat 2) e) Apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam perhitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam perhitungan tahap kedua (pasal 106 ayat a); f) Apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu lebih kecil dari BPP, maka dalam perhitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikatagorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan (pasal 106 ayat b); g) Penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam perhitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak (pasal 106 ayat c). a) Perolehan suara sah setiap DP dikurangi dengan suara parpol peserta pemilu yang tidak mencapai 2,5% ditetapkan sebagai Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) setiap DP (pasal 205 ayat 1) b) Setelah ditetapkan angka BPP DPR tiap DP dilakuan perhitungan perolehan kursi tahap pertama disuatu DP dengan BPP DPR (pasal 205 ayat 3); c) Jika masih terdapat sisa kursi, dilakukan perhitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dari BPP DPR (pasal 205 ayat 4); d) Jika masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan perhitungan tahap kedua, maka dilakukan perhitungan peroleh kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan (pasal 205 ayat 5); e) BPP DPR baru di provinsi yang bersangkutan ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi (pasal 205 ayat 6); f) Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu yang dimaksud ayat 5 dilakukan dengan cara memberi kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan. g) Jika masih terdapat sisa yang belum terbagi dengan BPP DPR yang baru sebagaimana pasal 205, penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada Partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak (pasal 206); h) Jika terdapat sisa kursi yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam pasal 206 dan sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu sudah terkonversi menjadi kursi, maka kursi diberikan kepada partai politik yang memiliki akumulasi perolehan suara terbanyak secara berturut-turut di provinsi yang bersangkutan (pasal 207). Penetapan calon terpilih Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: (1) nama calon yang mencapai angka BPP ditetapkan sebagai calon terpilih; (2) nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di suatu daerah pemilihan yang bersangkutan (pasal 107 ayat 2); Pada mulanya sebelum ada putusan MK ttg penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak sbb : Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan (pasal 214): a) Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP; b) Jika calon yang menemuhi ketentuan huruf (a) jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% dari BPP; c) Jika terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf (a) dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% dari BPP; d) Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf (a) jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; e) Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut; Tetapi setelah ada putusan MK No. 22-24/ PUU-VI/ 2008 Perihal : permohon Pengujian UU No. 10 Tahun 2009 Tentang Permilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Terhadap UUD 1945, dimana dalam amar putusannya menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan huruf e UU No. 10 tahun 2008 BERTENTANGAN DENGAN UUD RI TAHUN 1945 dan amar putusan yang menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan huruf e UU No. 10 tahun 2008 TIDAK MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT, maka penentuan dan penetapan calon terpilih didasarkan pada perolehan suara terbanyak. Pemilu Tahun 2004 Menurut Provinsi NO PARTAI JUMLAH SUARA % JUMLAH KURSI 1. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 923.159 0,81% 1 2. Partai Buruh Sosial Demokrat 636.397 0,56% 0 3. Partai Bulan Bintang 2.970.487 2,62% 11 4. Partai Merdeka 842.541 0,74% 0 5. Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15% 58 6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 1,16% 5 7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952 0,59% 0 8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1.230.455 1,08% 1 9. Partai Demokrat 8.455.225 7,45% 57 10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.424.240 1,26% 1 11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 0,75% 1 12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 895.610 0,79% 0 13. Partai Amanat Nasional 7.303.324 6,44% 52 14. Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2,11% 2 15. Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57% 52 16. Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 7,34% 45 17. Partai Bintang Reformasi 2.764.998 2,44% 13 18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,53% 109 19. Partai Damai Sejahtera 2.414.254 2,13% 12 20. Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58% 128 21. Partai Patriot Pancasila 1.073.139 0,95% 0 22. Partai Sarikat Indonesia 679.296 0,60% 0 23. Partai Persatuan Daerah 657.916 0,58% 0 24. Partai Pelopor 878.932 0,77% 2 JUMLAH 113.462.414 100,00% 550 Hasil Pemilu Presiden Putaran Pertama Tahun 2004 NO PASANGAN CALON JUMLAH SUARA % 1. H. Wiranto, SH. Ir. H. Salahuddin Wahid 26.286.788 22,15% 2. Hj. Megawati Soekarnoputri H. Hasyim Muzadi 31.569.104 26,61% 3. Prof. Dr. HM. Amien Rais Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo 17.392.931 14,66% 4. H. Susilo Bambang Yudhoyono Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla 39.838.184 33,57% 5. Dr. H. Hamzah Haz H. Agum Gumelar, M.Sc. 3.569.861 3,01% Hasil Pemilu Presiden Putaran Kedua Tahun 2004 NO PASANGAN CALON JUMLAH SUARA % 2. Hj. Megawati Soekarnoputri H. Hasyim Muzadi 44.990.704 39,38% 4. H. Susilo Bambang Yudhoyono Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla 69.266.350 60,62% PEMILU TAHUN 2009 Diisi sendiri………….yang masih segar dalam ingatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar