ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Senin, 22 Januari 2018

Sekilas PANGERAN PURNA JIWA; SUNAN CENDANA KWANYAR, BANGKALAN: Al-Fatihah...



*PANGERAN PURNA JIWA; SUNAN CENDANA KWANYAR, BANGKALAN:*
==========
MataMaduraNews.com-Seperti namanya, keharuman sosok Sunan Cendana menyelimuti Madura dan sekitarnya. Berawal dari wilayah pesisir selatan Bangkalan, jejaknya menyinari Pulau Garam ini.

Lahir dengan nama Sayyid Zainal ‘Abidin di lingkungan tembok istana Giri Kedaton pada sekitar akhir dari abad ke-16, atau sekitar pertengahan kedua dari kurun 1500-an Masehi. Ibunya adalah salah satu putri dari Kangjeng Suhunan Kulon alias Sunan Ali Sumodiro. Sunan Kulon merupakan putra ketiga dari salah satu tokoh utama Wali Sanga; Kangjeng Susuhunan Giri yang berjuluk Prabu Satmata.

Dari garis ayah, Sayyid Zainal Abidin merupakan cucu Kangjeng Susuhunan Drajat, putra Kanjeng Susuhunan Ampel. Ayahnya, yaitu Sayyid Khathib alias Raden Bandardaya adalah putra Suhunan Drajat (dalam catatan lain disebut jika Sayyid Khathib adalah putra Pangeran Musa bin Suhunan Drajat). Dari sinilah nasab kedua orang tua beliau bertemu. Ayah Suhunan Giri, yaitu Sayyid Ishaq atau Maulana Ishaq bersaudara dengan Sunan Ampel, alias sama-sama putra Sayyid Ibrahim Zainal Akbar Ba’alawi (Ibrahim Asmara). Sedang Sunan Giri sendiri diambil sebagai menantu oleh Sunan Ampel. Secara genealogi, garis keluarga ini bersusur galur pada keluarga saadah Ba’alawi di Hadhramaut Yaman, melalui jalur al-Imam al-Quthb ‘Alwi ‘Ammil Faqih hingga Sayyidina al-Husain, putra Sayyidatina Fathimah binti Rasulullah SAW.

Jalur Da’wah:
===========
Keluarga Ba’alawi sejak awal memang dikenal sebagai keluarga da’i penjelajah. Jalur da’wah keluarga ini begitu mendunia. Sehingga kebanyakan dari tokoh-tokoh utama keluarga ini selalu besar dan berakhir di luar kampung kelahirannya. Seperti Sayyid Ibrahim Asmara ayah Sunan Ampel yang hijrah ke Campa dan menikah disana. Putra-putranya, termasuk Sunan Ampel sendiri hijrah ke tanah Jawa yang mukim di Ampel, Denta. Begitu seterusnya, hingga Sayyid Zainal ‘Abidin yang keluar dari tembok istana Giri Kedaton dan bermukim di salah satu wilayah pesisir di Madura Barat.

Kiprah da’wah Sayyid Zainal Abidin kemungkinan diawali dari tingkat elit atau keluarga bangsawan. Hal itu bisa dilihat dari catatan kehidupan beliau yang sering dimintai nasehat, buah pikiran maupun tenaganya oleh kerajaan Mataram Islam di Jawa. Tentu saja itu sebelum terjadi perselisihan antara keraton Mataram dan keraton Giri, yang mana Mataram menganggap Giri sebagai saingan besar yang kemudian berujung pada tragedi besar membumi hanguskan Giri Kedaton.

Dalam sejarah kuna, Sayyid Zainal Abidin pernah diangkat sebagai penasehat atau Senapati Mataram dan diminta bantuannya oleh Sunan Amangkurat Mataram untuk mengatasi pemberontakan Blambangan. Saat itu Sayyid Zainal Abidin membawa saudara sepupunya yang bernama Kiai Wongso, dan berhasil mengatasi dengan mudah pemberontakan tersebut.

Atas keberhasilannya, Raja Mataram menganugerahkan gelar Pangeran Purna Jiwa (atau Purna jaya) pada Sayyid Zainal Abidin, dan Kiai Wongso digelari Pangeran Macan Wulung.

Macan Wulung ini merupakan salah satu adipati Sumenep yang terkenal, yang bernama lain Tumenggung Yudonegoro.

Setelah itu Pangeran Purnajiwa mengundurkan diri sebagai penasehat keraton dan hijrah ke Pasuruan. Di sana beliau dikeramatkan. Namun sifat dasar para ‘arifbillah, memang kebanyakan tidak suka dikeramatkan. Lalu beliaupun hijrah mencari tempat lain. Sasarannya kali ini adalah Madura. Apalagi di Madura memang banyak sanak-familinya. Salah satu paman beliau (adik dari ibu), bermukim di Sampang, yaitu Pangeran Khathib Sampang atau yang dikenal dengan nama Khathib Mantu.

Konon dari riwayat dan sumber manuskrip kuna, Pangeran Purnajiwa menyeberangi selat Madura dengan perantara ikan Mondung atau hiu. Beliau kemudian mendarat di pesisir selatan Madura atau tepatnya di daerah Kwanyar Bangkalan.

Di sana ada sisa peninggalan beliau berupa sumur di tepi pantai yang mengeluarkan sumber dari bekas tancapan tongkat beliau. Beliau juga dikisahkan bertapa di dalam pohon Cendana, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Cendana atau Kiai Cendana.

Setelah karomah beliau itu diketahui masyarakat, beliau kemudian menuju Sampang dan bermukim di daerah pamannya, Khathib Mantu. Namun kemudian beliau disusul oleh Panembahan Cakraningrat dan diminta untuk kembali ke Bangkalan untuk dijadikan mustika atau jimatnya Bangkalan.

Sebuah peristiwa yang terukir dalam sejarah, dan keluarlah untaian doa mulia beliau yang masyhur hingga kini, bunyinya: Allaahumma zid ‘alainaa wa ‘alaihim, wa ma’a aulaadinaa wa aulaadihim, ni’mataddunya wa ni’matal aakhirah, ghafarallaahu lanaa wa lahum bi rahmatikaa yaa arhamarraahimiin.

Penerusnya:

Begitu keramatnya Sunan Cendana, sehingga hampir kebanyakan tokoh ulama besar Madura, dan sebagian besar di Jawa Timur, menuliskan nasabnya pada beliau, meski dari jalur perempuan. Keturunan Sunan Cendana memang menyebar luas. Sehingga tak bisa dipungkiri sanad keilmuan agama Islam di Madura dan sekitarnya bermuara pada Sunan Cendana, baik melalui sanad nasab maupun hubungan guru-murid.

Dari catatan manuskrip kuna, Sunan Cendana diketahui memiliki enam putra putri, yaitu Kiai Adipati Putramenggala (Sampang), Kiai Jasad (Gresik), Nyai Kumala (Tanjung, Sampang), Nyai Shalih, Nyai Nur (Omben, Sampang), dan Nyai Aminah (Lembung, Bangkalan).

Kiai Putramenggala bergelar Panembahan Sampang dan menurunkan banyak bangsawan dan ulama hingga ke Pamekasan dan Sumenep. Begitu juga saudara-saudara beliau, seperti Kiai Jasad yang menurunkan banyak ulama besar di daerah Tapal kuda dan Sumenep.

 Kemudian Nyai Kumala (isteri Kiai Abdullah bin Khatib Pesapen bin Khathib Mantu) yang merupakan leluhur para kiai besar di Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Salah satu keturunan Nyai Kumala adalah Kiai Abdul Azhim (leluhur Syaikhana Khalil Bangkalan), dan Kiai Abdul Qidam, Arsoji, Pamekasan...Al-Fatihah...


R B M Farhan Muzammily
Sumber:http://matamaduranews.com/pangeran-purna-jiwa-sunan-cendana-kwanyar-bangkalan/

NB:
====
[14/8 10.05] Mohsen Ra BaSyaiban: Ralat, ini bang Farhan belum merubah bahasan terakhir menganai abdul qidam arsojih sebagai anak anak nyai selasa padahal lain orang kak
[14/8 10.17] ABDUL HAMID MUDJIB HAMID: Gimana Ra?
[14/8 10.20] Mohsen Ra BaSyaiban: Mengenai abdul qidam arsojih beliau bukan anak nyai selase.

Al-Fatihah.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar