Kajian Sastra Arab
ILMU
ARUDH DAN QAWAFI
Oleh: Riza Choironi
Definisi Ilmu Arudh
Secara etimologi 'Arudh berarti
tengah-tengah atau sesuatu yang terdapat di dalam bait-bait syair. Kalimat ini
juga bisa berarti sebuah metode yang sulit dan sukar, atau juga bisa diarahkan
pada arti kota
Makkah (Ka'bah) karena ia terdapat di tengah-tengah kota Makkah. Sedangkan arti Arudh menurut
tinjauan terminologi adalah sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang membahas
tata-cara mengenal benar-tidaknya wazan-wazan syair arab, dan yang
berkaitan dengannya. Disiplin ilmu ini menekankan obyek pembahasannya pada
Syair arab yang terdiri dari wazan-wazan tertentu.
Ilmu 'Arudh begitu identik dengan ilmu Qawafi[1]
yang lebih menekankan pembahasannya pada hal-ihwal harakat akhir sya'ir, baik
berupa sukun[2],
shahih (fathah, kasrah, dan dlommah), dan lainnya. Eratnya
kaitan 'Arudh dengan Qawafi ini bisa dilihat dari keberadaan kitab-kitab yang
membahasa 'Arudh pasti juga membahas Qawafi: keduanya tidak bisa dipisahkan.
Sebab, kedua ilmu pengetahuan yang mengkaji sastra arab ini memang tak pernah
bisa lepas antara satu dengan yang lain. Ibaratnya ilmu tata bahasa, maka 'Arudh
ibaratnya ilmu morfologi (Sharaf) yang menentukan bacaan huruf tengah dan
asal-muasal kalimat, sedangkan Qawafi adalah ilmu gramatika (Nahwu) –nya, yang
menentukan harakat akhir setiap kalimat dalam I'rab.
Penemu Ilmu Arudh
Sejarawan sepakat bahwa yang pertama kali
memperkenalkan kaidah ilmu 'Arudh adalah Syaikh Kholil bin Ahmad an-Nanhwy
al-Basry al-Azdary al-Farohidy. Sebuah nama yang diafilisasikan pada nama
sebuah lembah Farohidy di kota
Bashrah.
Syekh as-Syamaniy pernah mengatakan bahwa
Imam Kholil merupakan figur intelektual yang sangat perhatian terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Menurutnya, tidak ada seorang pun yang
perhatiannya melebihi Imam Kholil. Dalam kesehariannya beliau selalu hidup
asketis (zuhud) dan menjaga diri dari perbuatan tidak baik yang tercela.
Imam Kholil merupakan salah satu guru dari Imam Sibaweh[3].
Syaikh Kholil mendapatkan ilham
(inspirasi) untuk menyusun ilmu 'Arudh ketika beliau ada di kota Makkah. Hal ini disinyalir pemberian
nama 'Arudh karena ada unsur tafa-ul atau melihat adanya pertanda baik
dengan Ka'bah yang ada di tengah-tengah (arab: 'Arudh) kota Makkah.
Dalam sebuah referensi dijelaskan bahwa
yang mendorong Imam Kholil untuk mendalami ilmu tersebut adalah bahwa pada
suatu ketika orang-orang arab mulai berpaling meninggalkan Imam Kholil, dan
belajar kepada muridnya yang bernama Imam Sibaweh. Keberadaan Imam Kholil
seakan-seakan tidak lagi diperhitungkan oleh masyarakat waktu itu. Peristiwa
ini membuat Imam Kholil tergugah untuk menyendiri dan menyepi, memohon kepada Allah
swt. agar dikaruniai sebuah ilmu yang tidak pernah dimiliki orang lain. Do'a
beliau akhirnya dikabulkan oleh Allah. Imam Kholil pun kemudian menemukan
rahasia-rahasia dalam sya'ir arab yang waktu itu merupakan primadona di
kalangan masyarakat arab. Beliau menemukan lima belas (15) kaidah pokok dalam sya'ir
arab yang pada gilirannya dikenal dengan istilah bahar[4].
Kaidah pokok ini kemudian disempurnakan oleh murid beliau yang bernama
al-Akhfasy, sehingga menjadi enam belas (16) sajak.
Imam Kholil sangat menguasai dan
mengetahui ilmu penyelarasan suara dan nada. Terkadang dia menghabiskan waktu
berjam-jam untuk membuat satu saja, sambil menggerakkan jari-jemarinya. Suatu
hari putranya memergoki Imam Kholil dalam keadaan seperti itu (menggerakkan
jari-jemari) dan menganggapnya telah gila. Kemudian dia berlari dan berteriak
di pasar Basrah, "Ayahku telah gila………..ayahku telah gila."
Perkembangan Ilmu Arudh
Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Imam
Kholil, ilmu 'Arudh menjadi ilmu yang mengukur keindahan dan kebenaran
pembuatan sastra arab. Hal ini terus berlanjut hingga pertengahan abad kedua
Hijriyah. Setelah itu banyak ulama yang turut memperhatikan perkembangan ilmu
ini. Sebagian dari mereka menguraikan kaidah yang diperkenalkan Imam Kholil,
memperluas keterangannya, meringkas, dan lain sebagainya.
Sejak saat itulah banyak ulama yang juga
menulis ilmu 'Arudh. Di antanya, al-Akhfas al-Ausat (sekitar tahun 215 H),
kemudian dilanjutkan Abu al-Abbas Muhammad bin Yazid al-Mubarrad (kira-kira
tahun 285 H), Ibnu Kisan (kira-kira tahun 310 H), Ibnu Siraj (kira-kira tahun
316 H), Ibnu Abdu Rabah (kira-kira 328 H), Zajaji (kira-kira tahun 340 H),
Shahib bin Ibad (kira kira tahun 385 H), Abu al- Fatah bin Jany(kira-kira tahun
392 H), Jauhary (kira-kira tahun 400 H), Khotib at-Tibrizy (502 H), Zamahksary
(kira-kira tahun 538 H), Ibnu Hajib (kira-kira 646 H), Damaminy (kira kira
tahun 827 H), dan banyak lagi yang lain.
Di kalangan orang Arab Ilmu Arudh termasuk
ilmu yang dianggap istimewa. Ibnu Faris berkomentar dalam salah satu kitabnya,
bahwa Ilmu 'Arudh merupakan pengukur bagi sya'ir-syair orang arab. Dengan ilmu
'Arudh mereka bisa mengetahui sya'ir yang benar dan yang salah. Siapa saja yang
berhasll mengetahui keindahan dan rahasia ilmu 'Arudh, berarti dia telah
melampaui segala sesuatu yang dianggap tidak berarti.
Faedah Ilmu Arudh
Ilmu Arudh mempunyai banyak faedah, yang
diantarnya adalah untuk membedakan antara sya'ir arab dengan lainnya. Dengan
demikian bisa diketahui bahwa Alquran bukanlah sekadar kumpulan sya'ir-sya'ir
arab, tapi merupakan firman suci yang harus dimuliakan oleh umat Islam. Banyak
ulama yang berpendapat seperti Syekh Hanafi, "bahwasanya mempelajari sesuatu
yang bisa membedakan antara Alquran dengan sya'ir hukumnya fardlu 'ain. Sebab
hal itu bisa mencegah subordinasi dalam akidah. Di samping itu, dengan ilmu 'Arudh
kita juga bisa membedakan kalimat sya'ir dengan prosa, menghindari kerancauan
satu bahar dengan yang lain, serta menjaga sya'ir dari perubahan."
Dengan semua kelebihan itu, jelaslah bahwa ilmu 'Arudh memiliki faidah yang
sangat besar. Jika ada yang meragukan faidahnya, itu berarti dia telah menutup
pintu gerbang ilmu-ilmu arab. Jika hal itu terjadi, maka kita tinggal menunggu
kehancuran ilmu pengetahuan.
[1] Ilmu ini pertama kali diperkenalkan oleh Syaikh
Muhalhil ibn Robi'ah. Kegunaan mempelajarinya adalah untuk menjaga kekeliuran
membaca harakat kalimat bagi orang yang gemar membaca sastra. Oleh karena itu
sebagian ulama mencetuskan hokum sunnah untuk mempelajari ilmu Qawafi,
sedangkan sebagian yang lain mengatakan mubah (boleh).
[2] Dalam ilmu tata bahasa sukun (bunyi nun mati)
itu tidak dianggap sebagai harakat, tapi dalam ilmu Qawafi sukun itu
dianggap sebagai salah satu harakat, sama halnya dengan harakat fathah, kasrah,
dan dlommah.
[3] Seorang ulama Nahwu terkemuka yang pendapatnya banyak
dikutip dalam kitab Nahwu monumental, Alfiyah Ibnu Malik.
[4] Wazan-wazan sastra arab yang berbeda satu sama lain.
Salah satunya adalah bahar (sajak) Rajaz, Kamil, Thawil, Madid, Wafir,
dan Basith. Syair Burdah karya Syaikh al-Bushiri mengikuti wazan bahar Basith
yang terdiri dari lafadz mustaf-'ilun faa'ilun (diulangi enam kali).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar