ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Minggu, 27 Maret 2011

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid Nabi SAW. Mengapa Mempertikaikan Maulid Nabi SAW?

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid SAW.

1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : "hari ini hari ditenggelamkannya Fir'aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : "kita lebih berhak atas Musa as dari kalian", maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yg diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dg pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur'an, maka nikmat apalagi yg melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt "SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA" (QS Al Imran 164)

2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dg sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yg kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yg telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil'aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dg makanan makanan dan yg serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : "Husnulmaqshad fii 'amalilmaulid".

3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan Bid'ah hasanah yg mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yg diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dg kelahiran Nabi saw.

4. Pendapat Imamul Qurra' Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya 'Urif bitta'rif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : "di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)" (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur'an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yg gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.

5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy : Serupa dg ucapan Imamul Qurra' Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab

6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
berkata "tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pd malamnya dg berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yg sangat besar".

7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : "ketahuilah salah satu bid'ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw"

8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah
dengan karangan maulidnya yg terkenal "al aruus" juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, "Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dg tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya".

9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: "Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yg menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar".

10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yg terkenal dg Ibn Dihyah alkalbi dg karangan maulidnya yg bernama "Attanwir fi maulid basyir an nadzir"

11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri dg maulidnya "urfu at ta'rif bi maulid assyarif"

12. Imam al Hafidh Ibn Katsir yg karangan kitab maulidnya dikenal dg nama : "maulid ibn katsir"

13. Imam Al Hafidh Al 'Iraqy dg maulidnya "maurid al hana fi maulid assana"

14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy telah mengarang beberapa maulid : Jaami' al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra'iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.

15. Imam assyakhawiy dg maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi

16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi dg maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah

17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yg terkenal dg ibn diba' dg maulidnya addiba'i

18. Imam ibn hajar al haitsami dg maulidnya itmam anni'mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam

19. Imam Ibrahim Baajuri mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar

20. Al Allamah Ali Al Qari' dg maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi

21. Al Allamah al Muhaddits Ja'far bin Hasan Al barzanji dg maulidnya yg terkenal maulid barzanji

23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani dg maulid Al yaman wal is'ad bi maulid khair al ibad

24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy dg maulid jawahir an nadmu al badi' fi maulid as syafi'

25. Imam Ibrahim Assyaibaniy dg maulid al maulid mustofa adnaani

26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy dg maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi"

27. Syihabuddin Al Halwani dg maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif

28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati dg maulid Al Kaukab al azhar alal 'iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar

29. Asyeikh Ali Attanthowiy dg maulid nur as shofa' fi maulid al mustofa

30. As syeikh Muhammad Al maghribi dg maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.


Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yg menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yg menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yg jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam. 
Mengapa Mempertikaikan Maulid.?

Alhamdulillah. Setinggi pujian kita rafa`kan ke hadrat Allah Rabbul Jalil di atas limpahan nikmatnya kita dipertemukan dan dapat melalui hari-hari bulan Rabi` al-Awwal tahun ini yang menyuburkan ingatan dan ikatan kasih kita dengan kekasihNya, Nabi kita, Sayyiduna Muhammad SAW. Nampaknya sambutan umat Islam di serata pelusuk dunia terhadap hari dan bulan kelahiran Nabi SAW tetap segar dan bersemangat. Di negara kita sendiri, pelbagai bentuk sambutan yang diadakan di pelbagai peringkat mendapat sokongan dengan kehadiran begitu ramai anggota masyarakat. Masih banyak lagi majlis yang dijadualkan dalam masa terdekat sehingga mungkin melimpah keluar bulan Rabi` al-Awwal. Semua ini adalah suatu nikmat dan kurniaan istimewa daripada Allah SWT bagi umat dan negara kita. Kita berdoa agar umat Islam di Malaysia akan sentiasa terkedepan dalam mengagungkan, menyanjung, mempertahankan dan membuktikan kecintaan kita terhadap Sayyiduna Muhammad SAW yang semuanya merupakan inti dan hakikat sambutan Maulid Nabi.
Kita berdoa agar sambutan Maulid Nabi di negara kita akan terus meriah dan lebih semarak walaupun terdapat suara-suara yang nampaknya tidak senang dan kelihatan seolah-olah alahan (alergik) dengan sambutan Maulid. Pada tahun ini, suara-suara ini turut ‘menumpang’ isu pembatalan perarakan sambutan Maulid di salah sebuah negeri. Sebenarnya, saban tahun, apabila datang sahaja bulan Maulid, ada sahaja suara-suara, yang nampaknya bersumber daripada orang-orang yang sama, yang mempermasalahkan, mempertikaikan dan tidak senang dengan Maulid. Sikap tidak senang ini disuarakan pada pelbagai tahap dan dengan pelbagai ibarat. Ada yang menafikan adanya keistimewaan atau fadhilat Maulid Nabi SAW dan membanding-bandingkannya dengan keutamaan Nuzul Quran. Ada yang mengungkit-ungkit bahawa sambutan Maulid tidak pernah dibuat oleh Nabi SAW dan para sahabatnya (maksud Bid`ah yang sesat). Ada pula yang memilih musim Maulid ini untuk menulis dan menekankan tentang soal keinsanan Nabi Muhammad SAW. Dan ada juga yang mempertikaikan cara dan kaedah sambutan itu diadakan. Mereka yang faham dan mengenali suara-suara ini tidaklah terlalu terperanjat walaupun tetap menepuk dahi dan mengurut dada kerana sedih dan kesal dengan kekeliruan yang cuba dijaja dan kedegilan sikap yang ditonjolkan. Mereka yang kurang mengerti dan memahami pula mungkin sedikit-sebanyak akan terkeliru dan timbul kesangsian terhadap sambutan Maulid. Apatah lagi jika isu ini turut bercampur dan bertindan dengan isu dan sentimen politik kepartian.

Bukanlah terlalu besar isunya, jikalau yang dipertikaikan tentang Maulid ini adalah kaedah dan cara sambutannya. Prinsip-prinsip Islam dalam menentukan kaedah dan cara dalam sesuatu amalan sudah ada pada kita. Yang haram dan halal sudah jelas dalam Islam, manakala yang syubhah eloklah dijauhi. Kita turut diajar berlapang dada dalam persoalan yang statusnya masih khilaf. Kita juga dilarang mempertikaikan niat orang lain serta perlu bersangka baik sesama Islam. Berbekalkan sikap ini soal-soal rinci seperti berarak atau tidak, pembaziran, percampuran dan batas aurat, lafaz dan bacaan selawat, berkompang dalam masjid dan sebagainya dapat kita sikapi tanpa menimbulkan banyak masalah.

Malangnya, sebahagian suara-suara yang alahan Maulid ini turut mempertikaikan prinsip dan hukum Maulid serta kewajaran dan kebijaksanaan menganjurkannya dari sisi Islam. Ini adalah soal yang lebih besar dan mendasar. Kegelinciran kaki dalam hal ini boleh melibatkan soal-soal besar termasuklah menyakiti Nabi SAW, tidak beradab dengan Baginda SAW, menentang syiar Islam, menyesatkan para ulama dan umat Islam, memecahkan kesatuan umat dan seumpamanya. Tidak hairanlah seorang tokoh ulama Yaman, al-Allamah Abu Abdullah `Alawi al-Yamani turut memperuntukkan bab khusus tentang persoalan Maulid dalam kitabnya yang bertajuk Intabih Diinuka fi Khotrin (Awas, Agamu Dalam Bahaya!). Memang, jika tidak berhati-hati, kata-kata dan perbuatan kita dalam bab Maulid ini boleh membahayakan dan mengancam agama kita sebenarnya.

Kerangka Fikir Menolak Maulid

Jika diteliti, ada beberapa kerangka faham agama tertentu yang dipegangi oleh mereka yang alahan Maulid ini yang akhirnya menyebabkan mereka bersikap begitu. Kerangka faham agama yang sama juga menyebabkan mereka turut mempermasalahkan dan berbeza sikap dengan majoriti umat dalam soal-soal tertentu seperti fiqh bermazhab, tasawuf, dan beberapa isu-isu khilafiyyah. Kita boleh menyimpulkan kerangka faham agama mereka ini kepada beberapa fahaman utama :

Pertamanya : fahaman mereka yang ganjil berkenaan prinsip dan konsep Bid`ah. Mereka tidak mahu menerima pandangan ulama-ulama muktabar yang membahagikan Bid`ah kepada yang sesat dan yang terpuji. Bagi mereka semua Bid`ah dalam hal agama adalah sesat. Mereka keras berpegang dengan tafsiran literal dan sempit kepada hadis yang berkaitan persoalan Bid`ah ini.

Kedua : mereka terlalu menekankan sikap Ittiba` (mematuhi) dalam sikap mereka terhadap Nabi SAW dan Sunnahnya. Seterusnya, secara langsung atau tidak mereka ini sering mempertentangkan Ittiba` dengan sikap-sikap lain kita terhadap Nabi seperti Hubb (mengasihi) Ta`dzim (mengagungkan), Tasyaffu` (memohon syafaat), Tabarruk (mengambil berkat), Tawassul (mengambil sebagai perantaraan) dan seumpamanya.

Ketiga : mereka berpegang serta bertaklid kuat dengan fahaman dan tafsiran beberapa tokoh ulama khalaf tertentu yang akhirnya telah diolah dan terolah menjadi suatu aliran terasing daripada arus perdana Umat. Berbekalkan fahaman-fahaman dalam aliran ini yang telah mereka angkat ke tahap doktrin dan memang disebarkan secara indoktrinasi (secara perbincangan sebelah pihak serta tidak saksama ataupun objektif), mereka ini rata-rata bersikap lebih pesimistik dan cenderung mempertikaikan tafsiran para ulama lain selain daripada beberapa ulama yang menjadi ikutan mereka.

Jika direnungi fahaman-fahaman asas mereka ini maka tidak hairanlah mereka ini cenderung menolak Maulid. Sebaliknya, mereka yang mendokong Maulid tidak perlu mengambil-kira pandangan ini kerana asas-asas fahamannya ternyata berbeza dengan arus perdana Umat. Pertamanya, di sisi majoriti umat, sambutan Maulid adalah paling kurangpun dikira sebagai Bid`ah Hassanah. Malah ada pandangan menyatakan bahawa ia termasuk sunnah yang dimulakan oleh Nabi SAW sendiri berdasarkan hadis yang menyebut bahawa kelahirannya pada hari Isnin menjadi salah satu asas Baginda SAW berpuasa sunat pada hari-hari tersebut, “Padanya (hari Isnin) aku dilahirkan dan padanya (hari Isnin wahyu pertama) diturunkan kepadaku.”( Syarah Sohih Muslim, Imam Nawawi Jld 8 H: 235)

Majoriti umat juga tidak melihat konsep Ittiba`, Hubb, Ta`dzim, Tasyaffu`, Tabarruk dan Tawassul sebagai konsep-konsep yang bercanggahan antara satu sama lain. Malah semuanya adalah sebahagian dan selari dengan dasar mematuhi dan mentaati Nabi SAW kerana konsep-konsep ini tidaklah dilarang atau bercanggah dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW.

Merujuk kepada asas fahaman mereka yang ketiga, majoriti Umat Islam telah mewarisi khazanah fahaman agama meliputi ketiga-tiga cabang utamanya Aqidah/Tauhid, Shariah/Fiqh dan Akhlak/Tasawwuf daripada generasi demi generasi ulama-ulama pilihan dalam suatu kerangka yang kemas dan sistematik. Para pemuka ulama Umat dalam kerangka ini rata-ratanya tidak menolak dan mendokong Maulid sehingga boleh dianggap terdapat sebentuk Ijma` Sukuti (ijma` senyap) tentang sambutan Maulid Nabi selepas ia mula dianjurkan secara besar-besaran.

Keinsanan Rasulullah SAW

Dalam kehangatan kita cuba mendaulatkan dan menyanjung Nabi SAW di musim Maulid tahun ini, seorang penulis kolum telah memilih untuk membahaskan isu keinsanan para Rasul AS mengikut fahaman yang tersendiri. Pemilihan masa dan cara penulisan tulisan tersebut nampaknya cuba menghantar beberapa mesej yang bercanggah dengan sambutan Maulid Nabi SAW. Antara mesejnya adalah, keinsanan Nabi SAW ditonjolkan agar tumpuan diberikan terhadap al-Quran dan bukan diri Nabi SAW. Mukjizat yang berkaitan dengan diri Nabi SAW cuba dikecilkan kononnya untuk mengelakkan pelampauan dalam memuji Nabi SAW. Olahan sebegini terhadap mukjizat peribadi Nabi SAW turut dimaksudkan untuk mempermasalahkan keistimewaan yang boleh dikurniakan oleh Allah SWT kepada insan-insan pilihannya yang lain seperti Irhas dan Karamah.

Seperti biasa, kolumnis tersebut membawa beberapa dalil al-Quran dan Hadis untuk mendokong `tesis’nya itu. Cuma, jika diperhalusi, kesemua dalil-dalil ini telah ditafsirkan dan diletakkan dalam kerangka yang sesuai dengan kecenderungan penulis. Misalnya, ketika memetik ayat 110, Surah al-Kahfi yang bermaksud, “Katakanlah (wahai Muhammad): “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku...” penulis tidak pula menegaskan bahawa walaupun Nabi SAW itu insan, tetapi sebagai insan yang menerima wahyu Baginda SAW bukanlah sama dengan insan biasa. Menerima wahyu adalah tugas berat dan istimewa dan Rasulullah SAW telah dipilih serta dipersiapkan lebih awal untuk proses itu. Setelah Baginda SAW menerima wahyu pula, Baginda SAW terus-menerus meningkat keistimewaannya dan tidak sama sekali boleh di samakan dengan insan biasa.

Penulis turut menukilkan ayat-ayat yang menegaskan bahawa mukjizat Nabi SAW hanya berlaku dengan izin Allah SWT. Isu ini tidak pernah dipertikaikan oleh mereka yang mengagungkan Nabi SAW. Dalam menjulang Nabi SAW, para ulama dan umat Islam arus perdana tetap melakukannya dalam kerangka tauhid. Mereka tetap mengembalikan segala keistimewaan Baginda SAW kepada izin, ketentuan dan iradah Allah SWT.

Kolumnis ini juga memetik hadis dimana Baginda SAW melarang kita daripada memujinya berlebihan seperti orang Kristian memuji Nabi Isa AS. Tetapi beliau tidak menyatakan pandangan para ulama yang rata-rata memahami hadis tersebut sebagai larangan bersyarat. Dilarang memuji Nabi SAW, jika pujian tersebut sampai ke tahap mengatakan Nabi Muhammad SAW sebagai anak Allah dan lain-lain dakwaan melampau Kristian tentang Nabi Isa AS. Adapun pujian setinggi manapun, selagi tidak sampai ke tahap itu, memang layak dan sesuai dengan ketinggian dan keistimewaan Nabi Muhammad SAW disisi Allah SWT.

Kolumnis tidak pula membawa dalil-dalil al-Quran dan Hadis yang menjulang dan memuji Nabi SAW. Tidak juga merujuk kepada sikap dan perbuatan para Sahabat RA dalam memuliakan dan membesarkan Nabi SAW. Para Sahabat RA, merupakan generasi yang paling memahami dan menjiwai al-Quran dan Sunnah tetapi apa yang mereka lakukan dalam memuliakan Nabi SAW adalah jauh melebihi apa yang kita lakukan di dalam atau di luar majlis-majlis Maulid yang kita anjurkan.

Seperti beberapa tulisan sebelum ini, kolumnis ini juga memberi gambaran yang buruk terhadap hubungan antara murid dan guru dalam dunia kerohanian Islam. Beliau mengajak pembaca untuk menilai dunia yang begitu dimuliakan oleh para ulama Islam ini dengan merujuk kepada fenomena yang berlaku dalam kumpulan-kumpulan ajaran sesat yang menisbahkan diri kepada dunia Tasawwuf dan Tarekat. Ini bukanlah sikap yang jujur mahupun ilmiyyah dalam menilai ajaran dan fahaman arus perdana dalam dunia tersebut.

Sebenarnya kecenderungan memperkecilkan mukjizat dan khususiyyah Nabi SAW serta Karamah para ulama-awliya’ pewaris Baginda SAW, adalah suatu percubaan meletakkan semua orang di martabat yang sama dalam Islam. Tindakan menyamaratakan (levelling) semua orang dalam Islam ini adalah jelas bercanggah dengan ajaran Islam bahkan dengan fitrah alam. Ia akan mengakibatkan hilangnya autoriti dalam Islam yang akan menghakis keutuhan keseluruhan Islam itu sendiri. Akhirnya sesiapa sahaja boleh cuba bercakap bagi mewakili Islam. Sikap menafikan keistimewaan mereka yang benar-benar istimewa dalam Islam ini adalah lebih buruk dan bahaya jika ia merupakan strategi licik untuk menggantikan tempat para tokoh-tokoh ikutan muktabar umat selama ini dengan ikutan terhadap tokoh-tokoh aliran dan kelompok sendiri.

Sikap Yang Sepatutnya

Latarbelakang isu ini adalah perasaan kasih dan membesarkan Nabi SAW yang dikongsi dan disepakati semua. Oleh itu, rasanya dalam isu yang satu ini, hasil perbincangan ringkas di atas, tidaklah sepatutnya begitu sukar untuk mereka yang tidak terlalu keras sikapnya untuk bersama-sama bersikap positif terhadap sambutan Maulid Nabi SAW.

Bagi mereka yang selama ini memang mendokong Maulid, mereka sewajarnya lebih bersemangat dan bersungguh-sungguh meraikan dan menyambutnya. Tinggal lagi mereka harus sentiasa mempertingkatkan tahap kefahaman dan penghayatan mereka dalam sambutan Maulid yang mereka amalkan. Kaedah dan caranya harus dimuhasabah agar benar-benar berkesan serta diberkati agar matlamat-matlamat tertinggi di sebalik sambutan Maulid dapat dicapai dan dijelmakan.

Bagi segelintir orang-orang agama yang cenderung menentang dan alahan kepada Maulid, kita mencadangkan kepada mereka bahawa sudah ada banyak hujah dan asas ilmiyyah untuk membolehkan mereka melunakkan sikap mereka dalam bab Maulid ini. Kalaupun mereka masih enggan menyambutnya, ambillah serendah-rendah sikap yang terhormat dengan menganggapnya sebagai isu yang masih khilaf didalam Islam. Maka tidaklah wajib malah dilarang bagi mereka untuk mengingkari pandangan yang berbeza dalam mana-mana isu khilafiyyah. Adalah lebih terlarang untuk mengingkari Maulid jika ia akan menimbulkan ketegangan dan memecahkan kesatuan umat. Jika kebetulan mereka ini turut merupakan orang-orang politik yang bergerak di gelanggang politik pilihanraya, adalah terlebih wajar mereka melunakkan sikap dan tidak terlalu alahan terhadap Maulid. Bersikap keras terhadap Maulid hanya akan mengurangkan keyakinan umat Islam terhadap kepimpinan mereka.

Bagi muslimin-muslimat yang dari kalangan awam yang masih keliru dan ragu-ragu dengan perbahasan yang kita kemukakan disini kita menyeru agar mereka terus mengkaji dengan saksama, bersyura dan beristikharah. Rujuklah tulisan dan pandangan ulama muktabar yang lebih terperinci berkenaan isu ini. Kita akui bahawa tidak sesuai di ruangan ini untuk kita menulis secara terlalu terperinci mahupun terlalu berterus-terang. Inilah sekurang-kurangnya yang wajib mereka lakukan kalau mereka mahu turut terjun ke gelanggang urusan para ulama dan mereka yang mengkhusus dalam ilmu-ilmu Islam. Itu pun dengan menjaga adab-adabnya dan dengan tetap akur bahawa isu-isu agama adalah satu bidang yang kepakaran yang menuntut pengkhususan seperti bidang-bidang pengkhususan yang lain. Jika mereka tidak sanggup dan memangpun mereka tidak dituntut mengkaji seperti para ulama mengkaji, maka mereka sepatutnya mengikut pandangan muktabar sama ada yang telah diangkat sebagai fatwa rasmi ataupun tidak. Itu adalah sikap yang lebih selamat dan sejahtera bagi agama mereka.

Syeikh Muhammad Fuad bin Kamaludin al-Maliki, Ahli Majlis Agama Islam Negeri Sembilan dan Penasihat Yayasan Sofa Negeri Sembilan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar