ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 18 Mei 2011

NU dan Semangat Kebangsaan


NU dan Semangat Kebangsaan
Oleh Muhtadin AR

Saat tulisan ini saya buat (tanggal 31 Januari 2007), Nahdlatul Ulama (NU) memasuki usianya yang ke-81, sebuah usia yang sangat matang untuk sebuah organisasi. Ada banyak sekali cerita yang mengiringi perjalanannya, suka maupun duka. Namun dari semua cerita itu, satu hal terus melekat (dengan segala pro-kontranya) adalah kesetiaan organisasi ini dalam mengawal perjalanan bangsa.
Kita masih ingat bagaimana organisasi ini memutuskan sikap untuk menyelamatkan negara dari ancaman penjajah dengan menggelorakan Resolusi Jihad. Juga saat Presiden Soekarno mau didelegitimasi DI TII pimpinan Kartosuwiryo. Organisasi ini dengan cepat memberikan gelar kepada Soekarno waliyyul amri dloruri bi al syaukah agar anak-anak Indonesia tidak menjadi anak haram. Juga saat PKI ingin mengganti ideologi negara, NU dengan gagah berani berada di garda depan menentang keinginan PKI tersebut, meskipun nyawa taruhannya.
Namun peran apa yang saat ini mesti dimainkan ormas terbesar ini dalam membangun bangsa.? Pertanyaan demikian muncul lantaran dua alasan. Pertama, negara ini dalam semua hal, telah kehilangan panutan dan pegangan. Tidak ada satu pun tokoh, apalagi institusi yang bisa dijadikan rujukan dalam bertindak. Semua komponen bangsa bertindak atas naluri dan kepentingannya sendiri-sendiri. Tidak ada lagi yang peduli dengan nasib bangsa ini, apakah akan hancur atau tidak.
Kedua, organisasi ini di samping memiliki pengikut paling besar, juga memiliki paham keagamaan dan kebangsaan yang sangat luwes, progresif, menghargai keragaman, dan apresiatif terhadap khazanah kebudayaan lokal. Pandangan semacam ini telah terbukti sangat cocok dengan karakter Indonesia yang besar dan plural.
Namun, dapatkah NU memainkan dua hal ini sebagai ‘senjata’ untuk merubah bangsa, menjadikan dirinya sebagai lokomotif menuju bangsa yang berkeadilan, sejahtera dan berkeadaban.? Sulit!! (ya, sulit!!!) Di satu sisi, NU dengan segala pernak-perniknya, adalah lautan masalah. Apa yang sekarang ini dialami NU beserta seluruh warganya, mulai dari keterbelakangan pendidikannya, kemelaratan ekonominya, sampai dengan komunikasinya dengan institusi lain, semuanya adalah lautan masalah.
Sementara di sisi lainnya, para pengurus yang telah dipercaya untuk mengelola organisasi, mengarahkan warganya, dan membuat jejaring dalam berkomunikasi, menurut hemat penulis justru sama sekali tidak memiliki motivasi untuk menyelesaikan lautan masalah tersebut.
Semua ini muncul lantaran ekspektasi dan harapan orang terhadap NU, sangat berbeda dengan kenyataan yang ada dalam NU itu sendiri. Motivasi mereka menjadi pengurus itu lebih didominasi oleh kepentingan politik praktis ketimbang motivasi untuk berkhidmat, membesarkan organisasi dan melayani umat. Dalam hitungannya, NU dengan massanya yang sangat besar, adalah kendaraan politik yang paling cepat dan nyaman untuk mewujudkan impian politik.
Kenyataan demikian bisa dilihat dari seringnya organisasi ini kehilangan isu-isu besar. Padahal, isu-isu itulah yang terkait langsung dengan nasib warganya. Misalnya tentang ihwal kebijakan pemerintah yang menaikkan BBM hingga 100 persen lebih, juga impor beras dari Vietnam beberapa waktu lalu. Mestinya organisasi ini berani bersuara lantang menolak kedua kebijakan tersebut karena di samping mengancam perekonomian nasional, juga akan berdampak langsung bagi kehidupan rakyat kecil, yang mayoritas adalah warga NU.
Namun apa yang kita saksikan bersama.? Jangankan menolak, organisasi ini bahkan diam seribu bahasa seakan setuju dengan kebijakan tersebut. Parahnya lagi, organisasi ini bahkan tidak pernah memberikan ‘sekedar’ teguran pada para pengelola negara yang ‘dholim’ ini. Membiarkan masyarakat tetap diperlakukan negara secara semena-mena seperti sekarang.
Pun demikian, bukan berarti organisasi ini tidak bisa memainkan peran penting dalam keikutsertaannya membangun bangsa. Masih ada banyak celah dan kesempatan yang bisa dimainkan organisasi ini. Meskipun itu hanya bisa dilakukan dengan cara-cara yang sangat sulit. Pertama, Organisasi ini harus bisa membentengi dirinya sendiri agar tidak lagi dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki nafsu politik. NU harus disterilkan dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Caranya, orang-orang yang pernah memiliki dosa politik seperti kiai Hasyim Muzadi (Ketua PBNU), dan para pengurus yang pernah mencalonkan diri menjadi Bupati, Wakil Bupati, atau jabatan politik lainnya dan kemudian tidak terpilih, atau sedang berkeinginan mengejar jabatan politik tertentu, sebelum masanya kompetisi dimulai dan untuk seterusnya, harus mengundurkan diri dari kepengurusan NU. Bukan sekedar non aktif, kemudian setelah kompetisi selesai kembali lagi ke NU.
Ini penting sebagai pertanggungjawaban moral pribadinya, dan juga agar NU secara organisasi tidak terus-menerus memikul beban politik akibat kekalahannya. Sekarang ini, banyak sekali orang-orang di NU yang menjalani kehidupan organisasi seperti yang dilakukan kiai Hasyim, kembali ke NU setelah kalah dalam kompetisi, dan sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukannya.
Kedua, mengembalikan NU ke dalam ruh-nya semula, sebagaimana yang tercantum dalam Qonun Asasi pendirian organisasi, bahwa NU adalah jam’iyah diniyah ijtima’iyah, organisasi sosial keagamaan. Organisasi ini harus ditarik kembali ke dalam rel-nya untuk melakukan kerja-kerja sosial, mendampingi dan memberdayakan masyarakat yang hak-haknya dikebiri para penguasa. Atau dengan bahasa lain, mendampingi masyarakat agar ketaatannya memenuhi kewajibannya, memperoleh balasan yang setimpal dengan hak yang mesti didapatkannya dari negara. Hak atas pendidikan, kesehatan, keamanan, kesejahteraan dan lainnya. NU harus memandaikan seluruh warganya agar tidak terus dibodohi.
Ketiga, merumuskan kembali prioritas yang harus dikerjakan. Jika NU adalah lautan masalah, sama dengan kondisi bangsa yang juga lautan masalah, maka memprioritaskan isu yang harus dikawal dan dikerjakan secara serius adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Misalnya, jika benar bahwa kemelaratan yang dialami warga nahdliyin, atau warga negara secara keseluruhan adalah karena uang negara dikorupsi sampai tak terhingga, maka tiada cara lain kecuali NU ikut terjun langsung menangani masalah tersebut.
Memang sekarang ini PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) telah memiliki agenda (lebih tepatnya kegiatan) pemberantasan korupsi. Tetapi menurut hemat penulis, kegiatan itu masih sebatas ‘wacana’, masih sebatas pemberantasan di atas mimbar-mimbar seminar. Mestinya, jika NU serius ingin membantu bangsa memerangi korupsi, kegiatannya bukan hanya di panggung-panggung seminar, tetapi lebih fokus pada tindakan yang lebih konkrit. Misalnya dengan melakukan bedah APBD (Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah), bahkan kalau perlu APBN, apakah pembuatan dan penetapan APBD dan APBN itu memihak masyarakat atau tidak. Apakah pelaksanaan anggaran itu ada kebocorannya atau tidak.
Tapi, semuanya lagi-lagi kembali kepada para pengelolanya itu sendiri. Jika motivasinya masuk ke NU hanyalah untuk menjadikan organisasi ini sebagai ‘halte’ pemberhentian bus, menunggu bus (tawaran untuk menduduki jabatan politik, menjadi anggota DPR atau menteri, atau pejabat eselon) baru dan lebih bagus, lalu halte akan ditinggalkan begitu saja, maka kehancuran organisasi hanyalah menunggu waktu. Secara perlahan tapi pasti, warga nahdliyin akan berbondong-bondong meninggalkan NU, atau tidak lagi merasa memiliki NU, karena organisasi yang menaunginya tidak pernah lagi memperhatikan atau peduli lagi dengan nasibnya.
Dan memasuki usinya yang ke-81 (31 Januari 1926 – 31 Januari 2007) ini, NU dihadapakan pada dua pilihan yang sangat berat, membiarkan keadaan organisasi tetap berlangsung seperti sekarang, atau memperbaikinya. Pilihan pertama jelas akan membawa organisasi pada jurang kehancuran. Ditinggalkan umat karena tidak memberikan manfaat apa-apa. Sementara pilihan kedua sebenarnya bisa menyelamatkan organisasi dan membawa kemaslahatan.
Problemnya, seberapa banyak dari para pengurus NU yang berkeinginan untuk merubah keadaan demikian.? Menjadikan NU kembali pada real yang sebenarnya sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah (organisasi sosial keagamaan). Ini penting karena semenjak NU membidani lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) pada 1998, ditambah majunya dan kalahnya Hasyim Muzadi menjadi cawapres mendampingi Megawati pada pemilu 2004 kemarin, perjalanan jam’iyah ini seakan limbung, para pengurusnya lebih peka dengan isu-isu politik ketimbang isu yang berkaitan langsung dengan problem riil masyarakat banyak.
Lalu apa lagi yang bisa kita banggakan dari NU jika keadaannya masih tetap seperti sekarang? Masihkah kita akan menepuk dada bahwa NU adalah sumber moral? Di mana kontribusi NU dalam usaha pemberdayaan umat? Masihkah kita bangga dengan jumlah pengikut sangat besar tetapi tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam membangun bangsa karena NU hanya diisi oleh orang-orang yang oportunis.?
Mengutip ungkapan Masdar F. Mas’udi (2005), NU harus bisa mendefinisikan dirinya, bahwa kemajuan bangsa hanya bisa terjadi jika NU bisa menyelesaikan problem yang dihadapi warganya sendiri. Karena ketika NU bisa menyelesaikan problem-problem yang sedang dihadapi para warganya, dan kemudian mereka menjadi maju, maka secara otomatis bangsa ini juga akan ikut bergerak maju. Hal ini karena 40 persen pemilih di Indonesia (menurut survey LSI Juli 2004) adalah nahdliyin. Selamat ulang tahun. Semoga keberadaanmu semakin bisa dirasakan banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar