ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 05 Agustus 2011

Perbedaan Karamah Dengan Peristiwa Luar Biasa Lainnya

Perbedaan Karamah Dengan Peristiwa Luar Biasa Lainnya
============================
Terdapat perbedaan antara mukjizat dengan kejadian luar biasa lainnya dalam pembukaan kitab Hujjatullah 'ala al-'Alamin. selain pendapat imam-imam yang berkompeten dalam hal ini seperti Al-Mawardi, Al-Sya'rani, Al-Qasthalani, Ibnu Hajar, dan lain-lain. selanjutnya dijelaskan yang bersumber dari ucapan Sayyid Muhyiddin Ibnu 'Arabi r.a. dalam bab 186 kitab Mawaqif al-Nujum tentang mengetahui maqam peristiwa luar biasa:

Peristiwa luar biasa terbagi menjadi beberapa macam.
Saya akan mengemukakan batasan-batasannya
Diantaranya, peristiwa luar biasa
yang muncul untuk menunjukkan kebenaran
Seperti mukjizat para Rasul
Yang lainnya ada beberapa macam
Tiada ilmu untuk bisa menjelaskannya
Semuanya termuat jelas dalam kitabullah
Cobalah kaji dalam tulisannya
Kabar gembira, sihir, tipu muslihat atau
tanda-tandanya Semua telah disebutkan dalam kitabullah
Semuanya diringkas dalam lima macam
Terkenal di kalangan orang-orang yang mampu melihatnya

Perlu diketahui, peristiwa luar biasa itu ada beberapa macam; di antaranya, peristiwa luar biasa yang muncul karena kekuatan diri, yaitu apabila orang alim berbuat dosa, lalu ia melakukan hal-hal luar biasa untuk memenuhi keinginannya itu. Demikian Allah mengabulkan kehendaknya. Terkadang berupa tipu muslihat yang sudah diketahui, seperti al-qalfitriyat dan hal-hal yang sudah dimaklumi ulama, terkadang berupa kemampuan mengatur huruf-huruf dengan astrologi, ini berlaku untuk ahli astronomi. Terkadang berupa penyebutan nama-nama, lalu muncul hal-hal luar biasa menurut pandangan mata orang yang melihatnya, yang berbeda dengan kebiasaan.
Peristiwa tersebut muncul sesuai dengan kekuatan nama yang disebutkan. Semua ini terjadi di bawah kekuasaan makhluk atas izin Allah. Dan semua peristiwa luar biasa ini muncul melalui kekuatan ilahi, manusia tidak mempunyai andil dan kekuasaan, tetapi Allah-lah yang menampakkannya atau muncul atas perintah Allah dan petunjuknya.
Kejadian-kejadian luar biasa mempunyai tingkatan sebagai berikut; ada yang disebut mukjizat yang memiliki syarat dan sifat tertentu yang sudah diketahui. Ada yang disebut sebagai ayat, bukan mukjizat. Ada yang dinamakan karamah, muayyadah, munabbihat dan baitsah, jaza', makr, dan istidraj. Selain mukjizat, semua kejadian luar biasa ini tampak tanda-tandanya pada diri orang-orang yang menempuh jalan Allah meskipun mereka tidak mengetahuinya. Berbeda dengan mukjizat, karena para pemiliknya mengetahui apa yang ada dalam diri mereka. Apakah kejadian-kejadian luar biasa ini terjadi dengan campur tangan Allah atau tidak? Hanya mukjizat dan ayat yang pasti terjadi karena pertolongan Allah, oleh karena itu keduanya harus diyakini dan
diceritakan. Demikian juga dengan muayyadah, selain dua hal ini masih merupakan kemungkinan seperti yang telah kami jelaskan.

Kejadian luar biasa yang muncul dari para wali tidak akan terjadi pada orang yang mampu menampakkan kejadian luar biasa tetapi kemampuan itu digunakan untuk hal yang mubah, atau melakukan perbuatan yang dilarang karena godaan setan, atau meninggalkan suatu kewajiban syariat. Barangsiapa mempunyai hal luar biasa dalam dirinya, maka Allah akan memberinya kemampuan melakukan hal-hal luar biasa di dunia ini seperti kemampuan berbicara melalui kontak batin atau berjalan di udara, dan lain-lain. Ibnu 'Arabi telah menjelaskan karamah, tingkatan-tingkatan, dan hasil-hasilnya dalam kitab Mawaqi' al-Nujum. Kitab ini hanya menceritakan karamah-karamah saja bukan menjelaskan pengetahuan tentangnya. Mawaqi' al-Nujum adalah sebuah kitab dengan metode yang sahih, sangat bermanfaat, dan kecil bentuknya. Penulisnya menjelaskannya secara teratur karena keteraturan merupakan asal adanya alam. Dan kejadian luar biasa termasuk kejadian alam.

Allah membuat tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam ini, baik yang biasa maupun yang luar biasa. Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah di alam ini yang bersifat biasa hanya bisa dipahami oleh ahlul fahmi (orang yang memahami Allah secara khusus) dan selain mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang kehendak Allah. Allah telah memenuhi Al-Qur'an dengan ayat-ayat yang menerangkan tanda-tanda kekuasaan Allah berupa kejadian-kejadian yang biasa, seperti perbedaan malam dan siang, turunnya hujan, keluarnya tumbuh-tumbuhan, berlayarnya kapal di laut, perbedaan bahasa dan warna, tidur di waktu malam dan kerja di waktu siang. Semua dijelaskan dalam Al-Qurxan sebagai tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal, mau mendengar, bisa memahami, beriman, mengerti, meyakini, dan mau berpikir. Di samping itu, tidak ada yang mau memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah kecuali Ahlullah, yaitu ahli Al-Qur'an secara khusus.

Adapun tanda-tanda kekuasaan Allah yang luar biasa adalah adanya kejadian-kejadian di luar kebiasaan manusia. Kejadian-kejadian tersebut memberi pengaruh kejiwaan atas manusia, seperti goncangan, gempa bumi dan gerhana, binatang berbicara, berjalan di atas air atau di udara, mengetahui peristiwa yang akan datang sebatas yang diketahui, berbicara melalui batin, sedikit makanan yang mengenyangkan banyak orang, hal ini dijadikan pelajaran oleh orang kebanyakan pada khususnya. Kalau suatu peristiwa yang luar biasa tidak membuat orang menjadi istiqamah, sadar, dan tidak mendorong untuk kembali kepada Allah dan tidak berpengaruh sedikit pun baginya, maka hal itu disebut makar dan istidraj karena dia tidak tahu bahwa itu adalah tipuan setan yang kuat yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang ingkar.

Kejadian-kejadian luar biasa mengandung rahasia yang mengagumkan bagi para ahli ma'rifat, dan kalau tidak berbahaya disiarkan kepada orang awam, kami pasti akan menjelaskannya. Kejadian luar biasa terjadi hanya satu kali, kalau terjadi dua kali maka disebut hal yang biasa. Pada hakikatnya, kejadian luar biasa selalu merupakan kejadian baru, kalau kemudian terulang maka tidak dinamakan kejadian luar biasa, paling ada kejadian yang serupa dengannya.
Dalam kitab Al-Futuhat al-Makiyyah dan Mawaqi' al-Nujum, kitab yang banyak faedahnya, kecil bentuknya, ditulis dalam cetakan lama kira-kira 100 halaman, dan dikarang pada 595 M, Ibnu 'Arabi menyatakan, "Manusia tidak bisa mengetahui hakikat kejadian-kejadian luar biasa. Allah lebih berhak disembah tetapi kejadian-kejadian luar biasa telah menutup mata buta yang hanya mengutamakan hal-hal lahir kehidupan dunia yaitu wujud kehidupan kedua (al-mitslu al-tsani)daripada kehidupan akhirat. Mereka lalai dan terpedaya kehidupan dunia. Kemungkinan itu tidak terbatas, kekuasaan adalah jendelanya, dan kebenaran adalah pasti. Mana pengulangan itu? Tidak masuk akal kalau tidak ada pengulangan karena pengulangan
merupakan kejadian luar biasa."
Syaikh Muhammad bin 'Ibad al-Randa dalam syaraknya tentang hikmah yang dianugerahkan Allah, berkata, "Setiap orang yang merasa dirinya istimewa, tidak sempurna keikhlasannya." Keistimewaan yang dimaksud di sini adalah kemuliaan, pertolongan, perlindungan, kasih sayang, dan penjagaan yang dilimpahkan Allah kepada sebagian hamba-Nya. Di antara mereka ada yang terus menerus mendapatkan karunia-karunia di atas dari Allah hingga tampaklah kearifannya, sehingga mereka mempunyai keistimewaan dibandingkan orang lain dan alam ini. Mereka adalah orang-orang khawwash yang dekat dengan Allah, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu ma'rifatullah dan mencintai Allah. Di antara mereka ada yang diberi kemampuan mencapai puncak kesempurnaan dan Allah menjaga keadaannya dengan menganugerahinya ilmu dan perbuatan yang pantas baginya. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah, golongan kanan,
ahli zuhud, ahli mujahadah, dan ahli zikir. Meskipun mereka sejajar dengan orang-orang yang pertama kali masuk surga karena mendapatkan kemurahan, kemuliaan, dan kemampuan dari Allah untuk melakukan tugas, ketaatan dan ibadah hanya kepada-Nya, mereka tidak memandang diri mereka istimewa, selalu menjaga langkah, bahkan menjaga sebab-sebab untuk mendapatkan karunia Allah tersebut, dan percaya akan adanya hijab.
Allah memberikan keistimewaan kepada mereka dengan menampakkan karamah di tangan mereka dan melalui perantaraan mereka, sebagai penenang jiwa dan penguat keyakinan dalam hati. Para sahabat Rasulullah yang termasuk golongan yang pertama masuk surga tidak mendapatkan karamah karena mereka tidak membutuhkannya dan karena kedalaman keyakinan, kekokohan dan keteguhan mereka. Sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab Awarif al-Ma'arif bahwa orang yang tidak mampu menyingkap makna kejadian-kejadian luar biasa terkadang lebih utama daripada yang mampu menyingkapnya bila telah disingkapkan oleh Allah dengan ma'rifat. Kekuasaan adalah bukti adanya Zat Yang Maha Kuasa.
Dan orang yang secara khusus mendekat kepada Yang Maha Kuasa tidak memandang aneh kejadian-kejadian luar biasa, ia melihatnya tampak nyata dari tabir alam hikmah. ' i < Al-Syibli r.a. diberitahu tentang Abu Turab yang kelaparan di gurun pasir lalu ia melihat gurun pasir itu penuh berisi makanan. Al-Syibli kemudian berkomentar, "Abu Turab adalah hamba yang ditolong oleh Allah, kalau ia mencapai tempat kebenaran, maka dia akan seperti orang yang berkata, 'Aku menginap di sisi Allah, maka Dia akan memberiku makan dan minum.'" Al-Syibli menjelaskan dalam kitab Lathaif al-Minan bahwa karamah dalam diri seorang wali terkadang tampak oleh dirinya sendiri dan terkadang tampak oleh orang lain. Jika seorang wali melihat adanya karamah dalam dirinya, berarti ia mengetahui kekuasaan dan keesaan Allah dan mengetahui bahwa kekuasaan-Nya itu tidak mengikuti sebab akibat. Allah-lah yang telah menetapkan adanya kejadian-kejadian yang biasa, bukan kejadian-kejadian biasa yang menetapkan adanya Allah. Allah-lah yang telah membuat kejadian-kejadian yang biasa, perantara-perantara, dan sebab-sebabnya untuk menutupi kekuasaan dan menyelubungi cahaya keesaan-Nya. Orang yang tidak mempercayainya adalah hina dan orang yang terbuka hatinya serta percaya bahwa Allah pelakunya, maka dia itu mulia.

Al-Syibli selanjutnya mengutip pendapat Syaikh Abu Hasan yang mengemukakan bahwa karamah berfaedah untuk memperkuat keyakinan kepada ilmu, kekuasaan, kehendak dan sifat-sifat azali Allah yang menyatu dan tidak berdiri sendiri, seakan-akan satu sifat vang menyatu dalam Zat Yang Maha Esa. Tidaklah sama antara orang yang mengenal Allah melalui mata hatinya dengan orang yang mengenal Allah melalui akalnya. Karamah adalah penguat keyakinan bagi orang yang dianugerahi karamah seperti yang dialami oleh para wali di awal laku spiritualnya dan tidak dialami para ulama yang telah sempurna laku spiritualnya karena sudah mempunyai keyakinan yang mendalam, sehingga mereka tidak membutuhkan karamah untuk memperkuat keyakinan mereka. Demikianlah keadaan para sahabat Rasulullah. Allah tidak perlu menampakkan karamah berupa fisik pada mereka karena Allah telah menganugerahi mereka pengetahun tentang hal-hal gaib, pengetahuan musyahadah, laksana gunung yang tak membutuhkan tiang.

Karamah dimunculkan karena adanya keraguan terhadap karunia Allah dan untuk mengetahui karunia Allah pada orang yang mempunyainya. Karamah adalah bukti bahwa orang yang mempunyainya istiqamah dalam beribadah kepada Allah. Sikap manusia terhadap karamah ada tiga macam: Pertama, golongan yang menjadikan karamah sebagai puncak kekuatan. Apabila mereka menemukan orang yang mempunyai karamah mereka memuliakannya, dan apabila karamah lenyap dari diri seseorang, mereka tidak memuliakannya. Kedua, golongan yang meragukan karamah dan menganggapnya sebagai tipuan yang dilakukan oleh para pencinta dunia untuk menjaga kedudukan mereka sehingga mereka tidak bisa mencapai kedudukan yang bukan haknya. Abu Turab al-Nakhsyabi bertanya kepada Abu Abbas al-Riqi, "Apa pendapat teman-temanmu tentang karamah yang merupakan cara Allah memuliakan hambanya." Abu Abbas menjawab, "Saya tidak melihat satu pun dari mereka yang tidak mempercayainya." Kemudian Abu Turab berkata, "Barangsiapa tidak mempercayainya, maka dia telah kafir. Yang saya tanyakan adalah pendapat mereka tentang ahwal (keadaan ketika orang alim dekat dengan Allah)." Abu Abbas menjawab, "Saya tidak tahu pendapat mereka." Abu Turab berkata lagi, "Sesungguhnya teman-teman- mu berkeyakinan bahwa karamah adalah tipuan untuk memalingkan manusia dari kebenaran, padahal sebenarnya tidak begitu, karena tipuan bersifat menenangkan orang yang memilikinya. Maka barangsiapa yang tidak gembira dan tidak merasa aman dengan adanya karamah, berarti ia telah mencapai tingkat rabbaniyyin." Cerita ini berasal dari Abu Turab r.a. ketika ada beberapa temannya yang kehausan, lalu ia memukulkan tangannya ke atas tanah dan tiba-tiba mengalirlah air dari tanah tersebut. Kemudian ia berkata, "Aku ingin minum dengan gelas," lalu ia memukulkan tangannya ke tanah tiba-tiba ia memegang gelas dari kaca putih, ia minum dan memberi minum kami semua. Abu Abbas berkata, "Gelas itu kami bawa sampai ke Mekah." Syaikh Abu Hasan berkata, "Kesimpulannya, kita tidak pantas meminta karamah dari Allah. Barangsiapa dikaruniai karamah, berarti Allah memuliakannya karena hal itu menjadi bukti bahwa dia istiqamah dalam beribadah kepada Allah." Ketiga, tampaknya karamah dalam diri seorang wali di hadapan orang lain. Maksudnya adalah supaya orang yang menyaksikannya mengakui kebenaran jalan yang ditempuh wali yang dikaruniai karamah tersebut. Baik orang itu dulunya mengingkari karamah kemudian mengakuinya, atau dulu ia kafir lalu beriman, atau dia ragu akan keistimewaan seorang wali kemudian muncul karamah dalam diri wali tersebut supaya Allah menunjukan kebaikannya kepada orang lain.

Abu Nashr al-Siraj bertanya kepada Abu Hasan bin Salim, "Apa makna karamah, sampai-sampai orang yang memilikinya meninggalkan dunia sebagai ladang ikhtiar, bagaimana mungkin mereka mulia dengan merubah batu menjadi emas?" Abu Hasan menjawab, "Mereka dianugerahi karamah bukan karena mereka menguasainya, tetapi karena mereka membutuhkannya dalam keadaan terpaksa dan untuk menghilangkan kesedihan karena kurangnya rezeki yang telah dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga mereka mengatakan, 'Allah berkuasa mengubah batu menjadi emas, seperti yang terlihat. Dia berkuasa memberikan rezeki kepadamu dari arah yang tidak disangka-sangka.' Para wali memerlukan karamah untuk mendidik jiwa mereka karena tidak adanya rezeki.

Karamah adalah bukti kuat bagi mereka dan sarana untuk melatih dan mendidik jiwa." Dalam hal ini, Abu Nashr pernah mendengar Ibnu Salim bercerita tentang hikayat Sahi bin 'Abdullah r.a. yang mengisahkan bahwa ada seorang laki-laki Basrah bernama Ishaq bin Ahmad yang tergolong memiliki banyak harta, tetapi ia kemudian meninggalkan hartanya. Ia bertobat dan bersahabat dengan Sahl. Pada suatu hari ia berkata kepada Sahi, "Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya jiwaku tidak bisa lepas dari bisikan dan teriakan takut kehilangan makanan dan harta." Sahl menjawab, "Ambil batu lalu mintalah kepada Allah untuk mengubahnya menjadi makanan yang bisa kau makan." Ishaq berkata, "Siapa panutanku untuk melakukan hal itu?" Sahl menjawab, "Panutanmu adalah Nabi Ibrahim ketika ia berkata, 'Ya Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.' Allah bertanya, 'Apakah kamu belum percaya?' Ibrahim menjawab, 'Aku telah percaya, tetapi agar hatiku bertambah kuat (Al-Baqarah [2]: 260)." Artinya, jiwa hanya akan puas setelah melihat secara langsung karena ia diliputi keraguan, seolah-olah Ibrahim berkata, "Ya Tuhan, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati agar hatiku bertambah kuat. Aku sebenarnya sudah percaya kepada-Mu, tetapi jiwa tidak puas apabila tidak melihat langsung." Demikian juga para wali Allah dianugerahi karamah untuk mendidik dan memperhalus jiwa serta sebagai keutamaan tambahan bagi mereka. Demikianlah pendapat Abu Nasr. Salah seorang ulama berpendapat bahwa karamah hanya dimiliki oleh orang-orang jujur yang bodoh.

Pada suatu hari, seorang sahabat Sahl bin 'Abdullah r.a. berkata kepadanya, "Tatkala aku berwudhu untuk shalat, tiba-tiba air yang mengalir di tanganku berubah menjadi segenggam emas dan perak." Sahl kemudian berkata kepadanya, "Yang saya tahu, jika anak kecil menangis ia diberi mainan agar tenang." Al-Junaid menceritakan bahwa Abu Hafshah al-Naisaburi dan 'Abdullah al-Ribati beserta jamaahnya pernah berkunjung kepadanya. Di antara mereka ada yang kepala bagian depannya botak dan sedikit bicara. Pada suatu hari, si kepala botak bertanya kepada Abu Hafsah, "Salah seorang jamaah yang kemarin ke sini memiliki tanda-tanda karamah yang nyata, tetapi aku tidak melihat sesuatu pun pada dirimu." Abu Hafshah r.a. menjawab, "Kemarilah," kemudian ia membawanya ke pasar pandai besi. Abu Hafshah menuju tungku besar dan memasukan besi besar ke dalam tungku kemudian memasukan tangannya ke tungku tersebut dan mengambil besi yang terbakar itu lalu mengeluarkannya hingga menjadi dingin di tangannya.

Kemudian ia berkata kepada orang itu, "Inikah yang kau inginkan?" Beberapa orang di antara mereka menanyakan tujuan menampakkan karamah, ia menjawab, "Hal itu menunjukkan bahwa orang yang memilikinya adalah orang yang mulia dan ia takut kalau tidak menunjukkannya, keadaannya akan berubah. Maka ia menunjukkannya untuk memperoleh simpati, menjaga keadaannya, dan menambah imannya. Akan tetapi para ahli ma'rifat dan para ahli hakikat menghindar dan takut untuk menunjukan karamah mereka." Salah seorang ulama salaf berkata, "Tipu daya yang paling tidak kentara bagi para wali adalah karamah dan ma'nah" Diceritakan bahwa ketika Abu Hafs duduk dengan teman-temannya, ada seekor kijang turun dari gunung dan ia meminta berkah kepada mereka. Abu Hafs lalu menangis, kemudian ia ditanya kenapa menangis. Abu Hafs menjawab, "Ketika kalian duduk di sampingku tiba-tiba terbesit dalam hatiku apabila aku mempunyai kambing, maka akan aku sembelih untuk kalian. Maka ketika kijang ini meminta berkah kepada kita aku merasa diriku seperti Fir'aun ketika meminta kepada Allah untuk mengizinkannya berlayar di Sungai Nil lalu Allah mengizinkannya. Lalu aku menangis dan bertanya kepada Allah tentang apa yang diminta dan diharapkan kijang tersebut."

Diceritakan bahwa salah seorang Abdal berkata kepada salah satu murid Syaikh Abu Madyan r.a., "Apa yang terjadi pada kita sehingga kita sulit melakukan sesuatu, sedangkan Abu Madyan mudah sekali melakukannya, padahal kita ingin mencapai kedudukan seperti kedudukannya sedangkan ia tidak menginginkan kedudukan kita?" Pembicaraan tersebut terdengar oleh Syaikh Abu Madyan, lalu ia berkata, "Katakan padanya bahwa kami akan meninggalkan tujuan kami untuk tujuannya." Diceritakan bahwa suatu kali Syekh Abu Madyan berjalan di gurun pasir sampai ke sebuah sumur yang airnya meluap hingga bibir sumur, lalu ia berkata, "Aku tahu Engkau mampu melakukan ini sedangkan aku tidak mampu melakukannya. Seandainya Engkau mendatangkan seorang badui kepadaku, niscaya ia akan menamparku dan memberiku minum, sungguh hal itu lebih aku sukai dan aku tahu bahwa bantuan orang badui itu bukan dari dirinya sendiri." Yahya bin Mu'adz al-Razi r.a. berkata, "Apabila kamu melihat orang menunjukkan tanda-tanda karamah, berarti jalan spiritualnya adalah jalan kaum Abdal. Jika kamu melihat orang menunjukkan karamah dan menyenandungkan pujian kepada Allah, berarti ia menempuh jalan cinta. Jalan kedua ini lebih utama daripada jalan pertama.

Dan apabila kamu melihat orang yang berzikir dan hatinya bergantung kepada yang ia zikirkan, berarti ia menempuh jalan ahli ma'rifat {'arifin). Inilah jalan yang paling tinggi derajatnya." Abu Yazid r.a. berkata, "Pada permulaan olah spiritualku, Allah Swt. memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya dan karamah, tetapi aku tidak mempedulikannya. Kemudian tatkala Allah memperlihatkan lagi kepadaku, tahulah aku bahwa Allah menjadikan hal tersebut sebagai jalan untuk mengenal-Nya." Selesailah penjelasan dalam Syarh Ibn 'Ibad atas kitab Al-Hikam. .. Kawan Sejati

Sufi Road : Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani

Posted: 09 Jul 2011 08:30 AM PDT
SYAIKHUL KARAMAH ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih dilahirkan di Ghujdawan, sebuah bandar yang berdekatan dengan Bukhara yang kini dikenali sebagai Uzbekistan. Bapaknya bernama Imam ‘Abdul Jalil Rahmatullah ‘alaih, seorang dari kalangan Wali Besar serta ‘Alim yang masyhur dalam berbagai bidang ‘Ilmu Zahir dan Batin di zaman kegemilangan Byzantin. Silsilah keturunan bapaknya sampai kepada Imam Malik Rahmatullah ‘alaih. Ibunya adalah seorang puteri Raja Seljuk Anatolia dari kerajaan Rom.

Semenjak zaman anak-anak lagi beliau telah mempelajari Al-Quran dan Tafsirnya, ‘Ilmu Hadits, Nahwu dan Saraf bahasa ‘Arab dan ‘Ilmu Fiqh dari Hadhrat Syeikh Sadruddin Rahmatullah ‘alaih di Ghujdawan. Setelah beliau menguasai bidang ‘Ilmu Syari’at, beliau telah mengalihkan tumpuannya kepada Mujahadatun Nafs sehinggalah dia telah mencapai pada suatu kedudukan yang tinggi lagi suci. Kemudian beliau telah berpindah ke Syria di mana dia telah mendirikan sebuah Madrasah yang telah melahirkan begitu banyak penuntut ilmu. Mereka kesemuanya menguasai bidang Fiqh dan Hadits serta ilmu-ilmu keruhanian di Tanah Khurasan dan di Tanah ‘Arab.

Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih telah memperolehi nisbat ‘Ilmu Batin menerusi Syeikh Yusuf Hamadani Rahmatullah ‘alaih. Beliau merupakan salah seorang khalifah besar Syeikh Yusuf Hamadani Rahmatullah ‘alaih dan mencapai kedudukan kewalian yang tertinggi dalam Silsilah ‘Aliyah Naqshbandiyah dan menjadi penghulu bagi Tariqat ini. Perkataan beliau adalah hujjah dan pada hakikatnya menjadi dalil bagi perjalanan Tariqat. Beliau merupakan Syeikh bagi sekalian Syeikh, Mujtahid serta Qutub pada zamannya. Beliau juga dikenali sebagai Syaikhul Karamah kerana memiliki banyak Keramat. Cahaya Ruhaniahnya bersinar seumpama mentari dan beliau merupakan seorang Mahaguru dalam tingkatan Ruhani yang tertinggi pada zamannya. Beliau merupakan seorang ‘Arif yang Kamil dalam bidang Tariqat Tasawwuf dan dianggap sebagai pancuran limpahan ‘Ilmu Ma’rifat di kalangan Para Asfiya serta diibaratkan seumpama sebuah mata air bagi Para Masyaikh dan Khwajahgan.

Khidhzr ‘Alaihissalam telah memberitahu suatu khabar berita yang gembira kepada bapanya Syeikh Imam ‘Abdul Jalil Rahmatullah ‘alaih sebelum kelahirannya, “Bahwa kamu akan menerima kelahiran seorang putera lelaki dan hendaklah diberikan nama ‘Abdul Khaliq kepadanya. Daku telah menerimanya sebagai anakku dan daku akan memberikan kepadanya sebahagian dari Nisbatku.”
Di dalam kitab Al-Hadaiqul Wardiyah ada menceritakan tentang bagaimana beliau telah mencapai tahap keruhanian yang tinggi dalam Silsilah Emas. Beliau telah memperolehi limpahan Faidhz dari Khidhzr ‘Alaihissalam setelah bertemu dengannya dan bersuhbah dengannya. Beliau mengambil darinya ‘Ilmu Ketuhanan dan menambahkannya pada ‘Ilmu Keruhanian yang telah diperolehinya dari Syeikhnya, Syeikh Yusuf Hamadani Rahmatullah ‘alaih.
Pada suatu hari, Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih sedang mempelajari ‘Ilmu Tafsir dari gurunya Syeikh Maulana Sadruddin Rahmatullah ‘alaih. Apabila tiba pada suatu ayat dari Surah Al-A’raf ayat 55 yang bermaksud, “Serulah Tuhan Pemeliharamu dengan merendahkan diri dan secara tersembunyi, sesungguhnya Dia tidak
mengasihi orang yang melampaui batas.” Beliau telah bertanya kepada Gurunya Syeikh
Maulana Sadruddin Rahmatullah ‘alaih bagi mendapatkan
kepastian tentang hakikat mengingati Allah secara tersembunyi dan bagaimanakah kaedah perlaksanaannya?
Lalu mengajukan soalan, “Tariqat apakah yang Allah Ta’ala terangkan ini? Jika orang yang berzikir melakukan Zikir dengan suara yang keras atau menggerakkan tubuh badan pada Maqam Zikirnya, maka zikirnya itu dapat diketahui oleh orang lain dan keadaan ini tidak lagi dinamakan sebagai Zikir yang tersembunyi dan jika dia berzikir menerusi hatinya, maka
menurut sebuah Hadits bahawa, “Syaitan mengalir di dalam urat saraf anak Adam pada tempat mengalirnya darah,” yang mana Syaitan pula dapat mengetahuinya. Maka
wahai Guruku, apakah yang dimaksudkan dengan menyeruNya secara tersembunyi di dalam hati?”
Gurunya pun menjawab,
“Ini adalah ‘Ilmu Laduni, ianya tersembunyi dan daku berharap mudah-mudahan Allah Ta’ala menemukan kamu dengan seorang Wali Allah yang dapat memberikanmu penjelasan di lidah dan di hatimu tentang hakikat Zikir yang tersembunyi ini.”

Semenjak dari waktu itu, Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih sentiasa sibuk mencari-cari Auliya Allah dan menanti-nanti bilakah doanya akan dikabulkan. Pada suatu ketika pada hari Jumaat, beliau sedang duduk di pintu gerbang sebuah taman, Syeikh h ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih terlihat seorang yang Salih datang kepadanya. Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih pun memberikan penghormatan serta memuliakan Buzurg tersebut.
Kemudian orang Salih itu berkata kepada Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih, “Wahai orang muda, aku mendapati kesan kesalihan ada di dalam dirimu, apakah kamu ada berbai’ah pada tangan dimana Syeikh?”
Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih pun berkata, “Tidak, semenjak sekian lama daku berusaha mencarinya.” Lalu orang Salih itu pun berkata,
“aku adalah Khidhzr dan aku telah menerimamu sebagai seorang dari anakku. aku akan memberi kamu suatu pelajaran dan hendaklah dikau tetap mengamalkannya dan padamu akan terbuka segala rahsia. Daku telah mendapat izinan dari Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mentalqinkan pada lidah dan pada hatimu akan suatu Zikir yang tersembunyi beserta jumlah bilangannya.” Kemudian Khidhzr ‘Alaihissalam menyuruh Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih turun ke tasik dan menyelam dalam air serta mengucapkan dalam hati kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH MUHAMMAD RASUL ALLAH. Syeikh ‘AbdulKhaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih pun terus mengerjakannya dan tetap dengan Zikir yang telah ditalqinkan oleh Khidhzr ‘Alaihissalam tersebut setiap hari sehingga terbuka berbagai rahsia tentang Nur, Hikmah, Cinta dan Jazbah terhadap Zat Yang Maha Suci pada hatinya.
Dengan mengamalkan Zikir tersebut, banyak orang mulai tertarik kepada Syeikh ‘Abdul KhaliqGhujduwani Rahmatullah ‘alaih dan telah menuntut untuk menuruti jejak langkah perjalanan Tariqatnya, maka beliau telah membawa mereka menuruti jejak langkah Hadhrat
Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam.

Setelah berlaku peristiwa itu, suatu ketika Syeikh Yusuf Hamadani Rahmatullah ‘Alaih telah tiba di Bukhara, maka Hadhrat Khwajah ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih pun mengambil kesempatan itu untuk pergi berkhidmat padanya dan telah mengambil Bai’ah darinya. Ketika berada di samping Hadhrat Khwajah YSyeikh ahmatullah ‘alaih, Syeikh
‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih sentiasa hadir untuk bersuhbah dengannya dan telah menghasilkan banyak faedah limpahan Faidhz dan Barakah darinya. Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih merupakan orang yang mula-mula dalam Silsilah Tariqat yang menggunakan Zikir Khafi dan telah dianggap sebagai seorang Mahaguru dalam perlaksanaan Zikir tersebut.
Khidhzr ‘Alaihissalam merupakan Syeikhnya dalam pelajaran Zikir dan Syeikh Yusuf Hamadani Rahmatullah ‘alaih adalah pula merupakan Syeikhnya dalam Khirqah dan Khilafat atas perjalanan Tariqat. Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih telah berkata,
“Ketika daku berusia 22 tahun, Syeikh Yusuf Hamadani telah mengarahkan Khidhzr ‘Alaihissalam agar tetap mendidikku dan tetap memerhatikan diriku sehingga saat kematianku.” Syeikh Muhammad Parsa Rahmatullah ‘alaih, seorang sahabat dan penulis riwayat Syeikh Shah Bahauddin Naqshband Rahmatullah ‘alaih menyatakan
dalam kitabnya Faslul Kitab bahawa kaedah Zikir yang diamalkan oleh Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani dan pengajarannya tentang lapan prinsip Tariqat telah dianuti dan diamalkan oleh kesemua 40 jalan Tariqat sebagai jalan menuju kebenaran dan kemuliaan serta jalan kesedaran dalam menuruti Sunnah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam dengan meninggalkan segala bentuk Bida’ah dan Mujahadah
untuk menundukkan segala nafsu yang bersifat rendah. Beliau merupakan seorang Mahaguru pada zamannya dan menduduki tingkatan yang tertinggi dalam bidang keruhanian.

Beliau telah menampilkan 8 prinsip asas Tariqat ‘Aliyah Taifuriyah Khwajahganiyah yang seterusnya menjadi asas bagi Tariqat ‘Aliyah Naqshbandiyah
seperti berikut:
1. Hosh Dar Dam - kesadaran dalam nafas.
2. Nazar Bar Qadam - memerhatikan pada langkah.
3. Safar Dar Watan - melakukan perjalanan dalam diri.
4. Khalwat Dar Anjuman - menyendiri dalam khalayak manusia.
5. Yard Kard - melakukan ingatan Zikir.
6. Baz Gasht - kembali ke Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
7. Nigah Dasyat - memelihara pandangan Musyahadah bersungguh-sungguh.
8. Yad Dasyat – melakukan ingatan Zikir denganbersungguh-sungguh.

Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih mempunyai empat orang Khalifah:
1. Syeikh Ahmad As-Siddiq Rahmatullah ‘alaih
2. Kabirul Awliya Syeikh ‘Arif Awliya Al-Kabir Rahmatullah ‘alaih
3. Syeikh Sulaiman Al-Kirmani Rahmatullah‘alaih
4. Khwajah ‘Arif Riwagari Rahmatullah ‘alaih

PERKATAAN PETUNJUKNYA DAN PETUNJUK
PERKATAANNYA
BELIAU sentiasa berada dalam hal keadaan Khauf dan ketakutan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehingga walau di mana saja beliau duduk, beliau akan duduk seolah-olah dirinya akan dibunuh. Pada suatu hari ketika berada di tempat ibadatnya, beliau sibuk dengan menangis. Para sahabatnya bertanya kepada beliau, “Dengan segala kelebihan yang Allah Ta’ala telah kurniakan kepadamu, mengapa kamu begitu Khauf ketakutan dan menangis?
Beliau menjawab,
“Apabila daku memikirkan tentang Sifat Allah Ta’ala yang tidak bergantung kepada sesuatu, maka Ruhku hampirhampir terkeluar dari jisimku dan tangisanku ini adalah disebabkan mungkin pada diriku ada sesuatu tindakanku yang tidak daku ketahui dan ianya tidak disenangi di hadapan Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Beliau pernah berkata,
“Ketika daku berusia dua puluh tahun, Khidhzr ‘Alaihissalam telah meminta Syeikh Yusuf Hamdani Rahmatullah ‘alaih memberikan dorongan kepadaku dan mewasiatkannya agar memberikan Tarbiyah kepadaku.”

Pada suatu ketika, seorang Darwish datang kepadanya lalu bertanya apakah arti Taslim? Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih punberkata,
“Taslim ialah apabila seseorang Mukmin itu dengan diri Nafsnya dan hartanya menerusi perjanjian Alastu Birabbikum, menjualkannya pada Tangan Allah Ta’ala lalu
membeli Syurga, dan sehingga kini inilah yang maksudkan dengan Taslim bahwa maksud Firman Allah Ta’ala,
“Seseungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin itu akan diri mereka dan harta mereka dengan menggantikan bagi mereka Syurga. Diri dan harta hendaklah
Taslim dengan menganggap bahawa diri dan hartanya adalah milik Allah dan memahami bahawa dirimu adalah amanah Haq Allah Ta’ala, sehinggakan setakat mana yang
kamu mampu, dengan diri dan hartamu itu buatlah kerja kebaikan terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala dan jangan mengharapkan sebarang Ihsan dari sesiapa pun. Harta dan kebendaan Duniawi hendaklah dikeluarkan dari hati dan dirimu hendaklah tetap memelihara Hukum Allah.” Pada suatu ketika, seorang Khadim datang kepadanya lalu bertanya apakah arti Faraghat? Syeikh ‘Abdul Khaliq Ghujduwani Rahmatullah ‘alaih pun berkata,
“arti Faraghat pada hati ialah seseorang itu tidak menemui sebarang jalan untuk mencintai Dunia bukan bermakna dia bebas dari sebarang urusan Dunia. Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menyatakan menerusi Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Fa Iza Faraghta Fansab” pada Surah Alam Nasyrah ayat 7 yang mafhumnya, “Maka apabila kamu telah selesai dari sesuatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain,” ianya bermaksud bahwa kosongkanlah hatimu kemudian sibukkanlah diri dengan mengingati Kami.
Sesungguhnya bagi Para Ahlullah, dalam urusan jual beli mereka dan perbualan mereka sesama makhluk tidak menjadikan ingatan Zikir terhadap Allah Ta’ala itu sebagai
suatu kesukaran. Kerana itulah Allah Ta’ala memuji jemaah golongan tersebut dan inilah yang dimaksudkan sebagai para lelaki yang sebenar menerusi FirmanNya,
“Para lelaki yang tidak dilalaikan pada mereka perniagaan dan tidak pula jual beli dari mengingati Allah Ta’ala.”
Seterusnya beliau berkata, “Jika kamu berada dalam golongan tersebut, maka semoga kamu memperolehi Keberkatan. Jika kamu tidak tidak berupaya menjadi seperti golongan tersebut, maka hendaklah kamu berkhidmat kepada golongan tersebut dengan diri dan harta kamu, dan menenteramkan hati mereka dan menyediakan asbab Faraghat untuk mereka supaya mereka dapat menyibukkan diri mereka mengingati Allah dengan hati yang tenang dan bagi kamu juga akan dapat memperolehi bahagian dari amalan kebaikan mereka kerana kekuatan yang diperolehi menerusi suapan makanan yang mana mereka dapat melaksanakan amal ketaatan dan ‘Ibadah, pahalanya akan diberikan juga kepada orang yang memberinya makanan dan minuman, dan darjat, maqamat serta kesempurnaan mereka juga akan dituliskan kepada
orang yang memberikan makanan dan minuman kepadanya, dan barangsiapa yang mengasihi mereka dan sentiasa membantu keperluan mereka, menurut firman Nabawi
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam,
“Al-Mar-u Ma’a Man Ahabba,” yang bermaksud bahawa pada Hari Qiyamat, Insan akan ditempatkan

bersama mereka yang dicintainya sewaktu di Dunia. Dari kalangan mereka itu terdapat sebagian yang meletakkan pengkhususan dalam Ma’iyat mencintai Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, maka pada waktu itu mereka akan dikurniakan dengan Tasarruf Ketuhanan.
“Jazbatun Min Jazbatillah Tawari ‘Amalats Tsaqilain,” yang bermaksud bahawa satu Jazbah dari Jazbah yang dikurniakan oleh Allah Ta’ala adalah melebihi amalan sekalian Jin dan Manusia. Maka inilah merupakan hal keadaan mereka, bahawa barangsiapa yang berkhidmat
kepada mereka dengan sebahagian diri dan hartanya, juga akan bernasib baik menerima kebaikan-kebaikan mereka dan ini akan menjadi suatu nikmat yang besar kepadanya yang mana jika berkumpul seluruh manusia dari Timur dan Barat masih tidak akan dapat memikirkan keadaan orang yang memberikan khidmat tersebut, seumpama berada di atas
titian yang tidak diketahui dari mana puncanya dan ke mana penghujungnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisyarahkan perkara ini menerusi FirmanNya yang
bermaksud,
“Dan apa-apa yang telah Allah Ta’ala kurniakan kepadamu hendaklah kamu menggunakannya untuk membina Negeri Akhirat dan janganlah melupakan bahagian
kamu di dunia, dan berbuatlah kebaikan dengan makhluk Allah sepertimana Allah telah berbuat kebaikan kepada kamu.” Melakukan sesuatu khidmat kepada Ahli Allah
adalah bererti melakukan sesuatu untuk mencapai keredhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

Sumber : AR-RISALAH AL-‘ALIYAH
Faqir Maulawi Jalalluddin Ahmad Ar-Rowi An-Naqshbandi Al-Mujaddidi Al-Uwaisi
‘Ufiya Allahu ‘Anhu Wali Walidaihi
sumber:http://sufiroad.blogspot.com/2011/07/sufi-road-perbedaan-karamah-dengan.html?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+SufiRoad+%28Sufi+Road%29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar