ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Kamis, 24 Maret 2011

antara “penghormatan” dengan “penyembahan atau pengabdian”, antara “respect” dengan “worship”:Tabarruk: Sunnah Nabi SAW

Adab Hormat dan Tabarruk: Sunnah Nabi yang Dilupakan (bagian 1)
===========================================
Sudah maklum >antara “penghormatan” dengan “penyembahan atau pengabdian”, antara “respect” dengan “worship”: bahwa Atribut ketuhanan atau “Lordship” atau “Uluhiyyah” hanyalah milik Allah ‘Azza wa Jalla
===========================================
A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim
Bismillahirrahmanirrahiim
Walhamdulillah wassholatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi
wasahbihi wa man tabi’ahum bi-ihsanin ilaa yaumiddin

PENGENALAN
==================================
Dewasa ini, di kalangan ummat Islam urban, khususnya yang tidak
dibesarkan dalam tradisi ulama-santri, penghormatan terhadap persona
ulama’ atau Awliya’ Allah semakin berkurang. Islam dan pengetahuan
yang terkandung di dalamnya hanya dipandang sebagai sesuatu yang
tekstual yang dapat dipelajari dengan cara membaca begitu saja di
buku-buku ataupun sumber-sumber online.

Padahal sejak 1400 tahun yang lampau, tradisi keilmuan Islam amat
mementingkan interaksi langsung antara sang guru, sang ulama dengan
murid-muridnya. Dalam interaksi inilah, tersampaikan tidak hanya
apa-apa yang tersurat, melainkan juga yang tersirat. Diriwayatkan
bagaimana Imam Malik rahimahullah ketika meriwayatkan suatu hadits
Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam pada murid-muridnya, begitu
berhati-hati beliau, dan tak jarang hingga menangis, karena kerinduan
mendalam pada persona Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam yang beliau
sampaikan perkataan atau perbuatannya. Jelas adab beliau seperti ini
jarang turut termaktub dalam kitab-kitab beliau, kecuali kalau kita
berguru pada mereka-mereka yang memang memiliki jalur keilmuan hingga
beliau, yang mewarisi tidak hanya ilmu beliau, tetapi juga adab beliau.

Keterasingan ummat Islam saat ini akan adab-adab seperti ini, salah
satunya adalah karena derasnya arus reformasi menyesatkan dari salah
satu aliran Islam yang muncul beberapa ratus tahun lalu di Najd
[daerah timur semenanjung Arabia]. Aliran Islam ini, akhir-akhir ini
dengan berbagai bentuknya, dengan dukungan pendanaan dan organisasi
yang hebat semakin deras mencuci otak sekalangan ummat Islam hatta
mereka yang tadinya dibesarkan dalam tradisi Ahlussunnah al Jama’ah.
Akibatnya, tradisi luhur Ahlussunnah wal Jama’ah berupa adab
penghormatan terhadap Awliya’ dan Ulama’ serta barang maupun anggota
badan mereka, yaitu praktik “Tabarruk”, dianggap sebagai suatu
perbuatan syirik oleh mereka, suatu dosa besar yang tak diampuni.

Benarkah tuduhan mereka seperti itu? Apa sebenarnya hakikat syirik,
dan apa pula hakikat ber-adab serta bertabarruk? Samakah antara
keduanya sehingga mereka yang menjalankan praktik tabarruk serta merta
dapat dihukumi syirik?

Jadi, apakah syirk itu? Sebagai muslim dan mukmin, insha Allah, kita
telah memahami, bahwa salah satu makna kalimat tauhid,
Laa ilaha IllaLlah, adalah “laa ma’buuda illaLlah”, tidak ada yang
patut disembah kecuali Allah. Juga tidak ada yang patut dijadikan
tujuan kecuali Allah ["Laa Maqshuuda illaLlah"]. Sedangkan syirk,
sebagai kebalikan dari Tawhid, adalah menjadikan
sesuatu selain Allah, yaitu makhluk ciptaan Allah, sebagai sesuatu
yang disembah pula di sisi Allah. Na’udzu billah min dzalik.
Subhanallah. Maha Suci Allah yang tidak memerlukan seorang
penolongpun di sisi-Nya, dan tak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya.

Berangkat dari makna tawhid dan syirk mendasar tersebut, agak naif,
jika kemudian penghormatan pada hamba-hamba Allah yg shalih-,
ditafsirkan sebagaii suatu perbuatan syirk.

ANTARA PENGHORMATAN DAN PENYEMBAHAN

Hormat terhadap Ulama dan Awliya' Allah, perlulah kita bedakan antara
“penghormatan” dengan “penyembahan atau pengabdian”, antara “respect”
dengan “worship”. Seluruh Muslim tahu
bahwa Atribut ketuhanan atau “Lordship” atau “Uluhiyyah” hanyalah
milik Allah ‘Azza wa Jalla. Tapi kita dapat dan bahkan diwajibkan
dalam Islam untuk memberi penghormatan pada sesama makhluk Allah dalam
level yang berbeda-beda, sesuai dengan sebab yang ditentukan Allah SWT.

Untuk memperjelasnya insya Allah, akan kita beberkan beberapa dalil
nash shahih di bawah. Namun sebelumnya, izinkan saya memberikan
sedikit ilustrasi.

Ketika, misalnya, saya diundang oleh tiga orang berbeda. Sebut saja
misalnya 1) adik angkatan saya (”yunior”) si Fulan, 2) Pak
Abdullah yang relatif sebaya (kolega) saya, dan 3) Prof. X, yang
adalah supervisor kerja saya.

Jelas, dalam memenuhi undangan mereka masing-masing, tidak dapat saya
perlakukan secara sama. Kepada si Fulan, yang notabene adalah yunior saya, mungkin saya cukup memenuhi adab (etika)
standar, misalnya berpakaian menutup aurat, datang tepat waktu,
sekalipun nyaris terlambat, atau malah boleh terlambat,
asalkan saya menelponnya lebih dahulu.

Terhadap Pak Abdullah, yang relatif sepantar dan sebaya, saya harus
tingkatkan adab saya. Selain, adab standar, saya harus berusaha tepat
waktu, menjaga perasaan beliau agar tidak tersinggung, dll.

Kemudian untuk memenuhi undangan Prof. X (misal saat saya baru kenal
dengan beliau), saya lebih mesti berhati-hati. Saya mesti menyiapkan
jas, pakai dasi kalau perlu. Persiapkan apa yang mesti dibicarakan.
Datang lebih awal. Lebih baik kita yang menunggu daripada ditunggu,
dll. Apalagi, kalau yang mengundang adalah perdana menteri Belanda misalnya. Wah, tentu harus lebih awal dan penuh kehati-hatian dalam
persiapannya.

Demikian pula perlakuan yang mesti kita berikan pada orang tua
kandung kita, guru, dengan orang yang lebih tua yang baru kita temui
di jalan. Jelas masing-masing ada beda adab. Terhadap orang tua kita
cium tangannya, jangan membantah, dll. Terhadap guru kita taati
nasihatnya dan berlaku sopan (bahkan hormat terhadap guru yg kafir pun
adalah ajaran Islam). Adapun terhadap orang yang lebih tua yang biasa,
kita bisa pakai adab hormat yang standar.

Demikian sekedar ilustrasi.

ADAB HORMAT TERHADAP ULAMA DAN AWLIYA: TINJAUAN NAQL

Adapun adab hormat terhadap Ulama atau Awliya Allah ini yang perlu
diingatkan kembali. Sebetulnya dengan membaca ilustrasi dan contoh di
atas, adalah wajar jika kita menaruh hormat pada para ‘ulama atau
awliya Allah ini mengingat kedudukan mereka yang tinggi di sisi
Allah. Berikut saya kemukakan beberapa dalil:

1. dalam suatu hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya
(5:323), dan juga oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1:122), dan ia
menyatakannya shahih, dan ini disetujui oleh Imam Al-Dhahabi, Nabi
SallAllahu ‘alayhi wasallam bersabda:

“Man lam yuwaqqir kabirana wa lam yarham saghirana fa laysa minna.”

“Barangsiapa tidak menaruh hormat pada orang yang lebih tua di antara
kami atau tidak mengasihi yang lebih muda, tidaklah termasuk golongan
kami”

Ini yang disebut “tawqir an-Naas”, menghormati manusia lain, dan mesti
disesuaikan dengan status manusia tersebut, khususnya di mata Allah.

2. Dalam hadits lain
“anzilu al-nasa manazilahum”
“Berikan pada manusia sesuai dengan status/kedudukan mereka”

diriwayatkan oleh Muslim dalam bab Introduksi di kitab Shahihnya,
tanpa sanad, Sakhawi mengatakan dalam al-Jawahir ad-Durar bahwa
hadits ini hasan, dan al-Hakim dalam kitab Ma’rifat ulum al-Hadits
mengatakan bahwa hadits ini shahih dan diriwayatkan oleh Ibn Khuzayma.

Jelas tidak mungkin menyamakan semua orang, termasuk dalam
penghormatannya. Penyamaan penghormatan akan mirip dengan paham
Komunisme. Islam tidak mengajarkan demikian. Karena itu adalah wajar,
jika misalnya, dalam suatu sesi salat Jumat, saya datang lebih awal, agar dapat membersihkan tempat
salat misalnya semata karena khatib salat Jumat yang akan datang lain dari
biasanya, atau datang lebih awal agar dpt lebih khusyu’ mendengar
khutbah dari sang khatib yang lain dari biasanya.

3. Allah juga memerintahkan
“wa la tansaw al-fadla baynakum” (2:237)
“Jangan kau lupakan kelebihan/kehormatan di antara kamu”

4. “inna akramakum `indallahi atqakum” (49:13)
“Yang paling mulia di sisimu adalah yang paling taqwa di antaramu”

Jelas, kalau kita lihat ada seseorang yang mesti kita hormati karena
taqwa-nya kepada Allah, ya, kita mesti menghormati dia sesuai dengan kehormatan yang Allah karuniakan padanya seperti tersebut dalam ayat ini.

Dalam suatu hadits Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam lainnya:

5. “Al-Ulama-u waratsatul Anbiya”
“Ulama adalah pewaris Nabi”, diriwayatkan oleh Bukhari dalam
Shahihnya sebagai mu’allaq, dan juga oleh Ahmad (5:196), diriwayatkan
pula oleh Tirmidhi, Darimi, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ibn Majah, Bayhaqi
dalam kitabnya Syu’abul Iman (”Cabang-cabang Iman), dan juga oleh lainnya.

Sudah sepantasnya kita menghormati mereka dengan penghormatan
setinggi-tingginya (yang tidak sampai pada level “worship”!
“penyembahan”).

PENUTUP BAGIAN 1

Demikian pada bagian pertama telah kita ulas sebagian dalil pentingnya
beradab menghormati para Ulama’ dan Awliya’. Insya Allah, pada bagian
berikutnya, kita akan membahas latar belakang praktik adab hormat ini serta melihat beberapa praktik penghormatan dan
kecintaan pada para Ulama’ dan Awliya’ yang lazim dikenal sebagai
tabarruk, yang secara literal bermakna mencari barakah.

Wallahu A’lam bissawab
sumber :http://www.muslimdelft.nl/titian-ilmu/adab-dan-akhlaq/adab-hormat-dan-tabarruk-sunnah-nabi-yang-dilupakan-bagian-1#more-259

Tidak ada komentar:

Posting Komentar