ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 07 Februari 2018

WALIYULLAH AGUNG NIPA SEJARAH DESA TAMIDUNG

Copas:

SEJARAH DESA TAMIDUNG DAN WALIYULLAH AGUNG NIPA

SEJARAH DESA TAMIDUNG DAN AGUNG NIPA SANG WALIYULLAH

Tamidung adalah salah s
atu Desa yang ada diujung barat batas Kecamatan Batang Batang dengan penduduk kurang lebih 5.000 jiwa dengan mayoris beragama islam.  Penamaan Desa Tamidung tak lepas dari Sejarah perjalanan Kerajaan Sumenep,pada masa pemerintahan Jokotole Panembahan Kuda Panole (1415-1460 M) . Pada masa itu Sang Raja melakukan perjalanan dari Poday menuju keraton di Sumenep tatkala itu sang raja dalam kodisi sakit yang cukup parah sehingga beliau harus di tandu oleh para prajurit kerajaan .Waktu semakin berputar dan perjalanan semakin jauh melalui perjalan Laut dan darat sampailah di desa Taman Sare, Sang raja Jokotole semakin parah keadaannya sehingga tepat diSebuah desa sang raja menghembuskan nafas yang terakhir menghadap kepada Sang Pencinta desa tersebut kita kenal dengan nama Batang Batang yang di ambil dari bahasa Bebethang/Bhetang atau dalam bahasa Indonesia nya Jenazah/Mayat/bangkai.
Rombongan pun bergerak menuju ke barat perjalanan panjang telah dilalui letih,lemas dan lelah telah dirasakan oleh semua rombongan raja dan para prajurit yang pada saat itu sang raja telah tiada/wafat Jenazah beliau tetap di tandu untuk di bawa ke Kraton Sumenep,karena sudah lelah/LEMPO sehingga istilah tersebut di kenang hingga menjadi nama sebuah desa yakni Kolpo. Semua para rombongan pun lelah dan berencana untuk beristirahat atau tidur sebentar dalam bahasa Madura DUNG TEDUNGAN rombongan pun sampai tertidur atau TATEDUNG sehingga kejadian tersebut di kenang menjadi penamaan sebuah desa yakni DESA TAMIDUNG. Sebelum sang raja Jokotole menghembuskan nafas yang terakhir beliau sempat berwasiat kepada para menteri dan punggawa kerajaan serta para prajurit .Wasiat beliau “NAKELA SENGKO’ MATE BAN MAYIT SENGKO’ EKIBA KA KARATON KALABAN ETANDU,NALEKA DIMMA TANG PEKOLAN TANDU REA POTONG MAKA EJADIYA SENGKO’ KUBUREKI “ maka tepat di sebuah Desa Lanjuk kalau sekarang  ternyata pikulan tersebut patah sehingga di situlah beliau di makamkan,tepat di Kampung Sa’asa Desa Lanjuk Kecamatan Manding.
Konon pada dahulu laka tepat pada masa perintahan PANEMBAHAN SOMALA menjadi Adipati/Raja Sumenep di Desa Tamidung hiduplah seorang Waliyullah yang bernama AGUNG NIPA. Menurut beberapa keterangan dan para Tokoh Seppuh desa Tamidung Agung Nipa adalah keturunan Bindara Saod dengan Nyai Izzah dari putra pertamanya K. Bahauddin Aryo Pacinan. Semasa hidupnya Agung Nipa terkenal sebagai Ulama yang Kharismatik ,berwibawa tinggi,ilmunya luas dan ahli tapa/menyepi,sampai beliau bertapa ke pengunungan Kabupaten Pasuruan.Penamaan Agung Nipa SENDIRI konon dahulu kala  diambil dari kejadian atau kegiatan bertapa beliau diatas ujung daun nipa/ilalang  atau orang Madura bilang DAUN NIPA/LALANG Beliau mengajarkan ilmu agama disebuah Musallah kecil/Langgar yang sampai saat ini di kenal dengan LANGGAR NIPA.
Agung Nipa terkenal sakti mandraguna segala ucapannya terkabulkan, konon dahulu beliau datang dari perjalanan jauh dan sampai ke rumahnya perut terasa lapar dan ingin makan Ikan .Beliau berkata kepada Istrinya “sengkok ngakana juko’ Bantheng” sang istri terkejut sebab di dapur tidak ada Ikan Bantheng/Kakap, maka sang istri pun bilang bahwa di dapur tidak ada ikan tersebut. Lalu Agung Nipa Menaburkan Tanah ke sawah yang berisi air tepat di sebelah Selatan Langgar ,dengan Kuasa Allah sawah yang berisi air tersebut langsung berkeliaran Ikan Ikan yang sangat banyak dan Besar sehingga istri beliau memasaknya untuk  hidangan makan beliau. Kala beliau makan tulang tulang ikan tersebut tidak diIzinkan untuk di buang  dan disuruh kumpulkan ,lalu tulang tersebut di buang lagi ke Sawah/BELENAN maka dengan kehendak Ilahi tulang itu menjadi ikan lagi.
Beliau beristrikan  RA. JU’ KOROS salah satu keturunan K. BEING SEING  tokoh Thionghoa Muslim atau dikenal kampung Raden yang menurut beberapa Ahli K. Being Seing adalah Saudara Raden Fatah putra Prabu Brawijaya V dengan selirnya yang berdarah Cina dan bermadzhab Hanafi yakni Indrawati cucu  dari Gen Ing Gu.
Agung Nipa sendiri membuat sebuah waduk atau Kolam pemandian untuk sarana berwudhu’ dan untuk air minum serta pengairan sawah untuk menanam padi yang kita kenal sampai saat ini pemandian Waduk Nipa. Kala pembuatannya pohon dan tanah serta batuh tunduk kepada beliau pohon Kepala untuk mengganjal tanah dan batu di samping Waduk itu hanya EPANGKU’ dengan tangan beliau sehingga pembuatan terasa enteng dan muda Karena keWaliannya dan Karomahnya .Sampai saat ini pemandian tersebut bisa di rasakan dan di mamfaatkan oleh masyarakat sekitar kampung Togu untuk mandi, mencuci, berwudhu, minum dan sarana Irigasi pengairan sawah guna menanam padi dan jagung.
Agung Nipa banyak memiki santri mulai dari Daerah Batu Putih,Kolpo dan Tamidung sendiri sampai dari saking walinya  dan karomahnya santri beliau ada yang mengaji suaranya bisa terdengar ke Batu Putih, sungguh luar biasa . Di antara Santrinya yang terkenal: K. Yaman, K. Jatim, K. Adam , K. Dul Zaman, K. Suma,  K. Kahar dan lain lain. K. Dul Zaman sendiri adalah keponakan beliau dari salah satu Putra Agung Saiman Buju’ Jereja. Agung Nipa memiliki 3 Saudara yakni Agung Saiman Buju’ Jereja, Surriyah Buju’ Pancor dan Kyai Hali Buju’ Gunung Hali. Agung Nipa wafat pada bulan Muharram tahun 1211  Hijriyah di Makamkan di Pemakaman Asta Daja sebelah Utara pemakaman para Raden dan  tepatnya sebelah Barat Balai Desa Tamidung yakni di Kampung Togu desa Tamidung.
Sumber: http://arisabdfiqi.blogspot.co.id/2017/11/sejarah-desa-tamidung-dan-waliyullah.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar