ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Rabu, 07 Maret 2018

Kisah Putri Baginda Rosululloh SAW, Sayyidatuna Fathimah Az- Zahro' Al-Batul Binti Sayyidina Kanjeng Nabi Muhammad SAW Al-Rosul.


Kisah Putri Baginda Rosululloh SAW, Sayyidatuna Fathimah Az- Zahro' Al-Batul Binti Sayyidina Kanjeng Nabi Muhammad SAW Al-Rosul.

=====================


*Sayyidatuna Fatimah Az_Zahro' Al_Batul RA binti Sayyidina Kanjeng Nabi Muhammad SAW* atau lebih dikenal dengan   *Siti Fatimah az-Zahro'* (Siti Fatimah yang selalu berseri) (Bahasa Arab: فاطمة الزهراء) putri bungsu Nabi Muhammad SAW dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Sayyidatuna Khodijah Al_Kubro RA.
Siti Fatimah Az Zahro' r.a dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jamadil Akhir, lebih kurang lima tahun sebelum Rasululloh SAW diangkat menjadi Rosul. Siti Fatimah Az Zahro' r.a tumbuh besar di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan jahiliyah, di kala sedang hebatnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Kelahiran Siti Fatimah disambut gembira oleh Rasululloh SAW dengan memberikan nama: Fathimah dan julukannya Az-Zahro' Al_Batul RA.
Pemimpin wanita pada masanya ini adalah putri ke-4 dari anak anak Rasululloh Shallallahu alaihi wa ssalam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Siti Khadijah binti Khuwalid RA. Sesungguhnya Alloh Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Siti Fatimah yang mendekati tahun ke-5 sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasululloh sebagai penengah ketika terjadi perselisihan antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah Ka’bah diperbaharui.
Siti Fatimah lebih muda dari Siti Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi‘ dan Siti Ruqayyah, isteri Sayyidina Utsman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kultsum. Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau bersabda :
”Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku.” [Ibnul Abdil Barr dalam "Al-Istii'aab"]
Di antara anak wanita Rasulullah s.a.w, Siti Fathimah Az-Zahro' r.a, merupakan wanita paling utama kedudukannya. Kemuliannya itu diperoleh sejak menjelang kelahirannya, yang didampingi wanita suci sebagaimana yang diucapkan oleh SitibKhadijah RA:
"Pada waktu kelahiran Siti Fartimah r.a, aku meminta bantuan wanita-wanita Quraish tetanggaku, untuk menolong. Namun mereka menolak mentah-mentah sambil mengatakan bahwa aku telah menghianati mereka dengan mendukung Nabi Muhammad. Sejenak aku bingung dan terkejut luar biasa ketika melihat empat orang tinggi besar yang tak kukenal, dengan lingkaran cahaya disekitar mereka mendekati aku.     
Ketika mereka mendapati aku dalam kecemasan salah seorang dari mereka menyapaku: ‘Wahai Khadijah..! Aku adalah Sarah, ibunda Ishaq dan tiga orang yang menyapaku adalah Maryam, Ibunda Isa, Asiah, Putri Muzahim, dan Ummu Kultsum, Saudara perempuan Musa. Kami semua diperintah oleh Alloh untuk mengajarkan ilmu keperawatan kami jika anda bersedia". Sambil mengatakan hal tersebut, mereka semua duduk di sekelilingku dan memberikan pelayanan kebidanan sampai putriku Fathimah r.a lahir."
Meningkat usia 5 tahun, beliau telah ditinggal pergi ibunya. Tidak secara langsung beliau mengantikan tempat ibunya dalam melayani, membantu dan memebela Rasululloh s.a.w, sehingga beliau mendapat gelar Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dan dalam usia yang masih kanak-kanak, beliau juga telah dihadapkan kepada berbagai macam uji coba. Beliau melihat dan meyaksikan perlakuan keji kaum kafir Quraish kepada ayahandanya, sehingga seringkali pipi beliau basah oleh linangan air mata karena melihat penderitaan yang dialalmi ayahnya.
Siti Fatimah Az-Zahro' tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak hanya merupakan putri dari Rasulullih, namun juga mampu menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau. Siti Fatimah Az-Zahro' memiliki kepribadian yang sabar,dan penyayang karena dan tidak pernah melihat atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Rasullulloh sering sekali menyebutkan nama Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasululloh pernah bersabda:
" *Fatimah merupakan bidadari yang menyerupai manusia"*  *Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni surga yang paling utama*.
Pernikahan Siti Fatimah RA:
==========
Setelah Siti Fatimah r.a mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Sayyidina  Abu Bakar dan Sayyidina  Umar. Rasululloh saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah).”[Tadzkirah Al-Khawash, hal.306]
Kemudian, Jibril as datang untuk mengabarkan kepada Rasululloh saw, bahwa Alloh telah menikahkan Siti Fatimah dengan Sayyidina Ali bin Abi Tholib KRW. Tak lama setelah itu, Sayyidina Ali datang menghadap Rasululloh dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Siti  Fatimah. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Tholib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?” Siti Fatimah diam, lalu Rasululloh pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allohu Akbar..! Diamnya adalah tanda kerelaannya.” [Dzkha’irAl-Ukba, hal. 29]
Rasululloh saw kembali menemui Sayyidina Ali KRW sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata, “Bangunlah..! ‘Bismillah, bi barakatillah, masya’ Alloh la quwwata illa billah, tawakkaltu ‘alalloh.”
Kemudian, Nabi saw menuntun Sayyidina Ali dan mendudukkannya di samping Siti Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Alloh, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.” Rasulullah SAW mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Sayyidina Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.”
Dan kepada Siti Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu.”
Acara pernikahan itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Sayyidina Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasululloh saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan tidak setuju apabila Sayyidina Ali menjual perisainya.
 Dengan mas kawin hanya 400 dirham,  dia memulakan penghidupan dengan wanita yang sangat dimuliakan Alloh di dunia dan di akhirat. Dan Sayyidina ’Ali pun menikahi Siti Fathimah, dengan menggadaikan baju besinya kepada Sayyidina Ustman bin Affan RA itulah, dan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Rosululloh berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Kemudian Rosululloh SAW bersabda: 
“Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan  Fatimah puteri Khodijah dengan Ali bin Abi Tholib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus fiddloh (dalam nilai perak), dan Ali ridlo (menerima) mahar tersebut.”. 
Selanjutnya  Rasululloh SAW  mendoakan keduanya: 
“Semoga Alloh mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”
 (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).
Bersuamikan Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw bukanlah satu kebanggaan yang menjanjikan kekayaan harta. Karena Sayyifina Ali bin Abi Thalib krw adalah salah seorang daripada empat sahabat yang sangat rapat dengan Rasululloh SAW merupakan sahabat yang sangat miskin berbanding dengan yang lain (Sayyidina Abu Bakar As_Shiddiq, Umar bin Al- Khattab dan Ustman bin Affan RA). 
Namun jauh di sanubari Rasululloh SAW tersimpan perasaan kasih dan sayang yang sangat mendalam terhadap Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw. Rasululloh SAW pernah bersabda kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Fatimah lebih kucintai daripada engkau, namun dalam pandanganku engkau lebih mulia daripada dia.” (HR Abu Hurairah).
Dengan demikian wanita pilihan untuk lelaki pilihan. Siti Fatimah mewarisi akhlak ibunya Siti Khadijah RA. Tidak pernah membebani dan menyakiti suami dengan kata-kata atau sikap. Senantiasa senyum menyambut kepulangan suami hingga hilang separuh masalah suaminya.
Buah Hati:
========{
Keluarga Azzahro' RA dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang kepada suami dan anak-anaknya. Pada tahun ke-2 Hijriah, Siti Fatimah melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasululloh saw diberi nama “Al-Hasan”. Rasululloh saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunda ini. Beliau pun menyuarakan adzan pada telinga kanan AlHasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Setahun kemudian lahirlah AlHusain. Demikianlah Alloh SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasululloh saw dari Siti Fatimah Azzahro' r.a. Rasululloh SAW mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasululloh saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan. Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Siti Fatimah r.a. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan AlHusain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, SitibFatimah r.a melahirkan Siti Zainab RA. Setelah itu, Siti Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Siti Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Siti Fatimah itu dengan nama-nama tersebut. Dan begitulah Alloh SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Siti Fatimah Az_Zahro' AlBatul RA. 
Dalam Keterangan di Kitab SyamsidDzohiroh jilid 1 dijelaskan bahwa Sayyidatuna Fathimah juga melahirkan putra bernama Al-Muhassin, tapi beliau wafat pada waktu kecil (Maata Shogiron).
Dalam suatu kisah menceriterakan tentang keadaan rumah tangga Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw yang hidup miskin dan serba kekurangan setelah menikah dengan Siti Fatimah binti Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
“Wahai anakku bersabarlah. Sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah yang bermanfaat bagi keluarganya”. 
Itulah jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Siti Fatimah mengadukan keadaan keluarganya.
Suatu ketika, Rosulullah keluar dari rumah Siti Fatimah dengan tanda-tanda kemarahan di wajahnya. Padahal beliau baru saja sampai di rumah Siti Fatimah. Sikap itu sebagai reaksi beliau atas penampilan anaknya yang mengenakan giwang dan rantai terbuat dari perak, serta selot pintu rumah yang terbuat dari bahan sejenis perak. Karena memahami sifat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Siti Fatimah segera mencopot perhiasan dan selot pintu dan menyerahkannya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata. :
“Jadikanlah semua ini di jalan Alloh, ya Ayahku”. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat terharu, dan bersabda; “Sungguh kamu telah melakukannya, wahai anakku. Ketahuilah, dunia ini bukan untuk Muhammad dan keluarganya. Seandainya dunia ini bernilai di sisi Alloh sebesar sayap nyamuk, tak akan ada orang kafir diberi minum setetespun”.
Bukannya  Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw tidak mau menyediakan seorang pembantu untuk isterinya tetapi memang keadaan kefakiranlah yang sedemikian rupa. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun cukup memaklumi isterinya yang setiap hari menguruskan anak-anak, memasak, membasuh dan menggiling tepung, dan yang lebih memenatkan lagi bila terpaksa mengambil air melalui jalan yang berbatu-batu jauhnya sehingga kelihatan tanda di bahu kiri dan kanannya. Suami mana yang tidak saying kepada isterinya. Pada suatu ketika bila Sayyidina Ali bin Abi Thalib berada di rumah turut  menyinsing lengan membantu istrinya menggiling tepung di dapur. “Terima kasih suamiku,” bisik Siti Fatimah kepada suaminya. Usaha sekecil itu, di celah-celah kesibukan sudah cukup berkesan dalam membelai perasaan seorang isteri.
Suatu hari, Rasulullah masuk ke rumah anaknya, didapati puterinya (Fatimah) yang berpakaian kasar itu sedang mengisar biji-biji gandum dalam linangan air mata. Siti Fatimah segera mengesat air matanya tatkala menyadari kehadiran ayahanda kesayangannya itu. Lalu ditanya oleh baginda, “Wahai buah hatiku, apakah yang engkau tangiskan itu? Semoga Alloh menggembirakanmu.”. Dalam nada sayu, Siti Fatimah berkata, “Wahai ayahanda, sesungguhnya anakmu ini terlalu penat karena terpaksa mengisar gandum dan menguruskan segala urusan rumah seorang diri. Wahai ayahanda, kiranya tidak keberatan bolehkah ayahanda meminta suamiku menyediakan seorang pembantu untukku?”.
Rosulullah tersenyum seraya bangun mendapatkan kisaran tepung itu. Dengan lafadz Bismillah, Rosulullah meletakkan segenggam gandum ke dalam kisaran itu. Dengan izin Alloh, maka berputarlah kisaran itu dengan sendirinya. Hati Siti Fatimah sangat terhibur dan merasa sangat gembira dengan hadiah istimewa dari ayahandanya itu. Habis semua gandumnya dikisar dan batu kisar itu tidak akan berhenti selagi tidak ada arahan untuk berhenti, sehingga Rasulullah menghentikannya. 
Bersabdalah Rasulullah dengan sabda yang masyhur, “Wahai Fatimah, Gunung Uhud pernah ditawarkan kepadaku untuk menjadi emas, namun ayahanda memilih untuk keluarga kita kesenangan di akhirat.” Jelas, Rasulullah SAW mau mendidik puterinya bahwa kesusahan bukanlah penghalang untuk menjadi sholehah.
Ayahanda yang penyayang terus merenung puterinya dengan pandangan kasih sayang, “Puteriku, mahukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kau pinta itu?”. “Tentu sekali ya Rasululloh,” jawab Siti Fatimah kegirangan. Rasulullah  bersabda:
“Jibril telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap kali selesai sembahyang, hendaklah membaca ‘Subhanallah’ sepuluh kali, Alhamdulillah’ sepuluh kali dan ‘Allohu Akbar’ sepuluh kali. Kemudian ketika hendak tidur baca ‘Subhanalloh’, ‘Alhamdulillah’ dan ‘Allohu Akbar’ ini sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Ternyata amalan itu telah memberi kesan kepada Siti  Fatimah. Semua pekerjaan rumah tangga dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun tanpa pembantu rumah. Itulah hadiah istimewa dari Alloh buat hamba-hamba yang hatinya sentiasa mengingatiNya.
Suatu hari masuklah Rasulullah SAE menemui anandanya Siti Fatimmah az-Zahra radhiallahu ‘anha didapati anandanya sedang menggiling syair (sejenis padi-padian) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis. Rasulullah bertanya kepada anandanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fathimah?, Semoga Alloh tidak menyebabkan matamu menangis”. Siti Fathimah berkata, “Ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan rumah tanggalah yang menyebabkan ananda menangis”. 
Lalu duduklah Rasulullah SAW di sisi anandanya. Siti Fathimah melanjutkan perkataannya, “Ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta Sayyidina Ali (suaminya) mencarikan ananda seorang jariah untuk menolong ananda menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah”.
Mendengar perkataan anandanya ini maka bangunlah Rasulullah mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya diucapkannya “Bismillaahirrahmaanirrahiim”. 
Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Alloh. Rasulullah meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk anandanya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada Alloh dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu digilingnya.
Rasulullah bersabda kepada gilingan tersebut, “Berhentilah berputar dengan izin Alloh”, maka penggilingan itu berhenti berputar. Lalu penggilingan itu berkata-kata dengan izin Alloh yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata. 
Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih, “Ya Rasululloh, demi Alloh, Tuhan yang telah menjadikan baginda dengan kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Kalaulah baginda menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Alloh suatu ayat yang berbunyi :
 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Alloh terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang dititahkan”.
Maka hamba takut, ya Rasululloh kelak hamba menjadi batu yang masuk ke dalam neraka. Rasululloh kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, “Bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fathimah az-Zahro' di dalam surga”. Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu kemudian diamlah ia.
Rasululloh bersabda kepada anandanya,
“Jika Alloh menghendaki wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Alloh menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat.
Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Alloh menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat.
Ya Fathimah perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Alloh menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit.
Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Alloh akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang.
Ya Fathimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Alloh akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat.
Ya Fathimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keridloan suami terhadap istrinya. Jikalau suamimu tidak ridlo denganmu tidaklah akan aku do’akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa ridlo suami itu dari Alloh dan kemarahannya itu dari kemarahan Alloh.
Ya Fathimah, apabil seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Alloh  akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Alloh mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Alloh yakni berperang sabil. 
Apabila ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman sorga, dan Alloh akan mengkaruniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat.
Perempuan mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar maka Alloh akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Alloh akan memakaikannya sepersalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikaruniakan Alloh untuknya seribu pahala haji dan umrah.
Ya Fathimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Alloh akan memandangnya dengan pandangan rahmat.
Ya Fathimah perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menata rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit (malaikat),
“Teruskanlah amalmu maka Alloh telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan datang”.
Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya serta menggunting kukunya maka Alloh akan memberinya minuman dari sungai-sungai sorga dan Alloh akan meringankan sakarotulmaut-nya, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman surga seta Alloh  akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian Shirat”.  (Syarah ‘Uquudil lijjaiin-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani).
Sekarang apa rahasia Sayyidina Ali bin Abi Thalib mencintai Siti Fathimah? Siti Fathimah adalah teman karib semenjak kecil, puteri tersayang Rosulullah, sedangkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rosulullah yang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya maupun kecerdasannya. 
Sayyidina Ali bin Abi Thalib sejak Siti Fatimah masih kanak-kanak sudah memperhatikan sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari ketika ayahnya (Rosulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. 
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah (sang ayah yang Tepercaya) tidak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik (Fatimah) itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah, di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Siti Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Sayyidina Ali bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat dan tingkah laku Siti Fatimah) disebut cinta?. 
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan bahwa Siti Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan yaitu Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Alloh mengujiku rupanya”, begitu batin Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ia merasa diuji karena merasa, apalah ia dibanding dengan Sayyidina Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Sayyidina Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Sayyidina  Ali bin Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya pada Alloh dan Rasul-Nya tak tertandingi. 
Lihatlah bagaimana Sayyidina Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara Sayyidina Ali bin Abi Thalib bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Sayyidina Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Sayyidina Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib) semasa kanak-kanak kurang pergaulan. 
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Sayyidina Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Siapa budak yang dibebaskan Sayyidina Ali bin Abi Thalib? Dari sisi finansial, Sayyidina Abu Bakr sang saudagar, insya Alloh lebih bisa membahagiakan Siti Fathimah. Sayyidina Ali bin Abi Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Sayyidina Ali bin Abi Thalib. ”Aku mengutamakan Sayyidina Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Siti Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Alloh menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Sayyidina Abu Bakar ditolak, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri menyambut Siti Fathimah. Tapi, ujian itu rupanya belum berakhir. 
Setelah Sayyidina Abu Bakar mundur, datanglah melamar Siti Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Alloh bertekuk lutut, yaitu Sayyidina Umar bin AlKhaththab RA.
Ya, Al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Siti Fathimah. Sayyidina Umar bin Khaththab memang masuk Islam belakangan, sekitar tiga tahun setelah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidina Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Sayyidina Umar bin Khaththab dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw mendengar sendiri betapa seringnya Nabi SAW berkata, ”Aku datang bersama Sayyidina Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Sayyidina Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku masuk bersama Sayyidina Abu Bakar dan Umar bin Khaththab..” 
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah SAW, di sisi ayah Siti Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Siti Umar bin Khaththab melakukannya?. Sayyidina Ali bin Abi Thalib krw menyusul sang Nabi SAW dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rosulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
Sayyidina Umar bin Khaththab  telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’. Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib), sekali lagi sadar. 
Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.  Sayyidina Umar bin Khaththab  jauh lebih layak, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun ridlo.
Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk menanti. tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan. Maka Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun bingung ketika mendengar kabar lamaran Sayyidina Umar bin Khaththab  juga ditolak.
Ingin menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Rosulullah? Yang seperti Sayyidina ’Utsman bin Affan, sang miliyarder yang telah menikahi Siti Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri Sayyidina  Ali bin Abi Thalib. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. 
Atau justru Nabi SAW ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, 
kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunannya.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Siti Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Rosulullah.. ”
.
 ”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”.
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”.
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Alloh menolongmu!”
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun menghadap Rosulullah, maka dengan memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya menikahi Siti Fathimah RA.
Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Siti Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. 
Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai Sayyidina ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Alloh Maha Kaya.
Lamarannya terjawab, ”Ahlan wa sahlan!” . Kata itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan?
Bagaimana lamaranmu?”.
”Entahlah..”.
”Apa maksudmu?”.
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban ?”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka.
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”.
Dan ’ Sayyidina Ali bin Abi Thalib  pun menikahi Siti Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Sayyidina Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Siti Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” . 
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’ Sayyifina Ali bin Abi Thalib. Ia mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan,  dan yang kedua adalah keberanian.
Ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi (Fathimah) dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Siti Fathimah berkata kepada. Sayyidina ‘Ali,“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”.
Sambil tersenyum Siti Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu”.
Sekian sepenggal Kisah Putri Baginda Rasululloh SAW, Sayyidatuna Fatimah Az- Zahro' Al-Batul RA Binti Sayyidina Kanjeng Nabi Muhammad SAW Al_Rosul. Semoga kita semua dikumpulkan dengan Beliau dan mampu meneladaninya serta dikumpulkan bersama Nabi Muhammad SAW Ayahanda Beliau RA, Aaamiin...Al-Fatihah....Aaamiin.
* 🙏🏻 *Selamat Milad Sayyidatuna Fatimah Az- Zahro' Al-Batul RA Binti Sayyidina Kanjeng Nabi Muhammad SAW Al_Rosul.* 🙏🏻




Tidak ada komentar:

Posting Komentar