ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 20 April 2018

Karomah KH. Ali Maksum Krapyak Yogyakarta:

Karomah KH. Ali Maksum Krapyak Yogyakarta:
======
“Aku heran dengan cara Mbah Ali mendidikku. Pada mulanya aku disuruh sorogan Ta’limul Muta’allim. Belum sampai khatam sudah disuruh ganti Taqrib. Baru selesai bab haji disuruh ganti kitab lain lagi. Begitu seterusnya aku gonta-ganti kitab tanpa satu pun mengkhatamkannya. Rasanya manfaat yang kuperoleh bukan terutama dari kitab yang kubaca, tapi karena sering memandangi wajah Mbah Ali saja.”

Kiyai A. Masduqi Machfudh (Pengasuh PPSSNH Malang), Rais Syuriyah PBNU, menceritakan bahwa Mbah Ali memiliki maziyah (keistimewaan) bisa mentransfer ilmu tanpa mengajar secara verbal. Pada waktu pertamakali datang ke Krapyak –mungkin sekitar tahun 50/60-an, Santri Masduqi diajak mengikat janji oleh Mbah Ali:

“Kalau kamu sanggup tinggal di pondok nggak pulang-pulang sampai tiga tahun penuh, kujamin kamu akan jadi lebih alim ketimbang yang sudah mondok 15 tahun tapi bolak-balik pulang”, begitu akadnya.

Santri Masduqi benar-benar melaksanakan akad itu. Pada akhir tahun ketiga, barulah ia pamit pulang. Sebelum mengijinkan, Mbah Ali meraih tangan Santri Masduqi dan membawanya ke meja makan:

 “Ayo makan bareng aku”, kata beliau.
Tapi ketika Santri Masduqi hendak meraih centong nasi, Mbah Ali melarangnya:

 “Kamu duduk saja!”

Lalu tanpa terduga beliau mengambilkan nasi untuk santrinya itu, meladeninya dengan sayur dan lauk-pauk hingga minuman sesudah makan, seolah Mbah Ali-lah yang menjadi khadam.

“Sejak saat itu”, kisah Pakdhe Masduqi, “tak ada kitab yang sulit bagiku. Setiap ada lafadz yang tak kuketahui maknanya, seperti ada yang membisiki telingaku, member tahu artinya…”

Aku percaya pada Pakdhe Masduqi, walaupun barangkali beliau menceritakan ini sekedar untuk membesarkan hatiku ketika beliau ta’ziyah meninggalnya ayahku. Mungkin juga aku percaya karena terdorong ketidakpahamanku akan metode pendidikan Mbah Ali. Setiap santri seolah diperlakukan khusus, dengan cara yang berbeda dari lainnya.

Sepupuku yang sekamar denganku tidak cukup disuruh menulis saja. Ia diperintahkan ngeblad tulisan kitab. Santri lain disuruh mengumpulkan maqolah-maqolah dari berbagai kitab. Seorang santri baru malah diperlakukan dengan “sangat demokratis”.

“Kamu sorogan ya, Nak”, kata Mbah Ali kepada anak yang baru lulus SD itu.

“Sorogan itu apa, Mbah?”

“Setiap habis Shubuh kamu baca kitab di depanku”, Mbah Ali sabar.

“Kitab itu apa, Mbah?” Kuper nian anak itu.

“Kitab itu ya buku.”

“Yang dibaca buku apa?”

“Terserah kamu…”

Pagi itu, di tengah membaca kitabku di hadapan Mbah Ali yang dirubung santri-santri, aku kaget oleh suara lantang anak baru di sebelahku:

“Pulau Buton menghasilkan aspal…!”

Kulirik “kitab” yang dipegangnya: PELAJARAN GEOGRAFI KELAS I SMP!

Yahya Cholil Staquf

======================

Barangkali semua kita yang jadi guru perlu berguru kepada mbah Ali tentang metode PBL yang mampu mengidentifikasi kebutuhan murid/santri dalam mencapai tujuan belajar, itu kalau saya, ntah anda semua.

Semoga bermanfaat...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar