ABDUL HAMID MUDJIB HAMID BERSHOLAWAT

Jumat, 25 Maret 2011

CINTA NABI oleh Syekh Kabbânî (Ket.Dewan Tinggi Islam AS;pendiri Tarekat Naqsyabandi AS;Ket.Yayasan AlSunnah AS; dll)

Mencintai Nabi SAW
================================
oleh Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani*
================================
Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam bersabda: “la yu’minu ahadakum hatta akuunu ahabba ilaykum min waalidihi wa aalihi wa an-naasi ajma’een.” Yang berarti, “Kalian tidak akan mencapai iman sejati sampai kalian mencintaiku; kalian harus mencintaiku lebih dari kalian mencintai orang tua kalian, diri kalian sendiri dan anak-anak kalian serta seluruh manusia.”

dalam sebuah suhbah (ceramah/diskusi keagamaan) di Islamic Educational Center, Fremont, California, 27 Januari 2003.

[dimulai dengan pendahuluan oleh Professor Muhammad Ahmad]

Kemudian Mawlana Syaikh Hisyam:

Saya datang sebagai pendengar.

A’uudzu billahi minasy syaithanirrajiim
Bismillahirrahmanirrahim

Nawaytul arba’iin,
Nawaytul I’tikaaf,
Nawaytul khalwa,
Nawaytul ‘uzla,
Nawaytus suluuk,
Nawaytul riyadhah lillahi ta’ala al-`adhiim fii hadzal masjid

Suatu kehormatan bagi saya untuk datang dan mendengar nasihat tadi, bukan suatu kuliah, tapi suatu nasihat dari Professor tentang cinta pada Sayyidina Muhammad sall-Allahu `alaihi wasallam. Saya benar-benar datang hanya untuk mendengar. Saya tidak merasa bahwa saya perlu untuk menambahkan apa pun, karena ketika kecintaan pada Nabi sall-Allahu `alaihiwasaallam muncul dan datang, kita pasti akan merasa terbakar dalam cinta itu. Jadi, saya tidak tahu lagi apa yang mesti dikatakan, dan jika saya berbicara maka akan memakan banyak waktu. Berapa menit kalian ingin saya untuk bicara?

[HADIRIN: 60 menit!, sepanjang malam!…beberapa orang telah datang dari Sacramento!]

Ok, hanya untuk 15, 20 menit.

“Ya Sayyidi ya Rasulallah.” Baru saja saya mendengar apa yang ada dalam nasihat yang telah diberikan oleh Professor. Oleh Prof. Dr. Muhammad Qadri tentang perlunya mencintai Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam. Tak perlu untuk mengucapkan Professor, atau doktor, Muhammad Ahmad adalah cukup untuk suatu kehormatan. Alhamdulillah.

Adalah suatu fakhr (kesombongan) untuk memberi nama setelah Sayyidina Muhammad sall-Allahu `alaihi wasallam. Kita bukan Wahabi, yang bangga dengan kertas yang kita peroleh dari universitas. Siapa yang peduli akan itu?

Saya mendengar bahwa saat permulaan, saat majelis ini dimulai, hanya ada dua orang yang datang dan mendengar. Setelah itu, secara perlahan jumlahnya bertambah dan kita sekarang melihat ratusan orang di sini. Hal ini menunjukkan bahwa kalian berada di jalan yang lurus. Saya berada di Houston kemarin dan saya memberikan nasihat di Masjid Ghawth A’zham. Dan masya Allah, begitu banyak orang dari Tariqat Al-Qadiriyyah mengundang saya ke acara besar itu dan kalian pun bisa merasakan perasaan yang sama akan kecintaan kepada Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam.

Kini, untuk mencintai Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam adalah sesuatu yang harus kita rasakan dalam hati kita. Jika kita tidak merasakannya dan tidak mengetahuinya dan tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya, maka cinta itu hanyalah ada di lidah. Itulah kenapa Syaikh Muhammad Ahmad Qadiri, menyebutkan suatu hadits Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam, “la yu’minu ahadakum hatta akuunu ahabba ilaykum min waalidihi wa aalihi wa an-naasi ajma’een.” Yang berarti, “Kalian tidak akan mencapai iman sejati sampai kalian mencintaiku; kalian harus mencintaiku lebih dari kalian mencintai orang tua kalian, diri kalian sendiri dan anak-anak kalian serta seluruh manusia.”

Jika kita melihat pada diri kita hari ini, jika anak kita sakit dan kalian harus membawanya ke rumah sakit, kehidupan kalian akan terganggu. Kalian tak dapat tidur satu jam pun tanpa adanya perasaan, “Anakku” atau “Putriku.” Kalian terus mengatakan pada diri kalian, “Putraku,” atau “Putriku”. Kalian memiliki perasaan ini dalam menjaga putra atau putri kalian. Hal ini adalah timbangan atau ukuran sederhana yang dapat kita pakai untuk melihat diri kita sendiri. Sudahkah kecintaan pada Nabi seperti kecintaan dalam hati kita pada anak-anak kita atau belum? Jika kecintaan seperti itu belum ada, dan saya yakin belum ada, maka kita pun harus meningkatkannya.

Itulah mengapa Syaikh Muhammad Ahmad juga menyebutkan ayat, “Qul in kuntum tuhibbun Allah fat-tabi’uunii yuhbibkumullah wa yaghfir lakum dzunuubakum, wallohu Ghafuurur Rahiim” “Katakanlah:’Jika kamu (benar-benar)mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”[QS. 3:31]

Bukanlah Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam yang mengatakannya – namun adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berfirman, “Ya Muhammad, katakan pada mereka, `Jika kau mencintai Allah, maka ikutilah aku, Allah akan mencintaimu.’” Untuk siapakah ayat itu? Untuk setiap orang, untuk Sahabat. Saya mencintai Nabi, dan saya harap setiap orang pun mencintai Nabi. Dan para Sahabat mencintai Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam. Maka bagaimanakah saya akan mencintai Nabi jika saya perlu untuk melihat beliau dan mengikuti beliau? Bagaimanakah saya mengikuti beliau jika saya tidak melihat jejak langkah beliau?

Maka, para Sahabat melihat jejak langkah Nabi dan beliau menunjukkan pada mereka akan hakikat bagaimana mengikuti (ittiba’, penerj.).
Beliau membawa mereka dengan tangan beliau dan mereka pun bergerak,
beliau membimbing mereka.

Namun, ayat Qur’an Suci tersebut adalah bagi seluruh Ummah [tidak hanya untuk para Sahabat, penerj.], dari awal hingga akhir. Ada suatu makna tersembunyi di sini. Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam selalu bersama Sahabat untuk membimbing mereka. Itu berarti kehadiran beliau (sall-Allahu `alaihi wasallam) mestilah wujud/ada di semua zaman bagi semua orang, bagi semua manusia untuk diikuti.

“Wa’lamuu anna fiikum Rasulallah.” – “Dan ketahuilah bahwa Nabi adalah berada dalam dirimu.” [QS. 49:7]. Allah tidak mengatakan bahwa beliau “baynakum“, “di antara kamu“, tapi Ia Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Fiikum” – “di dalam dirimu.” Quran suci sangatlah halus dan teliti dalam setiap huruf dan kalimatnya. Jika Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam berada dalam diri kita, maka kemudian Allah mengatakan pada kita di sini, “lalu di manakah dia sekarang?”

Saya akan memberikan suatu contoh berikut ini [sambil menyentuh mikrofon]. Apakah kalian mendengarkannya (suara mikrofon)? [ya]. Mengapa kalian mendengarnya?

Itulah suara. Sentuhan tadi menciptakan suatu suara yang memiliki suatu panjang gelombang tertentu dan gelombang ini bergerak ke seluruh ruang, ke seluruh alam semesta dan tak pernah lenyap. Mereka yang tahu akan fisika, engineering, tahu tentang ini. Gelombang tadi bergerak melalui ruang, sehingga ketika saya menyentuh (mikrofon), gelombang tadi bergerak melalui ruang – jika kalian memiliki receiver (penerima) kalian pun dapat mendengarnya dan jika kalian tidak memilikinya, kalian tak akan dapat mendengarnya.

Kita sedang mendengarkan dari era milliaran tahun yang lalu, suara-suara yang datang dari alam semesta, karena kita memiliki receiver-receiver yang besar (teleskop radio, penerj.). Kita mampu mendengarkan sesuatu, tetapi kita tetap tak mampu mendengar yang lain, ini tak mungkin. Setiap suara mestilah terdengar jika kalian memiliki peralatan yang tepat, karena gelombang-gelombang itu bergerak di segenap alam ini.

Saat Sayyidina Muhammad sall-Allahu `alaihi wasalam membaca Al Quran suci, gelombang itu terus hidup dan ia tidak lenyap. Kalian bisa pula memahaminya dari titik pandang Fisika. Maka, jika suara itu di sana, mengapa kita tak mampu mendengarnya? Karena ada yang salah dengan peralatan kita.

[subhanAllah, hayyak Allah wa jamaalakAllah wa.`afakalla]

Ada sesuatu yang salah. Bagaimana pula dengan hadits, “ma zaala `abdii yataqarraba ilayya bin-nawaafil hatta uhibbah. Fa idza ahbabtahu kuntu sam’ahul ladzii yasma’u bihi wa basharahul ladzii yubsiru bihi, wa yadahul ladzii yubtishu bihi wa lisanahul ladzii yatakallama bih.” “Hamba-Ku tidaklah berhenti mendekati-Ku melalui ibadah sunnah (nawafil) hingga Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat, dan tangannya yang dengannya ia bertindak dan lisannya yang dengannya ia berbicara.” [1]

Seorang hamba mendekat dengan ibadah sunnah sampai Aku mencintainya, sebagaimana Syaikh Muhammad Ahmad Mahmud Qadiri, [menambahkan bahwa]berkata bahwa cinta pada Sayyidina Muhammad adalah penting. Para Sahabat, karena kecintaan mereka kepada Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam itu, mereka benar-benar mendengar pada Nabi Sall-Allahu `alaihi wasallam, dan berkata, “Ya Rasulallah, Wahai Rasulallah, kami terima apa pun yang kau ucapkan.” Para Munafiqiin mencoba untuk membuat keragu-raguan. Tapi, para sahabat berkata, “na’am Sadaqta Ya Rasulallah!” (bermakna, “Benar, engkau benar, Wahai Rasulallah”) pada malam Mi’raj.

Tapi, cinta itulah yang penting. Cinta itu datang bukan melalui kewajiban, tapi Ia berfirman, “maa zaala `abdii yataqarraba ilayya bin nawaafil hatta uhibbah.” – melalui ibadah dan amalan sunnah.

Apakah kewajiban itu dalam Quran, datang dari langit atau Nabi melakukannya sendiri karena kecintaan? Karena kecintaanlah, Nabi sall-Allahu ‘alayhi wasallam melakukannya. Kewajiban (Faraidh), adalah sesuatu yang harus kalian lakukan, kalian dipaksa, jika tidak kalian masuk ke jahannam. Itu adalah suatu kewajiban, kalian tak dapat mencapai cinta Allah dengannya. Adapun Ibadah Sunnah, ada suatu jalan untuk menghindarinya, karena sekalipun kalian tidak melakukannya kalian akan tetap masuk surga. Tapi, kalian tidak akan berada dalam situasi seperti yang disebut dalam hadits tadi. Itu berarti jika seorang hamba mencintai-Ku melalui Muhammad, dengan sarana Nawafil, `ibadah sunnah, maka Aku akan mencintainya, ini adalah suatu hubungan timbal balik. Ini haruslah dimulai dari diri kalian lebih dulu, karena Allah memang sudah mencintai hamba-Nya. Tapi, diri kalianlah yang harus memasukkan steker, kawat kabel kalian dan membuat hubungan itu dari sisi kalian.

Lalu apa yang terjadi? Hadist itu berlanjut, “kuntu sam’ahul ladzii yasma’u bih” Itu bermakna, “Aku akan memberinya penerima (receiver) khusus untuk mendengar, hingga ia mampu mendengar apa yang hanya bisa didengar wali.” “Aku akan memberinya apa yang tak dapat didengar orang biasa” Apa yang tak dapat didengar oleh orang-orang? Kau tak dapat mendengar, ia tak dapat mendengar, kalian akan mendengar suara yang orang tak dapat mendengarnya karena mereka tak memiliki pembukaan’ itu dalam telinga-telinga mereka. Ia akan memberi kalian apa-apa yang berasal dari sifat as-Sami’, sebagaimana Sariya radhiy-Allahu `anhu mendengarkan suara Sayyidina `Umar radhiy-Allahu `anhu dari Syam [2]. “Wahai Sariya! Jaga gunung itu,” dari Madinah ke Syam.

Sariya mampu mendengarnya. Sayyidina `Umar radhiyallahu `anhu mampu mendengar dan melihat. Jadi, Sariya memiliki audio voice saja. Sedangkan Sayyidina `Umar radhiyallahu `anhu memiliki baik video maupun audio. Itulah teknologi yang ada sejak 1400 tahun lampau, sejak zaman Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam. Kemudian haditsnya berlanjut, “Aku akan berikan padanya penglihatan yang Ia dapat gunakan untuk melihat dengannya, Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia dapat melihat.” Pada saat itulah, kalian akan memiliki audio, video, dan TV. Saat itulah, kemudian, kalian akan mampu melihat Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam – bagaimana beliau bergerak, bagaimana beliau berbicara, bagaimana beliau bertindak, maka kalian pun bisa mengikutinya. Jika kalian tak mampu melihat hal-hal tersebut, maka ikutilah mereka yang mampu melihatnya. Tak setiap orang mampu melakukannya, hanya sedikit yang mampu melakukannya, hanya awliya’ (kekasih Allah) yang mampu melakukannya, seperti Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani.

Bahkan kalian menyebut Ibn Taymiyya, saya tidak suka untuk menyebutnya tapi untuk menunjukkan pada Wahabi/Salafi bahwa guru mereka pun adalah seorang pelayan di pintu Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani.

Ibn Taymiyya memuji Sayyidna `Abdul Qadir Al-Jailani dalam bukunya Fatawa ibn Taymiyya.

Saat itulah kalian memiliki audio dan video, dan itulah yang memberikan pada kita makna bahwa Nabi sall-Allahu `alaihi wasallam selalu hadir, melihat diri kalian dan melihat apa yang kalian lakukan. Dan jika kalian cerdas, kalian akan mampu melihatnya. Dan jika kalian tidak mampu, maka ikutilah mereka yang mampu. Itulah perintah yang ada dalam suatu hadits, “In kuntum tsalatsah, fa-amiru ahadakum.” – “Jika kalian bertiga, maka jadikan seseorang sebagai pemimpin kalian.”

Amir itu tidak boleh buta, dia tidak boleh seseorang yang bukan intelektual. Dia haruslah seseorang yang dapat melihat jejak langkah Nabi Sall-Allahu `alaihi wasallam.

Saya mendengar cerita ini dari Syaikh saya dan ayah beliau dan kakek beliau adalah berasal dari tariqat Qadiri. Beliau melakukan khalwat penuh di maqam Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani selama setahun penuh.

Seorang wanita membawa anak laki-lakinya kepada Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailani dan berkata, “Ya Sayyidii, aku tahu bahwa Anda adalah Ghawts, dan aku tahu demi kehormatan dari Nabi, engkau memberi.” Wanita itu adalah seorang wanita yang miskin dan ia selalu menghadiri suhbat (asosiasi), dan ia akan melihat seluruh murid, pengikut, menghadiri suhbat (nasihat) dan dzikir. Dan di hadapan setiap orang ada seekor ayam dan mereka makan.

Wanita itu berkata pada dirinya sendiri, “Alhamdulillah, aku miskin dan Sayyidina `Abdul Qadir kaya baik di dunia maupun di akhira. Aku akan berikan anakku untuk duduk di sana. Setidaknya ia akan makan di pagi dan malam hari.”

Ia berkata, “Aku ingin anakku menjadi muridmu.”

Beliau menerimanya. Anak itu adalah seorang anak yang berbadan cukup gemuk. Beliau menyuruh seorang murid, Muhamad Ahmad, “Kirimkan dia ke ruang bawah tanah dan berikan padanya awrad untuk khalwat. Dan berikan baginya sekerat roti dan minyak zaitun untuk makan setiap hari.”

Wanita tadi datang setelah satu bulan dan berpikir bahwa anak laki-lakinya pasti makan ayam. Kemudian ia melihat para murid duduk dan makan dengan adab, ayam.

Wanita itu bertanya pada Syaikh tentang anaknya. Beliau menjawab, “Ia sedang di ruang bawah tanah memakan makanan yang istimewa.” Wanita itu senang, karena ia berpikir bahwa kalau para murid saja sedang makan ayam, pastilah anaknya sedang makan sapi.

Dia turun ke bawah dan melihat anak laki-lakinya – dia tampak sangat kurus. Tapi, dia sedang duduk, membaca doa, berdzikir, dan cahaya tengah memancar dari wajahnya.

Wanita itu mendatanginya dan berkata, “Apa ini?” Ia menjawab, “Itulah yang aku makan, sekerat roti.” Wanita itu mendatangi Sayyidina `Abdul Qadir Al-Jailanai, “Aku membawa anakku untuk bersamamu.” Saat wanita itu berbicara sang Syaikh memerintahkan para muridnya, “Makan.” Setiap murid memakan ayam di hadapannya masing- masing, bukan potongan-potongan, tapi seluruh ayam, beserta tulang-tulangnya. Kemudian beliau berkata pada wanita itu, “Jika kau ingin anakmu mencapai suatu level untuk dapat memakan ayam beserta tulang-tulangnya, maka ia harus lebih dahulu menjalani tarbiyya –
pelatihan.” Tarbiyya itu adalah untuk membina dan melatih ego, yang merupakan hal paling sulit. Itulah yang diperlukan.

Saya datang ke sini hanya untuk mendengarkan kalian.

Akhir dari suhbat Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani.

Fatihah.

Allahumma salli ‘ala Sayyidina Muhammadin nabi al-ummi wa ‘ala Alihi wa Sahbihi wa sallim.

Catatan Kaki:
[1] Sebuah hadits sahih yang diriwayatkan banyak Imam Hadits dalam kitab-kitab mereka
[2] Syam adalah daerah di sekitar Syria dan Palestina, berpusat di Damascus.

* Syekh Muhammad Hisyâm Kabbânî ialah penulis dan ulama yang terkemuka di dunia. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengampanyekan prinsip-prinsip Islam seperti perdamaian, toleransi, dan penentangan ektremisme dalam segala bentuknya. Sang syekh dibesarkan dalam keluarga ulama yang terhormat. Di antara mereka ada yang pernah menjadi Ketua Persatuan Ulama Lebanon dan kini menjabat sebagai Mufti Agung Lebanon—yakni pemangku otoritas agama tertinggi negara itu.

Di Amerika, Syekh Kabbânî menjabat sebagai Ketua Dewan Tinggi Islam Amerika; pendiri Tarekat Naqsyabandi Amerika; Ketua Yayasan Al-Sunnah Amerika; Ketua Organisasi Wanita Islam Kamilat; dan pendiri serta Ketua The Muslim Magazine.

Syekh Kabbânî sangat piawai baik sebagai saintis Barat maupun pakar Islam klasik. Ia memperoleh gelar sarjana muda pada bidang kimia (American University in Beirut), dan mempelajari ilmu kedokteran (Catholic University of Leuven, Belgia). Di samping itu, ia juga menyandang gelar sarjana pada bidang hukum Islam (Universitas Al-Azhar cabang Damaskus, Syria), dan, atas izin dari Syekh ‘Abd Allâh Daghestani, mengajar, mengarahkan, dan membimbing para murid yang belajar spiritualitas Islam dari Syekh Muhammad Nâzim ‘Adil al-Qubrusî al-Haqqânî al-Naqsyabandî, pemimpin besar tarekat Naqsyabandî-Haqqânî.

Buku-buku yang pernah beliau tulis adalah: Remembrance of God Liturgy of the Sufi Naqshbandi Masters (1994); The Naqshbandi Sufi Way (1995); Angels Unveiled (1996); Encyclopedia of Islamic Doctrine (7 jilid, 1998); Encyclopedia of Muhammad’s Women Companions and the Traditions They Related (1998, bersama Dr. Laleh Bakhtiar); dan Classical Islam and the Naqshbandi Sufi Order (akan diterbitkan bulan November 2003).

Dalam usaha jangka panjangnya untuk memperkenalkan pemahaman yang lebih baik tentang Islam klasik, Syekh Kabbânî telah menyelenggarakan dua konferensi internasional di Amerika, dengan menghadirkan para pakar dari berbagai dunia muslim. Sebagai pembawa suara Islam tradisional, komentarnya dikutip oleh para wartawan, akademisi, maupun pejabat pemerintahan.

sumber : http://www.muslimdelft.nl/titian-ilmu/tentang-nabi/mencintai-nabi-sall-allahu-alayhi-wasallam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar